Nasib Kota Gorontalo Kala Lahan Terus Terdegradasi

Kota Gorontalo yang diambil dari udara. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
Kota Gorontalo yang diambil dari udara. (Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia)
  • Banjir bandang kala hujan turun dan banjir karena pasang surut air laut (rob) terjadi di Kota Gorontalo. Iqrima, dosen lingkungan di Politeknik Gorontalo mengatakan, banjir rob setiap tahun di Gorontalo, tidak terlepas dari dampak perubahan iklim. Apalagi, banjar rob makin hari makin parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
  • Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kota Gorontalo, pada 2014, ada 31 kali, 2018 sebanyak 17 kali, 2019 dan 2020 ada sembilan kali kali banjir di Kota Gorontalo. Kecamatan Dumbo Raya dan Hulonthalangi, kerap jadi langganan banjir kala hujan turun dengan lebat.
  • Berdasarkan data BPS Gorontalo, degradasi lahan di Kota Gorontalo dari tahun ke tahun makin meningkat. Misal, luasan sawah irigasi [tanam padi] pada 2019 sebesar 828 hektar, 2020 berkurang jadi 795 hektar. Untuk lahan non irigasi [tanam padi] sudah tak ada lagi.
  •  Tata Mustasya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan, Kota Gorontalo terancam tenggelam kalau tidak ada mitigasi dan adaptasi. Pemerintah Kota Gorontalo, harus lebih aktif dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim dengan bersama-sama pemerintah pusat serius menekan dampak ini.

Masih begitu lekat dalam ingatan Meti Ismail peristiwa yang dialami awal Juni 2020. Perempuan 54 tahun ini bersama keluarga terpaksa mengungsi karena rumah mereka di Kelurahan Bugis, Kecamatan Dumbo Raya, Kota Gorontalo, Gorontalo, terkena banjir dampak luapan Sungai Bone. Ini salah satu sungai terbesar di Gorontalo.

Hujan di hulu Sungai Bone, di Kabupaten Bone Bolango jadi penyebab utama peristiwa itu. Sebagian Kota Gorontalo terendam, dan rumah milik Meti hanya menyisahkan atap. “Saat air mulai naik, kita langsung mengemas barang-barang mengungsi,” katanya kepada Mongabay, Kamis [7/10/21].

Banjir saat itu terbesar selama 10 tahun terakhir. Hingga kini, tiap hujan turun, dia tak bisa tidur. Perempuan oima anak ini khawatir banjir berulang.

Saat air sungai masuk rumah mencapai betis orang dewasa, jadi pertanda dia dan keluarga harus cepat mengungsi. Rumahnya hanya berjarak satu meter dari bantaran sungai.

“Tanggul sungai jadi dinding dapur rumah saya, jadi ketika ada banjir, dapur rumah saya yang pertama dimasuki air,” kata Meti.

Risnawati Abas, juga rasakan hal serupa. Tempat tinggalnya sangat dekat dengan bantaran sungai. Dinding dapur rumah merupakan tanggul sungai.

Dengan keterbatasan ekonomi membuat dia tidak bisa pindah. Sehari-hari perempuan 50 tahun ini berjualan nasi kuning.

Gedung Bele Li Mbu’I Gorontalo, berjarak satu km dari tempat tinggalnya, seakan jadi rumah kedua saat banjir menerjang.

“Saya mau tinggal dimana lagi jika saya pindah? Rumah ini salah satu harta saya yang ditinggalkan orangtua. Kurang lebih 50 tahun saya tinggal di rumah ini, meski banjir terus menghantui,” kata Risnawati.

Dia bilang, banjir dan kenaikan air laut (rob), sudah lebih parah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Sebenarnya, banjir dan banjir pasang surut air laut (banjir rob) bukan hal baru untuk Meti Ismail dan Risnawati Abas. Kota Gorontalo, sejak lama menghadapi berbagai ancaman bencana banjir dan rob, karena memiliki dua muara sungai besar, yaitu, Sungai Bone dan Sungai Bolango.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kota Gorontalo, pada 2014, ada 31 kali, 2018 sebanyak 17 kali, 2019 dan 2020 ada sembilan kali kali banjir di Kota Gorontalo. Kecamatan Dumbo Raya dan Hulonthalangi, kerap jadi langganan banjir kala hujan turun dengan lebat.

