Teluk Palu Tercemar Mikroplastik

Aktivis seangle Kota Palu sedang membersihkan mangrove yang terjerat sampah plastik di Teluk Palu. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)
Aktivis seangle Kota Palu sedang membersihkan mangrove yang terjerat sampah plastik di Teluk Palu. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)
  • Perairan sungai sampai laut di berbagai daerah di Indonesia dalam ancaman cemaran mikroplastik seperti terjadi di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
  • Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) berkolaborasi dengan organisasi maupun komunitas lokal melakukan audit merek (brand audit) dan menemukan kemasan-kemasan perusahaan besar mendominasi sampah di perairan Teluk Palu.
  • Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menekankan, perusahaan-perusahaan harus bertanggung jawab terhadap sampah-sampah mereka. 
  • Prigi Arisandi mengungkapkan, berdasarkan hasil brand audit di empat lokasi, Wings menjadi urutan pertama penyumbang sampah plastik sekitar 47 persen

Teluk Palu di yang berada di, Kota Palu, Sulawesi Tengah tercemar mikroplastik akibat sampah yang hanya dibuang sembarangan. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian dari Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) berkolaborasi dengan Komunitas Seangle dan Perkumpulan Telapak Sulawesi Tengah. DI Teluk Palu, mereka menemukan berbagai banyak sampah plastik dan airnya sudah benar-benar sudah terkontaminasi dengan mikroplastik.

Prigi Arisandi, peneliti tim ESN mengatakan, perairan Teluk Palu telah tercemar mikroplastik rata-rata 112,6 partikel mikroplastik dalam 100 liter air. Temuan itu berdasarkan hasil uji kualitas air di perairan Teluk Palu pada 12-13 Oktober 2022 lalu di tiga lokasi, yaitu; Pantai Patung Kuda, Dupa Indah dan Tanjung Karang Donggala. Katanya, banyak sampah plastik berbagai mereka yang ditemukan di lokasi tersebut.

“Selama kegiatan penelitian kami mengambil 50 liter air dengan menggunakan mystic scan, berupa kaleng stainless steel dengan screen plankton ukuran mesh 300 diikat dengan karet di ujung lubang. Hal itu berfungsi sebagai penyaring air, material yang tersaring dalam screen plankton kemudian diamati dibawah mikroskop portable dengan dengan perbesaran 100-400 kali,” Ungkap Prigi Arisandi kepada Mongabay awal Oktober lalu.

Prigi mengungkapkan, kegiatan penelitian yang mereka lakukan menemukan bahwa perairan Teluk Palu telah tercemar Mikroplastik. Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan adalah jenis fiber sebesar 72% dari total mikroplastik yang ditemukan. Mikroplastik adalah serpihan plastik berukuran kurang dari 5 mm yang berasal dari hasil pemecahan dari sampah plastik seperti tas kresek, Styrofoam, botol plastik, sedotan, alat penangkap ikan, popok dan sampah plastik lainnya.

Sementara, mikroplastik jenis fiber memiliki ciri ciri yang menyerupai serabut atau jaring nelayan dan apabila terkena lampu ultraviolet akan berwarna biru. Jenis mikroplastik fiber biasa ditemukan di daerah pinggir pantai, karena sampah mikroplastik ini berasal dari pemukiman penduduk yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan.

“Mikroplastik yang kita temukan itu berasal dari pemecahan dari sampah plastik seperti tas kresek, Styrofoam, botol plastik, sedotan, alat penangkap ikan, popok dan sampah plastik lainnya yang dibuang di perairan Teluk Palu, karena paparan sinar matahari dan pengaruh fisik pasang surut maka sampah plastik ini akan rapuh dan terpecah menjadi remah-remah kecil,” jelas Prigi

Selain itu, kata Prigi, perairan Teluk Palu juga telah tercemar Klorin, nitrat dan phospat. Pencemaran klorin, nitrat dan phospat berasal dari limbah cair domestik yang tidak terkelola dan langsung dibuang ke sungai. klorin merupakan salah satu senyawa kimia desinfektan yang banyak digunakan untuk mendesinfeksi limbah cair industri.

