Tambang Datang, Mata Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang

Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, memiliki  bentang karst yang kini terancam oleh puluhan perizinan yang sudah mengincar kawasan itu. Dalam kondisi tak ada tambang saja, warga kerap mengalami krisis air saat kemarau.
  • Dalam penelitian Ferdy, dan Totok Gunawan dari Universitas Gadjah Mada berjudul “Evaluasi potensi Mata air sebagai sumber air bersih dan upaya pelestarian lingkungan di Pulau Banggai, Sulawesi Tengah” menyebutkan, Bangkep punya potensi sumber air cukup banyak. 
  • Di Kabupaten Banggai Kepulauan, ada 124 sumber mata air, satu sungai bawah tanah, 17 gua, dan 103 sungai permukaan, yang semua terhubung dengan karst itu.
  • Amran Achmad, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin mengatakan, kawasan karst merupakan penyangga kehidupan, termasuk organisme dalam kawasan itu sendiri. 

Sore itu, beberapa warga Desa Komba-Komba, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (Sulteng) terlihat mulai pulang dari kebunnya. Ada yang langsung mandi, ada juga yang masih mencuci baju di sumur air yang dibuat secara gotong royong oleh mereka sejak puluhan tahun lalu. Sumur-sumur itu salah satu sumber air bersih di desa tersebut.

“Di sini tidak ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Kami hanya mengandalkan sumur-sumur itu yang sumber airnya dari Kawasan Karst Banggai Kepulaun ini,” kata Handri Likak, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Komba-Komba kepada Mongabay, pertengahan Oktober lalu.

Di Banggai Kepulauan, air memang menjadi salah satu hal yang kerap di risaukan, karena Pemerintah Daerah belum sepenuhnya membantu warganya untuk memberikan air bersih melalui PDAM. Belum lagi, luas kabupaten ini hanya 248.879 hektar membuat air menjadi hal yang krusial di pulau ini.

Dengan masalah ini, pemerintah desa dan masyarakat kerap berupaya secara mandiri agar mendapatkan akses air bersih untuk digunakan setiap hari, meskipun harus membutuhkan tenaga dan modal yang besar. Di Pulau Peling ini, air menjadi barang sangat berharga, terutama di daerah perbukitan yang sangat sulit mendapatkan air.

Beruntungnya, sekitar 85 persen dari luas daratan Kabupaten Banggai Kepulauan adalah Kawasan Karst yang menjadi reservoir air bawah tanah raksasa yang memiliki sistem drainase sendiri. Kawasan ini juga menjadi kunci untuk sistem hidrologi kawasan, serta perlindungan keanekaragaman hayati dan perlindungan tata air.

Setidaknya ada 124 sumber mata air, 1 sungai bawah tanah, 17 gua, dan 103 sungai permukaan, yang semuanya terhubung dengan Kawasan Karst tersebut. Selain itu, ada juga 5 danau di wilayah ini, satu diantaranya adalah Danau Paisupok di Kecamatan Bulagi Utara yang sudah terkenal karena airnya sebening kaca.

Dalam penelitian Ferdy, dan Totok Gunawan dari Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Evaluasi potensi Mata air sebagai sumber air bersih dan upaya pelestarian lingkungan di Pulau Banggai Sulawesi Tengah” menunjukan Banggai Kepulauan memiliki potensi sumber air yang cukup banyak.

Sayangnya, dalam penelitian itu menjelaskan, dari lima titik lokasi sumber mata air yang diambil sampel, semuanya rata-rata memiliki kualitas air yang melebihi standar baku mutu untuk air golongan A, atau masih terlihat keruh. Hal itu disebabkan pengaruh kondisi lingkungan sekitar.

Misalnya, pengaruh vegetasi tutupan lahan yang semakin berkurang, jenis-jenis batuan, dan struktur batuan yang terdiri dari batuan metamorf, batuan gunung api, serpih, konglomerat, breksi dan batu gamping menyebabkan porositas serta permeabilitas kecil.

Sumur di Desa Komba-komba, Bangkep. Kabupaten ini banyak sumber air bersih tetapi masyarakat kesulitan memanfaatkannnya karena tak ada sarana bantuan dari pemerintah, Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Sumur di Desa Komba-komba, Bangkep. Kabupaten ini banyak sumber air bersih tetapi masyarakat kesulitan memanfaatkannnya karena tak ada sarana bantuan dari pemerintah, Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Ferdy, dan Totok Gunawan pun merekomendasikan harus ada upaya pelestarian mata air mencakup pemeliharaan, yaitu; melindungi daerah aliran sungai dari pencemaran dan pembalakan liar; serta pemulihan potensi, seperti kegiatan reboisasi dan penghijauan, pembuatan instalasi pengolahan air minum; sekaligus peningkatan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan hidup.