Iqrima, dosen lingkungan di Politeknik Gorontalo mengatakan, banjir rob setiap tahun di Gorontalo, tidak terlepas dari dampak perubahan iklim. Apalagi, katanya, banjar rob makin hari makin parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Warga di bantaran sungai di Gorontalo, terancam banjir bandang. (Foto: sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Warga di bantaran sungai di Gorontalo, terancam banjir bandang. (Foto: sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Pemukiman, kata Iqrima, seharusnya berjarak 10 meter di atas permukaan laut [mdpl] untuk menghindari banjir rob.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik [BPS] Kota Gorontalo, ada empat kecamatan rawan karena banyak rumah berada lebih pendek dari jarak itu.

Empat kecamatan itu yakni, Kota Selatan (5 mdpl), Kota Timur (6 mdpl), Hulonthalangi (9 mdpl), dan Dumbo Raya (5 mdpl). Iqrima bilang, wilayah-wilayah itu sangat rentan banjir rob.

“Apalagi, Kota Gorontalo, ada dua muara sungai besar, Bone dan Bolango. Kita tidak bisa kaget lagi, saat curah hujan tinggi, Kota Gorontalo sering banjir.”

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Wilayah Sungai [BWS] Sulawesi II Gorontalo sedang membangun tanggul sebagai pengendali banjir di pesisir Sungai Bone. Marten Taha, Wali Kota Gorontalo, meyakini tanggul itu bisa mengatasi banjir.

“Tanggul itu sementara dibangun. Kita pecaya tanggul itu solusi banjir di Gorontalo. Meski masih bermasalah dalam pembebasan lahan, pembangunan jangan sampai terhenti,” katanya akhir September lalu.

Meski ada tanggul, kata Iqrima, ancaman bencana di Kota Gorontalo, akan terus meningkat seiring perubahan iklim. Dia bilang, lahan resapan air sudah terdegradasi dari tahun ke tahun, jadi salah satu penyebab utama Kota Gorontalo rentan perubahan.

 

Kota urban dan degradasi lahan

Kota Gorontalo, merupakan titik awal perkembangan Provinsi Gorontalo yang berciri arus urbanisasi dan alami degradasi lahan di ruang perkotaan. Dengan luas wilayah 79,03 km2 dan penduduk 198.539 [2020], Kota Gorontalo, alami peningkatan pembangunan infrastruktur hingga mengubah wajah kota.

Kondisi ini, mendorong masyarakat migrasi dari desa ke kota. Urbanisasi memberikan andil dalam laju pertumbuhan penduduk di kota ini. Laju pertumbuhan penduduk 1990- 2000 mencapai 1,20%, dan 2000-2010 mencapai 2,93%,. Kemudian, 2010 -2020 tumbuh sebesar 0,95%.

Berdasarkan data BPS Gorontalo, degradasi lahan di Kota Gorontalo dari tahun ke tahun makin meningkat. Misal, luasan sawah irigasi [tanam padi] pada 2019 sebesar 828 hektar, 2020 berkurang jadi 795 hektar. Untuk lahan non irigasi [tanam padi] sudah tak ada lagi.

Luas baku lahan tegal/kebun, pada 2019 sebesar 180 hektar, pada 2020 tinggal 145 hektar. Sedang luasan baku lahan ladang pada 2019 sebesar 14 hektar, pada 2020 sudah tak ada lagi. Sementara luasan pertanian bukan sawah kurang empat hektar pada 2020.

Degradasi lahan tinggi di Kota Gorontalo disinyalir mendorong perubahan iklim hingga memicu bencana. Degradasi lahan juga berdampak pada perubahan parameter iklim di Kota Gorontalo seperti kenaikan suhu atau temperatur, intensitas curah hujan, dan kelembaban nisbi.

Hal ini terbukti dari jurnal penelitian milik Faisal Dunggio dan Irwan Wunarlan berjudul “Pengaruh Alih Fungsi Lahan Terhadap Perubahan Iklim di Kota Gorontalo.”

Riset ini satu riset bidang teknik industri dan termuat di Jurnal Teknik terbitan Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo pada 2013.

Dari penelitian itu menyebutkan, degradasi lahan karena alih fungsi berpengaruh pada perubahan iklim. Terdapat korelasi sangat kuat antara perubahan alih fungsi lahan perumahan, kantor pemerintah, pertokoan dengan kenaikan suhu di Kota Gorontalo.

Bukan hanya itu, kantor pemerintah, lahan perumahan, lahan pendidikan dan pertokoan swalayan, berpengaruh juga secara parsial terhadap kelembaban di wilayah perkotaan.

