United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mendesak negara-negara di dunia segera beralih ke energi bersih yang berkeadilan. Sekretaris Eksekutif UNFCCC Simon Stiell beralasan peralihan dari energi fosil ke energi yang lebih bersih secara adil akan membantu mengatasi krisis iklim pada saat ini.
“Kita telah sepakat bahwa kita akan beralih dari bahan bakar fosil. Sekaranglah saatnya untuk berfokus pada bagaimana kita melakukannya secara adil dan tertib. Berfokus pada kesepakatan mana yang akan dicapai, untuk mempercepat penggandaan energi terbarukan dan penggandaan efisiensi energi,” kata Stiell saat berpidato dalam pembukaan COP30 di Belém, Brasil, 10 November 2025.
Stiell mengatakan sudah tidak ada alasan lagi negara di dunia menunda komitmen Perjanjian Paris untuk beralih ke energi bersih yang berkeadilan. Dari sisi ekonomi, dia menunjukkan, pemakaian listrik bersih menciptakan lapangan pekerjaan. Tenaga surya dan angin menjadi sumber energi berbiaya terendah di 90 persen dunia. Investasi energi bersih dan infrastrukturnya juga sudah melampaui bahan bakar fosil dengan dua banding satu.
“Ketika bencana iklim merenggut nyawa jutaan orang saat kita sudah memiliki solusinya, hal ini tidak akan pernah dimaafkan. Ekonomi dari transisi ini sama tak terbantahkannya dengan biaya dari ketidakpedulian,” kata Stiell.
Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengingatkan, sejak COP 2015 di Paris, Prancis, dunia telah bersepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekspansi energi fosil. Karena itu, dia menilai peningkatan pemakaian energi gas bumi dan masih dominannya batu bara dalam bauran energi Indonesia sepuluh tahun ke depan merupakan pengingkaran terhadap semangat COP.
“Kebijakan transisi energi Indonesia sejatinya tidak dibangun atas kesadaran bahwa krisis dan bencana-bencana iklim sudah mengancam kemanusiaan kita. Tetapi lebih didasarkan pada politik transaksional yang lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan oligarki energi fosil,” kata Leonard, 10 November 2025.
Dalam beberapa pertemuan global, Presiden Prabowo Subianto menyatakan komitmen transformasi menuju 100 persen energi bersih dalam satu dekade mendatang. Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono mengatakan, pernyataan tersebut harus diterjemahkan secara konkret dalam seluruh kebijakan energi nasional.
“Namun, faktanya menunjukkan arah kebijakan terkait transisi energi bersih masih kontradiktif,” kata Agung.
Baca juga: PP KEN 2025: Ambisi Energi Bersih Surut, Batubara Tetap Perkasa
Dokumen seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik PLN 2025-2034, dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2025–2045 masih menempatkan batu bara dan gas sebagai sumber utama pasokan energi nasional hingga lebih dari 60 persen dalam dua dekade mendatang.
“Jika tidak ada koreksi menyeluruh, maka pernyataan politik Presiden Prabowo hanya akan berhenti sebagai retorika tanpa pijakan kebijakan yang nyata,” kata Agung.
Ia menilai komitmen Indonesia di panggung global seperti COP30 yang tertuang lewat Second Nationally Determined Contribution (SNDC) dan target Net Zero Emission 2060 atau lebih cepat menuntut keberanian untuk melakukan reformasi kebijakan energi.
Menurutnya, pemerintah harus memastikan agar peta jalan transisi energi nasional benar-benar berpihak pada energi terbarukan yang bersih dan berkeadilan. Tanpa penyelarasan antara komitmen internasional dan kebijakan domestik, Indonesia berisiko kehilangan kredibilitas di mata global dalam green momentum di kawasan.
Dalam pidatonya, Stiell menegaskan jalur transisi energi harus inklusif dan adil, mencakup semua elemen masyarakat tanpa terkecuali. Pengkampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian mengingatkan pernyataan Stiell itu selayaknya menjadi arah utama Indonesia dalam memperkuat komitmen iklim.
Namun, SNDC Indonesia justru sarat dengan solusi palsu yang jauh dari nilai keadilan dan inklusivitas. Pemerintah masih membuka ruang bagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) baru dan mendorong gas sebagai low carbon fuel, sebuah langkah yang mempertahankan ketergantungan pada energi fosil dan mengabaikan tanggung jawab untuk memastikan transisi yang adil bagi masyarakat dan lingkungan.
Beyrra menilai arah pendanaan dan kebijakan energi nasional hingga sekarang sama sekali belum menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Pasalnya, tidak ada dukungan berarti bagi inisiatif energi terbarukan berbasis komunitas yang selama ini menjadi bukti nyata transisi yang adil dan berakar dari bawah.
“Selama transisi hanya berputar di lingkaran korporasi dan solusi semu, Indonesia tidak sedang menuju transformasi energi, melainkan memperpanjang ketimpangan dan ketidakadilan atas nama iklim,” tambahnya.
Baca juga: Kolonialisme, Ruang dan Transisi Energi
Hingga saat ini, Indonesia masih mengandalkan energi fosil sebagai sumber energi. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan, hingga 2024 bauran energi primer di Indonesia masih didominasi oleh batu bara sebesar 40,37 persen, disusul minyak bumi sebesar 28,82 persen, gas bumi 16,17 persen dan Energi Baru Terbarukan (EBT) mencapat 14,65 persen.
Penggunaan batu bara yang masif telah merugikan masyarakat. Hasil riset CELIOS, CREA dan Trend Asia yang diterbitkan 4 November 2025 lalu menunjukkan, penggunaan batu bara di 20 PLTU menyebabkan setidaknya 156.000 kematian dini akibat polusi udara dan biaya ekonomi dari kerugian kesehatan hingga US$109 miliar atau setara Rp1,813 triliun dari tahun 2026 hingga tahun operasional terakhir pada tahun 2050 akibat polusi udara.
Penyakit-penyakit yang timbul dari dampak kesehatan PLTU meliputi stroke, penyakit jantung iskemik, infeksi saluran pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, dan diabetes.
Kerugian ekonomi per tahun dari 20 PLTU mencapai Rp52,4 triliun dan berkurangnya pendapatan masyarakat secara agregat sebesar Rp48,4 triliun. Sebanyak 1,45 juta tenaga kerja berkurang akibat operasional 20 PLTU di Indonesia, sebagian besar merupakan pekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang terdapat pencemaran lingkungan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian menekankan peralihan dari energi fosil ke energi bersih harus disertai pendanaan yang berkeadilan. Tropical Forest Forever Facility (TFFF), pendanaan guna memulihkan hutan tropis sekaligus mendukung transisi energi, harus memastikan modalnya tidak digunakan untuk menopang industri bahan bakar fosil.
Sebaliknya, pendanaan harus bermanfaat secara konkret bagi komunitas penjaga hutan. “Telah banyak janji yang dihasilkan dalam serangkaian perundingan COP. Janji-janji itu sudah semestinya menempatkan Masyarakat Adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama yang berhak menerima manfaat langsung dari pendanaannya,” katanya.
Pada saat acara pembukaan COP30, Stiell mendorong pencapaian target pendanaan US$1,3 triliun bagi negara-negara berkembang hingga 2035. Pendanaan tersebut sesuai kesepakatan COP29 di Baku, Azerbaijan. Dia juga menekankan negara-negara maju guna memimpin komitmen pendanaan iklim sebesar US$300 miliar per tahun.(*)











Leave a Reply
View Comments