- Tahun ini, El-Nino akan menghampiri Indonesia, setelah fase La–Nina selama tiga tahun. El–Nino merupakan fenomena iklim pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Fenomena ini pun bisa memicu kekeringan di Indonesia.
- Menghadapi El-Nino, perlu kewaspadaan bersama. Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengimbau, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, institusi terkait, dan masyarakat lebih siap serta antisipatif terhadap kemungkinan dampak kemarau.
- Aris Pramudia, peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sifat El-Nino erat dengan kekeringan dan La-Nina erat dengan curah hujan tinggi akan mempengaruhi musim tanam dan musim panen. Hal itu, pasti berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. BRIN memprediksi Indonesia menghadapi anomali iklim sepanjang 2023-2024.
- Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, suhu rata-rata permukaan laut mencapai 21,2 derajat Celsius sejak awal April 2023, ini mengalahkan suhu tertinggi sebelumnya, 21 derajat Celcius yang ditetapkan pada 2016.
Akhir-akhir ini, banyak orang yang mengeluhkan panas udara di Indonesia. Mereka menganggap, udara panas semakin hari semakin ekstrim. Bahkan, ada yang melakukan eksperimen atau uji coba memasak makanan dengan bantuan terik Matahari. Misalnya, warga Rembang, Jawa Tengah yang menggoreng kerupuk dan telur di wajan yang diletakan di atas seng, tanpa kompor dan api tungku pada 2 Mei lalu. Alhasil, kerupuk dan telur yang digoreng pun menjadi matang dan hasilnya cukup memuaskan.
Eksperimen yang dilakukan oleh warga Rembang merupakan salah satu bukti empiris dari nyatanya pemanasan global yang terjadi di planet Bumi ini. Apalagi, El Nino diprediksi akan kembali pada tahun 2023 setelah fase La Nina selama tiga tahun. El Nino merupakan fenomena iklim pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.
Pemanasan SML ini akan meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Singkatnya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum. Penelitian dari megasains menyebut El Nino benar-benar akan mempengaruhi kekeringan meteorologis di suatu wilayah. BMKG memprediksi, El Nino tahun 2023 akan tiba lebih awal dari sebelumnya.
“289 Zona Musim (ZOM) atau sejumlah 41 persen wilayah memasuki musim kemarau maju atau lebih awal dari normalnya. 200 ZOM atau 29 persen wilayah memasuki musim kemarau sama dengan normalnya. Sementara, 95 ZOM atau 14 persen wilayah memasuki musim kemarau mundur atau lebih lambat dari normalnya,” kata Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam siaran pers di awal Maret lalu.
Dwikorita menjelaskan, wilayah yang akan mengalami musim kemarau lebih awal pada bulan April mendatang meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sebagian besar Jawa Timur. Sedangkan wilayah yang memasuki musim kemarau pada bulan Mei meliputi sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan, dan Papua bagian selatan.
Sementara itu, wilayah yang baru memasuki musim kemarau pada bulan Juni meliputi Jakarta, sebagian kecil Pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian Pulau Kalimantan bagian selatan, dan sebagian besar Pulau Sulawesi bagian utara.
“Awal musim kemarau 2023 umumnya diprediksi pada bulan April 2023 (119 ZOM, 17 persen), Mei 2023 (156 ZOM, 22 persen), Juni 2023 (155 ZOM,22 persen). Adapun sifat hujan, pada periode musim kemarau 2023 diperkirakan, Bawah Normal 327 ZOM (47 persen), Normal 327 ZOM (47 persen), dan Atas Normal sebanyak 45 ZOM (6,4 persen),” paparnya.
Sementara itu, katanya, prakiraan dinamika atmosfer-laut hingga akhir Februari 2023 atau kondisi El Niño Southern Oscillation (ENSO) berada pada fase La Nina lemah. Adapun La Nina diprediksi akan segera beralih ke fase netral pada periode Maret 2023 dan bertahan hingga semester pertama 2023. Sedangkan, pada semester kedua, terdapat peluang sebesar 50-60 persen bahwa kondisi Netral akan beralih menuju Fase El Nino. Katanya, puncak musim kemarau 2023 diprediksikan terjadi di Agustus 2023.
“Indian Ocean Dipole (IOD) atau perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia saat ini berada pada kondisi netral dan diprediksi akan bertahan hingga akhir tahun 2023,” jelasnya
Namun, data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, suhu rata-rata permukaan luat telah mencapai 21,2 derajat Celsius sejak awal April 2023 lalu, dan mengalahkan suhu tertinggi sebelumnya sebesar 21 derajat Celcius yang ditetapkan pada 2016 lalu. Carbon Brief menyebut, sekitar 79 persen dari 405 kasus cuaca ekstrem semakin parah karena dipengaruhi oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia.
Carbon Brief menganalisis, dalam tiga bulan pertama tahun ini, suhu permukaan global sejauh ini tercatat sebagai yang terpanas keempat dalam sejarah, setelah 2016, 2020, dan 2017. Bulan Maret 2023 adalah yang terpanas kedua sejak pencatatan dimulai pada pertengahan tahun 1800-an, dengan rekor suhu hangat di beberapa bagian Asia tengah, pesisir Cina, dan Jepang, serta Amerika Selatan.
Berdasarkan data tahun berjalan dan perkiraan El Nino saat ini, Carbon Brief memperkirakan bahwa tahun 2023 kemungkinan besar akan berada di antara tahun terpanas dalam catatan dan tahun terpanas keenam, dengan perkiraan terbaik di urutan keempat terpanas di dunia. Pasalnya, NASA, NOAA, dan Met Office Hadley Centre/UEA mencatat suhu permukaan telah menunjukkan pemanasan sekitar 1 derajat celcius sejak tahun 1970, dengan laju pemanasan sekitar 0,19 derajat celcius per dekade.
Menurut satu studi yang dipublikasikan pada Juni 2022 lalu , gelombang panas membunuh sedikitnya 157.000 orang antara tahun 2000 dan 2020. Namun, peneliti itu memperingatkan bahwa angka tersebut kemungkinan besar diremehkan: banyak negara tidak memantau gelombang panas dan terkadang bahkan tidak memiliki definisi tentang itu. Sebagai ilustrasi hal itu, hanya 6,5 persen dari korban tersebut yang tercatat di Asia, Afrika, Karibia, serta Amerika Selatan dan Tengah, meskipun wilayah itu dihuni oleh 85 persen dari populasi global.
Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) dalam laporannya yang terbit pada Maret menyatakan bahwa krisis iklim yang disebabkan oleh manusia (human-caused climate change) telah terjadi secara cepat serta meningkatkan intensitas dan frekuensi terjadinya cuaca ekstrem di setiap wilayah dunia, diantaranya gelombang panas yang semakin intens, hujan lebat, kekeringan, hingga siklon tropis.
Laporan IPCC itu menyebut, suhu bumi akan meningkat 1,5 derajat celcius pada tahun 2030 jika tidak ada aksi iklim yang lebih nyata dan ambisius dari semua negara. Hal ini memicu potensi bencana alam yang lebih besar di tahun-tahun mendatang. Laporan IPCC menyebut, kenaikan suhu bumi akan memicu peningkatan intensitas dan frekuensi berbagai bencana hidrometeorologi berupa kekeringan ekstrim, hingga badai, tanah longsor dan banjir.
Saat ini, kenaikan temperatur Bumi telah mencapai 1.1 derajat celcius dan menuju kenaikan temperatur global rata-rata 2.8 derajat celcius di tahun 2100, berdasarkan komitmen negara-negara di dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Angka ini hampir dua kali lipat dari target 1.5 derajat celcius yang tertuang dalam Paris Agreement, yaitu batas aman bagi Bumi untuk pemanasan global.
Namun, target pengurangan gas rumah kaca Indonesia yang tertulis dalam Enhanced NDC–masih dinilai highly insufficient atau sangat tidak memadai, dan diprediksi akan membawa kenaikan temperatur hingga 4 derajat celcius jika semua negara mengadopsi komitmen yang serupa. Negara maju diharapkan harus lebih ambisius membuat kebijakan pengurangan emisi agar target yang diproyeksikan di NDC bisa tercapai.
Dwikorita menghimbau, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau terutama di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal (lebih kering dibanding biasanya). Katanya, Wilayah tersebut diprediksi mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, dan kekurangan air bersih.
Dwikorita bilang, perlu aksi mitigasi secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yang diperkirakan akan jauh lebih kering dari tiga tahun terakhir. Pemerintah Daerah dan masyarakat, katanya, harus lebih optimal melakukan penyimpanan air pada akhir Musim Hujan ini untuk memenuhi danau, waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya di masyarakat melalui gerakan memanen air hujan.