Yurita Walangadi, Kepala Bidang Pertanian, Dinas Kelautan Perikanan dan Pertanian Kota Gorontalo, mengatakan, akan mempertahankan 430 hektar dari 795 hektar sawah sebagai lahan serapan air. Sekitar 430 hektar akan jadi lahan pertanian pangan berkelanjutan [LP2B].

“Ini perlu diperhatikan. Tidak hanya mempengaruhi jumlah produksi. Kita tidak hanya mempertahankan lahan sawah sebagai resapan, karena seluruh lahan di kota setiap hari berkurang” katanya 9 Oktober lalu.

Upaya ini mengacu pada Undang-undang No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Semua daerah, katanya, harus menyediakan lahan yang tidak beralih fungsi selama 20 tahun. “Adapun rencana Desain Tata Ruang Wilayah LP2B sudah ditandatangani bersama Dinas PUPR seluas 430 hektar terdapat di Kecamatan Kota Timur, Sipatanah dan Kota Utara,” katanya.

Iqrima, peneliti dan alumni IPB ini mengatakan, laju dan tekanan urbanisasi, pembangunan perkantoran, perdagangan, pendidikan, dan prasarana rekreasi dapat mengakibatkan degradasi lahan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau [RTH] jadi lahan terbangun.

Menurut dia, degradasi lahan dapat berpengaruh juga terhadap kenaikan permukaan air laut (rob) dan banjir di Kota Gorontalo. Resapan air yang berkurang karena lahan makin hari terdegradasi, membuat struktur tanah menurun. Akibatnya, permukaan laut lebih tinggi dibanding dataran. Dia bilang, hal itu yang terjadi di Jakarta.

“Apabila praktik penataan ruang tidak mampu mengendalikan tekanan urbanisasi yang sangat cepat dengan segenap dampak negatifnya, kota akan tumbuh tak terkendali hingga pembangunan berkelanjutan jadi gagal.”

Apalagi, katanya, Gorontalo masuk dalam kota-kota pesisir Indonesia yang bakal tergerus di bawah permukaan laut alias tenggelam pada 2050 berdasarkan perkiraan lembaga riset nonprofit, Climate Central. Faktor penyebabnya, adalah peningkatan permukaan laut.

Mitigasi dan adaptasi?

Tata Mustasya, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, pemicu perubahan iklim di perkotaan buntut dari wilayah resapan air dan lahan berkurang. Menurut dia, kota merupakan wilayah kunci mengatasi perubahan iklim.

Namun, katanya, wilayah perkotaaan kerap hanya memikirkan pembangunan infrastruktur dan peningkatan perekonomian, tetapi menyampingkan aspek lingkungan dan sosial.

Sawah, katanya, jadi rumah dan sumber air jadi pemukiman atau gedung, sangat berdampak kepada kualitas lingkungan di Kota Gorontalo.

Menurut dia, Kota Gorontalo terancam tenggelam kalau tidak ada mitigasi dan adaptasi. Pemerintah Kota Gorontalo, katanya, harus lebih aktif dalam upaya mitigasi dampak perubahan iklim dengan bersama-sama pemerintah pusat serius menekan dampak ini.

Diskusi dan wacana menghadapi dampak perubahan iklim, latanya, hanya dilakukan di pemerintah pusat. Padahal, riset-riset terakhir menunjukkan kerentanan dampak perubahan iklim paling banyak terjadi di daerah, misal, Kota Gorontalo.

“Warga di daerah akan mendapatkan dampak langsung terkait perubahan iklim,” kata Tata.

Romi Rauf, Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam [SDA] Dinas Lingkungan Hidup Kota Gorontalo mengaku tak terlalu fokus dalam pencegahan dampak dari perubahan iklim. Anggaran untuk itupun juga tidak teralokasi.

“Kita hanya memiliki program penanaman pohon di pinggir jalan untuk penghijauan di Kota Gorontalo. Kita juga penataan pohon-pohon yang ada,” kata Romi, 23 September lalu.

DLH juga bertugas mengelola 27 RTH di beberapa wilayah di Kota Gorontalo, sebagai bentuk mitigasi dampak perubahan iklim. Dia benarkan, lahan di Kota Gorontalo mengalami degradasi.

Bagaimana nasib Kota Gorontalo, ke depan? Semua bergantung pada aksi-aksi mitigasi dan adaptasi yang dilakukan.

 


*Tulisan ini merupakan fellowship dari The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Ekuatorial.

Sebelumnya, tulisan ini pertama terbit di Mongabay Indonesia dengan penulis yang sama.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.