Krisis Iklim Berimbas ke Anak-anak Suku Bajo Torosiaje

Anak-anak Suku Bajo Torosiaje saat ingin ke sekolah menggunakan perahu. (Foto: Sarjan Lahay)
Anak-anak Suku Bajo Torosiaje saat ingin ke sekolah menggunakan perahu. (Foto: Sarjan Lahay)
  • Masyarakat Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, mayoritas Suku Bajo,  mulai merasakan dampak  krisis iklim. Riset di Universitas Halu Oleo pada 2019 menyelidiki bagaimana nelayan Bajo menghadapi perubahan iklim.  
  • Ekosistem pesisir terganggu berpengaruh pada produktivitas perikanan yang menurunkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Untuk komunitas seperti Bajo yang hidup sepenuhnya di laut dan perahu, dampak bisa lebih parah.
  • Apa yang dialami anak-anak Suku Bajo ini merupakan potret bentuk risiko krisis iklim pada anak. Laporan lembaga PBB untuk anak, UNICEF, tentang Pengenalan Risiko Iklim Anak (2021) menyebut anak-anak secara fisik lebih rentan dan kurang mampu menahan sekaligus menghadapi guncangan bencana.  
  • Laporan terbaru UNICEF Mei 2023 menyebut Asia Timur dan Pasifik merupakan satu yang paling terdampak guncangan dan tekanan iklim. Sekitar 41% anak-anak di wilayah ini menghadapi lima guncangan atau lebih, dibandingkan rata-rata dunia yang hanya 14%.

Rabu, 10 Mei 2023, sekitar pukul 06.30 WITA, tiga anak perempuan terlihat sedang menunggu ojek perahu di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Kamelya Ika, Ningsa Mado dan Arisa Majid, ketiga anak itu, dalam perjalanan menuju sekolah di SMA Negeri 1 Popayato, sekitar 5 kilometer dari rumah mereka.

Ketiganya berumur 16 tahun dan duduk di kelas 10. Menunggu ojek perahu merupakan rutinitas setiap pagi sebagai satu-satunya alat transportasi menuju darat. Desa mereka berada di atas laut sekitar 600-an meter dari daratan.

Beberapa menit kemudian, yang ditunggu tiba. Sebuah perahu kayu berukuran sekitar 1 meter dengan panjang 5 meter menghampiri. Saat perahu bersandar, tiga anak perempuan Suku Bajo ini naik dengan berhati-hati. Arisa duduk paling depan, Kamelya dan Ningsa berada dibangku kedua dan ketiga.

Sekitar 5 menit mereka sampai pelabuhan kecil yang menjadi titik kumpul ojek perahu. Sampai Pelabuhan, jasa ojek perahu dibayar senilai Rp. 2 ribu rupiah per anak – ini berlaku bagi pelajar saja, tidak untuk masyarakat umum atau wisatawan.

Berikutnya tiga anak Bajo ini berjalan 100 meter ke arah pemukiman mencari ojek bentor, singkatan dari Becak Motor, melanjutkan perjalanan. Per anak membayar Rp. 5 ribu sampai sekolah. Ongkos pulang-pergi sekolah tiap anak, dengan demikian mencapai Rp. 14 ribu setiap hari, belum termasuk uang jajan.

“Setiap hari, saya membawa uang Rp 20 ribu, Rp. 14 ribu untuk membayar ojek perahu dan ojek Bentor. Sisanya Rp. 4 ribu, saya gunakan membeli makanan pada jam istirahat pelajaran,” Kata Ningsa Mado kepada Mongabay.

Di Gorontalo program pendidikan gratis sudah berlaku sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Namun untuk anak-anak Bajo, biaya Pendidikan tetap ada, setidaknya untuk menutup ongkos pergi-pulang sekolah. Meski biaya sekolah gratis, tapi mereka harus mengeluarkan uang setidaknya Rp. 520 ribu setiap bulan agar bisa menempuh pendidikan. Angka itu hasil penjumlahan Rp. 20 ribu yang harus mereka bawa setiap hari selama 26 hari dalam sebulan.

“Orang tua kita sangat kewalahan. Mau tidak mau semua harus dipenuhi dengan cara apapun. Saya sebagai anak hanya bisa sabar ketika orang tua tidak punya uang,” ujar Ningsa.

