Rukmini Toheke, Perempuan Penjaga Hutan Toro

Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay
Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay/
  • Rukmini Paata Toheke, adalah tokoh Perempuan Adat Toro. Dia tina ngata atau ibu kampung di komunitas yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Tina ngata, Dewan Pimpinan Kampung di Komunitas Adat Toro yang berperan penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Kehadiran perempuan di komunitas ini memiliki legitimasi sosiologi dan kultural kuat untuk pelestarian lingkungan.
  • Komunitas Adat Toro kaya pemikiran, gagasan, dan praktik-praktik budaya pengelolaan sumber daya alam, termasuk peran perempuan. Sayangnya, budaya Toro kerap mengalami pasang surut.  Ada masa peran perempuan Toro dalam pengelolaan sumber daya alam tergantikan para petugas penyuluhan lapangan yang tidak langsung menggantikan tina ngata. Tak ada lagi ruang gerak yang cukup bagi perempuan Toro dalam kehidupan kemasyarakatan, padahal itu tidak dibenarkan secara adat.
  • Sejak 1994, Rukmini mulai berjuang mengklaim ruang bagi perempuan adat, dengan menggali kembali peran penting perempuan adat yang telah direduksi negara. Juga menggali lagi makna dan konteks pobolia ada (perempuan sebagai penyimpan adat), pangalai baha (perempuan sebagai bagian dari pemutusan perkara), dan potavari bisa (perempuan sebagai pendamai).
  • Saat paradigma pembangunan mulai bergerak ke demokratisasi dan otonomi daerah masa reformasi, pemikiran mendefinisikan dan menghidupkan kembali tradisi Komunitas Toro ikut bergema. Termasuk, upaya menghidupkan tradisi kesetaraan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam. 

Rukmini Paata Toheke menyambut saya dengan hangat saat mendatangi kediamannya di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah pada akhir Juli 2023 lalu. Tokoh perempuan adat toro ini merupakan tina ngata atau Ibu kampung, salah satu Dewan Pimpinan Kampung di Komunitas Adat Toro yang sangat berperan penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Kehadiran perempuan di komunitas ini memiliki legitimasi sosiologi dan kultural yang kuat untuk pelestarian lingkungan.

Saya bertemu Rukmini untuk mencari tahu lebih dalam peran perempuan adat toro terhadap pengelolaan sumber daya alam beserta tantangannya. Pasalnya, perbincangan tentang gender atau kesetaraan perempuan dalam struktur sosial kemasyarakatan sudah dipraktekkan oleh Komunitas Adat Toro sejak abad ke-18. Pada masa itu, persatuan antara rakyat, perempuan adat (tina ngata) dan Lembaga Adat (totua ngata) menjadi senjata yang sangat ampuh untuk melawan penjajahan belanda.

Rukmini menjelaskan, Komunitas Adat Toro sangat kaya akan pemikiran, gagasan, dan praktek-praktek budaya yang asli tentang pengelolaan sumber daya alam, termasuk peran perempuan di dalamnya. Katanya, sejak lama perempuan-perempuan Komunitas Adat Toro berperan penting dalam kehidupan kemasyarakatan, jauh sebelum wacana kesetaraan perempuan bergulir seperti sekarang ini.

Sayangnya, kata Rukmini, budaya Komunitas Adat Toro kerap mengalami pasang surut. Ada masa dimana pranata-pranata adat begitu hidup dan sangat dihargai. Tetapi ada juga masa dimana keyakinan budaya Komunitas Adat Toro tergerus dan terpinggirkan dari pusaran perubahan sosial-politik di sekelilingnya. Terlebih, saat masa kolonial belanda dan orde baru yang telah menghegemoni dan mengintervensi budaya paling asasi di komunitas adatnya.

Fenomena itu telah ditulis oleh Rukmini di bukunya yang berjudul “Perempuan dan konservasi Perempuan dan konservasi: revitalisasi kultural peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam di komunitas”. Katanya, buku itu cukup menggambarkan jelas bagaimana dampak dari terintegrasinya budaya lokal ke dalam struktur politik negara akibat kebijakan-kebijakan pembangunan yang korporatisme pada masa kolonial belanda hingga orde baru.

