- Bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan longsor makin sering, seperti yang baru-baru ini terjadi banjir bandang di sekitar kawasan industri nikel di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Lingkungan hidup rusak parah, krisis iklim makin mengkhawatirkan.
- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah menilai, banjir yang terjadi di sekitar area IMIP dugaan kuat karena bentang alam yang dulu wilayah penyangga berubah menjadi kawasan industri nikel. Catatan Jatam Sulteng, sekitar 16.000 hektar kawasan hutan di Sulteng jadi area izin pertambangan termasuk pertambangan nikel.
- Data Global Forest Watch menyebut, dari 2002–2021, Sulteng kehilangan 370.000 hektar hutan primer basah, menyumbang 51% dari kehilangan tutupan pohon dalam periode sama. Periode 2001–2021, Sulteng kehilangan 745.000 hektar tutupan pohon, setara penurunan 13% tutupan pohon sejak 2000, dan setara 516 Mt emisi CO₂e.
- Dalam penelitian Yayasan Auriga Nusantara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), ada sekitar 331 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas 1.382.711,43 hektar tersebar di 10 kabupaten/kota di Sulteng. Morowali, menduduki peringkat pertama yang memiliki IUP terbanyak yaitu 112 IUP dengan luas 315.456,10 hektar
Kawasan area smelter PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang terletak di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali diterjang banjir pasca hujan lebat dari Selasa sore hingga Selasa malam pada 25 April lalu. Peristiwa banjir yang terjadi pada malam hari itu viral di media sosial akibat ada sejumlah video yang ikut menyebar.
Dalam video yang beredar di media sosial itu, air terlihat nampak deras mengalir hingga aktivitas pekerja harus terhenti. Bahkan, ada satu orang terlihat terseret arus dan tengah diselamatkan oleh beberapa orang di sekitar jalan utama di area industri nikel tersebut. Di video lainnya, sejumlah karyawan yang masih mengenakan seragam rompi dan helm perusahaan juga mengalami hal serupa. Ketinggian air mencapai pinggang orang dewasa.
Meski begitu, sampai tulisan ini terbit, belum ada informasi apakah peristiwa itu memakan korban atau tidak, serta belum diketahui penyebab pasti banjir yang melanda salah satu kawasan objek vital nasional itu. Namun, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng menilai, banjir yang terus terjadi di kawasan IMIP disebabkan karena berubahnya bentang alam yang dulu sebagai wilayah penyangga, berubah menjadi wilayah kawasan industri.
Pasalnya, banjir di kawasan industri pengolahan nikel di Morowali itu bukan hanya kali ini saja terjadi. Dalam kurung waktu 3 tahun terakhir, kawasan lingkar industri itu selalu dilanda banjir walaupun curah hujan sedang. Hadirnya perusahaan sektor ekstraktif atau aktivitas pengerukan di hulu dinilai menjadi faktor utama terjadinya ketidakseimbang ekologi, berkurangnya resapan air, serta daya tahan tanah yang lemah akibat pengrusakan lingkungan secara besar-besaran.
“Banjir yang terus berulang ini bukan hanya soal curah hujan yang tinggi, namun faktor paling krusial adalah, berubahnya bentang alam yang dulu sebagai wilayah penyangga, berubah menjadi wilayah kawasan industri. Alhasil, luapan air terus saja menggenangi dan mengalir ke wilayah hilir,” kata Muhammad Taufik, Direktur Jatam Sulteng, melalui release yang dikirim ke Mongabay, Rabu 26 April lalu.
Data Global Forest Watch menyebut, dari 2002 sampai 2021, Sulteng kehilangan 370 ribu hektar hutan primer basah, menyumbang 51% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Sementara, sejak 2001 hingga 2021, Sulteng kehilangan 745 ribu hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan 13% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 516 Mt emisi CO₂e.
Di Sulteng, ada empat wilayah teratas bertanggung jawab atas 60% dari semua kehilangan tutupan pohon antara 2001 dan 2021. Morowali menjadi wilayah teratas yang mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 149 ribu hektar. Banggai, Tojo Una-una, Parigi Moutong, dan Poso merupakan tiga wilayah yang ikut mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak setelah Morowali.