Ironisnya, alih-alih melakukan pelestarian mata air, pemerintah justru memberikan izin kepada puluhan perusahaan yang akan merusakan ekosistem Kawasan Karst dengan mengambil batu gampingnya. Kondisi justru itu dinilai akan menghancurkan lingkungan sekitar, termasuk sumber mata air yang sudah berabad-abad digunakan oleh warga sekitar.

Data Minerba One Map Indonesia ESDM per tanggal 1 Desember 2023 menyebut, sudah ada sekitar 29 perusahaan yang sudah memiliki izin dengan luas 3.174,79 hektar. Dimana, 28 diantaranya masih berstatus pencadangan, dan 1 sudah memiliki izin operasi produksi (OP).

Ironisnya, data Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah menyebut, ternyata masih ada puluhan perusahaan lagi yang sedang memohon penyesuaian tata ruang ke Forum Penataan Ruang (FPR) Banggai Kepulauan untuk melakukan aktivitas pertambangan.

Masifnya investasi penambangan batuan gamping yang rencana dilakukan di Pulau Peling ini, disinyalir akan membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat sekitar. Pasalnya, model penambangan yang akan dilakukan yaitu; menggunakan bahan peledak (dinamit).

Artinya, semua batuan karst di dalam konsesi puluhan perusahaan itu akan dihancurkan agar mudah diambil dan diangkut. Selain itu, pembukaan lahan skala luas diprediksi juga akan terjadi serta aktivitas kendaraan pengangkut dan sedimentasi juga berpotensi mencemari laut.

Dengan begitu, perusahaan-perusahaan ekstraktif yang diberikan izin oleh pemerintah itu akan menghancurkan ekosistem Kawasan Karst, termasuk sumber mata air yang menjadi sandaran hidup masyarakat Banggai Kepulauan.

Padahal, Kawasan Karst itu sudah dilindungi berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banggai Kepulauan Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan.

Tujuan dari Perda itu adalah; terciptanya ekosistem karst secara sederhana, terpadu dan optimal; mewujudkan keseimbangan tata guna lahan dengan daya dukung ekosistem; serta mendorong terciptanya kelestarian mutu lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Perlindungan itu dibuat juga karena, kawasan bentang alam karst tersebut memiliki komponen geologi yang unik, berfungsi sebagai pengatur alami tata air, memiliki keanekaragaman hayati serta menyimpan nilai tambah untuk menunjang pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Hasil penelitian Lipi dan BPEE KLHK (2017) menyebut, batuan karst yang ada di pulau peling ini memiliki fungsi ekosistem penyangga utama bagi kehidupan masyarakat, termasuk untuk pertanian dan sumber air bersih, serta ruang hidup berbagai spesies endemik.

Dalam penelitian itu disebutkan, Kawasan Karst Banggai Kepulauan mampu menyerap jutaan meter kubik air hujan setiap tahun untuk mencukupi seperempat kebutuhan air bersih di wilayah itu. Kawasan Karst ini juga dinilai berperan dalam menyerap CO2 dari atmosfer yang cukup besar.

Olehnya, Kawasan Karst Banggai Kepulauan pun masuk dalam 4 Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di Indonesia yang wajib dilindungi dan dipertahankan dari kerusakan menurut  Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Handri Likak dan masyarakat Desa Komba-Komba mengaku menolak keras atas hadirnya perusahaan-perusahaan tambang batu gamping di wilayah mereka. Secara sukarela, mereka membuat surat penolakan atas hadirnya investasi yang akan merusak ruang hidup warga sekitar itu.

“Dokumen penolakan ditandatangani oleh seluruh warga Desa Komba-Komba. Dokumen penolakan pun sudah kami serahkan ke Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan dan DPRD Kabupaten Banggai Kepulauan,” jelas Handri Likak

Ogrisman Kalaeng, Kepala Desa Komba-Komba mengatakan, meski mayoritas warganya tidak memiliki pendidikan yang tinggi, tapi mereka tahu perusahaan itu bukan untuk mensejahterakan, tetapi justru merusak lingkungan dan ruang hidup mereka.

Ogrisman Kalaeng mengaku, perusahaan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan simpati masyarakat dengan diiming-imingi kesejahteraan. Katanya, perusahaan bahkan menjanjikan warganya akan diberikan gaji setiap bulan tanpa kerja, dengan syarat perusahaan harus diberikan izin untuk beroperasi.