Adapun, Nitrat adalah senyawa yang banyak dihasilkan dari limbah kotoran manusia, limbah industri, atau limbah organik lain seperti; hasil samping penggunaan pupuk pertanian. Sementara, phospat adalah senyawa yang berasal dari limbah domestik rumah tangga dan industri, termasuk deterjen yang berbahan dasar fosfor.

Prigi bilang, mikroplastik yang sudah mencemari Teluk Palu akan mengancam makanan hasil laut atau Seafood, karena bentuk mikroplastik menyerupai plankton yang merupakan salah satu sumber makanan ikan. Katanya, Jika mikroplastik sudah ada di perairan maka tinggal menunggu waktu mikroplastik akan dimakan ikan dan masuk dalam lambungnya. Setelah ikan itu berhasil ditangkap manusia, maka secara otomatis mikroplastik akan masuk kedalam tubuh manusia.

“Mikroplastik ini termasuk senyawa pengganggu hormone, maka jika ditemukan dalam tubuh manusia atau darah manusia akan terjadi gangguan hormone reproduksi, hormone pertumbuhan dan daya tahan tubuh. Salah satunya adalah terjadinya menopause dini,” Kata Prigi yang juga merupakan peneliti Mikroplastik di Ecological Observation and Wetlands Conservation.

Tak hanya itu, kata Prigi, mikroplastik juga dapat menyerap dan mengikat polutan di perairan seperti logam berat, pestisida, detergen, chlorine, phospat, dan bahan kimia berbahaya dalam air, serta bisa menjadi media tumbuh bakteri pathogen. Katanya, mikroplastik berperan seperti transporter yang mengangkut polutan di air menempel pada mikroplastik dan terikut masuk kedalam tubuh manusia,

“Polutan akan tersebar ke peredaran darah manusia, sehingga menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada tubuh manusia. Selain itu, mikroplastik juga menjadi media tumbuh bakteri pathogen,” jelasnya

Sebenarnya, ancaman mikroplastik terhadap Seafood di Teluk Palu pernah diungkap jurnal penelitian milik Roni Hermawan, Yeldi S Adel, Renol, Mohamad Syahril, dan Mubin dari Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Palu. Jurnal itu berjudul “Kajian Mikroplastik pada Ikan Konsumsi Masyarakat di Teluk Palu, Sulawesi Tengah” yang terbit pada Mei 2022 lalu.

Berdasarkan penelitian itu, ada 18 ekor ikan terpapar cemaran mikroplastik dari 220 ekor sampel ikan yang menjadi objek pengamatan. Mikroplastik yang ditemukan dalam pencernaan ikan tersebut semuanya dari jenis serpihan (fragment) yang merupakan larutan dari material plastik yang telah rapuh. Mikroplastik jenis fragment mendominasi paparan mikroplastik pada pencernaan ikan, sebesar 86% dari jenis mikroplastik lain, seperti filamen, foam dan pelet atau bead. Ukuran serpihan mikroplastik tersebut berkisar antara 90μm hingga 300μm, memiliki warna bening atau transparan, putih dan kuning.

Sementara, konsentrasi mikroplastik tertinggi terdapat pada ikan Lamotu (Upeneus sulphureus) sebesar 3,58 ± 0,36 partikel/g berat pencernaan ikan. Ikan Lamotu (Upeneus sulphureus) atau disebut juga ikan kuniran memiliki komposisi makanan yang terdiri atas fitoplankton, zooplankton, makroinvertebrata bentik, dan detritus dan merupakan jenis ikan demersal dan berasosiasi dengan daerah estuari dan pesisir pantai dan mencari makanan di dasar perairan.

“Ikan demersal lebih cenderung mencari makanan di dasar perairan, beberapa material mikroplastik sering ditemukan pada dasar perairan dimana merupakan lokasi pencarian makan ikan demersal, sehingga kemungkinan terpapar lebih besar,” Tulisan Roni Hermawan bersama empat temannya.

Adapun konsentrasi mikroplastik terendah terdapat pada ikan bubara (Caranx ignobilis), kuwe mata besar (Caranx latus) yang tidak ditemukan kandungan mikroplastik dalam pencernaannya. Pasalnya, dua ikan itu memiliki sifat feeding migration, dimana ikan akan selalu berupaya untuk mencari makan. Daerah feeding ground ikan kuwe sangat luas sepanjang daerah intertidal. Ikan kuwe adalah ikan pemburu sehingga lebih cenderung tertarik pada objek yang bergerak, gesit dan rakus.

