Masyarakat Adat Moa Penuhi Energi dari Air yang Melimpah

Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu. Akses menuju desa ini pun terbilang sulit karena hanya bisa dengan berjalan kaki atau pakai kendaraan bermotor  sekitar tiga jam dari Gimpu, ibukota Kecamatan Kulawi Selatan.  Infrastruktur dan fasilitas layanan publik pun minim, termasuk tak ada penyediaan energi oleh negara.
  • Untuk pemenuhan energi, pada 2004, desa ini pernah pakai pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) tetapi hanya bisa dipakai beberapa tahun karena alat kerap mengalami kerusakan. Pada 2014, PLTMH itu baru bisa diperbaiki oleh Pemerintah Desa Moa melalui program dana desa tetapi rusak lagi dan disetop.
  • Masyarakat pun mencari cara agar sumber air berlimpah ini tetap bisa jadi sumber energi mereka. Akhirnya, warga patungan berkelompok bikin pembangkit memanfatkan air dengan bikin kincir air.
  • Negara harus memberikan ruang kepada rakyat untuk menggali potensi dan kemampuan mereka melalui energi terbarukan berbasis komunitas. Hal itu juga menjadi salah satu upaya dalam pemerataan listrik di Indonesia.

Pagi itu, Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) habis diguyur hujan. Beberapa warga mulai bersiap-siap pergi ke ladang untuk bertani, kecuali Prasetyo Hetta. Ia mau bergegas ke salah satu daerah aliran sungai (DAS) yang sekitar satu kilometer dari desanya.

Di DAS itu, lelaki 53 tahun ini ingin mengecek kondisi Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air yang dibuat bersama tetangganya. Pasalnya, lampu rumahnya yang bersumber dari tenaga listrik itu terus berkedip. Ia yakin, hal itu akibat dampak dari curah hujan yang cukup tinggi sejak malam hari.

“Lampu-lampu yang terus berkedip itu pasti aliran air yang menuju ke Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air tersumbat. Perlu dibersihkan,” kata Prasetyo Hetta kepada Mongabay, pada akhir Juli lalu.

Dengan keyakinan itu, ia langsung menuju ke lokasi salah satu sumber energi baru terbarukan yang menjadi andalan Komunitas Adat Topo Uma itu. Dari rumahnya, ia harus berjalan kaki ke arah barat dengan waktu sekitar 15 menit agar bisa sampai ke lokasi tersebut.

Betul saja, anggapan Prasetyo tak meleset. Saat sampai di lokasi, ia melihat bendungan berukuran 4 meter persegi yang menjadi tempat penampung air; ditutupi berbagai ranting, daun, hingga rumput. Imbasnya, pipa besi saluran air dari bendungan itu yang mengarah ke turbin bertenaga dinamo generator listrik 15 Kw itu, tersumbat.

Melihat kondisi itu, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Moa ini langsung berinisiatif membersihkannya. Satu persatu sampah organik kering itu disingkirkan. Perlahan, putaran kincir air yang awalnya pelan, mulai berputar dengan cepat seperti biasa. Semuanya kembali normal.

“Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air ini adalah satu-satunya sumber energi yang kita buat sendiri untuk menerangi kegelapan di malam hari. Di sini belum ada listrik yang bersumber dari Negara,” jelasnya

Desa Moa yang dihuni oleh salah satu suku asli Kulawi ini memang belum sama sekali memiliki aliran listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena jauh dari kota. Desa ini berjarak sekitar 95 km dari pusat kota palu, dan sekitar 24 km dari Gimpu, ibu kota kecamatan Kulawi Selatan.

Prasetyo Hetta , warga Desa Moa, yang secara berkelompok bikin kincir air untuk manfaatkan air sebagai sumber energi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Prasetyo Hetta , warga Desa Moa, yang secara berkelompok bikin kincir air untuk manfaatkan air sebagai sumber energi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Berada di sebuah lembah di sekitar pegunungan dengan ketinggian 700-1200 mdpl, serta berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), juga membuat desa diujung selatan Kabupaten Sigi ini sulit diakses. Apalagi, setiap orang yang ingin mendatangi desa ini hanya bisa menggunakan sepeda motor dari Gimpu dengan perjalanan sekitar 3 jam.

Adapun jumlah penduduk yang hanya 114 kepala keluarga (KK) atau 474 jiwa menyebabkan pembangunan listrik oleh PLN menjadi tidak ekonomis dan menguntungkan. Hal inilah yang membuat sulit mengharapkan negara membangun jaringan listrik ke dalam ke Desa Moa.