Tetapi, kata Ogrisman, warganya menyadari, janji-janji itu tidak bisa menjadi jaminan hidup bisa lebih baik ke depan, dan justru akan membuat mereka menderita. Ia bilang, semua masyarakatnya sepakat menolak kehadiran perusahaan batu gamping itu, karena dinilai akan merusak lingkungan dan menghancurkan sumber mata air mereka.

“Kami menolak perusahaan batu gamping itu karena mengingat anak cucu kami kedepan. Karena jika perusahaan beroperasi, pasti akan berdampak buruk ke semua sumber penghidupan kami, termasuk ke sumber air yang kita gunakan selama ini,” kata Ogrisman Kalaeng kepada Mongabay Oktober lalu/

Krisis Air

Sebenarnya, di Kabupaten Banggai Kepulauan memang kerap dilanda krisis air bersih saat musim kemarau atau saat El Nino menerpa. El Nino merupakan fenomena iklim pemanasan suhu muka laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah.

Fenomena itu akan meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia. Singkatnya, El Nino memicu terjadinya kondisi kekeringan untuk wilayah Indonesia secara umum.

Penelitian dari megasains menyebutkan, El Nino benar-benar akan mempengaruhi kekeringan meteorologis di suatu wilayah dan bisa memicu krisis air bersih. Misalnya, El Nino pada tahun 2019, Banggai Kepulauan menjadi salah satu daerah yang ikut terdampak.

Bupati Banggai Kepulauan pun saat itu membuat Surat Keputusan Nomor 349 Tahun 2019 tentang Penetapan Status Tanggap Darurat Penanganan Bencana Krisis Air Bersih di Banggai Kepulauan. Surat keputusan itu pun beberapa kali diperpanjang karena kondisi krisis air bersih semakin sulit wilayah itu.

Saat itu, debit air bersih berkurang drastis, bahkan tidak ada sama sekali karena musim kemarau yang berkepanjangan dari bulan Agustus-Desember 2019. Aktivitas pemerintahan, masyarakat, hingga proses belajar mengajar pun ikut terhenti sebagian karena kondisi daerah sudah tidak kondusif.

Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun 2023 ini. Sejak Oktober lalu, ada sekitar 2.140 keluarga di 16 desa di tiga kecamatan yakni Bulagi, Bulagi Utara dan Bulagi Selatan, Banggai Kepulauan, mengalami krisis air. Mereka sudah tidak bisa lagi memenuhi keperluan sehari-hari, termasuk untuk minum, dan masak.

Pj. Bupati Banggai Kepulauan, Ihsan Basir pun akhirnya kembali membuat surat keputusan tentang penetapan status tanggap darurat penanganan bencana krisis air bersih pada awal November lalu. Adapun surat itu juga sebagai respon dampak El Nino yang sudah terjadi sejak bulan Agustus lalu.

Handri bilang, Komba-Komba menjadi salah satu desa yang ikut terdampak dalam kekeringan ekstrim pada bulan Oktober lalu. Katanya, kekurangan air bersih seperti fenomena yang terus berulang setiap tahun didaerahkan, dan akan menjadi lebih parah ketika semua perusahaan batu gamping itu mulai beroperasi.

“Jika musim kemarau, kami sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih karena sumur-sumur kita di bisa mengering. Tapi, jika wilayah kita dan Kawasan Karst ini akan ditambang, maka sumber mata air kita di sini pasti akan hilang,” jelas kata Handri Likak

Wandi, Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, dalam kawasan karst, terdapat gua-gua dan sungai bawah tanah, serta kolam bawa tanah yang terjebak di dalam chamber gua. Ia bilang, dikawasan itu juga, ditemukan banyak mata air pada celah batuan dengan pola pengaliran multibasinal.

Sementara, kata Wandi, batu gamping di Kawasan Karst Banggai Kepulauan didominasi oleh tipe aliran diffuse dan fissure. Katanya, kedua tipe aliran pada batu gamping berkontribusi sangat besar mensuplai sungai bawah tanah yang berkontribusi pada aliran mata air yang keluar.

Wandi bilang, berdasarkan hasil identifikasi lapangan Walhi Sulteng, semua desa-desa yang masuk dalam konsesi tambang batu gamping memiliki tipe mata air sama. Katanya, air itu keluar dari celah batuan dan berada di atas perkampungan.

“Air tersebut keluar dengan jernih dan dimanfaatkan langsung oleh masyarakat untuk kebutuhan konsumsi dan pertanian,” kata Wandi melalui rilis yang diterima Mongabay

Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Namun, kata Wandi, dengan hadirkan puluhan perusahaan batu gamping, beroperasi akan menghilangkan sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat. Sebab, katanya, sasaran dari eksploitasi pertambangan batu gamping adalah batuan karst yang memproses adanya air bersih.

