Kearifan Masyarakat Adat Moa Merawat Hutan

Pemukiman Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkeliling hutan. Fotoi: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pemukiman Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkeliling hutan. Fotoi: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Komunitas Adat Topo Uma, atau Masyarakat Adat Moa hidup bergantung hutan di Kulawi Selatan, Sigi, Sulawesi Tengah.  Bagi Masyarakat Adat Moa, hutan merupakan urat nadi dan sumber kehidupan turun temurun. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural kuat terhadap hutan.
  • Masyarakat Adat Moa, mengelola hutan dengan kearifan lokal. Mereka bagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona).  AdaPongataa, Polidaa, Pampa, Pocoklat, Oma Bou, Oma Nete, dan Oma Ntua, Pahawa Pangko dan banyak lagi.
  • Jauh sebelum ada Desa Moa, Komunitas Topo Uma sudah lama menjalankan sistem pemerintahan adat. Keberadaan lembaga adat berawal dari kebutuhan tata kehidupan bersama masyarakat di Komunitas Topo Uma. Lembaga adat yang mengatur rangkaian tata cara dalam hubungan antar manusia dalam menjalani kehidupan.
  • Sekitar 97% warga adat Moa sebagai petani dengan menanam kakao, jagung, dan kopi Ada juga padi ladang, kemiri dan tanaman palawija.  Sistem penanaman dan perawatan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia.

Daud Rori menunjuk ke arah salah satu hutan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang besar dan lebat yang berada di wilayah puncak pegunungan Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng). Diawal Juli lalu, Wali Ketua Lembaga Adat dari Komunitas adat Topo Uma ini memperlihatkan salah satu kawasan hutan yang dilarang keras ada aktivitas manusia. Kawasan hutan itu dalam bahasa Uma disebut Wanangkiki.

“Kawasan hutan yang disebut Wanangkiki ini dilarang ada aktivitas manusia untuk membuka ladang atau kebun, karena kalau dibuka menjadi ladang atau kebun maka menurut pengetahuan tradisional dapat mengakibatkan bencana kekeringan. Larangan-larangan dan aturan itu dibuat oleh lembaga adat Komunitas adat Topo Uma. Jika melanggar, akan diberi sanksi yang tegas,” kata Daud Rori, Wali Ketua Lembaga Adat Komunitas adat Topo Uma.

Jauh sebelum adanya Desa Moa, Komunitas adat Topo Uma telah lama menjalankan sistem pemerintahan adat yang mendapat pengakuan dari masyarakat luas. Keberadaan lembaga adat berawal dari adanya kebutuhan akan keteraturan kehidupan bersama masyarakat Komunitas adat Topo Uma. Lembaga adat menjadi lembaga yang mengatur rangkaian tata cara dalam melakukan hubungan antar manusia dalam menjalani kehidupan dengan tujuan mendapatkan keteraturan hidup.

Komunitas adat Topo Uma yang merupakan salah satu suku asli Kulawi atau biasa disebut Masyarakat Adat Moa memiliki kultur budaya yang sama dengan etnis Uma secara umum, yang nampak dilihat dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Secara filosofi di Kulawi secara umum dikenal dengan penyebutan hintuwu (yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia), katuwuan (yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam) dan petukua (mengatur hubungan dengan sang pencipta).

Wanangkiki salah satu bentuk dari katuwua,” kata Daud Rori awal juli lalu. Saat itu, Mongabay berkesempatan mengunjungi Desa Moa melalui program program Estungkara media field visi yang dibuat oleh Kemitraan-Partnership. Desa yang paling selatan di Kecamatan Kulawi Selatan ini terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian 700-1200 mdpl dan luas 91,60 km². Jaraknya sekitar 24 km dari Gimpu, ibu kota kecamatan Kulawi Selatan yang menjadi pintu masuk menuju desa Moa, dan 120 km dari pusat Kota Palu.