Prasetyo bercerita, sejak Indonesia merdeka hingga sekarang ini, belum ada sama sekali tanda-tanda listrik dari negara masuk di desanya. Kondisi itu akhirnya berdampak ke minimnya infrastruktur dan fasilitas layanan publik.

Sementara, energi listrik sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat saat ini. Hampir semua aktivitas manusia berhubungan dengan energi listrik. Jumlah penduduk yang semakin tinggi, membuat permintaan energi juga ikut meningkat.

Ia bilang, besarnya dominasi Negara terhadap penguasaan hutan dan lahan membuat puluhan tahun Masyarakat Adat Moa terus berjibaku dengan kegelapan. Wilayah adat mereka dirampas Negara untuk dijadikan kawasan konservasi ternyata berefek domino ke sumber energi.

Ia yakin, jika wilayah adat mereka tidak dijadikan kawasan konservasi, pasti listrik dari negara sudah masuk ke desa sejak dulu. Namun, kenyataannya berbeda, bagai pungguk merindukan bulan. Atas nama perlindungan, mereka terpinggirkan dari terangnya malam.

Samuel Yansen Pongi, Wakil Bupati Sigi mengakui, pihaknya sempat berencana untuk membuka akses jalan ke Desa Moa agar PLN bisa masuk. Namun karena jalannya berada di dalam taman nasional, maka niatnya kandas.

“Dengan terpaksa, anggaran pembangunan akses jalan itu kami alihkan ke program lain,” kata Samuel Yansen Pongi kepada Mongabay, pada akhir Juli lalu.

Masyarakat Desa Moa, Sigi, inisiatif berkelompok bikin kincir air untuk penuhi energi mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Masyarakat Desa Moa, Sigi, inisiatif berkelompok bikin kincir air untuk penuhi energi mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Memilih Energi Bersih

Dengan bertahun-tahun merasakan keterpurukan atas terbatasnya sumber energi listrik, Masyarakat Adat Moa akhirnya memilih menggunakan energi bersih. Sejak tahun 2019, mereka bergotong royong membuat turbin bertenaga dinamo, dengan memanfaatkan air sungai di sekitar desa untuk menciptakan listrik.

Turbin bertenaga dinamo adalah salah satu jenis energi baru terbarukan yang menggunakan tenaga air skala kecil. Tenaga airnya bisa berasal dari saluran sungai, saluran irigasi, air terjun alam, atau bahkan sekedar parit asal airnya kontinu. Prinsip kerjanya adalah memanfaatkan tinggi terjunnya air dan juga jumlah debit air.

Letak geografis Desa Moa yang berada di sebuah lembah sekitar pegunungan membuat potensi air di daerah ini sangat tinggi. Terlebih, wilayah desa ini berdampingan dengan kawasan konservasi dan kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air, sekaligus sumber pemasok air ke sungai-sungai.

Prasetyo bilang, setidaknya sudah ada lebih dari 10 turbin bertenaga dinamo atau biasa disebut “Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Air” yang ada di Desa Moa, termasuk miliknya. Mereka membuat turbin itu secara berkelompok agar biaya pembangunan lebih murah. Katanya, dalam satu kelompok biasanya berjumlah 7-10 orang.

“Biaya pembangunan turbin ini rata-rata berkisar Rp 15-20 juta. Olehnya, kita membangunnya secara berkelompok agar biaya lebih murah. Turbin milik saya ini dibangun bersama 7 tetangga saya,” katanya

Heriyanto Djempa, Kepala Desa Moa mengatakan, Masyarakat Adat Moa yang memilih menggunakan energi bersih itu karena berkaca dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro hidro (PLTMH) yang pernah beroperasi di desanya.

Pada tahun 2004, kata Heriyanto, Desa Moa mendapatkan bantuan alat-alat PLTMH dari lembaga non government untuk memaksimalkan potensi air di desanya. Tetapi, PLTMH itu hanya bisa digunakan beberapa tahun saja, karena alat-alatnya kerap mengalami kerusakan.

Sumber air yang dimanfaatkan jadi energi di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Sumber air yang dimanfaatkan jadi energi di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Pada tahun 2014, PLTMH itu akhirnya baru bisa diperbaiki oleh Pemerintah Desa Moa melalui program dana desa yang digagas Presiden Jokowi. Usai diperbaiki, warga mulai dimintakan iuran Rp 5000 per mata lampu dalam setiap bulan. Ia bilang, iuran yang diminta dari warga itu untuk membiayai operasional, dan pemeliharaan.