Di sisi lain, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) 2013-2033 masuk dalam kategori buruk. Sejak 2017, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2013 itu direncanakan akan direvisi karena ditemukan adanya ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang di lapangan, dan rencana tata ruang wilayah yang tertuang dalam Perda tersebut. Namun, proses revisi RTRW berjalan lambat hingga kini.
Sementara itu, dalam penelitian Auriga Nusantara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2020) ada sekitar 331 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas 1.382.711,43 hektar yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota yang ada di Sulteng. Morowali menduduki peringkat pertama yang memiliki IUP terbanyak yaitu 112 IUP dengan luas 315.456,10 hektar.
Jatam Sulteng mencatat, kurang lebih ada sekitar 16.000 hektar kawasan hutan di Sulteng telah diberikan untuk konsesi izin pertambangan termasuk pertambangan nikel. Hal itu yang disinyalir menjadi pemicu utama adanya peristiwa bencana banjir dan tanah longsor, karena wilayah daerah penyangga dan daerah resapan air sudah dirusak. Kondisi itu juga berpotensi merusak rumah bagi flora dan fauna yang hidup di wilayah hutan Sulteng.
Data Informasi Bencana Indonesia (Dibi) BNPB menyebut, sejak tahun 2002 hingga 2023 (per April) ada sebanyak 384 peristiwa banjir yang terjadi di Sulteng. Tahun 2020, 2021 dan 2022 merupakan tahun yang paling banyak terjadinya peristiwa banjir. Sementara, dalam tahun 2023 (sejak Januari-April), Sulteng sudah mengalami peristiwa bencana banjir sebanyak 11 kali.
Peristiwa banjir yang terjadi di kawasan area smelter PT IMIP menjadi gambaran buruknya tata kelola pertambangan di Sulteng. Hasil laporan koordinasi dan supervisi sektor pertambangan minerba menyebut, pada tahun 2014 ada 199 IUP berstatus non clean and clear (non-CNC) atau bermasalah dari 443 IUP di Sulteng. Permasalahan yang ditemukan yaitu soal maladministrasi, tumpang tindih kewenangan, serta tumpang tindih sama komoditas dan beda komoditas.
Selain itu, dalam laporan itu juga ditemukan adanya tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai 111 miliar rupiah dari 353 IUP. Dimana, ada IUP yang tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan, ada IUP yang tidak transparan dalam pengalokasian dana jaminan reklamasi, ada IUP yang tidak menyampaikan data laporan produksi. Persoalan itu yang kemudian memicu kerusakan lingkungan di Sulteng yang akhirnya berdampak ke masyarakat sekitar pertambangan.
Jatam Sulteng mendesak, pemerintah pusat maupun daerah, mengambil langkah untuk melakukan audit lingkungan, terkait dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan di wilayah kawasan industri PT. IMIP. Tujuan audit ini sendiri, untuk menilai kepatuhan perusahaan terhadap peraturan perundangan-undangan dan persyaratan lain yang relevan.
“Audit lingkungan itu untuk melihat bagaimana kepatuhan perusahaan dalam memberikan jaminan keberlanjutan, sehingga tidak ada lagi bencana-bencana banjir yang terjadi dan terus berulang di wilayah kawasan industri tersebut,” kata Muhammad Taufik
Menurutnya, jika audit dilakukan dengan benar secara komprehensif, akan dapat mengungkap penyebab dari bencana banjir tersebut, serta memberikan rekomendasi untuk tindak lanjut. Jatam Sulteng juga mendesak, pemerintah harus berani mengadopsi peraturan dan standar lingkungan yang lebih ketat, untuk memaksa perusahaan seperti PT. IMIP agar lebih patuh dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami juga mengingatkan kepada pemerintah jangan selalu mengejar pendapatan dari sektor tambang, tanpa memperdulikan keberlanjutan lingkungan yang terus terdampak,” ucapnya
Kondisi Bumi Kian Mengkhawatirkan
Sebenarnya, peristiwa banjir yang terus terjadi di kawasan Kawasan area smelter PT. IMIP merupakan salah dampak dari perubahan iklim yang sudah diprediksi para ilmuwan. Posisi Indonesia yang berada di cincin api (ring of fire) menjadikan masyarakatnya harus siap siaga dan tangguh dalam menghadapi bencana. Pasalnya, krisis iklim telah berdampak besar pada potensi bencana banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, hingga krisis pangan.