“Saat itu, banyak praktek budaya yang hancur, banyak institusi lokal yang luntur, dan banyak pemikiran tentang pengelolaan sumber daya alam yang memudar,” kata Rukmini Paata Toheke kepada Mongabay.

Padahal, katanya, jauh sebelum adanya negara, Komunitas Adat Toro telah membangun dan memiliki kedaulatan serta otonomi yang luar biasa besarnya. Bahkan, hubungan antara Komunitas Adat Toro dan desa-desa lain membentuk federasi seperti “repvblik desa” yang bersifat informal untuk memenuhi kebutuhan politik dan pertahanan, serta sebagai wadah perekat antara sesama.

Rukmini Paata Toheke, adalah tokoh Perempuan Adat Toro. Dia tina ngata atau ibu kampung di komunitas yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Rukmini Paata Toheke, adalah tokoh Perempuan Adat Toro. Dia tina ngata atau ibu kampung di komunitas yang berada di Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Pada tahun 1905, Komunitas Adat Toro terhegemoni dengan model pemerintah belanda yang lebih hierarki dengan membuat desa-desa menjadi kampung, sebuah unit pemerintah paling rendah dalam pemerintahan kolonial belanda. Kondisi itu membuat kedaulatan lembaga adat ikut melemah dan terus berlanjut hingga pemerintahan orde baru. Artinya, kata Rukmini, pemerintahan orde baru tak jauh berbeda dengan pemerintahan kolonial belanda saat itu.

“Orde baru membuat seperangkat peraturan dan kebijakan dengan klaim menghormati adat. Tetapi, kenyataan dilapangan justru memandulkan fungsi adat dan menjadikan hanya sebagai hiasan untuk memperlihatkan keberagaman kebudayaan Indonesia,” jelas Rukmini

Di orde baru, banyak nilai-nilai kearifan lokal tentang pengelolaan sumber daya alam semakin tergerus dan tergantikan oleh semangat modernisasi dan kapitalisme negara. Atas nama kepentingan devisa negara, hutan adat dikuasai dan dieksploitasi secara masif.

Diwaktu yang sama, perempuan Komunitas Adat Toro perlahan juga semakin terpinggirkan akibat kehadiran organisasi perempuan yang berkonotasi menjadi aparatur ideologis negara seperti organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PPK) yang diketuai oleh istri dari kepala desa.

Tak hanya itu, peran perempuan Komunitas Adat Toro dalam pengelolaan sumber daya alam digantikan oleh para petugas penyuluhan lapangan yang secara tidak langsung menggantikan posisi tina ngata. Ia bilang, tak ada lagi ruang gerak yang cukup bagi perempuan Komunitas Adat Toro yang terlihat dalam kehidupan kemasyarakatan, padahal hal itu sesungguhnya tidak dibenarkan secara adat.

Sebagai gantinya, tina ngata atau perempuan Komunitas Adat Toro harus berkutat mengelola rumah tangga, anak, serta urusan-urusan domestik lainnya. Alih-alih memperbaiki kualitas hidup, peran perempuan terhimpit dengan otoritas laki-laki yang dominan, dan perempuan lebih banyak memegang posisi pinggiran dan pendengar. Ia bilang, dirinya menyaksikan sendiri perempuan toro sangat tidak dihargai, bahkan kerap disalahkan jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga.

Sejak 1994, Rukmini mulai berjuang mengklaim ruang bagi perempuan adat, dengan menggali kembali peran penting perempuan adat yang telah direduksi oleh negara, yakni tina ngata (Ibu Kampung) yang memainkan fungsi penting dalam peradilan adat di Ngata Toro (Kampung Toro). Ia juga turut menggali lagi makna dan konteks Pobolia Ada (perempuan sebagai penyimpan adat), Pangalai Baha (perempuan sebagai bagian dari pemutusan perkara), dan Potavari Bisa (perempuan sebagai pendamai).

Saat paradigma pembangunan mulai bergerak ke demokratisasi dan otonomi daerah saat reformasi, pemikiran untuk mendefinisikan dan menghidupkan kembali tradisi Komunitas Adat Toro ikut bergema, termasuk upaya menghidupkan tradisi kesetaraan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam. Rukmini bilang, saat itu gerakan perempuan adat toro mulai bangkit lagi untuk menemukan jati diri kebudayaanya kembali.

Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Di akhir tahun ‘1999-an, Rukmini berada di garda depan perjuangan melawan taman nasional yang merebut wilayah adatnya. Ia bersama para perempuan adat lainnya, terlibat negosiasi untuk merebut kembali wilayah adat. Pada tahun 2001, ia akhirnya bisa mengembalikan peran perempuan sebagai tina ngata, gelar yang disematkan kepada perempuan yang dinilai bijaksana untuk berperan sebagai pengayom dalam kehidupan sosial di kampung. Pengembalian peran tina ngata memberikan kemerdekaan bagi perempuan toro

“Pada Agustus 2001 itu adalah momen yang paling berharga untuk perempuan toro. Karena kita bisa merebut kembali peran perempuan toro yang sudah ada sejak dulu, dimana peran tina ngata yang dulu hilang, akhirnya dikembalikan. Saat itulah, perempuan toro merdeka,” jelas Rukmini

Diwaktu yang sama, Ia pun mendirikan Organisasi Perempuan Adat Ngata Toro ((OPANT) sebagai wadah menyuarakan hak-hak perempuan adat dalam berbagai forum. Dengan itu, ia beberapa menjadi pembicara di nasional dan internasional. Misalnya, menjadi pembicara di Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Masyarakat Adat atau UNPFII; di Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC); juga di Konvensi Keanekaragaman Hayati PBB (CBD).

Di kampungnya, ia juga sukses mengorganisir perempuan adat untuk menyelenggarakan sebuah kongres pertama yang membahas isu gender dan perempuan adat. Lewat upaya itu, peran penting perempuan adat dalam berbagai aspek kehidupan di kampungnya, mulai terkuak dan bangkit, termasuk tradisi kain kulit kayu yang menegaskan kedudukan perempuan adat, terutama dalam ritual adat.

Alhasil, Ia pun masuk dalam 100 Most Influential Youth, Women, dan Netizen 2011, dari Masketeers. Ia juga kemudian meraih Indonesia Berprestasi Award 2011 dari PT XL Axiata Tbk (XL) untuk kategori Seni dan Budaya. Pada tahun 2012, Rukmini juga terpilih sebagai Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk periode 2012-2017.

Tak hanya itu, Ia pun berhasil mendorong diterbitkannya Peraturan Gubernur Nomor 42 Tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat Sulteng yang mendorong kemerdekaan perempuan adat. Pada tahun 2014, Ia juga mendapat Indihome Women Awards 2014 untuk kategori Pelestari Alam dan Adat.

Ia juga sudah membuat Sekolah Aman dan Sekolah Adat yang berfungsi sebagai tempat mengajarkan bahasa daerah, pembuatan kerajinan tradisional, hukum adat, tradisi budaya, dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menjaga keseimbangan ekologi kepada generasi muda. Dari karya dan dedikasi Rukmini, tak ada lagi dalih yang mengatakan bahwa perempuan adat di Ngata Toro, tak punya hak atas tanah atau wilayah kelola perempuan.

Rukmini Paata Toheke sedang memegang kurikulum sekolah adatnya. Foto: Sarjan Lahay
Rukmini Paata Toheke sedang memegang kurikulum sekolah adatnya. Foto: Sarjan Lahay

Penjaga Hutan Abadi

Rukmini bilang, dengan dikembalikannya peran perempuan toro, maka hal itu akan berdampak baik terhadap pengelolaan sumber daya alam di Toro. Apalagi, Desa Toro adalah salah satu desa yang berada di sebuah hamparan lembah yang dikelilingi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dengan pegunungan serta dua barisan buki. Katanya, lingkungan dan hutan yang ada di sekitar akan terjaga dengan, karena perempuan toro merupakan penjaga hutan abadi.

“Salah satu peran perempuan toro adalah penjaga hutan abadi. Apalagi, kampung kita ini dikelilingi Taman Nasional atau kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Sehingga, kita dari perempuan toro harus patut menjaganya,” kata Rukmini

Desa Toro, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah memang desa yang amat unik. Memiliki luas sekitar 22.950 hektar dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, desa ini nyaris merupakan kawasan yang relatif terpisah dari desa-desa atau komunitas sekitarnya. Jika dari Kota Palu, harus membutuhkan sekitar 3 jam untuk sampai desa ini.