Selanjutnya, ikan kuwe onion trevally (Carangoides caeruleopinnatus) yang merupakan famili dari ikan kuwe juga memiliki konsentrasi mikroplastik yang cenderung rendah, dari 24 sampel hanya 1 sampel yang terpapar mikroplastik dengan konsentrasi 1,67 partikel/g berat pencernaannya. Selain itu, ikan kembung (Rastrelliger neglectus) atau bahasa lokal disebut ikan katombo memiliki konsentrasi mikroplastik di dalam pencernaannya sebesar 1,84 ± 0,35 partikel/g berat pencernaan.

“Ikan katombo sering dikonsumsi oleh masyarakat karena murah, dagingnya enak, mudah dibersihkan dan stoknya melimpah di pasaran, sehingga menjadi ikan dengan nilai ekonomi yang tinggi,” tulis mereka.

Dalam hasil penelitian itu juga menyebutkan, bahwa ada sekitar 10±20 meter sepanjang Teluk Palu ekosistem karang yang menjadi rumah bagi biota laut terutama sumberdaya ikan mengalami kerusakan akibat gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 2018. Hasil tangkapan ikan oleh nelayan tradisional di Teluk Palu mengalami penurunan jika dibanding dengan sebelum bencana yang menelan 4.340 korban jiwa itu.

Amiruddin mutaqin dari team Ekspedisi Sungai Nusantara melakukan aksi bersih-bersih sampah plastik di terumbu karang yang merusak terumbu karang tanjung karang donggala. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)
Amiruddin mutaqin dari team Ekspedisi Sungai Nusantara melakukan aksi bersih-bersih sampah plastik di terumbu karang yang merusak terumbu karang tanjung karang donggala. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)

Brand Ternama Sumber Mikroplastik

Selain melakukan pengujian kualitas air di perairan Teluk Palu, Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) berkolaborasi dengan Komunitas Seangle dan Perkumpulan Telapak Sulawesi Tengah juga melakukan brand audit untuk memperoleh informasi tentang brand-brand apa saja yang menjadi sumber mikroplastik di Teluk Palu.

Abizar Ghiffary, Koordinator komunitas Seangel Kota Palu mengatakan, ada empat lokasi yang menjadi titik brand audit yang dilakuknya pihaknya, yaitu; Pantai Talise, Pantai Dupa Layana Indah, Kawasan Wisata Mangrove Kabonga di Donggala, dan Pantai Tanjung Karang di Donggala. Ia bilang, sampah-sampah yang menumpuk di empat lokasi itu berupa sachet packaging makanan minuman, produk personal care dan botol air minum.

“Kami memungut sampah plastik di keempat lokasi itu, kemudian mengumpulkannya menurut produsen atau brandnya. Kami mengumpulkan sebanyak 200 spesimen sampah plastik dan yang paling banyak kami temukan adalah jenis sampah sachet sekitar 72% dari total sampah yang berhasil kami pungut,” Abizar Ghiffary awal Oktober lalu

Abizar Ghiffary menjelaskan, brand audit dilakukan juga dalam rangka kegiatan pembersihan pantai dan terumbu karang dari sampah plastik. Sejak tahun 2018, kata Ghiffary, pihaknya sangat rutin melakukan kegiatan bersih-bersih pantai dan terumbu karang dari sampah plastik serta melakukan kegiatan penanaman mangrove dan transplantasi terumbu karang.

Ia bilang, apabila sampah plastik mencemari pantai secara terus-menerus maka akan bisa berdampak pada matinya mangrove dan terumbu karang. Sampah-sampah plastik akan menjerat dahan-dahan mangrove yang akan tumbuh. Bahkan, katanya, jika ada plastik ukuran besar membelit batang mangrove dan arena pengaruh arus, secara otomatis sampah plastik akan mencabut batang mangrove dan akhirnya mati.