Andung Bayu Sekaranom, Dosen Laboratorium Hidrologi dan Klimatologi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, mengatakan fenomena cuaca ekstrem di Indonesia cenderung meningkat disebabkan oleh dampak perubahan iklim yang saat ini sudah mulai dirasakan oleh masyarakat, seperti meningkatnya frekuensi bencana banjir, meningkatnya bencana kekeringan, dan mundurnya masa musim hujan.
Andung memprediksi dalam rentang dua puluh tahun ke depan dampak perubahan iklim yang ditimbulkan jauh lebih parah karena adanya kenaikan suhu global yang lebih tinggi. Menurutnya, negara yang berada di daerah tropis dan subtropis, selain mengalami peningkatan temperatur juga akan mengalami peningkatan curah hujan.
“Diprediksi oleh banyak lembaga internasional bahwa suhu akan meningkat dan hawa panas di mana-mana di belahan bumi ini. Hingga tahun 2100 akan semakin tinggi tingkat curah hujan ada kaitannya dengan bencana sehingga perlu mitigasi,” kata Andung Bayu Sekaranom dikutip dari website UGM.
Andung menilai perubahan iklim dapat berpotensi menjadi katalis perubahan cuaca ekstrem yang terjadi dalam jangka pendek, namun seringkali terkendala keterbatasan data untuk dianalisis. Namun, katanya, di tingkat masyarakat, persepsi terkait dengan dampak perubahan iklim ini dapat berbeda-beda karena faktor usia, lokasi tempat tinggal dan tingkat pendidikan sehingga penting adanya konfirmasi persepsi dengan data.
“Kita butuh data lebih detail seberapa besar dampak dari perubahan iklim ini,” jelasnya.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sendiri mengakui, fenomena perubahan iklim saat ini semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia.
BMKG mencatat secara keseluruhan, tahun 2016 merupakan tahun terpanas untuk Indonesia, dengan nilai anomali sebesar 0.8 °C sepanjang periode pengamatan 1981 hingga 2020. Tahun 2020 sendiri menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 °C, dengan tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 °C.
Laporan World Meteorological Organization (WMO) dalam State of the Climate 2022 yang terbit awal tahun 2023 lalu menyebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat ke-6 tahun terpanas dunia. 2015-2022 menjadi 8 tahun terpanas dalam catatan WMO. Pada awal Desember 2020 juga menempatkan tahun 2016 sebagai tahun terpanas (peringkat pertama), dengan tahun 2020 sedang on-the-track menuju salah satu dari tiga tahun terpanas yang pernah dicatat.
Secara berurutan tahun-tahun tersebut adalah: 2016, 2020, 2019, 2017, 2015, 2022, 2021, 2018. Tahun 2016 merupakan tahun dengan suhu global terpanas sepanjang catatan WMO dengan anomali sebesar 1,2°C terhadap periode revolusi industri. Kondisi terpanas itu dipicu oleh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino.
Kondisi ini pula yang mengakibatkan lebih cepat mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua. Bila awalnya luasan salju abadi sekitar 200 km persegi, maka kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1% saja. Salju dan es abadi di Puncak Jaya sendiri merupakan keunikan yang dimiliki Indonesia, mengingat wilayah Nusantara beriklim tropis.
Menurut Dwikorita, akibat perubahan iklim, kejadian-kejadian ekstrim lebih kerap terjadi, terutama kekeringan dan banjir. Jika sebelumnya rentang waktu kejadian berkisar 50-100 tahun, maka kini rentang waktu menjadi semakin pendek atau frekuensinya semakin sering terjadi dengan intensitas yang lebih tinggi atau durasi yang semakin panjang.