Anak-anak Suku Bajo Torosiaje sedang berfoto bersama sebelum pergi ke sekolah. (Foto: Sarjan Lahay)
Anak-anak Suku Bajo Torosiaje sedang berfoto bersama sebelum pergi ke sekolah. (Foto: Sarjan Lahay)

Pemukiman mereka yang berada di laut menunjukkan kondisi sosial ekonomi sangat berbeda dengan masyarakat pada umumnya yang tinggal di daratan. Suku Bajo atau sering disebut pula Bajau, biasa disebut dengan suku pengembara laut. Mereka hidup 100 % mengandalkan hasil laut. Satu-satunya pekerjaan adalah nelayan. Akibatnya ketika tangkapan laut menurun, langsung berdampak pada kondisi ekonomi. Dampak lanjutannya: pada nasib pendidikan anak-anak.

Ningsa bercerita, beberapa kali tidak berangkat sekolah karena biaya. Pendapatan dari tangkapan ikan rata-rata Rp.100 ribu perhari. Uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sekaligus membiayai perjalanan ke sekolah setiap hari.

“Jadi ketika uang tidak cukup, ya saya bersabar saja tidak sekolah. Biasanya ongkos jalan saja yang bisa dipenuhi, uang jajan tidak ada,” kata Ningsa pelan.

Kamelya mengalami hal serupa. Ketika tak ada uang jajan, ia membawa bekal dari rumah. Malah jika tidak ada uang betul-betul, anak-anak Bajo ini pulang sekolah dengan jalan kaki.

“Bapak saya mencari ikan biasanya 2-3 hari di laut. Hasil tangkapan biasanya Rp 200-300 ribu. Belum dipotong ongkos BBM melaut,” kata Kamelya.

Yang dirasakan Ningsa dan Kamelya ini selaras dengan hasil penelitian Jambura Geo Education Journal (2020), Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Studi terhadap 342 keluarga nelayan Torosiaje menunjukkan hamper 60% atau 204 keluarga mempunyai pendapatan kategori rendah dan sedang dengan kemampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Pendapatan perbulan berkisar Rp.1.680.000 – 2.240.000, cukup jauh dari besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) Gorontalo Rp2.989.350.

Dari riset itu diketahui lebih dari sepertiga warga Desa adalah penduduk miskin sekali, sebanyak seperempat lainnya kategori miskin, dan hanya 40% yang dinyatakan tidak miskin. Meskipun di desa sudah ada SD dan SMP, hampir seluruh anak Bajo tingkat pendidikannya rendah, seperempat total jumlah anak tidak sekolah. Kurang dari 1 persen pernah menamatkan jenjang perguruan Tinggi.

Wiwin Kobi, salah satu peneliti mengatakan berdasar teori Human Capital tingkat pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia, selain tingkat kesehatan. Di Torosiaje kedua factor sama-sama rendah, akibatnya kualitas sumber daya manusianya mengikuti.

Kebiasaan buruk seperti buang sampah ke laut, masih terjadi sampai kini. Kemiskinan sulit dihalau karena perkerjaan utama dan satu-satunya warga adalah nelayan. Hanya seperempat rumah warga setempat yang berstatus milik sendiri, sisanya menumpang, itupun semua kondisi fisik rumah tidak permnen.

“Salah satu penyebab warga Bajo di Desa Torosiaje masih berada dibawa garis kemiskinan adalah karena mereka tidak miliki pekerjaan sampingan yang bisa menjadi tambahan penghasilan,” kata Wiwin kepada Mongabay, pada pertengahan Mei lalu.

Studi lain memberi gambaran sedikit lebih terang tentang sebab-musabab kemiskinan komunitas Bajo. Sebuah publikasj Jurusan Ilmu Lingkungan, Universitas Halu Oleo (UHO) yang ditulis oleh Satria Dewiyanti, Amar Ma’ruf, dan Lies Indriyani (2019) menyelidiki bagaimana nelayan Bajo menghadapi perubahan iklim.

Studi ini dilaksanakan dengan melihat Komunitas Bajo di Soropia, Konawe Sultra. Warga Bajo di Indonesia memamg tersebar di beberapa wilayah termasuk di Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.