“Sampah plastik yang semakin banyak jumlahnya juga berdampak pada matinya terumbu karang, karena sampah-sampah plastik seperti sachet, Styrofoam dan tas kresek menutupi terumbu karang dan menyebabkan kematian,’ jelasnya

Aktivis seangle Kota Palu sedang membersihkan mangrove yang terjerat sampah plastik di Teluk Palu. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)
Aktivis seangle Kota Palu sedang membersihkan mangrove yang terjerat sampah plastik di Teluk Palu. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)

Prigi Arisandi mengungkapkan, berdasarkan hasil brand audit di empat lokasi, Wings menjadi urutan pertama penyumbang sampah plastik sekitar 47 persen dengan produk: So Klin, Mie Sedap, Minyak Goreng Sabrina, Krisbee. Unilever menjadi urutan kedua penyumbang sampah plastik sekitar 15 persen dengan produk; Rinso, Clear, Sunsilk, Rexona, Pepsodent.

Sementara, Indofood menjadi urutan ketiga dengan penyumbang sampah plastik sekitar 12 persen dengan produk; Indomie Goreng. Mayoran menjadi urutan keempat ketiga dengan penyumbang sampah plastik sekitar 11 persen dengan produk: Biskuit Better, kopiko, milkiest Roma.

Berikutnya, ada Garudafood menjadi urutan ke lima dengan penyumbang sampah plastik sekitar 4 persen dengan produk; Gerry salut, Garuda rosta kacang. Sisanya, ada brand lain seperti: P&G, Nestle, Nabati, Siantar Top dan Santos penyumbang sampah plastik sekitar 11 persen di Teluk Palu.

“Jenis sachet yang paling banyak ditemukan berasal dari produk-produk PT Wings seperti Soklin, Mie Sedap, dan beberapa bungkus snack sedangkan peringkat kedua penyumbang sampah yang mencemari Teluk Palu adalah bungkus personal care dari PT Unilever seperti Rinso, Pepsodent, Rexona dan Sunsilk,” kata Prigi Arisandi.

Selain itu, kata Prigi, jenis sampah lain yang juga banyak ditemukan pihaknya adalah botol plastik minuman ringan dan air minum dalam kemasan. Sampah botol plastik yang paling banyak ditemukan adalah produk dari Mayora (Le Minerale), Danone (Aqua), Coca-cola (Fanta, sprite), OT (Teh Gelas) dan Alam Mega Jaya Palu (Deal).

“Seharusnya botol-botol plastik ini bisa di daur ulang dan bisa dicegah masuk ke perairan, dibutuhkan upaya dari pemerintah kota untuk menahan masuknya sampah botol plastik ke perairan dan kami juga berharap agar warga kota Palu berhenti menggunakan botol plastik sekali pakai,” kata Prigi

Teluk Palu memang merupakan lokasi pemukiman padat penduduk, karena Kota Palu yang merupakan Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah dengan jumlah penduduk 373.218 jiwa pada tahun 2020. Berbagai aktivitas masyarakat di sepanjang Sungai Palu yang membelah Kota Palu yang menyebabkan sampah plastik menumpuk ke Teluk Palu.

Kata Prigi, senyawa kimia berbahaya pada plastik ada tujuh macam dan semua mengancam kesehatan manusia. Pertama adalah Phthalates; yang dapat menurunkan tingkat testosterone dan estrogen, memblokir kerja hormone tiroid, dan sebagai racun pencemaran sistem reproduksi. Selain itu, senyawa jenis ini akan meningkatkan gangguan kehamilan, keguguran, anemia, mengganggu siklus menstruasi hingga menopause dini.

Kedua adalah Bisphenols; yang dapat mempengaruhi perkembangan otak dan perilaku, serta meningkatkan kecemasan, hingga mengganggu hormone reproduksi. Ketiga adalah Alkylphenols; yang dapat mempengaruhi infertilitas pada laki-laki, jumlah sperma rendah, dan mengganggu perkembangan prostat. Senyawa ini juga membantu meningkatkan resiko kanker payudara pada wanita dan pria.

Keempat adalah Berflourinasi; yang dapat mengganggu metabolisme tubuh pada sistem imun, fungsi hati dan tiroid. Senyawa ini juga bisa mengubah masa pubertas anak, meningkatkan resiko kanker payudara, testikel, prostat, kanker ovarium dan limfoma. Kelima adalah UV Stabilizers; yang dapat mengganggu fungsi endokrin, menghambat proses pertumbuhan yang normal dan membuat efek estrogenik pada tubuh.