Sayangnya, kata Heriyanto, PLTMH itu hanya bisa bertahan beberapa tahun saja, dan kembali alami kerusakan. Dana desa dan iuran dari warga tidak bisa membiayai kerusakannya karena ongkos perbaikan cukup besar. Dengan berat hati, pihaknya mengambil keputusan untuk memberhentikan sementara PLTMH itu.

“Diberhentikan sementara operasi PLTMH itu, membuat Masyarakat Adat Moa kembali berjibaku dengan kegelapan,” Heriyanto Djempa, kepada Mongabay, pada akhir Juli lalu

Dengan kondisi itu, katanya, membuat satu per satu masyarakatnya mulai berinisiatif membangun turbin bertenaga dinamo secara berkelompok pada tahun 2019. Mereka manfaatkan air sungai yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Desa Moa untuk dijadikan sumber energi.

Heriyanto bilang, saat itulah masyarakat Komunitas Adat Topo Uma ini mampu mandiri dengan memproduksi energi bersih untuk kembali menerangi rumah-rumahnya. Mereka pun dapat menikmati energi ramah lingkungan itu secara murah, bahkan gratis selama 24 jam penuh.

Agustin Mpadjam, perempuan adat Moa mengaku sangat terbantukan berkat adanya sumber energi dari alam itu. Ia bisa menyetrika, memasak nasi dengan reskuker, menonton televisi, dan melakukan berbagai aktivitas yang menggunakan listrik lainnya.

Agustin bilang, kehidupan Masyarakat Adat Moa tidak lagi gelap gulita berkah energi terbarukan itu. Ia yakin, masa depan anak-anak bakal cerah karena tidak lagi belajar di tengah kegelapan. Apalagi, listrik yang dihasilkan di desanya tidak mengotori bumi tempat mereka berpijak

“Saya sangat bersyukur, Masyarakat Adat Moa sudah benar-benar mandiri dari segi energi dengan memproduksi energi bersih,” kata Agustin Mpadjam yang juga merupakan Tina Ngata atau Ibu Kampung.

Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Terpinggirkan dari Transisi Energi

Eliyanus Surabi, dari Karsa Institut mengatakan, apa yang dilakukan Masyarakat Adat Moa dalam memanfaatkan potensi air untuk menciptakan listrik itu merupakan salah satu contoh dari bentuk transisi energi. Mereka tidak lagi berharap listrik negara yang mayoritas berasal dari energi kotor.

Tetapi, katanya, penggunaan energi terbarukan oleh Masyarakat Adat Moa itu sama sekali tidak disentuh oleh Negara. Ia khawatir, jika semua alat-alat energi bersih itu rusak, mereka bisa kembali berharap listrik negara yang mayoritas menggunakan energi fosil.

Olehnya, Eliyanus berharap, negara perlu secepatnya hadir dengan program kemitraan transisi energi yang adil atau Just Energy Transition Partnership (JETP). Program JETP itu diluncurkan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada akhir tahun 2022 lalu.

JETP adalah sebuah program pendanaan yang dirancang untuk mendorong negara-negara berkembang dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE). Program ini mendapatkan dukungan keuangan yang cukup besar, yaitu sekitar 20 miliar USD atau setara dengan Rp300 triliun.

Program itu merupakan hasil kesepakatan antara Indonesia dan International Partners Group (IPG) ini bertujuan untuk mempercepat agenda energi terbarukan di Indonesia. Sayangnya, kata Eliyanus, Masyarakat Adat Moa perlu disentuh dari program tersebut.

“Program transisi energi Indonesia itu harus menyentuh Masyarakat Adat Moa,” kata Eliyanus Surabi. Karsa Institut salah satu lembaga Non-Governmental Organization (NGO) yang sudah lebih dari 1 dekade mendampingi Masyarakat Adat Moa dalam pengelolaan sumber daya alam.

Tri Mumpuni, dari Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) mengatakan, JETP harus tidak mengabaikan energi terbarukan berbasis komunitas. Ia bilang, energi terbarukan berbasis komunitas bukan hanya ramah lingkungan namun juga murah sehingga dapat membangkitkan ekonomi masyarakat.

Menurutnya, Negara harus memberikan ruang kepada rakyat melalui JETP untuk menggali potensi dan kemampuan mereka sendiri melalui energi terbarukan berbasis komunitas. Hal itu juga menjadi salah satu upaya dalam pemerataan listrik di Indonesia.

“Negara seharusnya mencari peluang sebesar-besarnya terkait energi terbarukan berbasis komunitas  agar rakyatnya mampu menyediakan energi untuk mereka sendiri,” kata Tri Mumpuni saat menjadi narasumber di kegiatan diskusi yang dibuat oleh Mongabay pada Juni lalu.

Tri Mumpuni bilang, transisi energi secara tidak langsung juga berkaitan dengan transisi ekonomi, transisi pendapatan masyarakat, hingga transisi pekerjaan. Ia bilang, jika program transisi energi Indonesia mengabaikan energi terbarukan berbasis komunitas, maka rakyat akan dipisahkan dengan sumber daya lokal yang ada di wilayah mereka.

Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Apalagi, katanya, jika negara memandang energi terbarukan sebagai sebuah transisi yang menguntungkan, pasti keuntungan itu hanya berkutat pada kelompok yang sebelumnya telah meraup untung besar dari industri energi fosil. Jika itu terjadi, katanya, masyarakat lokal semakin terpinggirkan.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) juga menyorot pengembangan energi terbarukan berbasis komunitas ini dari perspektif ekonomi-politik. Menurutnya, perlu ada perubahan paradigma dalam setiap desain transisi energi dimana komunitas menjadi episentrum dari pengembangan energi terbarukan.

Bhima bilang, berdasarkan studi yang dilakukan oleh CELIOS justru menunjukkan bahwa 56% masyarakat di sektor pertanian dan komunitas pedesaan lebih tertarik dengan penutupan PLTU batubara yang paralel dengan peningkatan energi terbarukan.

“Selama ini masalah transisi energi sering menjadi pembahasan yang tersentralisasi di perusahaan skala besar, dan keterkaitan dengan komunitas yang justru terdampak dari krisis iklim sering diabaikan,” Bhima Yudhistira melalui rilis yang diterima Mongabay

“Padahal banyak tersedia opsi pendanaan yang bisa dikelola langsung oleh komunitas yang memiliki potensi energi bersih. Model pendanaan internasional seperti JETP setidaknya lebih diarahkan untuk mendanai transisi di level komunitas.” sambung Bhima.

Adityani Putri, dari Sekretariat JETP mengklaim, JETP itu sifatnya adalah pemantik. Bahkan, dana JETP sebesar 20 miliar USD itu sebenarnya cukup sedikit untuk membiaya transisi energi secara menyeluruh, termasuk membiayani sumber energi terbarukan yang besar, sampai energi terbarukan berbasis komunitas.

Dengan itu, kata Adityani, dana JETP ini perlu mengalir untuk membiayai sumber energi terbarukan yang sifatnya revolusioner atau dapat menstimulasi transisi yang lebih cepat. Ia bilang, jika ada energi terbarukan berbasis komunitas yang sesuai dengan sifat itu, pasti dapat mengakses dana JETP.

Meski begitu, katanya, mobilisasi dana JETP hanya bisa dilakukan pada tahun ketiga setelah peluncuran programnya. Ia bilang, mekanismenya pun belum bisa dijelaskan karena mobilisasi dananya belum bisa dilakukan.

Selain itu, katanya, dalam mendorong energi terbarukan berbasis komunitas juga harus memastikan sumber energi di wilayah itu harus benar-benar berlimpah, sekaligus memiliki akses jalan yang baik. Pasalnya, tidak semua daerah yang ada di Indonesia memiliki dua hal itu.

“Akses menuju wilayah itu juga harus benar-benar ada, karena kita harus membangun energi terbarukan itu. Jika tidak memiliki akses, kita sulit untuk membangunnya,” Adityani Putri dalam diskusi yang dibuat oleh Mongabay pada Juni lalu.

Prasetyo Hetta , warga Desa Moa, yang secara berkelompok bikin kincir air untuk manfaatkan air sebagai sumber energi. Foto: Sarjan Lahay
Prasetyo Hetta , warga Desa Moa, yang secara berkelompok bikin kincir air untuk manfaatkan air sebagai sumber energi. Foto: Sarjan Lahay

Transisi Energi yang Ambigu

Sebenarnya, program transisi energi Indonesia ini tidak terlepas dari penandatangan Pernyataan Global Coal to Clean Power Transition Statement di COP26. Momen itu merupakan pertama kalinya Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap dan tidak akan membangun atau berinvestasi di PLTU baru.

Hal ini diikuti dengan peluncuran peta jalan PLN untuk carbon neutrality pada tahun 2060 dan menjadi salah tindakan untuk menyelaraskan dengan target 1,5°C Perjanjian Paris.

Namun, berdasarkan hasil kajian yang diluncurkan Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berjudul “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia”, kebijakan pemerintah dalam hal transisi energi selama ini masih jauh atau belum memadai, bahkan terkesan ambigu.

Misalnya, pada September 2022 lalu, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs), Indonesia meningkatkan target penurunan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) meningkat dari 29% menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%.

Namun, Climate Action Tracker menilai revisi NDC Indonesia “sangat tidak memadai” dalam mengurangi kontribusi emisi karbon negara ke tingkat yang sesuai dengan pemenuhan target 1,5°C.

Pada akhir 2022 lalu juga, pemerintah Indonesia dan Badan Energi Internasional (IEA) merilis peta jalan Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi karbon yang mengusulkan tiga skenario transisi yang berbeda yaitu: Optimis, Sedang, dan Pesimis.

Peta jalan ini, bersama dengan komitmen JETP, memajukan target NZE Indonesia untuk sektor ketenagalistrikan dari tahun 2060 menjadi tahun 2050, dan meningkatkan pangsa listrik terbarukan menjadi 34% pada tahun 2030.

Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay
Instalasi pembangkit kincur air di Desa Moa. Foto: Sarjan Lahay

Namun, IEA menyatakan bahwa rencana tersebut masih terlambat sepuluh tahun untuk target 1,5°C yang selaras dengan skenario Paris.

Sayangnya, sampai saat ini penetapan target NZE belum sepenuhnya selaras di seluruh kementerian dan entitas terkait. PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awalnya memiliki target untuk NZE pada tahun 2050, tetapi kemudian mundur dan menetapkan tahun 2060 sebagai target resmi.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target NZE pada 2070. Di sisi lain, rekomendasi Bappenas sebelumnya di bawah visi nasional 2045 mendesak target NZE yang optimis untuk Indonesia.

Selanjutnya, kebijakan ambiguitas juga tergambar dalam komitmen lisan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pembangunan PLTU baru pada tahun 2025. Pada Mei 2021, pemerintah mengumumkan moratorium untuk pembangunan PLTU.

Sedangkan tenggat waktu untuk pembangunan pembangkit baru awalnya ditetapkan pada tahun 2023, namun diubah menjadi tahun 2025, tidak lama setelah pemerintah mengumumkan untuk menyelesaikan mega proyek 35 GW di sisa waktu tersebut.

Berikutnya, sikap ambiguitas Pemerintah Indonesia juga terjadi saat diterbitkannya Perpres 112/2022. Dimana, Perpres itu memperjelas bahwa pembangunan PLTU baru akan dilarang di luar yang ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Hal itu dinilai memberikan kelonggaran bagi kapasitas bahan bakar fosil baru sebagai bagian dari mega proyek 35 GW. Padahal, ambisi NZE belum selaras dengan skenario Paris.

Kebijakan yang tidak jelas dan target yang tidak selaras inilah merupakan hal yang kontraproduktif dan dapat melemahkan target NZE yang paling ambisius untuk Indonesia, termasuk program JETP.

Padahal, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan penghentian batu bara di seluruh dunia harus dilakukan pada tahun 2040 untuk mencegah bencana perubahan iklim sesuai dengan target 1,5°C dalam Perjanjian Paris.

Climate Action Tracker menganalisis, ketenagalistrikan, pengurangan tenaga batu bara di Indonesia seharusnya turun 10% pada tahun 2030 dan akan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040.

Sayangnya, Data Kementerian ESDM mencatat, mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara. Apalagi, masih ada rencana pembangunan PLTU Captive total kapasitas 9 gigawatt di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara.

Sisila Nurmala Dewi, Team Leader 360.org Indonesia mengatakan, prinsip dari transisi energi berkeadilan adalah harus berdampak langsung pada pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Sementara, transisi energi berkeadilan harus menghindari distraksi berbahaya dari penurunan emisi GRK.

Sisila bilang, solusi dalam mendukung keadilan energi adalah memberikan ruang akses energi untuk semua dan meningkatkan keadilan sosial, di tingkat domestik hingga internasional. Artinya, transisi yang adil adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk yang kaya saja.

“Solusi transisi energi yang berkeadilan itu harus memastikan air bersih, udara, dan lingkungan, sekaligus melindungi keanekaragaman hayati,” kata Sisila Nurmala Dewi dalam diskusi yang dibuat oleh Mongabay pada Juni lalu.

Selain itu, katanya, dalam transisi energi berkeadilan, tidak boleh ada hubungan ekstraktif dan praktik neokolonial. Ia bilang, transisi energi berkeadilan yang sebenarnya bertujuan membuka jalan bagi demokrasi energi.

“Bukan mengizinkan perusahaan bahan bakar fosil melanjutkan monopoli mereka atas sistem energi. Transisi yang adil itu mendahulukan pekerja daripada petinggi perusahaan dan investor,” tegasnya.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.