Masyarakat di desa ini umumnya adalah petani tradisional. Secara turun-temurun, mereka menggunakan hutan sebagai sumber penghidupan. Kebutuhan akan pangan mereka dicukupi dengan cara memanfaatkan hutan untuk berkebun (pobonea), menanam padi (pae), jagung (galigoa), rica (mariha) dan sayur-sayuran (uta-uta). Mereka juga dilarang untuk menggunakan pestisida dalam bertani.

Di bawah tegakan pohon beberapa lahan juga dimanfaatkan untuk menanam kopi dan tanaman tahunan. Kayu (kau), rotan (lauro), damar (toga), pandan hutan (naho), bambu (walo), obat-obatan (pakuli-pakuli), wewangian (wongi-wongi), dan enau (tule) adalah beberapa jenis hasil hutan yang sering dimanfaatkan penduduk. Setidaknya ada 8 aliran sungai yang mengalir di sekitar desa ini, diantaranya; sungai Sopa, Biro, Pangemoa, Alumiu, Pono, Bola, Mewe dan Kadundu.

Masyarakat Toro yang merupakan salah satu suku asli Kulawi atau biasa disebut Komunitas Adat Toro ini adalah satu komunitas yang memiliki pranata, dan kelembagaan adat yang sangat kuat. Secara filosofi di Kulawi secara umum dikenal dengan penyebutan hintuwu (yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta).

Komunitas Adat Toro memiliki sejarah yang panjang dengan lingkungannya, hingga memiliki sistem tersendiri dalam pemanfaatan sumber daya alam yang hidup dalam komunitas ini, terlebih menginternalisasikan peran perempuan sebagai pemegang otoritas kultural. Dimana, perempuan berwenang merancang pekerjaan dalam pertanian, mendinginkan konflik dalam kampung, serta mengatur kerja-kerja pengelolaan sawah dan ladang, seperti menentukan kapan waktu yang tepat untuk panen.

Dalam praktek kehidupan bermasyarakat, tina ngata memegang peran dominan. Misalnya, setiap ada musyawarah kampung, harus dihadiri oleh seorang tina ngata. Tanpa kehadiran tina ngata, sebuah keputusan seperti tidak memiliki keabsahan kultural dan harus dibatalkan. Pada saat itulah perempuan berperan kuat sebagai pengambil keputusan.

Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay
Rukmini Paata Toheke. Foto: Sarjan Lahay/

“Artinya, segala keputusan yang diambil oleh lembaga adat (totua ngata) harus ada pertimbangan perempuan (tina ngata). Jika tidak ada pertimbangan perempuan, keputusan tidak bisa dibuat. Peran perempuan menjadi penting dalam adat, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan menjaga hutan,” jelas Rukmini

Bagi Komunitas Adat Toro, hutan merupakan urat nadi dan menjadi sumber kehidupan turun temurun sejak dari nenek moyangnya. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural yang kuat terhadap hutan, dengan kata lain hutan adalah bagian integral dari kehidupan masyarakatnya. Kegiatan mereka di dalam hutan pun sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu sebelum adanya negara

Berdasarkan kearifan lokal, Komunitas Adat Toro membagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona) menurut pengetahuan dan pemanfaatannya yang ditetapkan oleh leluhurnya. Misalnya, wana ngkiki, yaitu zona hutan di puncak gunung yang didominasi oleh rerumputan, lumut dan perdu. Zona ini tidak ada aktivitas manusia karena dianggap menjadi sumber udara segar (winara) orang toro.

Tak hanya itu, ada juga wana, yaitu hutan primer yang menjadi habitat hewan, tumbuhan langka, dan zona tangkapan air atau sumber mata air. Di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Wana hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan.

Selanjutnya, pangale, yaitu zona hutan semi-primer bekas yang pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan tahun sehingga telah menghutan kembali. Zona ini biasanya dalam jangka panjang dipersiapkan untuk dikembangkan menjadi lahan kebun dan persawahan. Zona pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan, kayu untuk keperluan rumah tangga, serta pandan, bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian.