Didalamnya dijelaskan, wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu wilayah yang paling rentan terkena berbagai dampak perubahan iklim. Dampak tersebut diantaranya berupa kenaikan muka air laut, perubahan keasaman air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas terjadinya iklim ekstrim. Fenomena itu akan mengubah kondisi ekosistem perairan, hingga mempengaruhi keanekaragaman hayati setempat. Perubahan ini pada akhirnya punya peran menggerus sumber pendapatan nelayan Bajo.

Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, suhu rata-rata permukaan luat telah mencapai 21,2 derajat sejak awal April 2023, mengalahkan suhu tertinggi sebelumnya sebesar 21 derajat pada 2016 lalu. Menurut Erwin Suryana, pegiat Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), kenaikan suhu permukaan laut akan membuat pemutihan karang (coral bleaching), karena tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae mengalami kematian.

Dampak dari pemutihan koral dirasakan pula oleh mangrove dan padang lamun yang menjadi habitat biota laut lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan biota menjadi terganggu atau bahkan mati akibat kenaikan suhu air laut.

Dampak perubahan iklim di wilayah pesisir lainnya adalah peningkatan tinggi kelombang sampai titik ekstrem, ditambah permukaan laut yang meningkat karena mencairnya es di kutub. Kondisi itu, kata Erwin Suryana dari KIARA, membuat garis pantai ikut berubah hingga terjadi perendaman terhadap pulau-pulau kecil.

Anak-anak Suku Bajo Torosiaje saat ingin ke sekolah menggunakan ojek perahu. (Foto: Sarjan Lahay)
Anak-anak Suku Bajo Torosiaje saat ingin ke sekolah menggunakan ojek perahu. (Foto: Sarjan Lahay)

Akibat intrusi air laut yang semakin besar, pasokan air tawar, terutama di pulau-pulau kecil berkurang. Jika terus berlanjut, situasi ini akan memicu abrasi pantai yang makin meningkat, sehingga pemukiman, tambak, daerah pertanian, serta kawasan pantai lainnya akan rusak.

Terganggunya ekosistem wilayah pesisir itu berpengaruh pada produktivitas perikanan yang menurunkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Untuk komunitas seperti Bajo yang hidup sepenuhnya di laut dan perahu, dampaknya bisa lebih parah.

Misalnya naiknya risiko keselamatan nelayan saat melaut, juga risiko produksi ikan berkurang, sementara biaya melaut bertambah, penggunaan alat tangkap menjadi tidak efektif lagi, serta sulitnya menentukan wilayah tangkap.

Ujungnya, penghasilan keluarga menurun sampai anak-anak nelayan sulit mengakses pendidikan, mendapat asupan pangan bergizi, hingga berkurangnya kemampuan mengakses layanan kesehatan.

“Rumah tangga nelayan menghadapi berbagai tambahan tekanan yang salah satunya berujung pada peningkatan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam beberapa kasus seperti itu, anak-anak biasanya terpaksa berhenti sekolah,” kata Erwin Suryana saat memberi materi dalam Workshop Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Anak-anak pada April lalu.

Karmila Tahir sudah mengalami sendiri prediksi ini. Akibat hasil tangkapan ikan menurun, Karmila tidak melanjutkan pendidikan usai lulus SMA dan terpaksa memilih untuk menikah. Menikah dianggap mengurangi beban orang tua. Opsi menikah umum diambil oleh remaja Bajo dengan kondisi ekonomi serupa.

“Rata-rata anak-anak di desa ini langsung menikah setelah lulus SMA. Hanya orang tua yang mampu yang anak tetap lanjut kuliah di perguruan tinggi,” kata Karmila Tahir.

Anak-anak Bajo juga rawan sakit. Penelitian Wiwin Kobi dan kawan-kawan menunjukkan, kualitas kesehatan Komunitas Bajo di Torosiaje rendah.

Anak remaja seperti Kamelya Ika, bisa seminggu absen karena jatuh sakit. Dalam 2 bulan sekali, Kamelya mengaku daya tahan tubuhnya menurun terutama dalam satu tahun terakhir. Hasil pemeriksaan Puskesmas terdekat menurut Kamelya menunjukkan tubuhnya rentan karena pola makan tak teratur dan perubahan cuaca tak menentu.

“Ketika musim hujan atau cuaca ekstrem, saya tidak sekolah, takut jatuh sakit lagi. Kondisi hujan juga sulit ke daratan untuk sekolah,” tambahnya.

Risiko Iklim pada Anak

Apa yang dialami Anak-anak Suku Bajo ini merupakan salah satu potret bentuk risiko krisis iklim yang rentan terjadi pada anak. Laporan lembaga PBB untuk anak, UNICEF, tentang Pengenalan Risiko Iklim Anak (2021) menyebut anak-anak secara fisik lebih rentan dan kurang mampu menahan sekaligus menghadapi guncangan seperti banjir, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang panas, siklon tropis, penyakit tular vektor, degradasi lingkungan, polusi udara, serta polusi tanah dan air.

Ada 920 juta anak di dunia terpapar tinggi terhadap kelangkaan air, 600 juta anak berisiko terpapar penyakit yang rawan meningkat akibat perubahan cuaca seperti malaria dan demam berdarah, serta 400 juta anak terpapar tinggi terhadap siklon. Ancaman paparan akibat krisis iklim terbanyak dihadapi 2 miliar anak akibat polusi udara, dan 815 juta anak akibat pencemaran timbal pada udara, air, tanah, dan makanan yang terkontaminasi. Belum termasuk paparan akibat banjir, gelombang panas dan gejala alam lain.

Di Indonesia, catatan UNICEF menunjukkan hampir semua anak berada dalam posisi rentan terhadap paparan krisis iklim.

“Indonesia adalah rumah bagi 80 juta anak dan menempati peringkat ke-46 dari 163 negara dalam hal risiko iklim terhadap anak,” kata Spesialis Aksi Lingkungan dan Iklim UNICEF Aryanie Amellina dalam Workshop Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Anak-anak, April lalu.

Laporan terbaru UNICEF pada Mei 2023 menyebut wilayah Asia Timur dan Pasifik merupakan salah satu yang paling terdampak guncangan dan tekanan iklim. 41% anak-anak di wilayah ini menghadapi 5 guncangan atau lebih, dibandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya 14%.

Anak-anak Bajo adalah bagian dari 240 juta anak anak di dunia yang terpapar dampak banjir pesisir. Data BNPB menyebut, selama 2022, Indonesia telah mengalami 3.544 bencana, yang mengakibatkan lebih dari 5,8 juta orang mengungsi. Menurut analisis Bank Indonesia kerugian ekonomi akibat cuaca ekstrem mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun. Sementara tren berbagai bencana akibat cuaca ekstrem ini menurut BMKG meningkat dalam 40 tahun terakhir.

Di Desa Torosiaje, isu krisis iklim masih sangat minim dipahami warga. Uten Sairullah, Kepala Desa Torosiaje mengakui hasil tangkapan nelayan yang berkurang sangat berdampak pada kesejahteraan warga dan anak-anaknya. Soal kesulitan akses sekolah, ada rencana memberi bantuan agar pendidikan anak tidak terlantar.

Uten mengatakan Pemerintah Provinsi Gorontalo pernah berjanji menyediakan perahu khusus antar-jemput, agar anak bisa sekolah. Hingga kini, janji itu tidak ditepati.

“Kami sempat dijanjikan perahu oleh Rusli Habibie. Waktu itu beliau menjabat Gubernur Gorontalo. Tapi sekarang belum ada realisasinya,” kata Uten Sairullah awal Mei lalu

Saat ditanyakan pada Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, Rudi WE Daenunu, ia mengaku tidak tahu-menahu. Dari penelusuran dan tanya-jawab, Dinas Pendidikan setempat juga belum memiliki program berkait dengan adaptasi perubahan iklim terhadap anak.

“Sekarang, pemerintah sudah menggratiskan anak-anak untuk bersekolah. Jadi tinggal tanggung jawab orang tua untuk menyekolahkan anaknya,” tukas Rudi Daenunu.

*Liputan diproduksi atas dukungan dari AJI Indonesia dan UNICEF Indonesia


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.