Modal transportasi yang dapat digunakan menuju Desa Moa hanya sepeda motor karena letak geografisnya yang terpencil di wilayah perbukitan yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Dibutuhkan waktu sekitar tiga jam dari Gimpu berkendara motor dengan kehati-hatian dan kesigapan penuh untuk dapat menyusuri jalan setapak di tepi jurang terjal di pinggiran TNLL. Di dasar jurang terbentang sungai koro (lariang), sungai terpanjang di Sulawesi, yang mengalir deras di celah batu-batu besar.

Saat sampai di Desa Moa, pasti semua rasa lelah dalam perjalanan akan terbayarkan. Kehidupan masih tradisional dan pemandangan alam yang sangat asri membuat rasa capek hilang seketika. Ditambah lagi, desa yang berpenduduk 474 jiwa dan 114 kepala keluarga (KK) ini dikelilingi hutan konservasi dan hutan lindung yang membuat udaranya sangat sejuk dan tidak berpolusi. Apalagi, semua warganya menggunakan energi bersih dari pembangkit listrik tenaga kincir air yang dibangun secara mandiri untuk penerangan malam hari.

Namun, karena letak geografis yang cukup terpencil dan sulit diakses terlebih karena status kawasan hutan di sekitarnya merupakan Taman Nasional membuat masih minimnya infrastruktur dan fasilitas layanan publik di Desa Moa, terutama untuk layanan kesehatan dan pendidikan. Selain sarana yang terbatas, jumlah tenaga medis dan tenaga pendidik juga masih belum mencukupi untuk dapat melayani kebutuhan seluruh warga desa. Sementara fasilitas pendidikan di Desa Moa baru pada tingkat Sekolah Dasar saja.

Perempuan Adat Moa sedang memanen jagung di ladang mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa sedang memanen jagung di ladang mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Tata Kelola Hutan

Bagi masyarakat adat moa, hutan merupakan urat nadi dan menjadi sumber kehidupan turun temurun sejak dari nenek moyangnya. Mereka mempunyai ikatan emosional dan kultural yang kuat terhadap hutan, dengan kata lain hutan adalah bagian integral dari kehidupan masyarakatnya. Hampir seluruh sumber daya di hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan orang Moa. Kegiatan mereka di dalam hutan pun sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu sebelum adanya negara

Masyarakat adat moa merupakan masyarakat agraris, dimana tanah dan lahan sangat penting untuk bercocok tanam dan mengembangkan kegiatan budi daya pertanian sebagai sumber perekonomian dan pemenuhan kebutuhan hidup. Ada sekitar 97 persen warga masyarakat adat moa berprofesi sebagai petani yang mengolah tanaman kakao, jagung, dan kopi yang sistem penanaman dan perawatannya tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Selain itu, komoditi lain yang dibudidayakan adalah padi ladang, padi sawah, kemiri dan tanaman palawija.

Akan tetapi, masyarakat adat moa melakukan pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal mereka dengan membagi hutan dalam beberapa tingkatan atau kategori (zona) menurut pengetahuan dan pemanfaatannya yang ditetapkan oleh leluhur dan adat Topo Uma. Misalnya, Pongataa yang diperuntukan untuk wilayah pemukiman atau perumahan, fasilitas umum sekolah, rumah ibadah, sarana olahraga dan lain-lain. Adapun Polidaa yang diperuntukan Persawahan atau budidaya padi sawah, serta beternak itik.

Selain itu, ada juga yang disebut Pampa, yang diperuntukan untuk wilayah penggunaan kebun campuran, kombinasi tanaman keras dan musiman. Biasanya, di Pampa ditanami tanaman pangan ubi kayu, ubi jalar, sayur-sayuran, serta tanaman penghasil bumbu dapur seperti bawang, rica, tomat. Ada juga tanaman buah-buahan, coklat, kayu-kayuan, pandan serta tanaman untuk bahan kerajinan.