Padahal, katanya, Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan sudah membuat Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Mata Air. Bahkan, katanya, hasil riset Lipi dan BPEE KLHK pada tahun 2017 telah memberikan rekomendasi untuk berhati-hati dalam pengelolaan batuan karst di pulau peling ini.

“Dalam riset itu menyebutkan, bentangan Karst Banggai Kepulauan memiliki keunikan dan saling terkait antara satu sama lain. Jika di satu wilayah mengalami kerusakan tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada wilayah lainya,” jelasnya

Saat ini saja, kata Wandi, ada beberapa desa di Banggai Kepulauan sedang mengalami krisis air bersih karena musim kemarau panjang. Bahkan ada yang terpaksa harus membeli air dengan harga yang cukup mahal. Hal itu yang terjadi di Desa Alul di Kecamatan Bulagi.

“Jika musim kemarau, warga Desa Alul harus mengeluarkan uang sebesar Rp 400,000 untuk membeli air per tangkinya,” kata Wandi

Prof. Amran Achmad, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin mengatakan, Kawasan Karst merupakan penyangga kehidupan, termasuk organisme yang ada dalam kawasan itu sendiri. Katanya, yang paling penting di dalam kawasan itu adalah air; yang menjadi sumber penghidupan semua ekosistem di wilayah itu.

Bentang alam atau morfologi daerah karst, kata Prof. Amran, memiliki ciri yang khas, yaitu tersusun oleh batuan karbonat yang mengalami proses karstifikasi. Ia bilang, karstifikasi itu diakibatkan oleh proses pelarutan dan rekristalisasi batuan karbonat akibat pengerjaan oleh air hujan atau air permukaan.

Prof. Amran bilang, proses pelarutan pada batu gamping pada dasarnya adalah akibat pengerjaan asam karbonat H2CO3 yang terjadi karena bereaksinya air hujan dengan gas karbon dioksida CO2 di udara. Proses pelarutan itu diawali oleh meresapnya air hujan ke dalam tanah melalui pori-pori tanah/batuan dan diaklas.

Menurut Prof. Amran, apabila proses pelarutan itu berlangsung terus, akan terjadi runtuhan batuan dan terbentuklah rongga-rongga atau gua atau sungai bawah tanah. Katanya, rongga-rongga atau gua serta sungai bawah tanah inilah yang menjadi tempat penyimpanan cadangan air di dalam kawasan karst.

“Yang sangat penting dari kawasan karst adalah menjadi penyimpan cadangan air, sehingga kawasan ini menjadi salah kawasan yang esensial yang benar-benar harus dilindungi,” kata Prof. Amran Achmad, akhir November lalu

Namun, kata Prof. Amran, jika kawasan karst akan ditambang, apalagi penambangannya menggunakan metode peledak, maka akan merusak ekosistem kawasan karst, termasuk mata airnya. Katanya, air yang tertampung dalam kawasan karst akan terganggu dan masuk lebih dalam ke tanah, serta sumber mata air yang ada akan hilang. Kondisi ini bisa memicu krisis air.

Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng
Ekosistem karst Banggai Kepulauan. Foto: Jatam Sulteng

“Ketika perusahaan tambang batu gamping itu mulai beroperasi, maka sumber mata air di Kabupaten Banggai Kepulauan pasti terancam hilang,” tegasnya

Jika itu terjadi, kata Prof. Amran, sektor pertanian yang sangat bergantung pada hidrologi karst akan ikut terdampak. Dampak lanjutannya, sumber pangan masyarakat Kabupaten Banggai Kepulauan akan terancam hilang.

Betul saja, data dari Walhi Sulteng menyebut, semua titik konsesi tambang batu gamping sebagian besar masuk dalam wilayah pertanian produktif. Wandi bilang, jika perusahaan beroperasi, tentu akan menghancurkan sektor pertanian tersebut.

“Misalnya di Desa Boyomoute dan Lelang Matamaling. Di dua desa itu, batas konsesi tepat 100 meter dari pemukiman masyarakat. Hal tersebut diketahui dengan adanya patok yang dibuat oleh tim perusahaan,” ujarnya

Tak hanya itu, kata dia, bencana ekologis seperti longsor juga menjadi ancaman yang serius akan dirasakan oleh masyarakat jika perusahaan tersebut beroperasi. Pasalnya, hampir sebagian besar pemukiman masyarakat di pulau peling ini berada di pesisir pantai dengan ketinggian 0-500 Mdpl dengan kemiringan 20-30 derajat.

