PEMERINTAH melalui Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan Konsultasi Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia pada Kamis, 23 Oktober 2025 di Jakarta. Namun, acara ini lebih tepat disebut sebagai sosialisasi SNDC ketimbang konsultasi, karena publik tidak diberikan kesempatan yang adil dan bermakna dalam penyusunan dokumen yang akan disampaikan pada Conference of the Parties (COP)30 – United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 10–21 November 2025.
“Aspirasi masyarakat tidak mungkin hadir bila publik bahkan tidak memiliki akses terhadap dokumen SNDC. Partisipasi seharusnya terjadi sebelum keputusan dibuat, bukan hanya pada konsultasi formal,” ujar Nadia Hadad, Koordinator Tim Lobi Koalisi JustCOP dan Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan.
Koalisi JustCOP menilai publik mengalami kesulitan dalam mengakses dokumen SNDC hingga saat digelarnya acara tersebut. Seharusnya pemerintah memberikan akses dan melibatkan masyarakat sejak awal penyusunan, sebagai bentuk komitmen nyata dalam mengatasi krisis iklim. Partisipasi publik penting untuk menjamin keadilan sosial dan ekologis bagi seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir pihak.
Dari sisi substansi, dokumen SNDC yang disampaikan Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan sejumlah kelemahan. Dalam sektor energi, meski pemerintah menetapkan target pengurangan emisi tertentu, rencana pembangunan ketenagalistrikan masih mencakup 6,3 GigaWatt (GW) pembangkit batu bara on-grid, 20 GW off-grid, serta tambahan 10,3 GW pembangkit berbahan gas. Hal ini menandakan bahwa meskipun ada upaya pembangunan energi terbarukan yang ambisius, target pengurangan emisi akan sulit tercapai.
Baca juga: Masukan Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Target SNDC
“SNDC ini lebih terlihat sebagai langkah formal dan pencitraan yang kemungkinan besar hanya menjadi penanda di forum internasional seperti COP Iklim di Brasil pada November mendatang,” kata Iqbal Damanik, anggota Koalisi JustCOP dan Climate & Energy Manager Greenpeace Indonesia.
Selain itu, pemerintah mengesampingkan sektor hilirisasi nikel dan industri ‘hard to abate’ seperti baja dari kewajiban dekarbonisasi. Pendekatan ini menunjukkan bahwa target penurunan emisi belum menjadi prioritas utama dalam strategi pembangunan, melainkan dikompromikan demi ambisi pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Padahal sektor-sektor tersebut berkontribusi signifikan terhadap emisi nasional dan menjadi kunci transisi energi yang adil.
Bhima Yudhistira, anggota Koalisi JustCOP dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), menilai pemerintah gagal memahami konsep pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Menurutnya, sinergi antara dekarbonisasi industri, pengembangan ekonomi restoratif, dan transisi energi dapat menurunkan emisi sekaligus membuka lapangan kerja, mengendalikan inflasi, dan mendorong penciptaan nilai tambah di berbagai sektor.
“Sayangnya, pemerintah masih mengandalkan pertumbuhan ekonomi berbasis sektor ekstraktif. Oleh karena itu, proyeksi penurunan emisi setelah 2030 terkesan mustahil,” kata Bhima.













Leave a Reply
View Comments