Pampa adalah salah satu zonasi tradisional masyarakat adat Moa, yang otoritas pengelolaan dan pemanfaatannya menjadi milik kaum perempuan. Lahan untuk pampa dipilih yang berada relatif dekat dengan pemukiman. Sebab pampa merupakan ‘dapur kedua’ bagi kaum perempuan, tempat dimana mereka menanam berbagai macam tanaman untuk kebutuhan pangan keluarga,” kata Daud Rori

Berikutnya, ada namanya Pocoklat. Wilayah ini diperuntukkan untuk kebun tanaman keras dengan tanaman kunci Kakao. Ada juga Pokopia yang wilayah peruntukannya untuk kebun tanaman keras dengan Kopi sebagai tanaman kunci. Kakao dan kopi dibudidayakan menggunakan sistem tumpang sari dengan tanaman campuran buah-buahan, berbagai jenis kayu ramuan rumah dan kayu bahan baku sandang.

Berikutnya Lamara yang merupakan lokasi penggembalaan kerbau dan sapi, umumnya berupa hutan sekunder yang sudah tua (oma tua), namun tidak menutup kemungkinan pula berada di hutan primer (ponulu). Di sekitar lamara harus ditunjang dengan adanya sumber air minum (kana), dan tempat berkubang hewan ternak (potampoa). Ada juga Bonea yang merupakan ladang tanaman padi, jagung, sayur-sayuran, dan rempah-rempah. Setiap bulan ladang ini juga menghasilkan jamur yang tumbuh liar.

Ada juga zona yang dinamakan Bilingkia yang merupakan bekas ladang yang berusia dibawah 1 tahun, permukaan lahan ditutupi oleh tumbuhan herba berumur pendek, alang-alang, dan sedikit belukar. Seringkali bagian tertentu dari tanah di bilingkia dipilih untuk menanam tanaman musiman seperti sayur-sayuran, rica (cabai rawit) dan tanaman pelengkap bumbu dapur lainnya.

Selanjutnya, Oma Bou yang merupakan bekas ladang berusia antara 1-2 tahun. Di wilayah ini didominasi alang-alang dan permukaan tanahnya mulai tumbuh tumbuhan berkayu berupa semak, belukar dan anakan pohon kecil. Setelah 3-10 tahun, wilayah itu disebut sebagai Oma Nete yang lahannya mulai didominasi pohon-pohon kayu ukuran kecil (tiang), menggantikan dominasi semak dan belukar. Saat berusia 10 tahun keatas, wilayah itu disebut Oma Ntua yang memiliki anakan pohon besar dan mulai membentuk strata pepohonan.

Oma Bou, Oma Nete, dan Oma Ntua masih bisa dibuka untuk lahan-lahan pertanian seperti padi ladang. Tapi harus melalui proses musyawarah adat (Moromu),” kata Daud

Masyarakat Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sedang membersihkan lahan dari ilalang. Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia
Masyarakat Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sedang membersihkan lahan dari ilalang. Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia

Tak hanya itu, ada juga zona wilayah Pahawa Pongko yang merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan dengan umur 25 tahun keatas. Pahawa Pongko sudah hampir menyerupai hutan sekunder semi hutan primer (Peponurua), karena pohon-pohonnya sudah tumbuh besar.

Daud bilang, jika menebang pohon di wilayah ini harus menggunakan tempat menginjakan kaki yang terbuat dari kayu. Tempat menginjakan kaki itu juga harus agak tinggi dari tanah agar dapat menebang dengan baik.

“Penebangan pohon di wilayah Pahawa Pongko ini dilakukan secara terbatas dan hanya untuk kebutuhan membangun rumah saja, dan tidak bisa diperjualbelikan apalagi dibawa ke luas desa,” jelas Daud

Bukan hanya itu, ada juga yang disebut Ko’olo yang merupakan kawasan hutan larangan yang di cagarkan karena pertimbangan ekologis seperti daerah aliran sungai, mata air, sumber air panas mengandung sulfur tempat minum khusus untuk kerbau, tebing yang rawan longsor, dan tempat-tempat bersejarah atau situs purbakala, serta tempat-tempat keramat yang memiliki nilai spiritual dan budaya.

Berikutnya, ada juga yang namanya Ponulu yang merupakan hutan Primer, yang terdapat jauh dari pemukiman atau lahan lahan pertanian dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat berburu serta mengambil rotan, kayu ramuan rumah, damar, obat-obatan dan hasil hutan lainnya. Daud bilang, sewaktu-waktu Ponulu dapat saja dialih fungsikan peruntukannya untuk lahan-lahan pertanian. Itupun harus melalui proses musyawarah adat (Morom) serta melakukan ritual yang disebut motonaa atau meminta tanda.

Daud bilang, pada ritual motonaa, seorang yang dituakan dalam komunitas adat Topo Uma akan menancapkan parang pada sebatang pohon di areal ponulu dan setelah 3 hari parang tersebut baru dapat dilihat kembali. Jika parang yang ditancapkan itu tidak jatuh ditanah maka kegiatan pembukaan ladang dapat dilakukan di tempat itu. Namun apabila parang itu terjatuh ke tanah maka hal ini sebagai pertanda yang dipercaya sebagai larangan untuk tidak boleh ada aktivitas di wilayah itu.

“Bagi masyarakat adat moa mempercayai jika melanggar pantangan itu akan mendapatkan bencana dan bahkan apa yang diusahakan di tempat itu tidak memberikan hasil. Hal ini berbeda jika tempat yang direncanakan untuk kebun ladang berada pada wilayah oma, balingkea, dan pohawa pongko. Kegiatan ritual tersebut sudah tidak perlu lagi dilakukan,” kata Daud

Selanjutnya lagi, ada namanya Wana suatu wilayah Kawasan hutan primer yang luas dan tutupan hutannya rapat atau biasa juga dikenal dengan hutan rimba atau hutan belantara. Wana ini letaknya jauh dari pemukiman atau dari lahan-lahan pertanian dan hanya digunakan sebagai tempat berburu, mengambil getah damar (gaharu), rotan, dan tumbuhan obat dalam skala yang terbatas. Wilayah ini dilarang untuk membuka ladang karena menjadi penyangga ketersedian air.

Terakhir yaitu, Wanangkiki yang merupakan kawasan hutan pegunungan atas (upper mountain forest) terletak di puncak gunung tinggi jauh dari pemukiman penduduk. Di wilayah ini ditumbuhi pohon berbatang keras, berukuran kerdil. Batang, dahan, daun pepohonan dan lantai hutan diselimuti lumut. Daud bilang, semua pohon di wilayah juga dilarang keras ditebang.

Hak Kepemilikan

Masyarakat adat Moa dalam dinamika suksesi hutan secara alami dimanfaatkan bahkan dikonversi menjadi ladang dan kebun (pobonea dan popampaa) untuk menanam padi (pae), jagung (goa) dan sayur-sayuran (uta-uta) untuk kebutuhan pangan. Sedangkan ditempat-tempat tertentu di bawah tegakan pohon dimanfaatkan untuk menanam tanaman tahunan seperti kopi dan lain-lain. Selain itu, padi ladang, padi sawah, kemiri dan tanaman palawija kerap dibudidaya oleh mereka.

Artinya, secara ekologis desa Moa memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup besar dan bernilai tinggi serta ekonomis, terlebih lagi hasil hutan baik kayu maupun non kayu sangat berlimpah di wilayah mereka. Akan tetapi, dalam mengelola sumber alam itu, masyarakat adat moa membaginya kedalam dua kategori hak kepemilikan. Salah satunya adalah Hak kepemilikan bersama (hak kolektif atau hak komunal) yang dalam bahas To Kulawi uma disebut Huaka to i Moa.

