PEMERINTAH Indonesia hari ini menggelar Konsultasi Publik Indonesia’s Second Nationally Determined Contribution (SNDC) di Jakarta. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut mandat Paris Agreement Pasal 4 dan Decision 1/CP.21, yang mewajibkan setiap negara memperbarui komitmen iklim setiap lima tahun.
Dokumen SNDC diharapkan menjadi kontribusi Indonesia dalam menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C, sejalan dengan Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).
Namun, di tengah momentum penting ini, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai SNDC Indonesia masih jauh dari semangat keadilan iklim dan partisipasi publik yang bermakna.
Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Nasional WALHI mengatakan, pendekatan pemerintah terlihat berfokus pada paradigma teknokratis dan manajerial, bukan transformasi struktural yang dibutuhkan untuk menghadapi akar krisis iklim.
“Alih-alih menempatkan krisis iklim sebagai persoalan keadilan, dokumen SNDC masih dipandang sebagai tantangan pembangunan yang harus dikelola secara teknokratis,” kata Boy Jerry Even Sembiring
Menurut Boy, pendekatan ini mengabaikan kenyataan bahwa krisis iklim merupakan manifestasi ketidakadilan struktural, di mana sistem ekonomi eksploitatif memperdalam ketimpangan dan menghancurkan ruang hidup masyarakat.
Baca jug: SNDC Indonesia: Minim Partisipasi, hingga Lemahnya Komitmen Krisis Iklim
ARUKI menegaskan bahwa komitmen iklim tidak boleh semata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi hijau, tetapi harus mendorong perubahan sistemik menuju pembangunan yang berkeadilan sosial dan ekologis.
Proses penyusunan SNDC pun menunjukkan partisipasi publik yang masih bersifat formalistik, dengan waktu terbatas dan ruang yang sempit bagi kelompok masyarakat terdampak untuk terlibat secara substantif.
“Pendekatan ini mempertahankan sentralitas negara dalam pengambilan keputusan, dan menegasikan peran kelompok rentan sebagai pihak utama dalam solusi iklim, bukan sekadar penerima kebijakan,” tambah Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.
Di sektor mitigasi, SNDC hanya menggunakan frasa simbolik seperti “menghormati, mempromosikan, dan mempertimbangkan” hak masyarakat adat dalam proyek FOLU (Forestry and Other Land Use). Formulasi ini tidak menjamin perlindungan substantif.
Padahal, pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi langkah mendesak untuk mencegah konflik lahan yang muncul atas nama proyek iklim atau investasi energi terbarukan skala besar.
Baca juga: Masukan Masyarakat Sipil untuk Penyusunan Target SNDC
Manurut Torry, perlindungan hak wilayah adat harus menjadi bagian integral strategi mitigasi, bukan sekadar catatan pinggir. Sayangnya, strategi adaptasi SNDC juga belum konkret menjawab kebutuhan unik kelompok rentan.
“Tidak adanya data terpilah dan pengakuan atas biaya ekstra disabilitas menunjukkan bahwa adaptasi yang dijanjikan masih generik dan tidak menyentuh realitas kerentanan sosial-ekonomi di tingkat komunitas,” jelas Torry Kuswardono.
ARUKI menyoroti bahwa mekanisme pendanaan iklim yang terpusat melalui BPDLH dan skema keuangan besar lainnya masih jauh dari prinsip keadilan. Model top-down ini menyulitkan akses langsung masyarakat adat, petani, dan nelayan—mereka yang sejatinya menjadi garda terdepan dalam menjaga ekosistem.
Untuk menjembatani jurang antara komitmen negara dan aspirasi rakyat, ARUKI mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk:
- Mengakomodir masukan masyarakat sipil secara substansial ke dalam dokumen SNDC agar mencerminkan kebutuhan, pengetahuan, dan aspirasi kelompok terdampak krisis iklim;
- Mengarusutamakan keadilan iklim dan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan dan revisi NDC, menempatkan perlindungan kelompok rentan sebagai inti strategi adaptasi dan mitigasi;
- Membangun mekanisme partisipasi yang mengikat, memastikan perwakilan kelompok rentan dilibatkan penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan iklim;
- Mendesain ulang arsitektur pendanaan iklim agar sumber daya dapat langsung disalurkan ke inisiatif komunitas dengan tata kelola transparan dan akuntabel;
- Membahas dan mengesahkan RUU Keadilan Iklim sebagai payung kebijakan perubahan iklim yang berkeadilan.













Leave a Reply
View Comments