“Saya lebih memilih mati menjadi petani. Itu lebih terhormat. Daripada saya mati akibat bencana yang disebabkan perusahaan tambang emas PT. Gorontalo Minerals. Itu merupakan penghinaan buat saya,”
Kata itu merupakan kata yang paling tegas yang disampaikan Sumanti Dukalang kepada saya, saat dirinya saya wawancarai pada Selasa (3/8/2021) kemarin. Perempuan yang berumur 51 tahun ini merupakan warga Desa Moopiya, Kecamatan Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango yang hingga kini masih menolak dengan tegas keberadaan PT. Gorontalo Minerals [GM] di kampung halamannya itu. Ia rela mengorbankan nyawanya untuk melakukan perlawanan demi masa depan anak dan cucunya.
Perempuan tiga orang anak ini memilih tetap menjadi petani dari pada menjadi babu [pesuru] perusahaan tambang emas milik keluarga Bakrie ini. Alasanya, perusahaan tambang emas akan merusakan lingkungan hidup. Perkebunan miliknya yang ada di wilayah konsesi GM akan tidak berguna lagi jika anak perusahaan dari PT. Bumi Resources Minerals Tbk [BRM] ini akan beroperasi mengeruk biji emas di tanah kelahirannya itu. Hal itu yang membuat ia menolak secara tegas keberadaan GM.
Sumanti bercerita, GM tidak pernah melakukan sosialisasi di desanya. Padahal desanya merupakan jalur utama akses jalan menuju lokasi perusahaan tambang yang terletak di Blok I Kompleks Sungai Mak dengan jarak sekitar 10 kilometer dari desa Sumanti. Ia kaget, tiba-tiba GM langsung membuat jalan di desanya tanpa pemberitahuan kepada pihaknya. Perempuan yang juga merupakan Anggota Badan Permusyawaratan Desa [BPD] ini sangat keberatan dengan perlakuan GM yang tak menghormati masyarakat setempat.
“GM tidak pernah sosialisasikan kepada kita aktivitas mereka. Meski mereka melakukan sosialisasi juga, saya orang yang paling depan untuk melakukan penolakan,” kata Sumanti sambil menjelaskan desanya berada di muara sungai Tombulilato yang sangat berpotensi terjadi banjir bandang.
“Sejak dulu, ketika hujan datang, kita semua tidak bisa tidur, karena takut terjadi banjir. Apalagi, saat ini GM sudah membuat jalan menuju di Blok I Kompleks Sungai Mak, pastinya mereka sudah membuka lahan dengan menggunakan alat berat, yang mengurangi penyangga air sehingga berpotensi terjadi banjir yang lebih besar,” kata Sumanti.

Senin [7/9/2020] lalu, Kecamatan Bone Raya pernah dilanda banjir bandang dan tanah longsor akibat curah hujan yang tinggi. Bencana itu menelan 5 orang korban jiwa yang diduga merupakan satu keluarga. Rabu (9/9/2020) atau tiga hari dari hujan deras itu, 2 orang di antaranya ditemukan tewas tertimbun longsor. Sementara 3 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Sumanti bilang, 1 dari 2 orang yang ditemukan itu, merupakan mantan suaminya.
Sumanti menjelaskan kejadian itu merupakan pertanda buruk bagi semua warga Kecamatan Bone Raya. Keberadaan GM harus menjadi perhatian serius, karena sangat berpotensi menimbulkan bencana. Ia membandingkan kejadian banjir bandang yang merenggut nyawa mantan suaminya yang saat itu GM belum beroperasi membuat jalan, dengan kondisi sekarang jalan GM sudah ada.
Sumanti takut, akan terjadi bencana lebih besar lagi melebihi tahun-tahun sebelumnya karena GM sudah mulai beroperasi. Ia juga sangat kecewa kepada pihak Pemerintah Kecamatan Bone Raya dan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango yang tidak pernah memfasilitasi atau membuka ruang diskusi antara masyarakat dan pihak GM dalam membahas dampak-dampak apa saja yang akan terjadi dengan adanya perusahaan tambang emas ini.
“Setidaknya Bupati Bone Bolango bisa memberikan jaminan masa depan kepada kita semua. Tapi semua itu tidak ada. Pasti ketika datang musim hujan, kita akan terkena dampaknya,” jelasnya.
Anak Sumanti pernah di iming-imingi untuk dipekerjakan di GM. Namun dirinya menolaknya dengan tegas. Buatnya, dengan memperkerjakan anak-anaknya di GM, itu sama seperti menghancurkan masa depan anak dan cucunya kelak. Perkebunan yang dimilikinya bisa menjadi jaminan untuk anak dan cucunya hidup bahagia nanti. Menjadi petani, buatnya, bisa menjadi manusia yang merdeka.
“Kalau bekerja di GM, pasti tidak akan lama, apalagi menjadi buruh kasar, pasti cuman berapa tahun saja, tapi kalau dibandingkan menjadi petani, pasti kita menikmati hasilnya dengan jangka waktu yang sangat lama, bahkan sampai seumur hidup. Kita makan pisang saja, kita bisa hidup,” ujarnya
Senada dengan Sumanti. Yusdin Maele yang merupakan warga Desa Alo, Kecamatan Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo memiliki tekad yang sama. Ia juga sangat menolak keberadaan GM yang akan beroperasi di tanah leluhurnya itu. Namun lelaki yang berumur 54 tahun ini tidak bisa berbuat banyak. Keterbatasan pengetahuannya menjadi alasan utama dirinya tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya untuk mengusir perusahaan tambang emas milik keluarga Bakrie ini. Yusdin bilang, banyak warga di desanya mengalami hal sama dengan dirinya.
“Kita tidak tahu harus bagaimana untuk melakukan penolakan, kita di sini dibatasi dengan Pendidikan. Apalagi ada beberapa orang yang mendukung keberadaan GM ini, kami juga semakin bingung harus bagaimana, jadi sampai hari ini kami hanya diam saja,” kata Yusdin Maele kepada Mongabay Indonesia, Selasa [3/8/2021] lalu
Lelaki yang juga merupakan tukang gula aren ini mengaku pernah diundang GM untuk membahas soal pembebasan lahan di Kantor Desanya. Ia diundang karena ada sebagian lahannya akan dibangunkan jalan untuk GM menuju Blok I Kompleks Sungai Mak yang menjadi sentral utama operasi produksi emas GM. Tapi Yusdin tak hadir. Ia memilih bekerja membuat gula aren di kebunnya, untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Tak hanya itu, Ia juga mengaku sempat ditawari bekerja sebagai buruh kasar untuk membuka akses jalan menuju Blok I Kompleks Sungai Mak dengan bayaran Rp 150 ribu per-hari. Tapi ia menolak. Berprofesi sebagai tukang gula aren, sudah sangat cukup buatnya. Bahkan Yusdin bisa mendapatkan uang yang lebih besar dibandingkan menjadi buruh kasar GM. Ia juga berpikir sama seperti Sumanti. Menurut Yusdin, orang yang bekerja di GM pasti tidak akan lama.
“Dalam sehari, saya bisa memproduksi gula aren bisa sampai 25 biji. 1 biji biasa saya jual Rp 12 ribu. Jika dijumlahkan, 25 biji, saya bisa mendapatkan uang Rp 250 ribu dalam sehari. Uang itu sudah lebih besar jika dibandingkan dengan bekerja sebagai buruh kasar di GM. Apalagi, membuat gula aren sangat mudah,” jelasnya.
Apa yang dibicarakan Yusdin kurang lebih senada dengan yang diucapkan oleh Anduani, yang tak lain merupakan saudara dari Yusdin. Anduani kerap menemani Yusdin saat membuat gula aren tiap hari. Ia bilang, orang yang tak memiliki Pendidikan di desanya hanya dimanfaatkan kekuatan fisiknya untuk membuka jalan GM. Padahal, kata Anduani, sebagian masyarakat tidak mengetahui perusahaan tambang emas ini sangat berdampak kepada lingkungan hidup. Persoalan banjir menjadi sorotannya.
“Ketika hujan, air sungainya sangat besar, biasa terjadi banjir bandang, Kalau GM sudah melakukan pembabatan di hujan nanti, pasti akan memicu banjir sangat besar lagi. Bisa tenggelam Gorontalo nanti. Ini yang saya takutkan. GM sudah tidak pernah memberitahukan ke kita apa saja dampak-dampak yang terjadi akibat adanya tambang emas ini,” kata Anduani
Sikap Yusdin Maele dan Anduani, juga dialami oleh Ruwaida Musin yang juga merupakan warga Desa Alo, Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Ia memilih tak melakukan apapun, baik melakukan penolakan atau protes terhadap GM. Bahkan lahan miliknya yang memiliki puluhan tanaman bulanan dan tahunan yang langsung dibayarkan GM dengan harga Rp2 juta saja, tanpa pembicaraan awal, dirinya langsung menerimanya dengan lapang dada. Ia juga tidak melakukan komplain, meski harga tersebut tak wajar buatnya.
“Ada kelapa 2 pohon, pisang ada 20 pohon lebih, pohon mangga 3 pohon, dan coklat dua pohon hanya dihargai Rp2 juta saja. Itupun dibayar secara tiba-tiba, tidak ada pembicaraan awal. Jadi mau tidak mau harus terima, saya juga takut untuk melawan, saya hanya rakyat kecil,” kata Ruaida Musin kepada Mongabay Indonesia, Selasa (3/8/2021) kemarin
Keterbatasan Pendidikan dan Pengetahuan memang kerap menjadi salah satu faktor utama masyarakat kecil tidak mau melakukan perlawan jika mengalami suatu penindasan. Seperti yang dialami Ruwaida Musin yang sering di sapa sebagai Ibu Coklat ini. Ia mengaku tidak memiliki wawasan yang luas, untuk membentengi hidupnya saat ada yang ingin mengakalinya.
“Di mana orang pintar, saya ikut saja, tidak mau melawan, saya takut. Saya menerima uang pembayaran itu juga karena saya takut nanti lahan itu tidak dibayar jika saya menolaknya” ucapnya
Persoalan dampak yang akan timbul akibat keberadaan tambang emas ini, ibu coklat mengaku tidak tahu menahu soal itu. Ia hanya tidak mau bermasalah dengan siapapun, apalagi sampai ke rana hukum. Ia hanya bercerita saat banjir bandang yang terjadi pada Senin [7/9/2020] lalu itu, rumahnya juga sempat hanyut dibawa air sungai Tombulilato. Barang-barang yang berada di dalam rumah, sudah tidak sempat diambil, tinggal baju di badan saja yang tersisah.
“Awalnya rumah saya ini besar, tapi ketika banjir bandang itu, rumah saya hancur, dan akhirnya saya bangun ulang, dan menjadi kecil dari sebelumnya, Untuk membuat besar seperti dulu, harus membutuhkan uang yang cukup besar juga,” ujarnya
Sumanti Dukalang, Yusdin Maele, Anduani, dan Ruwaida Musin merupakan warga Kecamatan Bone Raya yang hingga kini masih sangat khawatir dengan keberadaan GM. Mereka semua masih belum mengetahui secara jelas dampak-dampak apa saja yang dicantumkan dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan [AMDAL] jika GM sudah melakukan aktivitasnya. Mereka takut, banjir bandang yang dihadapi mereka setiap tahun, akan lebih besar lagi.

Kecamatan Bone Raya terletak di wilayah pesisir selatan Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango. Butuh waktu kurang lebih dua jam untuk menempuh perjalanan dari Ibu Kota Kabupaten Bone Bolango untuk sampai ke Kecamatan tersebut.
GM mendapatkan surat persetujuan Presiden Republik Indonesia dengan No. B.52/Pres/1/1998, untuk melakukan kegiatan penambangan dan pengolahan tembaga dan mineral pengikutnya yang berlokasi di kompleks sungai Mak, Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo dengan target produksi biji mencapai 5,000,000 ton biji/tahun, dan produksi konsentrat mencapai 130,000 ton/tahun.
Kecamatan Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo merupakan bagian dari wilayah Kontrak Karya PT. Gorontalo Minerals hingga tahun 2052. Luas konsesinya mencapai 24,995 hektare. Konsesi itu mencakup 2 blok, yaitu Blok 1 di Tombulilato dengan seluas 20,290 Ha dan Blok II di Molotabu dengan luas 4,705 Ha. Luas konsesi itu masuk dalam wilayah 10 desa yang ada di Kecamatan Bone Raya.
Merujuk pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 05 Tahun 2012 dan Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 2012 tentang izin Lingkungan, maka tahun 2014, GM membuat Studi Analisis Dampak Lingkungan [AMDAL] yang akhirnya selesai disusun pada tahun 2018.
Berdasarkan dokumen Kerangka Acuan dan Dokumen AMDAL GM yang diperoleh Mongabay Indonesia, GM tercatat sudah melakukan sosialisasi sejak tahun 2014 sampai tahun 2017 sebanyak 5 kali di Kecamatan Dumbo Raya Kota Gorontalo, Kecamatan Bulawa, Kecamatan Suwawa Timur, Kecamatan Bone Raya, dan Desa Tulabolo Timur. Akhirnya, pada tahun 2019, GM Minerals masuk dalam tahapan produksi dengan kontrak sampai dengan 1 Desember 2052 berdasarkan nomor SK 139.K/30/DJB/2019 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Februari 2019.
Namun, hal itu dibantah oleh masyarakat setempat, terkhusus masyarakat Kecamatan Bone Raya. Mereka mengklaim GM dinilai tidak terbuka dengan soal draf Analisis Dampak Lingkungan [AMDAL]. Pasalnya, AMDAL tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat, bahkan masyarakat setempat tidak pernah diberikan bocoran mengenai isi dokumen AMDAL. Masyarakat juga takut akan ada dampak kerusakan lingkungan di kemudian hari ketika perusahaan tambang emas ini bakal beroperasi tahun ini.
Protes tersebut yang membuat warga Kecamatan Bone Raya berdemonstrasi menuntut GM harus angkat kaki dari Bumi Serambi madinah pada 2 juni 2021 lalu. Namun tak ada respon dari pihak Pemerintah dan Perusahaan.
Bupati Bone Bolango, Hamim Pou saat dihubungi Mongabay Indonesia pada Kamis [5/8/2021] lalu, mengatakan bahwa penolakan masyarakat Kecamatan Bone Raya terhadap GM merupakan dinamika sosial yang harus dihormati. Pihaknya juga tidak bisa berbuat banyak, akibat adanya sentralisasi perizinan pertambangan sudah dialihkan ke Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.
Tulisan ini sebelumnya sudah tayang di Mongabay Indonesia dengan judul “Warga Resah Operasi Perusahaan Tambang Emas di Bone Bolango” pada tanggal 30 september 2021 lalu. Tulisan ini publish kembali di website ini dengan tujuan untuk mengkampanyekan pentingnya menjaga hutan.
Leave a Reply