“Yang termasuk Hak kepemilikan bersama (Huaka to i Moa) adalah tanah dan segala sumber daya alam yang berada dalam wilayah adat (huaka) yaitu, Wana, Ponulu, hutan primer (Peponurua), sungai dan segala yang terkandung didalamnya termasuk tambang emas,” kata Agustin Mpadjama (43) tokoh perempuan adat moa.

Agustin bilang, hak kepemilikan bersama ini tidak diperkenankan diperjual belikan, disewakan (dikontrakan) kepada siapapun juga terutama pihak-pihak luar yang bukan masyarakat Moa. Hak kepemilikan bersama ini terbatas pada pemanfaatan yang diatur dan ditetapkan oleh lembaga adat desa Moa. Katanya, semua aktivitas dalam wilayah hak kepemilikan bersama ini harus ada izin dari lembaga adat.

Selain itu, hak kepemilikan keluarga atau individu yang dalam bahasa uma disebut dengan Peponurua, yaitu hutan yang berada dipegunungan dan dataran. Menurutnya, Peponurua termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur dengan hutan primer karena sebagian sudah ada aktivitas manusia atau telah diolah menjadi ladang, yang kemudian ditinggalkan sampai menjadi hutan seperti semula. Katanya, bagi masyarakat Moa Peponurua dipersiapkan untuk kebun dan daerah dataran untuk persawahan.

“Pada tingkatan atau kategori Peponurua ini dimanfaatkan juga untuk mengambil kayu dan rotan yang digunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga. Ada juga yang mengambil Pandan hutan dipergunakan untuk membuat tikar, serta obat-obatan untuk perawatan kesehatan. Bahkan, ada juga yang mengambil Wewangian, Umbut dan daun melinjo untuk sayuran,” kata Agustin yang juga sebagai Tina ngata atau Ibu kampung.

Secara keseluruhan, wilayah Desa Moa memiliki luas 91,60 km² dan mayoritas merupakan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dan Hutan Lindung (HL). Disamping itu terdapat hutan-hutan sekunder di area yang lebih dekat dengan pemukiman masyarakat desa Moa. Hutan tersebut ini biasanya sudah dimiliki atau dikuasai oleh perorangan atau Keluarga, karena terbentuk dari bekas pembukaan ladang (bonea). Hutan sekunder sendiri bagi masyarakat hukum adat Topo Uma disebut sebagai oma.

Secara teknis, kata Agustin, oma adalah tanah atau lahan yang sedang diistirahatkan. Istilah ini berbeda dengan tanah yang ditelantarkan, karena masa istirahat adalah bagian dari metode perladangan gilir balik secara integral yang diterapkan masyarakat Moa. Bagi masyarakat adat moa, jika lahan tidak diistirahatkan setelah dilakukan panen, maka akan menyebabkan tanahnya akan menjadi kritis. Katanya, metode perladangan bergilir ini merupakan warisan bertani dari leluhur orang moa.

“Tak heran, Lanskap Desa Moa juga diisi lahan-lahan kosong berupa tegalan. Ada yang masih didominasi oleh Ilalang, ada juga yang sudah dikombinasi ilalang dan perdu (small tree). Bentuk lahan seperti ini disebut Balingkia yang merupakan tahapan awal dari oma, dan merupakan transisi pembentukan hutan setelah bonea,” jelas Agustin

Pemukiman Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkeliling hutan. Fotoi: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Pemukiman Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berkeliling hutan. Fotoi: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Larangan

Dalam pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat moa membuat aturan larangan serta sanksi yang akan diberikan kepada setiap orang yang melanggar semua aturan yang dibuat oleh lembaga adat. Hukum adat itu dibantu dirumuskan oleh Karsa Institute salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah sekitar satu dekade mendampingi Desa Moa. Aturan pengelolaan SDA itu juga dibuat secara formal untuk kepentingan pengusulan Hutan Adat untuk masyarakat adat moa.