Ancaman Krisis Pangan
Fenomena El Nino yang memicu terjadinya kondisi kekeringan di sejumlah Negara ini secara umum diprediksi akan menyebabkan krisis pangan. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa mengklaim kemungkinan besar pola cuaca di bawah kondisi El Niño sangat potensial berdampak pada pertanian yang dapat merugikan.
Pada 5 Mei lalu, FAO melaporkan, Indeks acuan harga komoditas pangan internasional naik di bulan April untuk pertama kalinya dalam satu tahun terakhir, di tengah-tengah kenaikan harga gula, daging, dan beras di dunia. Perubahan bulanan dalam harga internasional komoditas pangan yang umum diperdagangkan, rata-rata 127,2 poin pada April 2023, naik 0,6 persen dari bulan Maret.
Misalnya, Indeks Harga Gula naik 17,6 persen dari bulan Maret, mencapai level tertinggi sejak Oktober 2011. Adapun Indeks Harga Daging mengalami kenaikan 1,3 persen di bulan Mei yang dipicu oleh harga daging babi yang lebih tinggi, diikuti oleh harga unggas, yang meningkat di tengah-tengah permintaan impor Asia dan pembatasan produksi yang dipicu oleh masalah kesehatan hewan.
Namun, Indeks Harga Sereal turun 1,7 persen dari bulan Maret dan rata-rata 19,8 persen di bawah nilai bulan April 2022. Sedangkan harga gandum dan jagung internasional masing-masing mengalami penurunan sebesar 2,3 persen dan 3,2 persen. Selain itu, Harga Minyak Nabati dan Harga Susu juga mengalami penurunan dengan masing-masing 1,3 persen dan 1,7 persen.
Kondisi ini yang membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan khawatir El Nino akan berdampak buruk ke Indonesia. Salah satunya adalah kekeringan luas dan juga terjadinya kebakaran hutan di beberapa daerah, serta memicu penurunan produksi pertanian yang menyebabkan inflasi.
Luhut mengambil pengalaman dari fenomena El Nino yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015. Saat itu, diperkirakan 41 persen lahan padi mengalami kekeringan ekstrim. Data World Food Programme bahkan menyebut bahwa 3 dari 5 rumah tangga kehilangan pendapatan akibat kekeringan, dan 1 dari 5 rumah tangga harus mengurangi pengeluaran untuk makanan akibat kekeringan.
Luhut pun meminta seluruh Kementerian/Lembaga terkait juga Pemerintah Daerah untuk mulai bersiap sejak dini, memperhitungkan segala langkah yang mesti ditempuh agar pengalaman buruk 8 tahun lalu tidak terulang kembali. Setidaknya Luhut berharap Indonesia bisa menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El Nino.
“Mari kita semua tetap waspada dan saling menjaga di masa masa sulit seperti ini sehingga kerugian yang terjadi akibat perubahan cuaca bisa kita reduksi bersama demi kemaslahatan masyarakat Indonesia seluruhnya,” kata Luhut Binsar Pandjaitan seperti dikutip dari CNBC Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia mengimpor beras sebanyak 429.207 ton sepanjang 2022, meningkat 5% dibanding tahun sebelumnya. Pada 2022, India menjadi negara asal impor beras terbesar, diikuti Pakistan, Vietnam, Thailand, dan Myanmar seperti terlihat pada grafik. Untuk tahun 2023 pemerintah Indonesia berencana kembali mengimpor beras dari negara-negara tersebut, namun total volumenya naik jadi 2 juta ton.
Presiden Jokowi menyatakan impor harus dilakukan dengan cepat, karena tahun ini ada potensi El Nino yang bisa mengganggu produksi beras. “Jangan sampai, nanti pas sudah musim kering panjang kita bingung mau beli beras, karena barangnya nggak ada,” kata Jokowi, pada awal April lalu.
Kekhawatiran Luhut dan Jokowi itu selaras dengan hasil penelitian oleh Wahyu Widodo Putranto, Rakhmat Prasetia dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Stasiun Klimatologi Jembrana Bali yang dipublikasikan di jurnal Megasains 2021. Penelitian itu berjudul “Analisis Hubungan El Niño gengan Kekeringan Meteorologis dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Di Provinsi Bali”
Hasil penelitian itu menunjukan bahwa secara umum kejadian El Niño mempengaruhi kekeringan meteorologis di sebagian wilayah Provinsi Bali. El Niño pada tahun 2015 tergolong El Niño dengan intensitas yang kuat, karena dipengaruhi oleh anomali Suhu Permukaan Laut (SPL) yang tinggi. Pada saat kejadian El Niño, seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali mengalami penurunan produktivitas padi.
