Ekonomi Meningkat, Tapi SDA Menjadi Korban di India dan Pakistan

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.
Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.
  • India dan Pakistan mengalami peningkatan ekonomi, namun diiringi oleh kerusakan lingkungan yang parah akibat lemahnya tata kelola sumber daya alam dan dominasi kepentingan politik jangka pendek.
  • Di India, pertumbuhan industri mencemari sungai-sungai besar meski telah ada kebijakan lingkungan, yang sayangnya hanya berjalan di atas kertas.
  • Pakistan menghadapi krisis air yang diperparah oleh konflik sungai dengan India dan proyek infrastruktur besar yang merusak ekosistem.
  • Kedua negara perlu menyadari bahwa tanpa tata kelola lingkungan yang berkelanjutan dan kolaborasi regional, pertumbuhan ekonomi hanya akan memperdalam krisis ekologis dan sosial.

Terjadinya globalisasi termasuk globalisasi ekonomi membawa dunia dalam kemajuan serta kesejahteraan. Seperti banyak faktanya semakin maju ekonomi semakin habis lingkungan, sehingga menyebabkan krisis ekologis yang bisa dibilang parah seperti pada dua negara di Asia Selatan, yaitu India dan Pakistan.

Kedua negara tersebut telah lama mengalami masalah yang sama, yaitu pada kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang lemah, kepentingan politik sebagai fokus utama, perekonomian hanya jangka pendek – sehingga pemasukan anggaran negara tidak meningkat –  dan lain sebagainya.

Sumber daya alam sendiri merupakan dasar utama yang bisa membuat perekonomian meningkat, namun tidak dengan negara India dan Pakistan yang selalu mempermasalahkan sumber daya alam sebagai alat untuk kontrol dan kepentingan dari politik, ekonomi, hukum, dan kekuasaan para pemangku jabatan.

Hal tersebut membuat negara India dan Pakistan merasa dilema untuk membuka pasar sebagai investasi asing ke dalam negara mereka, sedangkan sudah banyak negara lain yang membuka investasi asing ke dalam berbagai sektor dan bidang mereka.

Di India bisa dibilang pertumbuhan perekonomiannya cepat dan terus meningkat, namun dengan terus berkembangnya ekonomi mereka membuat degradasi lingkungan terjadi. Banyak sungai besar di India yang telah menjadi pembuangan dan tercemar limbah industri dan emisi karbon yang menaik, seperti Sungai Gangga dan Sungai Yamuna.

Menghadapi hal tersebut, pemerintah India membuat kebijakan National Environment Policy 2006 (Kebijakan Lingkungan Nasional), yaitu kerangka kerja komprehensif yang memandu tindakan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dalam konservasi lingkungan.

Kebijakan tersebut mengakui bahwa pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan saling terkait dan harus berjalan seiring demi kemakmuran jangka panjang. Kedua, pemerintah India membuat Program Reforestasi untuk mengatasi deforestasi, tingginya tingkat polusi, dan kenaikan emisi karbon.

Kebijakan dan program yang dibuat oleh pemerintah India hanya sebatas formalitas diatas kertas saja, karena penegakan hukumnya yang sangat lemah, kurangnya partisipasi dari masyarakat sekitar, dan lebih banyak mendahulukan kepentingan ekonomi daripada menjaga kelestarian lingkungan.

Di Pakistan, krisis yang terjadi lebih parah terutama pada sektor air. Pakistan sangat bergantung pada Sungai Indus, namun perubahan iklim seringkali terjadi yang disebabkan oleh pemakaian sungai tersebut.

Baca juga: Urgensi Ekonomi Nusantara Teluk Tomini

Sungai Indus pun ada pada perjanjian yang dibuat oleh Bank Dunia, yaitu Indus Waters Treaty (1960) untuk Pakistan dan India bertujuan membagi air dari enam sungai yang ada.

Perjanjian tersebut membagi sungai menjadi dua kelompok diantaranya adalah tiga sungai bagian timur yaitu Sungai Ravi, Beas, dan Sutlej yang sebagian besar hak airnya diberikan kepada India, dan tiga sungai bagian barat yaitu Sungai Indus, Jhelum, dan Chenab yang sebagian besar hak airnya diberikan kepada Pakistan.

Perjanjian tersebut bisa saja membuat hubungan yang baik antara India dan Pakistan, namun kedua negara tersebut lebih sering memiliki konflik diplomatik terkait wilayah sungai. India beberapa kali membangun bendungan di wilayah Kashmir dan hal tersebut membuat Pakistan merasa India melanggar perjanjian yang telah disepakati dan juga merasa terancam akan wilayah teritorialnya.

Krisis lingkungan yang terjadi di Pakistan dan India bukan hanya disebabkan oleh kedua negara tersebut saja, tapi lembaga internasional pun turut ikut andil. Bank Dunia memiliki proyek infrastruktur dengan nama yang dikenal “ramah investasi” dan nama tersebut tidak berdampak sangat ramah, karena seringkali merusak lingkungan dan perubahan iklim.

Di India ada proyek pertambangan pada wilayah Odisha dan Jharkhand yang telah mengusir ribuan warga sekitar tanpa diberikannya kompensasi yang benar, sedangkan di Pakistan ada proyek bendungan besar bernama Diamer-Bhasha Dam yang telah merusak ekosistem.

Dari hal tersebutlah yang membuat globalisasi dikritik karena telah mengabaikan alam dan sosial serta ketimpangan lingkungan (environmental inequality). Untuk menangani masalah tersebut, India dan Pakistan harusnya bekerja sama dalam mengelola sistem perairan lewat sungai-sungai yang telah dibagi, energi yang berkelanjutan, pelestarian alam, dan lainnya.

Banyak masalah yang dihadapi oleh kedua negara tersebut merupakan masalah yang sama seperti kekeringan yang parah, perubahan iklim, pencemaran lingkungan dan lainnya. Ketegangan antara India dan Pakistan bisa dibilang historis, oleh karena itu kerja sama yang dibicarakan akan berpeluang sedikit untuk terjadi bagi kedua negara tersebut.

India dan Pakistan harus memahami dengan tidak adanya tata kelola lingkungan yang baik dan benar, maka pembangunan ekonomi negara hanya akan terus menerus melahirkan masalah yang baru.

Kebijakan yang dibuat oleh pengelola Sumber Daya Alam di India dan Pakistan juga harus berfokus pada berkelanjutan dan adil pada ekosistem, karena adanya globalisasi bukan berarti ekosistem harus terus dikorbankan yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri juga.

 


Redaksi menerima artikel opini dengan panjang cerita minimal 700 kata, dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail redaksibenua@gmail.com disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan profil singkat.

Seorang mahasiswi jurusan Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Lahir dan besar di Depok pada 30 Mei 2005, memiliki minat besar dalam membaca, khususnya berita-berita seputar politik. Aktif mengikuti berbagai kegiatan relawan (volunteer) dan saat ini sedang mempelajari bahasa asing tambahan, yaitu bahasa Spanyol, selain bahasa Inggris.