Generasi Z Desak Pelibatan Nyata dalam Penanganan Krisis Iklim

Pemuda Adat (Foto: Barisan Pemuda Adat Nusantara)
Pemuda Adat (Foto: Barisan Pemuda Adat Nusantara)

Generasi Z menuntut pelibatan yang lebih tulus, bermakna, dan strategis dalam upaya menghadapi krisis iklim. Mereka menolak keterlibatan yang hanya bersifat simbolis dan formalitas semata, sebagaimana kerap terjadi dalam forum-forum pemerintah maupun lembaga internasional.

Desakan itu mengemuka dalam diskusi Ruang Publik KBR bertajuk “Generasi Z Menagih Tanggung Jawab Iklim”, Rabu, 5 November 2025. Acara daring tersebut merupakan bagian dari seri Nexus Tiga Krisis Planet yang diinisiasi Justice Coalition for Our Planet (JustCOP).

Diskusi menghadirkan dua pembicara muda: Dinah Rida dari KATA Indonesia yang mewakili suara Gen Z perkotaan, dan Elsy Grazia dari Yayasan Pikul, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berbicara dari perspektif wilayah timur Indonesia.

Baca juga: Saatnya Dunia Mendengar Suara Pemuda Adat

Menurut Dinah, keterlibatan generasi muda sering kali berhenti pada tataran seremoni, tanpa ada redistribusi kekuasaan dan akses dalam pengambilan keputusan.

“Anak muda punya otoritas untuk menentukan arah kebijakan terkait krisis iklim,” ujarnya.

Ia menilai, kurangnya akuntabilitas dalam pendanaan dan kebijakan iklim membuat anak muda sulit mendapat informasi yang inklusif. Dinah juga mengkritik kecenderungan pemerintah menyamakan dampak krisis iklim di berbagai wilayah tanpa melihat keragaman konteks sosial dan geografis.

“Anak muda di perkotaan menghadapi situasi berbeda dengan mereka yang tinggal di pelosok. Pemerintah seharusnya juga hadir bagi anak-anak muda di kampung,” katanya.

Suara dari Timur

Dari Nusa Tenggara Timur, Elsy Grazia menyoroti keterpinggiran anak muda dalam proses pengambilan keputusan. Minimnya akses informasi dan ruang dialog membuat suara generasi muda di daerah terpencil kian tak terdengar.

Elsy mencontohkan Siklon Seroja yang melanda NTT pada April 2021. Badai berkekuatan hingga 100 kilometer per jam itu memicu banjir bandang di sejumlah pulau, termasuk Rote, Sabu, dan Lembata. Dampaknya masih terasa hingga kini.

“Banyak tanaman lokal yang menjadi sumber pangan dan bahan bangunan rumah adat ikut musnah,” ujar Elsy.

Ia mengingatkan, hilangnya tanaman lokal juga berpotensi menggerus bahasa dan kearifan lokal karena sebagian nama tanaman itu hidup dalam kosa kata tradisional.

Baca juga: Janji Iklim Indonesia Alami Kemunduran?

Di Pulau Timor, para petani dan nelayan muda kehilangan mata pencaharian akibat cuaca ekstrem. Banyak yang terpaksa beralih profesi tanpa keahlian memadai.

“Kondisi ini memperlebar ketimpangan dan memperparah kemiskinan struktural,” kata Elsy.

Ia menuding pemerintah turut memperburuk keadaan dengan memberi izin pada proyek-proyek besar yang merampas ruang hidup warga, seperti proyek geotermal di Poco Leok, Pulau Flores, yang dikerjakan PT PLN.

“Proyek itu tak transparan dan mengancam sumber kehidupan masyarakat. Pemerintah seharusnya mengkaji ulang dan mengajak bicara anak muda serta kelompok rentan setempat,” ujarnya.

Menurut Elsy, pelibatan generasi muda tak bisa berhenti pada undangan menghadiri forum. “Pemerintah harus benar-benar mendengar dan melibatkan kami, bahkan sampai ke kampung-kampung,” tegasnya.

Staf Redaksi Benua Indonesia