“Contoh nyata di Indonesia adalah kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) April 2021 lalu. Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi,” kata Dwikorita dikutip dari website BMKG.
“Yang terbaru adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Natuna yang mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia. Jika situasi ini terus berlanjut, maka Indonesia akan jauh lebih sering dilanda cuaca ekstrem dan bencana yang tidak hanya menimbulkan kerugian materiil namun juga korban jiwa,” tambah Dwikorita.
20 Maret Lalu, Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) merilis laporan mengenai situasi iklim terkini dan menyatakan bahwa krisis iklim yang disebabkan oleh manusia (human-caused climate change) telah terjadi secara cepat serta meningkatkan intensitas dan frekuensi terjadinya cuaca ekstrem di setiap wilayah dunia, di antaranya gelombang panas yang semakin intens, hujan lebat, kekeringan, hingga siklon tropis.
Laporan IPCC menyebut, suhu bumi akan meningkat 1,5°C pada tahun 2030 jika tidak ada aksi iklim yang lebih nyata dan ambisius dari semua negara. Hal ini memicu potensi bencana alam yang lebih besar di tahun-tahun mendatang. Laporan IPCC menyebut, kenaikan suhu bumi akan memicu peningkatan intensitas dan frekuensi berbagai bencana hidrometeorologi berupa kekeringan ekstrim, hingga badai, tanah longsor dan banjir.
“Hal ini menandakan bahwa upaya yang dilakukan oleh negara-negara belum cukup dan akan membawa dunia menuju bencana iklim (climate catastrophe) yang lebih parah,” kata Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam rilisnya.
Selama 2022, Indonesia telah mengalami 3.544 bencana, sekitar 90 persen diantaranya bencana hidrometeorologi. Adapun menurut BMKG, tren bencana hidrometeorologi Indonesia telah mengalami peningkatan selama 40 tahun terakhir. Bank Indonesia menganalisis, kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.
Berdasarkan data terbaru yang dipaparkan Carbon Brief, sekitar 79% dari 405 kasus cuaca ekstrem semakin parah karena dipengaruhi oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia, mulai dari penggunaan bahan bakar fosil yang masif, pembabatan hutan untuk pembangunan dan pertambangan, hingga pola hidup yang konsumtif.
Saat ini, kata Adila, kenaikan temperatur Bumi telah mencapai 1.1°C dan menuju kenaikan temperatur global rata-rata 2.8°C di tahun 2100, berdasarkan komitmen negara-negara di dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Angka ini hampir dua kali lipat dari target 1.5°C yang tertuang dalam Paris Agreement, yaitu batas aman bagi Bumi untuk pemanasan global.
Namun, target pengurangan gas rumah kaca Indonesia yang tertulis dalam Enhanced NDC–masih dinilai highly insufficient atau sangat tidak memadai, dan diprediksi akan membawa kenaikan temperatur hingga 4°C jika semua negara mengadopsi komitmen yang serupa.
Meski begitu, Laporan IPCC menyatakan masih mungkin untuk mencapai target 1.5°C di tahun 2100, dengan melakukan segala upaya mitigasi yang ambisius untuk mengurangi emisi sebesar 50 persen pada 2030 dan mencapai nol emisi tahun 2050. Negara maju harus lebih ambisius membuat kebijakan pengurangan emisi agar target yang diproyeksikan di NDC bisa tercapai.
Selain itu, lembaga finansial global pun perlu berkomitmen lebih tegas untuk tak lagi mendanai industri fosil, seperti batubara dan turunannya. Aksi iklim yang lebih ambisius juga mesti dilakukan pemerintah Indonesia. Pada 2020, Indonesia menempati peringkat kelima dalam daftar tujuh negara dengan emisi terbesar dengan total emisi 55 persen dari emisi global.
“Bukti-bukti ilmiah menunjukkan krisis iklim itu nyata dan dampaknya semakin masif. Kita masih berada jauh dari jalur mencapai 1.5°C, tapi masih ada peluang jika kita melakukan aksi iklim yang ambisius, di antaranya dengan percepatan transisi energi,” kata Adila.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments