- Proyek hilirisasi nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, pemerintah gadang-gadang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat perekonomian, kembali menjadi sumber konflik dan ketidakadilan. Di tengah gencarnya investasi di sektor nikel, banyak warga menghadapi kriminalisasi karena perjuangan mereka mempertahankan hak-hak atas tanah dan lingkungan.
- Siti Zulaika dari Perkumpulan AEER mengatakan, pemerintah gagal melindungi dan menjamin kesejahteraan di tengah-tengah kepungan industri nikel. Pemerintah justru memfasilitasi kepentingan industri nikel dengan berbagai kebijakan.
- Yusman dari Walhi Sulteng menilai, dari rangkaian konflik antara masyarakat dan IHIP, dan aksi hukum perusahaan merupakan upaya pembungkaman. Fenomena ini masuk dalam kategori gugatan strategis terhadap partisipasi publik (SLAPP) untuk membungkam warga agar tidak melakukan protes.
- Moh Taufik, Koordinator Aksi Koalisi Anti SLAPP, menuntut pencurian kriminalisasi pejuang agraria di Desa Topogaro dan Ambunu serta Izin MoU antara Pemerintah Morowali dan BTIIG terkait penggunaan jalan desa.
Proyek hilirisasi nikel di Morowali, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat perekonomian lokal, kini berbalik menjadi sumber konflik dan ketidakadilan. Di tengah gencarnya investasi dalam sektor nikel, banyak warga setempat menghadapi kriminalisasi akibat perjuangan mereka untuk mempertahankan hak-hak atas lahan dan lingkungan.
Sejak pemerintah Indonesia menggelorakan program hilirisasi nikel, Morowali menjadi salah satu kawasan yang paling menarik bagi investor. Proyek-proyek ini, yang dicanangkan untuk meningkatkan nilai tambah nikel dan menciptakan lapangan kerja, ternyata tidak memberikan dampak positif yang diharapkan. Alih-alih mensejahterakan, warga sekitar justru kehilangan akses terhadap lahan yang mereka kelola selama bertahun-tahun.
Potret itu yang terjadi dalam pembangunan kawasan industri nikel PT Huabao Industrial Park (IHIP) di Kecamatan Bungku Barat, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Pasalnya, dalam pembangunan wilayah industri nikel yang dimodali oleh perusahaan asal Tiongkok ini diwarnai dengan konflik agraria dan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan.
Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, IHIP melakukan praktik perampasan tanah secara paksa dengan berbagai modus. Misalnya, perusahaan lakukan modus salah gusur, mematikan produksi lahan, merubah jalur sungai, menimbun irigasi, reklamasi ilegal, pengrusakan mangrove, dan pengambilalihan aset jalan desa secara sepihak.
Dengan praktek tersebut, konflik antara perusahaan dan masyarakat menjadi tidak terhindarkan. Aksi protes meningkat sejak tahun 2022, ketika lahan berisi tanaman seluas 14 hektar milik petani di Desa Ambunu digusur pada malam hari. Sampai saat ini protes terus dilakukan dan puncaknya pada Juni-Juli 2024, ketika IHIP mengklaim sepihak jalan desa di Desa Topogaro dan Ambunu untuk digunakan sebagai jalan hauling perusahaan.
Baca juga: SLAPP Terus Meningkat di Kawasan Industri Nikel Morowali
Klaim sepihak itu berawal dari beredar sebuah video pernyataan Legal Eksternal PT IHIP, yang bernama Riski, menyampaikan bahwa jalan tani yang sekarang digunakan sebagai jalan hauling adalah milik sah perusahaannya. Hal itu berdasarkan MoU tukar guling asset dengan Bupati Morowali yang ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2024. Sebagai gantinya, perusahaannya mengerjakan perluasan bandara.
Rifiana Ms, warga Desa Desa Ambunu mengatakan, penandatanganan MoU antara IHIP dengan Bupati Morowali itu tidak melibatkan masyarakat, bahkan tak ada pemberitahuan atau sosialisasi. Padahal, jalan tani yang terhubung dari Desa Topogaro ke dusun Folili, dusun Sigendo dan Desa Ambunu itu adalah jalan yang sudah digunakan oleh masyarakat setempat, jauh sebelum adanya perusahaan.
“Masyarakat menggunakan jalan itu sebagai akses untuk menuju kebun maupun akses menuju ke Gua Vavompogaro yaitu Situs Budaya bersejarah bagi masyarakat sekitar. Kini, akses masyarakat ke kebun pun terganggu karena aktivitas alat berat lalu lalang setiap hari,” kata Rifiana Ms saat Konferensi Pers yang dilakukan pada 31 Oktober 2024.
Saat ini, di Desa ambunu, jalan tersebut sudah terdapat bangunan gudang penyimpanan ore nikel dan gerbang milik IHIP. Akibatnya, masyarakat tidak bisa lagi lewat jalur tersebut. Jalan yang digunakan masyarakat untuk menuju kebun sebelumnya hanya berjarak 1 kilometer, kini masyarakat harus memutar sejauh 3-4 km untuk pergi ke kebunnya lantaran jalan utama yang sering digunakan tak boleh lagi dilewati.

Klaim sepihak perusahaan atas penguasaan jalan milik masyarakat tidak hanya terjadi di Desa Topogaro, Tondo, dan Ambunu. Akan tetapi juga terjadi di Desa Wosu, Umpanga, dan Larebonu. Kondisi ini membuat warga sekitar warga geram, dan akhirnya mereka ramai-ramai melakukan aksi memblokade jalan untuk menghentikan aktivitas produksi IHIP.
Aksi blokade jalan itu dilakukan pada 11 dan 15 Maret 2024 oleh ratusan dari warga Desa Tondo, Topogaro, dan Desa Ambunu. Mereka tuntutan warga Bungku Barat ini meminta Pemerintah Morowali membatalkan MoU. Mereka juga ingin melihat MoU di tangan perusahaan, akan tetapi IHIP enggan memperlihatkan dokumen, malah menyampaikan bahwa dokumen itu bersifat rahasia.
Meningkatnya perlawanan masyarakat dalam mempertahankan haknya, membuat perusahaan melakukan upaya pembungkaman dengan cara, melakukan kriminalisasi dan gugatan hukum kepada orang-orang yang dinilai sebagai pelopor dalam perlawanan tersebut.
Tanggal 20 Juni 2024, lima orang warga Desa Tondo dan Topogaro atas nama Rahman Ladanu, Wahid/Imran, Hamdan, Safaat dan Sadam dilaporkan ke Polda Sulteng atas aksi blokade jalan yang mereka lakukan pada tanggal 11 Juni 2024 di Desa Topogaro. Kelima orang itu digugat secara perdata dengan tuntutan membayar Rp 14 Miliar, akumulasi kerugian dari hitungan perhari selama tiga hari blokade jalan.
Selain itu, lima orang warga Desa Ambunu, yakni; Abd Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms dan Rifiana Ms juga ternyata dilaporkan oleh ke Polda Sulteng. Pada tanggal 10 Oktober 2024 lalu, mereka berlima mendapatkan mendapat surat panggilan dari Polda Sulteng terkait tindakan pidana atas terganggunya fungsi jalan yang digunakan oleh IHIP.
Baca juga: Dampak Polusi di Kawasan Industri Nikel Morowali
Yusman dari Walhi Sulteng menilai, jika dilihat dari rangkaian konflik antara masyarakat dan IHIP, serta upaya hukum yang dilakukan oleh perusahaan merupakan bentuk pembungkaman. Fenomena ini masuk dalam kategori Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) untuk membungkam warga agar tidak melakukan aksi protes.
Diketahui, SLAPP adalah gugatan atau laporan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, seperti korporasi, pejabat publik, atau pelaku bisnis dengan tujuan menghentikan partisipasi publik (individu atau organisasi non-pemerintah). Ia bilang, Gugatan hukum, somasi, dan panggilan polisi merupakan tindakan nyata dari praktek SLAPP.
Apalagi, kata Yusman, orang-orang yang dilaporkan ini adalah tokoh-tokoh kunci yang cukup kritis untuk memperjuangkan haknya yang dirampas oleh IHIP. Adapun praktik perampasan lahan yang dilakukan oleh IHIP, katanya, tidak ubahnya seperti zaman penjajahan, karena perusahaan mengambil lahan masyarakat dengan cara paksa.
“Masyarakat dibuat tidak ada pilihan lain, sementara pemerintah turut serta melindungi kepentingan perusahaan dan mengabaikan hak masyarakat,” kata saat Konferensi Pers yang dilakukan pada 31 Oktober 2024.

Menurut Yusman, tindakan SLAPP yang dilakukan oleh IHIP terhadap lima warga Desa Topogaro menjadi peringatan bagi desa-desa lain yang berada dalam lingkar kawasan industri. Ia bilang, tindakan serupa mungkin juga akan terjadi di Desa Wosu, Larebonu, dan Umpanga, ketika pembangunan tahap dua IHIP dilakukan.
Yusman tegaskan, perjuangan warga Desa Topogaro dan Tondo adalah upaya untuk mempertahankan hak mereka demi keberlangsungan hidup semua orang. Mereka berjuang untuk hak atas lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang terancam oleh tindakan sewenang-wenang perusahaan.
Sayangnya, kata Yusman, regulasi anti-SLAPP tampaknya tidak berlaku bagi perusahaan-perusahaan besar, membuat masyarakat selalu berada dalam posisi yang kalah. Masyarakat seharusnya dilindungi dari tuntutan pidana maupun perdata ketika memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik.
“Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 dan Permen LHK No. 10 Tahun 2024 menjamin perlindungan hukum bagi mereka yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Namun, regulasi ini seringkali terasa tidak berarti bagi mereka yang terpengaruh,” tegasnya.
Diketahui, IHIP adalah perusahaan Indonesia dengan latar belakang modal Tiongkok. Komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Investment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Proyek Hilirisasi Nikel di Morowali
Pemegang saham terbesar Zhensi Indonesia Industrial Park atau yang juga dikenal sebagai Zhenshi Holding Group Co., Ltd ini merupakan salah satu perusahaan teratas di Industri tersier di Tiongkok dan telah mengembangkan 10 industri, termasuk baja khusus, dan manufaktur besi nikel. Zhenshi Holding Group ini telah mendirikan lebih dari 50 perusahaan induk di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, perusahaan induk Zhenshi Holding Group yang untuk membangun kawasan IHIP adalah PT Bahosua Taman Industri Investment Group (BTIIG). Kawasan industri ini berlokasi di tujuh desa di Kabupaten Morowali, yakni; Desa Topogaro, Wata, Ambunu, Tondo, Umpanga, Larobenu, dan Wosu. Proyek dengan investasi sebesar 14 triliun rupiah ini akan dibangun dengan luas sekitar 20.000 hektar.
IHI dan BTIIG akan membangun kawasan industri ini dengan skema dua tahap. Tahap pertama akan dibangun seluas 1.200 hektar yang berlokasi di Ambunu, Topogaro, dan Tondo yang saat ini sedang bermasalah akibat klaim jalan tani yang dilakukan secara sepihak. Sedangkan, untuk tahap kedua akan dibangun seluas 18.800 hektar di lima desa lainnya.
Adapun proyek ini bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi diklaim dibawah “One Belt, One Road Initiative” yang oleh pemerintah china dianugerahi gelar zona kerjasama ekonomi dan perdagangan luar negeri Provinsi Zhejiang. Hal itu disepakati dalam kerjasama bilateral antara Pemerintah Tiongkok dan Indonesia di KTT G20.
Kawasan industri ini diklaim akan memproduksi nikel berskala besar dengan kapasitas 1,5 juta ton untuk pengembangan nikel laterit atau memproduksi blok besi nikel dan nikel hidroksida dengan berkualitas tinggi sebagai bahan baku penting stainless steel. Nikel hidroksida juga sangat diperlukan untuk produksi baterai energi baru kelas atas.

Hentikan Kriminalisasi
Buntut dari kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan, Koalisi Anti SLAPP melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor BTIIG yang ada di Jakarta Selatan pada Jumat 1 November 2024 lalu. Aksi itu menuntut agar BTIIG menghentikan praktik kriminalisasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga di sekitar wilayah industri IHIP.
Adapun Koalisi Anti SLAPP tersebut terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil yakni, Walhi Nasional, Greenpeace, Walhi Sulteng, Perkumpulan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan Pengacara Hijau Sulteng.
Koordinator aksi Koalisi Anti SLAPP, Mon Taufik mengatakan, pembangunan kawasan industri yang dilakukan oleh BTIIG sarat akan konflik agraria, seperti perampasan tanah dan kerusakan lingkungan. Menurutnya, praktik itu yang kemudian membuat masyarakat sekitar melakukan aksi penolakan dan memblokade jalan yang sudah diambil alih oleh perusahaan secara sepihak.
Menurut Moh Taufik, upaya pembungkaman masyarakat yang dilakukan oleh BTIIG dengan Strategi SLAPP bertujuan untuk memuluskan ambisi pembangunan kawasan industri nikel yang berlabel Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Hilirisasi. Ia memperkiraan, angka kriminalisasi akan meningkat seiring dengan pembangunan kawasan yang terus dilakukan oleh perusahaan.
Baca juga: Ilusi Proyek Hilirisasi Nikel: Menghilangkan Nyawa, Memiskinkan Warga Sekitar
Koalisi Anti SLAPP minta hentikan kriminalisasi dan pelanggaran HAM terhadap warga di lingkar industri nikel milik BTIIG. Mereka juga menuntut penghentian kriminalisasi pejuang agraria di Desa Topogaro dan Ambunu serta pembatalan MoU antara Pemda Morowali dan BTIIG terkait penggunaan jalan desa.
Koalisi juga meminta penghentian penggunaan jalan kantong produksi sebagai akses PT BTIIG di Desa Topogaro dan Ambunu. Selain itu, mereka menuntut penghentian PLTU captive yang menyebabkan polusi udara di kawasan tersebut.
“Kami mendesak BTIIG mencabut gugatan yang dilayangkan kepada warga Bungku Barat. Tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh BTIIG sebagai bentuk pembungkaman terhadap demokrasi,” kata Mon Taufik saat memberikan orasi.
Sebenarnya, upaya hukum yang dilakukan oleh perusahaan di industri nikel dengan menggunakan strategi SLAPP ini tidak hanya terjadi di IHIP saja. Di wilayah di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan PT Stardust Estate Investment (SEI) melakukan hal serupa kepada tujuh orang karena memprotes polusi udara berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020.

Fenomena kriminalisasi itu menambahkan buruk bagi pembela lingkungan yang telah dikriminalisasi. Data Walhi menyebut, sudah ada 827 pembela lingkungan menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2014-2023. Dari jumlah itu, enam orang meninggal dunia, 145 ditangkap, 28 tersangka, 9 anak-anak, 19 perempuan, serta 620 orang luka-luka mulai ringan hingga berat karena kekerasan aparat. Kasus ini belum termasuk perkara pada 2024.
Salah satu kasus teranyar yakni, Cristina Rumahlatu dan Thomas Madilis, dua aktivis lingkungan hidup yang dikriminalisasi setelah aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) 1 Agustus lalu. Keduanya dengan tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Padahal, mereka menyoroti dampak lingkungan dari operasi tambang dan kawasan industri nikel yang memicu banjir di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur 21-24 Juli 2024. Kala itu banjir dengan ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir sampai mengisolasi dan melumpuhkan sejumlah desa di sekitar IWIP. Sekitar 1.700 warga terpaksa mengungsi.