Misalnya, masyarakat dilarang keras melakukan aktivitas di kawasan zona rimba, zona inti. Di wilayah Ponulu hanya dibolehkan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sedangkan, untuk kategori Bonea, Oma, Bilingkia, Pohawa Pongko, tidak diperbolehkan untuk menebang kayu dan membuka lahan disekitar kaolo atau daerah hulu sungai serta daerah yang dikeramatkan.

“Tidak diperbolehkan juga untuk mengambil atau menebang kayu untuk kepentingan komersial. Ketika ada orang yang ingin mengelola damar (kayu agathis) dan kayu gaharu di hutan wilayah kelola adat moa harus memiliki izin dari lembaga adat,” kata Eliyanus Surabi dari Karsa Institute yang juga pemuda adat moa.

Tak hanya itu, masyarakat juga tidak diizinkan menambang emas tanpa izin dari lembaga adat moa, dan melarang mengambil rotan dengan cara menebang kayu tempat rotan bertumbuh melingkar. Masyarakat juga dilarang keras membuka lahan perladangan dan perkebunan tanaman komoditi kopi, kakao, vanili dengan cara sendiri-sendiri atau secara liar.

Eliyanus bilang, menebang untuk kepentingan apapun di kemiringan 50 derajat dan dibawah 50 meter dari daerah aliran sungai (DAS) juga sangat dilarang keras.

Selanjutnya, larangan lainnya juga berlaku untuk pengambilan kayu bakar dalam jumlah besar seperti keperluan pesta tanpa izin dari lembaga adat Moa. Pengambilan kayu untuk ramuan rumah pun tidak diperbolehkan menebang kayu berdiameter dibawah 50 cm.

Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa menjemur biji kakao di depan rumahnya. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Masyarakat moa juga dilarang menjual atau memindahtangankan tanah, lahan, hutan, khususnya Ponorua dengan kepemilikan pribadi kepada siapapun dan apapun dasar pertimbangannya, tanpa izin dari lembaga adat moa.

Selain itu, tidak diperbolehkan sama sekali menangkap hewan langka di hutan, seperti; Anoa (Lupu), Babi rusa (Dolodo), Rusa (Ruha). Dilarang kerasnya juga menangkap burung langka di hutan, seperti Burung Maleo (Molo), Rangkong Sulawesi (Alo), Elang Sulawesi (Lowe), dan bangsa burung yang lain dengan menggunakan jerat, ranjau, senjata api, senjata angin, senjata tajam, dan bahan beracun.

Bukah hanya itu, dalam pengelolaan daerah air sungai (DAS), masyarakat adat moa pun juga memiliki sejumlah larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan. Misalnya, dilarang menangkap ikan dengan menggunakan bahan kimia dan beracun serta alat berenergi listrik yang membinasakan. Penambangan batu, kerikil, pasir di sekitar DAS juga sangat dilarang karena dianggap berbahaya, rawan longsor, mengancam pengairan dan mengancam perkampungan/pemukiman.

Tidak diperbolehkan juga menebang kayu di sekitar dan sepanjang DAS, serta dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran air (polusi sungai), seperti; , membuang bangkai binatang, sampah, kotoran manusia (hajat), dan wadah bahan kimia. Pengambilan sumber-sumber air untuk kepentingan pribadi sangat dilarang jika tanpa izin dari lembaga adat Moa dan pemerintah desa. Ia bilang, penangkapan ikan di sungai secara kolektif juga harus ada izin dari lembaga adat moa.

“Jika semua itu dilanggar, maka orang yang melanggar akan diberikan sanksi yaitu; harus memberikan 1 ekor kerbau, 1 buah kain mbesa dan sepuluh buah dulang (nampan) kuningan. Semua itu harus diberikan ke Lembaga Adat Komunitas adat Topo Uma,” jelasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.