Bencana Sumatera: Ujian Pemenuhan HAM di Indonesia

Potret bagaimana krisis lingkungan beralih menjadi krisis kemanusiaan ketika hak dasar tidak terpenuhi

Wapres Gibran Rakabuming saat melihat kondisi kerusakan kerusakan infrastruktur akibat bencana hidrometeorologi sekaligus menyapa warga di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Kamis (4/12/25). Foto: BNPB
Wapres Gibran Rakabuming saat melihat kondisi kerusakan kerusakan infrastruktur akibat bencana hidrometeorologi sekaligus menyapa warga di Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, Kamis (4/12/25). Foto: BNPB

PADA akhir November 2025, Pulau Sumatra kembali menjadi saksi penderitaan masyarakat akibat bencana alam besar. Banjir bandang dan tanah longsor melanda provinsi-provinsi seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.  Ribuan rumah terendam, infrastruktur rusak, akses jalan dan komunikasi banyak terputus, dan korban jiwa terus bertambah, sampai sekarang ratusan tewas, puluhan hilang, dan ratusan ribu warga harus mengungsi.

Di tengah krisis kemanusiaan ini, muncul pertanyaan besar yaitu apakah respons negara sudah menjamin hak dasar warga untuk hidup aman, sehat, dan bermartabat? Ataukah bencana ini justru memunculkan kembali wajah pelanggaran HAM dalam bentuk baru, bukan kekerasan langsung, tetapi lewat kelalaian, ketidakadilan distribusi bantuan, dan ketimpangan struktural?

Bencana sebagai Krisis HAM, Bukan Sekadar Peristiwa Alam

Banjir dan longsor memang dipicu oleh faktor alam seperti curah hujan ekstrem dan siklon tropis.  Namun terlalu simplistis jika kita berhenti di situ. Banyak korban dan dampak bencana yang sejatinya merupakan akumulasi kerentanan sosial, ekologis, dan kebijakan lingkungan yang tidak berpihak, seperti deforestasi, alih fungsi lahan, atau tata ruang yang buruk yang membuat masyarakat lebih rentan terhadap bencana. Dalam konteks HAM, kerusakan lingkungan dan gagal mitigasi bencana dapat dikategorikan sebagai pelanggaran atas hak atas lingkungan hidup sehat, keselamatan, dan kehidupan yang layak.

Korban bencana tidak hanya kehilangan rumah atau harta, banyak dari mereka juga kehilangan rasa aman, akses terhadap kebutuhan dasar (air bersih, sanitasi, makanan), akses layanan kesehatan, dan sebagian kehilangan sumber penghidupan. Hal ini tentu dan terutama berdampak pada kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil/menyusui, lansia, atau masyarakat miskin di pedesaan.

Ketimpangan dalam Penanganan & Pemenuhan Hak

Saat sejumlah wilayah porak-poranda, respons darurat sering terhambat oleh kondisi infrastruktur rusak seperti jalan, jembatan, jaring komunikasi yang kemudian membuat distribusi bantuan dan evakuasi sulit dijangkau.  Pemerintah telah mengerahkan pesawat dan alat berat untuk memberikan bantuan dan memulihkan akses.  Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua korban mendapat bantuan segera atau merata. Banyak keluarga tetap terisolasi selama berhari-hari, tanpa akses air bersih, listrik, atau layanan kesehatan dasar. Situasi ini bisa dianggap pelanggaran terhadap hak atas perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar,  aspek esensial dari HAM.

Lebih parah lagi, pada masa krisis harga kebutuhan pokok melonjak drastis akibat terganggunya rantai distribusi logistik. Di beberapa daerah bencana, warga kesulitan mendapatkan pangan dan barang esensial.  Kenaikan harga tersebut berpotensi mengancam hak warga atas pangan dan kesejahteraan, terutama bagi keluarga miskin yang sudah terdampak bencana.

Struktural dan Sistemik, Kegagalan Mitigasi dan Pencegahan

Fenomena ini menunjukkan bahwa bencana dan pelanggaran HAM tidak selalu soal “alam vs manusia,” tetapi soal bagaimana manusia terutama negara dan aktor pengambilan kebijakan mengelola lingkungan dan risiko. Ketika mitigasi bencana lemah, sistem peringatan dini tidak maksimal, tata ruang tidak mempertimbangkan daya dukung ekosistem, dan kebijakan lingkungan abai terhadap keadilan sosial , maka bencana akan selalu menjadi ancaman bagi warga.

Situasi di Sumatra 2025 ini bisa jadi gambaran bahwa pembangunan dan eksploitasi lingkungan, jika berjalan tanpa prinsip sustainability dan HAM akan membentuk pola krisis yang berulang. Dampak pun tidak hanya ekologis, tetapi kemanusiaan yang dampaknya akan langsung kepada hak hidup, hak atas lingkungan sehat, hak atas tempat tinggal, hak atas keadilan distribusi bantuan, dan lainnya.

Rekonstruksi HAM: Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk menjawab kompleksitas krisis di Sumatera Barat, pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) diperlukan dalam setiap tahapan manajemen bencana. Pemerintah perlu memperkuat sistem mitigasi risiko, termasuk peringatan dini, tata ruang yang berpihak pada kelestarian lingkungan, serta pengendalian alih fungsi lahan. Upaya pemulihan ekosistem seperti reboisasi bukan lagi pilihan, tetapi keharusan untuk mencegah bencana serupa berulang.

Selain itu, respons darurat harus dilaksanakan dengan prinsip non diskriminasi dan keadilan. Distribusi bantuan harus tepat sasaran dan menjangkau kelompok rentan seperti anak-anak, penyandang disabilitas, dan lansia. Pada tahap rehabilitasi, pemulihan pasca bencana tidak boleh hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga harus menjamin hak korban atas tempat tinggal layak, mata pencaharian, dan kehidupan bermartabat. Masyarakat lokal juga perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan agar pemulihan tidak bersifat top-down, tetapi mencerminkan kebutuhan dan suara warga terdampak.

Bencana sebagai Peringatan Moral dan Politik

Tragedi di Sumatra bukan sekadar ujian alam, tapi ujian bagi kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab kolektif. Jika bencana hanya dipandang sebagai nasib buruk semata, tanpa refleksi terhadap struktur sosial, lingkungan, dan kebijakan, maka kita terus mengulang luka yang sama.

Negara dan masyarakat harus menyadari bahwa pembangunan dan perlindungan HAM harus berjalan bersama. Tanpa itu, bencana yang seharusnya menjadi pelajaran, akan menjadi norma. Bencana yang terjadi ini bisa menjadi peringatan keras bahwa keberlanjutan, keadilan, dan martabat manusia adalah fondasi mutlak bagi masa depan bangsa.

 

REFERENSI

Selfara Rosyabinafa adalah Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Jakarta, sekaligus edu content creator dan public speaker yang aktif mengangkat isu-isu seputar SDGs, pendidikan, dan lingkungan. Ia berkomitmen meningkatkan kesadaran publik melalui tulisan, konten edukatif, dan berbagai kegiatan kreatif.