Banjir juga terjadi di Halmahera Timur merendam 12 desa hingga menyebabkan longsor di beberapa titik jalan lintas. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah. Ini alasan yang membuat Cristina Rumahlatu dan Thomas Madilis melakukan aksi.
Baca juga: Kala Pekerja Klinik di IMIP Melakukan Protes
Siti Zulaika dari Perkumpulan AEER mengatakan, fenomena kriminalisasi menggunakan strategis SLAPP ini berakar dari penetapan nikel menjadi salah satu mineral kritis yang bisa menjadi komponen esensial dalam teknologi energi terbarukan dan kendaraan listrik (EV). Kebijakan itu menjadi awal terjadinya eksploitasi di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Morowali.
Laporan Global Critical Minerals Outlook 2024 menunjukkan bahwa penerapan teknologi energi ramah lingkungan di seluruh dunia telah tumbuh pesat. Contohnya, kapasitas pemasangan Solar PV meningkat 85% antara tahun 2021 dan 2023, sementara sektor kendaraan listrik mengalami pertumbuhan stabil, dengan jumlah mobil listrik naik 60% pada tahun 2023.
Dengan begitu, kata Siti, Pemerintah Indonesia akhirnya menggenjot produksi nikel. Alhasil, produksi nikel Indonesia alami peningkatan signifikan dari tahun 2020 hingga 2024, mencerminkan tren positif dalam sektor ini. Total produksi nikel diperkirakan akan naik hampir 120%, dari sekitar 32 juta ton pada tahun 2020 menjadi 71,4 juta ton pada tahun 2024, membawa dampak yang luas.

Penetapan nikel menjadi salah satu mineral kritis dengan target capaian produksinya membuat aktivitas industri nikel yang ada di Indonesia akhirnya kotor dan murah. Siti bilang, nikel telah memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar kawasan industri. Apalagi operasi industri ini didukung dengan infrastruktur yang masih menggunakan PLTU Captive
“Praktek hilirisasi khususnya nikel menciptakan penurunan kualitas kesehatan warga, kehilangan keanekaragaman hayati, penurunan kualitas ekosistem laut, penurunan ekonomi warga,” kata Siti Zulaika saat Konferensi Pers yang dilakukan pada 31 Oktober 2024.
Dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan itu, kata Siti, masyarakat setempat akhirnya melakukan protes. Warga juga kerap terlibat konflik dengan perusahaan akibat tanahnya dirampas paksa dengan berbagai macam modus. Kondisi ini, katanya, yang membuat perusahaan menggunakan strategi SLAPP untuk membungkam warga sekitar.
Siti bilang, langka itu diambil agar apa yang dilakukan perusahaan, baik itu dilakukan secara legal atau ilegal, masyarakat tidak boleh mengganggunya. Fenomena itu terjadi di hampir semua industri nikel yang ada di Indonesia agar pemerintah bisa cepat meningkatkan produksi secara besar-besaran.
Baca juga: Mengapa Kecelakaan Kerja Terus Terjadi di Kawasan Industri IMIP?
Siti menilai, pemerintah terlihat gagal dalam melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat di tengah-tengah kepungan industri nikel dengan agenda hilirisasi. Menurutnya, pemerintah justru memfasilitasi kepentingan industri nikel dengan berbagai kebijakan-kebijakanya.
Meskipun itu cukup berat, Siti berharap di Pemerintahan Prabowo-Gibran ini bisa ada jaminan kebebasan bagi warga sekitar industri nikel untuk menyuarakan pendapatan tanpa rasa takut, dan tanpa ada kriminalisasi. Ia mendesak pemerintah untuk menghentikan upaya pembungkaman warga yang dilakukan oleh BTIIG dan IMIP.
“Pemerintah juga harus mengkaji ulang perencanaan peningkatan produksi nikel, agar terjadi pembatasan. Ini sebagai upaya untuk menekan dampak dari proyek hilirisasi yang sudah berdampak buruk ke warga sekitar,” pungkasnya.
Tulisan ini sebelumnya sudah terbit di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya, silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments