Umar Pasandre, Penjaga Hutan Mangrove Pesisir Torosiaje

Umar Pasandrepenjaga mangrove di pesisir Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay
Umar Pasandrepenjaga mangrove di pesisir Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay
  • Umar Pasandre, lebih 20 tahun merawat dan menjaga kelestarian hutan mangrove di Kawasan Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. Pria asli Suku Bajo ini pun membangun kesadaran dan mengajak masyarakat bersama-sama menjaga mangrove.  
  • Aksi Umar Pasandre menjaga mangrove  dan mengajak masyarakat sekitar Torosiaje penuh tantangan. Dari warga yang tak sejalan sampai pemodal-pemodal datang yang ingin menghancurkan hutan mangrove untuk tambak.
  • Perlahan dan bertahap, kini sebagian besar warga Pesisir Torosiaje, mulai sadar arti penting dan manfaat keberadaan hutan mangrove bagi mereka. Kini, warga pun bersama merawat mangrove. Tak hanya merawat mangrove, warga pesisir Torosiaje, juga menanam dan punya pembibitan mangrove. Mereka terus memperluas hutan mangrove.
  • Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Gorontalo, kerusakan kawasan mangrove di provinsi ini mencapai 67%Tambak jadi penyumbang terbesar kerusakan hutan mangrove di Gorontalo, seperti di Kabupaten Pohuwato. Padahal Pohuwato merupakan wilayah yang memiliki luasan mangrove terbesar di Gorontalo.

Umar Pasandre mengangkat tangannya sembari menunjuk salah satu hamparan hutan mangrove yang tubuh subur di pesisir barat Gorontalo, tepatnya di Kawasan pesisir Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Saat itu, di pertengahan Mei lalu, lelaki berumur 54 tahun ini sedang memperlihatkan ke saya, hasil dari upayanya membangun kesadaran kepada masyarakat terkait pentingnya mangrove untuk kehidupan di wilayah pesisir.

“Dahulu, pohon-pohon mangrove ini banyak yang tebang untuk digunakan sebagai bahan utama pembuatan rumah serta kayu bakar. Tapi, sekarang sudah tidak ada lagi karena sudah banyak masyarakat yang sadar akan pentingnya mangrove untuk lingkungan,” kata Umar Pasandre kepada Mongabay.

Dilokasi itu, ada sekitar 125 hektar hutan mangrove yang tersebar di tiga desa, yaitu; Desa Torosiaje, Torosiaje Jaya, dan Desa Bumi Bahari. Tanaman-tanaman itu kini dirawat oleh warga sekitar dengan sepenuh hati. Bahkan, ada warga yang membuat budidaya pembibitan mangrove di belakang rumah-rumah mereka. Kesadaran warga untuk menjaga mangrove hingga melestarikan melalui pembibitan itu berkat dari upaya penyadartahuan yang dilakukan Umar Pasandre sejak tahun 2000. Hamparan mangrove di kawasan Torosiaje yang sebelumnya gersang, kini menjadi rimbun.

Umar Pasandre bilang, semua perjalannya untuk membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga mangrove merupakan sesuatu hal yang tidak gampang. Segala macam masalah serta konflik kerap dihadapinya untuk menjalankan niat baiknya itu. Namun, berkat kegigihannya, Ia bisa sedikit menikmati hasilnya. Meski belum semua warga di sekitaran Kawasan pesisir Torosiaje peduli dengan mangrove, tapi setidaknya sudah mayoritas masyarakat sadar akan manfaat dari salah satu jenis tanaman dikotil itu.

“Di wilayah ini, memang masih ada warga yang acuh tak acuh dengan pentingnya melestarikan mangrove, tapi Alhamdulillah, mayoritas sudah sadar dan mulai menjaga, bahkan membuat bibit mangrove di rumah-rumah mereka,” ucap Umar Pasandre

Umar Pasandre bercerita, dahulu warga Suku Bajo yang menghuni kawasan Kawasan pesisir Torosiaje kerap menebang pohon mangrove untuk dijadikan sebagai bahan utama pembuatan rumah serta kayu bakar. Sebelumnya, hunian suku Bajo pada awalnya di atas bidok (perahu) sampai tahun 1930-an. Kemudian pada awal tahun 1935 mereka mulai membangun Babaroh yang merupakan tempat tinggal sementara suku Bajo untuk istirahat dan mengolah hasil laut.

Semua material konstruksinya berasal dari lingkungan sekitarnya seperti kayu dari pohon mangrove sebagai tiang penyangga, rumbia untuk penutup atap dan bambu sebagai lantai atau dinding. Setelah merasa cocok tinggal di Torosiaje, akhirnya mereka mengembangkan hunian mereka dari babaroh menjadi papondok, yang bentuk huniannya sudah lebih lebih besar dari sebelumnya, namun material konstruksinya masih sama.

Pada tahun 1956 bentuk papondok ini dikembangkan lagi menjadi rumah seperti bentuk hunian mereka saat ini yang berada di atas laut. Pada tahun 1982, pemerintah berupaya untuk merelokasi para penduduk Suku Bajo untuk dirumahkan di daratan dengan diberikan sepetak lahan untuk bercocok tanam. Namun mereka tak betah dan satu demi satu anggota suku ini meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke laut.

Umar Pasandrepenjaga mangrove di pesisir Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Umar Pasandrepenjaga mangrove di pesisir Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Umar bilang, dari konteks itulah yang membuat masyarakat suku Bajo termasuk dirinya hanya bisa mengandalkan pohon mangrove untuk pembuatan rumah. Apalagi, dahulu belum ada mesin pemotong kayu seperti senso. Katanya, praktik itu terjadi karena masyarakat suku Bajo belum mengetahui manfaat dari pohon mangrove untuk kelestarian lingkungan dan hidup mereka.

Pada tahun 2000, Umar mengaku, pemikirannya mulai tercerahkan setelah dirinya mengikuti pelatihan dari Balai Pengelolaan Pengelolaan Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Bone Bolango Gorontalo dengan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Sejak itulah dirinya mulai berhenti untuk menebang pohon mangrove dan mulai memberikan edukasi kepada warga terkait manfaat dan fungsi mangrove untuk kehidupan. Dirinya pun mengajak warga sekitar  mulai menanam mangrove di wilayah tersebut.

Salah satu fungsi hutan mangrove yang kerap dikampanyekan oleh Umar adalah, hutan mangrove menjadi tempat perkembang biakan biota laut yang menjadi sumber kehidupan nelayan dan masyarakat suku Bajo. Selain itu, fungsi hutan mangrove yang bisa mencegah bencana alam, seperti abrasi, tsunami dan melindungi ekosistem dari badai besar juga turut menjadi salah poin-poin penting yang disampaikan ke warga sekitar.

“Intinya, yang saya sampaikan kepada masyarakat adalah, jika hutan mangrove rusak, maka itu akan berpengaruh ke kehidupan nelayan, dan masyarakat suku Bajo yang hidupnya tergantung dari hasil laut,” kata Umar

Tak sampai disitu, pada tahun 2007, Umar berinisiatif membentuk Kelompok Sadar Lingkungan (KSL) yang diberi nama Paddakauang, dan beranggota tiga desa di perkampungan suku Bajo, yakni; Desa Torosiaje, Torosiaje Jaya, dan Desa Bumi Bahari. Salah satu tugas kelompok nelayan sadar lingkungan itu adalah menjaga ekosistem laut dengan menanam mangrove. Ia menjadi ketua di kelompok itu hingga kini.

Sejak itu, Umar yang juga merupakan asli suku Bajo ini lebih aktif memberikan penyadaran terhadap warga Bajo dan suku lain, bahwa betapa penting menjaga lingkungan. Umar pun dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) dan program Teluk Tomini Sustainable Coastal Livelihoods and Management (Susclam). Lembaga itu juga fokus mengkampanyekan penghentian perusakan mangrove.

Dengan bantuan itu, Umar membuat berbagai diskusi yang rutin dilaksanakan di pemukiman suku bajo di tiga desa itu, baik bersama anggota kelompok nelayan sadar lingkungan, maupun nelayan dan warga. Ia pun mengajak warga sekitar untuk menanam ribuan mangrove di bibir Teluk Tomini itu. Alhasil, perlahan masyarakat pun mulai sadar, hingga kini sudah mayoritas masyarakat di tiga desa itu mulai tidak lagi menebang pohon mangrove, bahkan mereka mulai menjaga kelestarian mangrove, hingga membuat budidaya bibit mangrove secara mandiri.

“Proses pertumbuhan pohon mangrove membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa sampai 30 tahun untuk menjadi pohon yang cukup besar. Sehingga, kami terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak menebang pohon mangrove lagi,” jelasnya

Umar Pasandrepenjaga mangrove di pesisir Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Umar Pasandrepenjaga mangrove di pesisir Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Ancaman Hutan Mangrove

Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Gorontalo, kerusakan kawasan mangrove di Gorontalo telah mencapai 67 persen. Hal itu diakibatkan oleh tambak yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan mangrove di Gorontalo, seperti yang terjadi di Kabupaten Pohuwato. Padahal Pohuwato merupakan wilayah yang memiliki luasan mangrove terbesar di Provinsi Gorontalo.

Berdasarkan SK Menhut no 325/Menhut-II/2010 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Gorontalo, Pohuwato memiliki kawasan hutan terluas yakni 473.273 hektar yang terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan SA, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan areal penggunaan lain. Dari jumlah tersebut, luas kawasan hutan mangrove sekitar 15.600 hektar.

Namun, dari data Dinas Kehutanan terdapat 8.233 hektar hutan mangrove di daerah tersebut berubah fungsi menjadi tambak. Jumlah itu tersebar di Kecamatan Paguat 158 hektar, Kecamatan Marisa 198 hektar, Duhiadaa 978 hektar, Patilanggio 336 hektar, Randangan 2.403 hektar, Wonggarasi 2.473 hektar, Lemito 500 hektar, Popayato Timur 0,32 hektar, Popayato 673 hektar, dan Popayato Barat 507 hektar.

Pada 2010 lalu, Bupati Pohuwato Syarif Mbuinga membuat Instruksi Nomor 522/PEM/1057/X/2010 tentang Pelarangan Pembukaan Lahan Tambak di Kawasan Hutan Mangrove. Regulasi itu dibuat untuk mengatasi laju kerusakan mangrove di Pohuwato. Sayangnya, praktik perusakan mangrove untuk dijadikan tambak terus terjadi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2018), hutan mangrove di Pohuwato tinggal 4.909,60 hektar saja.

Umar bilang, tambak memang menjadi ancaman yang cukup serius untuk kelestarian mangrove di Gorontalo. Di kawasan pesisir Torosiaje, dirinya beberapa kali bermasalah dengan pengusaha tambak yang mencoba merusak hutan mangrove yang sudah dijaganya lebih dari dua dekade itu. Bahkan, beberapa kali ia berhadapan dengan hukum hingga ke Polres Pohuwato untuk melindungi hutan mangrove yang berada di tempat tinggalnya itu.

Pada tahun 2010, rumah Umar pernah didatangi sejumlah warga yang ingin melakukan protes kepadanya atas larangan untuk menebang mangrove. Mereka sedang mencoba membuat tambak ikan di kawasan mangrove itu, tapi mendapatkan perlawanan dari Umar yang melarang rencana mereka itu. Katanya, kondisi saat itu nyaris ricuh karena masyarakat sekitar diprovokasi menggunakan minuman keras oleh pengusaha tambak untuk melawannya. Bahkan, pemerintah desa saat itu pun terpengaruhi.

Saat itu, Umar tak gentar, ia tetap melawan penguasa tambak yang sudah memprovokasi warganya itu. Dirinya mempertanyakan izin-izin yang diperoleh pengusaha tambak yang akan membuka usahanya di kawasan mangrove tersebut. Dalilnya, Pemerintah Kabupaten Pohuwato sudah melarang pembukaan lahan tambak di kawasan hutan mangrove. Semua pertanyaan-pertanyaan Umar itu, tidak bisa dijawab oleh mereka.

Selain itu, kata Umar, ada juga peristiwa pengusaha tambak yang terang-terangan membuka tambak ikan di kawasan mangrove, tanpa pemberitahuan dan izin dari pemerintah daerah dan desa. Saat mendapatkan informasi itu, Umar mengajak semua warga di pemukiman suku Bajo mendatangi lokasi tambak itu, sekaligus menghentikan aktivitas mereka. Umar bilang, peristiwa semacam itu banyak kali terjadi di tempat kelahirannya itu.

“Kebanyakan, kasus-kasus tambak illegal itu dilakukan oleh orang-orang dari luar kawasan Torosiaje. Orang-orang itu memanfaatkan warga Torosiaje untuk melakukan protes ke saya, agar rencana mereka itu tidak dilarang. Akibatnya, aktivitas mereka terhenting, dan ada beberapa alat berat berupa Ekskavator berhasil diamankan pihak kepolisian,” kata Umar

Umar mengaku sangat banyak merasakan tekanan dari berbagai pihak atas sikapnya yang melarang aktivitas tambak di kawasan hutan mangrove. Ia bilang, dirinya beberapa kali di fitnah dan dituding melakukan hal-hal yang melanggar hukum, bahkan dipengaruhi dengan finansial demi mencekalnya. Namun, Umar tidak gentar sedikitpun. Ia tak ingin berpaling dari niatnya menjaga hutan mangrove yang dilakukan selama separuh hidupnya.

“Saya kalau meninggal hanya untuk kebenaran untuk menjaga lingkungan, itu tidak masalah. Nyawa, saya pertaruhkan untuk tetap menjalankan niat saya ini menjaga hutan mangrove di kampung saya ini,” jelas Umar

Umar berkomitmen akan terus melestarikan mangrove di lingkungan itu dengan terlibat di setiap program penanaman mangrove, serta terus mengajak warga sekitar untuk melestarikan tanaman yang bisa melindungi masyarakat pesisir terhadap dampak perubahan iklim dan meminimalisir dampak bencana alam, seperti tsunami, badai serta peningkatan tinggi kelombang sampai titik ekstrem, ditambah permukaan laut yang meningkat karena mencairnya es di kutub.

Hutan mangrove Torosiaje. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Pasalnya, mangrove turut serta dalam mengendalikan perubahan iklim dengan berperan sebagai paru-paru dunia melalui penyerapan dan penyimpanan karbon biru (fungsi mitigasi). Selain berfungsi sebagai pelindung pantai dan ‘karbon biru’ (blue carbon), mangrove merupakan nursery ground dan habitat biota yang bernilai ekonomis seperti ikan, kepiting, dan udang.

Ia juga tak henti-henti belajar tentang mangrove dari berbagai sumber, baik itu melalui artikel-artikel yang diperolehnya di internet dan buku-buku, juga dari diskusi dengan aktivis mangrove dan berdasar pengalaman di lapangan. Umar pun ikut bergabung di Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Provinsi Gorontalo.

Tidak hanya itu, Umar juga memperluas jejaringnya dengan terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat, salah satunya terlibat dalam program pembangunan berkelanjutan dan ekosistem mangrove di Gorontalo yang dibuat oleh Burung Indonesia dan Japesda. Ia menjadi salah pendamping dalam program tersebut

Umar mengaku bersyukur, usahanya selama lebih dari 20 tahun memberikan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya mangrove bagi kehidupan ini tidak menjadi sia-sia. Ia bilang, di kawasan pesisir Torosiaje sudah ada peningkatan yang cukup baik dalam gerakan konservasi dan restorasi mangrove. Katanya, masyarakat mulai mempertahankan dan memperluas area mangrove setelah mendapatkan manfaat dari mangrove.

Bukan hanya itu, Ia juga menggalang warga sekitar untuk bisa memiliki rumah pembibitan mangrove tersendiri, yang bisa memberikan keuntungan ekonomi sebagai modal untuk berbagai aktivitas yang mereka lakukan. Ia bilang, menjaga mangrove sama hal menjaga kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada disekitarnya, termasuk manusia itu sendiri.

“Mungkin, sampai hidup saya berakhir, saya tetap berada di jalan ini untuk menjaga terus hutan mangrove yang ada di kawasan pesisir Torosiaje Gorontalo ini. Saya akan tetap setia dengan apa yang saya tekuni ini,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting, Untuk membacanya silahkan klik di sini. 

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.