Keenam adalah dioksin; yang dapat mempengaruhi perkembangan otak. Mengganggu tiroid dan sistem imun tubuh, meningkatkan resiko beberapa jenis kanker, dan kerusakan sistem imunitas. Ketujuh adalah Brominated Flame Retardants; yang dapat mengganggu perkembangan reproduksi pria dan wanita, menghambat tiroid, dan mengganggu perkembangan saraf.

Prigi menilai, dengan banyak sampah plastik akhirnya menyebabkan pencemaran mikroplastik di perairan Teluk Palu disebabkan oleh minimnya pelayanan pengangkutan sampah dari rumah-rumah penduduk ke Tempat Pengumpulan sampah sementara. Katanya, secara umum kota/kabupaten di Indonesia hanya mampu melayani kurang dari 40% penduduk, sehingga 60% penduduk Indonesia tidak terlayani pengangkutan sampah

“Sehingga masyarakat umumnya membakar sampah, menimbun dan membuangnya ke sungai. Tiap tahun Indonesia membuang 3 juta ton sampah plastik ke laut melalui sungai dan menjadikan Indonesia penyumbang sampah plastik terbesar kedua setelah China,” kata Prigi

Aktivis seangle Kota Palu sedang membersihkan mangrove yang terjerat sampah plastik di Teluk Palu. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)
Aktivis seangle Kota Palu sedang membersihkan mangrove yang terjerat sampah plastik di Teluk Palu. (Foto: Ekspedisi Sungai Nusantara)

Prigi juga menilai, minimnya kesadaran memilah sampah dan membuang sampah pada tempatnya, karena Indeks kepedulian lingkungan penduduk Indonesia masih rendah yaitu 0,56 dari skala 0-1. Kataya, rendahnya kepedulian inilah yang menyebabkan penduduk Indonesia membuang sampah seenaknya, termasuk membuang sampah ke sungai

Selanjutnya, kata Prigi, penggunaan plastik sekali pakai, plastik sekali pakai seperti tas kresek, sedotan, Styrofoam, popok dan botol plastik masih massif digunakan di Kota Palu dan Donggala. Katanya, perlu ada pengendalian penggunaan plastik sekali pakai di Kota Palu, dan kalau perlu harus buat Peraturan Daeranya untuk mengatur itu semua.

Berikutnya, kata Prigi, produsen yang memiliki produk-produk dari bahan plastik dan mencemari Teluk Palu harus ikut bertanggung jawab atas sampah plastik yang dihasilkan dari bungkus produk mereka. Pasalnya, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor Nomor P.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen mengatur pengurangan sampah oleh produsen dari 2020-2029.

Peraturan ini merupakan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah seperti dimandatkan dalam pasal 15. Kata Prigi, dalam peraturan itu sangat ditegaskan, produsen harus benar-benar bertanggungjawab atas produknya, mulai dari perencanaan pengurangan sampah, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan.

Dalam Permen tersebut, pengurangan timbulan sampah oleh produsen ini dilakukan melalui penggunaan bahan produk dari material yang mudah diurai, pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah yang wajib dilakukan. Selain itu, dalam rangka pendaur ulangan sampah, dan pemanfaatan kembali sampah harus diiringi dengan penarikan kembali sampah yang disertai dengan penyediaan fasilitas penampungan.

Tak cukup pada penggunaan material yang tepat, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan laporan dalam rangka pengurangan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Selain itu, produsen memiliki kewajiban untuk melakukan edukasi kepada konsumen agar turut berperan dalam pengurangan sampah. Pemerintah juga dapat memberikan penghargaan dan juga publikasi kinerja tidak baik (naming and shaming) kepada produsen

“Produsen besar seperti Wings, Unilever, Indofood, Mayora dan Garuda Food harus bertanggung jawab atas sampah sachet yang dihasilkan dan terbuang ke sungai. Karena sampah jenis sachet ini tidak dapat didaur ulang dan plastiknya berlapis-lapis, dan akhirnya dibuang ke sungai,” kata Prigi.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.