Sejatinya, suhu ekstrim mempengaruhi pertanian, menghambat pertumbuhan tanaman atau membunuh mereka secara langsung. Dampak ini secara tidak berimbang mempengaruhi masyarakat yang bergantung pada pertanian untuk bertahan hidup dan tidak memiliki jaring pengaman sosial lainnya, yang memperburuk ketidakadilan iklim.
Aris Pramudia, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, sifat El-Nino yang erat dengan kekeringan dan La-Nina yang erat dengan curah hujan tinggi akan mempengaruhi musim tanam dan musim panen. Katanya, hal itu pasti berdampak pada penurunan produktivitas pertanian. Pihaknya sudah memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi anomali iklim di sepanjang tahun 2023-2024.
Aris bilang, perlu ada tindakan adaptasi dan mitigasi menghadapi anomali iklim tersebut. Diantaranya adalah; melakukan pemantauan informasi prediksi curah hujan termasuk potensi bencana hidrometeorologis; menerapkan jadwal tanam yang tepat serta varietas yang adaptif; melaksanakan gerakan penanganan dampak perubahan iklim; serta memanfaatkan infrastruktur panen air hujan yang tepat.
“Tindakan adaptasi dan mitigasi itu, katanya, perlu dilaksanakan secara beriringan serta kolaborasi antara berbagai macam stakeholders seperti BMKG, BRIN, Kementerian Pertanian, pemerintah daerah serta perguruan tinggi,” kata Aris Pramudia awal Maret lalu.
Namun, fenomena El Nino, dan pemanasan global yang memicu suhu ekstrem hingga mengancam kisis pangan disinyalir karena adanya peningkatan penggunaan energi kotor dan perubahan penggunaan lahan. Hal itu yang membuat konsentrasi gas rumah kaca (GKC) CO2 dan CH4 yang terdapat di atmosfer mengalami peningkatan dengan sangat cepat karena adanya penggunaan energi fosil secara besar-besaran.
Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menilai, upaya yang dilakukan oleh negara-negara termasuk Indonesia untuk menghadapi krisis iklim belum cukup dan akan membawa dunia menuju bencana iklim yang lebih parah. Apalagi, menurut Bank Dunia, Indonesia merupakan negara yang paling rentan terhadap krisis iklim, terutama bencana banjir dan panas ekstrem.
Selama 2022, Indonesia telah mengalami 3.544 bencana, sekitar 90 persen diantaranya bencana hidrometeorologi. Adapun menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tren bencana hidrometeorologi Indonesia telah mengalami peningkatan selama 40 tahun terakhir. Bank Indonesia menganalisis, kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.
Adila bilang, semua negara di dunia, termasuk Indonesia harus melakukan aksi iklim yang lebih nyata dan ambisius, demi menghindarkan kita dari situasi yang lebih buruk lagi. Katanya, Indonesia masih berada jauh dari jalur mencapai 1.5 derajat celcius, tapi masih ada peluang jika Indonesia melakukan aksi iklim yang ambisius, di antaranya dengan percepatan transisi energi, serta secepatnya mengakhiri penggunaan energi fosil.
“Dekade ini sangat krusial untuk mempercepat transisi energi dan melakukan mitigasi lainnya sebelum Bumi mencapai titik kritis dan mengalami kerugian fatal seperti hilangnya keanekaragaman hayati, kenaikan muka air laut, dan mencairnya es kutub,” kata Adila.
Sektor energi, katanya, diproyeksikan akan menyumbang 58 persen dari total emisi tahun 2023, harus menjadi kunci bagi pemerintah dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca. Sayangnya, beberapa kebijakan pemerintah seperti Perpu Cipta Kerja, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan, dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 justru masih memberikan ruang dan insentif bagi energi fosil.
Menurut Adila, Pemerintah Indonesia harus mengacu analisis ilmiah IPCC dalam membuat kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Percepatan transisi energi serta menghentikan penggunaan batu bara dan energi fosil lainnya mendesak dilakukan agar Indonesia berada di jalur yang sesuai demi mencapai target 1.5 derajat celcius, yang tertuang dalam Kesepakatan Paris.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments