PEJUANG lingkungan asal Merauke, Vincent Kwipalo, resmi melaporkan PT Murni Nusantara Mandiri (MNM) ke Markas Besar Kepolisian RI. Ia menuding perusahaan perkebunan tebu itu melakukan tindak pidana penggelapan tanah adat dan kejahatan perkebunan di wilayah adat Marga Kwipalo, Distrik Jagebob, Kabupaten Merauke.
Laporan tersebut diterima di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri, Selasa, 4 November 2025, dengan nomor LP/B/544/XI/2025/SPKT/BARESKRIM POLRI. Vincent datang bersama tim kuasa hukumnya dari Solidaritas Merauke, antara lain Emanuel Gobay, S.H., M.H., dan Asep Komarudin, S.H., yang juga aktivis Greenpeace Indonesia.
Sejak 2024, Vincent—yang juga pimpinan Marga Kwipalo—menolak keras rencana ekspansi PT MNM di tanah adat mereka. Ia menilai, wilayah hutan, dusun, dan rawa di Blandin Kakayo adalah sumber hidup masyarakat adat: tempat berburu, mencari bahan pangan, obat-obatan, dan sumber air bersih.
“Sampai kapan pun sejengkal tanah tidak kami berikan kepada perusahaan,” kata Vincent. “Kalau hutan kami habis, kami dan anak cucu mau ke mana?”
Namun penolakan itu tak dihiraukan. PT MNM, yang hanya berbekal perizinan berusaha berbasis risiko dan persetujuan pemanfaatan ruang, disebut tetap melakukan pengukuran, pematokan, dan penggusuran di kawasan adat Kwipalo. Aktivitas itu bahkan mencapai hutan keramat Cacibi, Abakin, Agodai, dan Congyap, tanpa musyawarah dengan masyarakat adat.
Vincent mengaku telah melaporkan penyerobotan itu ke pemerintah daerah, nasional, hingga Komnas HAM, namun tak kunjung mendapat respons. Sementara di lapangan, ia merasa tekanan meningkat karena operator perusahaan dan aparat militer beberapa kali mendatangi rumahnya.
Masyarakat Marga Kwipalo telah memasang tanda sasi permater—larangan adat memasuki wilayah tanpa izin—serta mengecat batas wilayah dengan warna merah. Namun aktivitas perusahaan tetap berlangsung. Bahkan ditemukan pembangunan fasilitas militer di Dusun Muckai sejak Juni 2025.
Kuasa hukum Emanuel Gobay menyebut, laporan ke Bareskrim mendasarkan pada Pasal 385 ayat (1) KUHP tentang penggelapan tanah, serta Pasal 55 dan 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
“Kami menilai ada tindak pidana karena perusahaan beroperasi tanpa hak dan tanpa persetujuan masyarakat adat,” ujar Emanuel.
Menurut Emanuel, Marga Kwipalo termasuk masyarakat adat yang diakui secara hukum berdasarkan UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta UU Otonomi Khusus Papua.
Selain itu, Bupati Merauke pada 2024 telah mengeluarkan SK Nomor 100.3.3.2/1413/Tahun 2024 yang mengakui wilayah adat Suku Yei, termasuk Marga Kwipalo.
Namun, kata Asep Komarudin, perusahaan tetap masuk tanpa musyawarah, menghancurkan tanaman pangan, dan merusak wilayah sakral milik masyarakat adat.
“Kehadiran perusahaan justru memicu konflik horizontal antar-marga dan mengancam keselamatan tokoh adat,” ujar Asep.
Tim kuasa hukum meminta Kapolri segera menindaklanjuti laporan tersebut, menghentikan kegiatan perusahaan di wilayah adat Kwipalo, dan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat setempat.
“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 66 tegas menyebut, siapa pun yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut pidana maupun perdata,” kata Asep.











Leave a Reply
View Comments