Sementara, lokasi titik pertambangan berada di ketinggian 700-800 Mdpl, atau tepat berada di atas perkampungan masyarakat dan desa-desa. Ia bilang, Walhi Sulteng meminta pemerintah daerah harus menjadi garda terdepan untuk mengantisipasi masalah yang akan terjadi kedepan di Pulau Peling ini.

Terutama, kata Wandi, pemerintah daerah harus menghentikan seluruh proses permohonan izin pertambangan batuan gamping dan mencabut seluruh izin-izin yang sedang eksisting baik statusnya WIUP dan IUP.

“Jika izin-izin itu tidak dicabut, maka pemerintah daerah menjadi aktor utama yang menciptakan bom waktu bagi kehidupan di Pulau Peleng pada masa yang akan datang. Jika kerusakan terjadi, maka akan membutuhkan waktu 200 Tahun lamanya untuk pulih kembali,” pungkasnya

Sebenarnya, Pemerintah Daerah Banggai Kepulauan melalui Bupatinya telah mengirim surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meninjau kembali wilayah pertambangan di wilayah mereka. Sayangnya, surat itu dibalas dengan meminta Bupati Banggai Kepulauan dapat berkoordinasi dengan Gubernur Sulawesi Tengah.

Pasalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2023 tentang Wilayah Pertambangan (WP), bahwa Menteri menetapkan batas dan luas WP setelah ditentukan oleh gubernur dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan rencana WP.

Dalam aturan itu juga disebutkan bahwa Gubernur dalam menentukan WP harus berkoordinasi dengan Menteri dan bupati/wali kota. Namun, kewajiban koordinasi itu yang kemudian tidak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi ke Pemerintah Daerah Banggai Kepulauan dalam penetapan WP yang sudah ada.

“Kami juga awalnya tidak mengetahui perusahaan-perusahaan ini. Tapi, tiba-tiba mereka sudah ada izin dari Pemerintah Provinsi. Harusnya, ada koordinasi ke kita, tapi hal itu tidak dilakukan,” kata Leonarto Gonero, Kepala Bidang Penataan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), DLH Banggai Kepulauan, kepada Mongabay, Oktober lalu.

Protes warga Bangkep, tolak tambang batu gamping. Foto: Sarjan Lahay/ Mongab ay Indonesia
Protes warga Bangkep, tolak tambang batu gamping. Foto: Sarjan Lahay/ Mongab ay Indonesia

Leonarto Gonero yang juga Anggota Forum Penataan Ruang (FPR) mengaku, pemerintah provinsi melalui Dinas ESDM Sulteng hanya meminta informasi pemanfaatan ruang saja. Tidak ada sedikitpun koordinasi soal perizinan puluhan perusahaan batu gamping yang berencana masuk di Banggai Kepulauan.

Meski begitu, kata Leonarto, pemerintah daerah tidak bisa semena-mena untuk langsung mencabut izin-izin yang sudah ada, karena semua itu adalah kewenangan pemerintah Provinsi. Pihaknya hanya bisa berjuang melalui sidang analisis dampak lingkungan (Amdal) yang akan dilaksanakan di provinsi.

“Melalui sidang Amdal, nasib perusahaan akan ditentukan. Apakah izin mereka (perusahaan) disetujui seluruhnya, disetujui sebagian, atau ditolak sepenuhnya,” jelasnya

Mongabay berupaya untuk mengkonfirmasi masalah ini ke Kepala Dinas ESDM Sulteng, Rachamansyah Ismail melalui pesan whatsapp dan telepon seluler. Namun, hingga berita ini diterbitkan, nomor tidak bisa tersambung.

Sementara itu, Yudi, Pelaksana Tugas Bidang Mineral dan Batubara, Dinas ESDM Provinsi Sulteng mengaku memang sudah ada puluhan tambang batu gamping yang sudah mendapatkan izin di Banggai Kepulauan. Namun, katanya, rata-rata masih dalam tahapan eksplorasi.

Yudi bilang, semua proses perizinan sekarang sudah berbasisi online seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission).

Dengan proses perizinan berbasis online itu, kata Yudi, perusahaan bisa dengan mudah mendapatkan izinnya, hanya saja izin itu cuman tahapan eksploasi, bukan operasi produksi (OP). Ia bilang, untuk mendapatkan izin OP, perusahaan harus melakukan sidang Amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL).

“Dengan sidang Amdal atau UKL-UPL itu, bisa ditentukan apakah perusahaan itu bisa diberikan izin lingkungan atau tidak. Karena semua hal dipertimbangkan, termasuk Kawasan Karst Banggai Kepulauan yang terancam ditambang,” kata Yudi kepada Mongabay, melalui pesan Whatsapp

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.