Berikutnya, ada juga zona pahawa pongko yang merupakan campuran hutan semi-primer dan sekunder dengan pepohonan besar, yang telah ditinggalkan selama 25 tahun keatas sehingga kondisi sudah menyerupai pangale. Pepohonan di zona hanya boleh diambil dengan keperluan terbatas, serta harus menyisakan dahan sebagai tunas pengganti dari dahan yang telah ditebang.

Ada juga zona oma, yaitu hutan belukar terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem perladangan bergulir. Lahan-lahan yang terdapat dalam zona ini merupakan areal yang memang sengaja disiapkan untuk diolah menurut urutan pergilirannya.

Terakhir, zona balingkea, yaitu bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan sudah harus diistirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini biasanya masih bisa diolah untuk budidaya palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, rica (cabe), dan sayuran. Di zona inilah biasanya komunitas Toro bertani sawah (polidan).

Rumah Adat Masyarakat Adat Toro (Foto: Sarjan Lahay)
Rumah Adat Masyarakat Adat Toro (Foto: Sarjan Lahay)

Rukmini bilang, menjadi gerbang terdepan menjaga hutan di zona-zona yang dibuat secara kearifan lokal tersebut. Pasalnya, ketika ada penebangan pohon secara ilegal di zona-zona itu, perempuan toro yang paling awal melakukan protes ke lembaga adat. Hal itu dilakukan perempuan toro sejak peran tina ngata dikembalikan di kampung toro (Ngata Toro) pada tahun 2001. Ia bilang, akses kontrol atas pengelolaan sumber daya perempuan toro itu lebih tinggi.

Rukmini mengaku, beberapa melakukan protes ke lembaga adat atas orang-orang yang melakukan pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijak. Bahkan, beberapa dirinya memberikan sanksi kepada pelaku perusak hutan melalui musyawarah kampung. Sebagai tina ngata, dirinya sangat berperan penting dalam pengambilan keputusan dalam memberikan efek jerah kepada perusak hutan. Katanya, jika tidak dihargai suara perempuan, sama hal membiarkan hutan itu rusak.

“Menjaga hutan itu adalah menjaga kehidupan kami sendiri, dan itu yang dipegang terus oleh orang toro, termasuk perempuan. Dengan filosofi itu, kami selalu protes setiap ada hal-hal yang mencoba merusak hutan. Olehnya, perempuan toro dikenal sebagai penjaga hutan abadi,” kata Rukmini

Ia bilang, hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan perempuan, serta memiliki kontribusi yang nyata. Pasalnya, menurut Bank Dunia, perempuan di dalam atau sekitar hutan memperoleh separuh pendapatan mereka dari hutan, sementara kaum laki-laki hanya memperoleh sepertiganya. Terlebih, ada peran penting perempuan lain yang sulit digantikan, misalnya dalam pengelolaan tanaman obat.

Artinya, perempuan memperoleh manfaat maksimal dari perlindungan ekosistem hutan tropis dalam menjamin keberlanjutan lembaga dan aktivitas ekonomi lokal yang bergantung pada pemanfaatan dan pengelolaan bahan-bahan alami setempat. Ia bilang, perempuan yang menjadi akses keadilan, kontrol, dan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di dalam hutan.

“Sejak tahun 2001 saat peran perempuan di kembali, hingga kondisi sekarang, hutan di Ngata Toro ini terjaga dengan baik dan tidak ada lagi perusahaan yang dilakukan oleh orang-orang sekitar,” katanya

Untuk mendukung perlindungan hutan yang berkelanjutan, perempuan toro bersama dengan lembaga adat juga ikut mengajukan hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dari 23 ribu hektar wilayah adat ngata toro, ada sekitar 9 ribu hektar yang diusulkan menjadi hutan adat. Namun, hanya 1.747 hektar hutan adat yang disetujui.

“Luasan yang disetujui itu kami sedang pelajari dulu, dan kami akan mencoba lagi mengusulkan untuk penambahan luasan. Karena menurut kami, luasan itu cukup kecil,” katanya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.