Oleh: Ivan Taslim
Sumber daya air memiliki dampak yang signifikan terhadap kelangsungan hidup dan dapat berdampak pada PDB suatu negara. Indonesia, oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) diperkirakan akan menjadi ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2045. Pemerintah melakukan upaya pengelolaan sumber daya air demi memastikan ketahanan air nasional melalui beberapa program hingga tahun 2024, antara lain 100% akses air minum, 30% akses air minum melalui pipa, peningkatan kapasitas sumber daya air nasional sekitar 2,3 miliar hektar, dan irigasi berkelanjutan sekitar 355,8 ribu hektar waduk, dan kesemuanya telah menyumbang 49,4% dari PDB.
Strategi pemerintah untuk ketahanan air nasional salah satunya dengan mengembangkan empat peraturan pemerintah terkait penyediaan air minum, sumber daya air, pengelolaan sumber daya air, di Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019. Pemerintah juga telah membentuk Dewan Nasional Sumber Daya Air sebagai badan koordinasi pengelolaan sumber daya air nasional yang bertugas merumuskan kebijakan dan pengoordinasian pelaksanaannya.
Pengelolaan sumber daya air harus menjadi unit perencanaan yang berkesinambungan, adil, dan merata dari hulu ke hilir demi memastikan bahwa air dapat memenuhi kebutuhan manusia sebagai sarana penghidupan. Reformasi pengelolaan sumber daya air merupakan upaya serius Pemerintah Indonesia untuk mengatasi kemiskinan, meningkatkan ketahanan pangan, energi, serta sumber daya alam lainnya. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah memasukkan tujuan pembangunan berkelanjutan terkait kelaparan, pendidikan dasar anak-anak, kesetaraan gender, hingga penyediaan air bersih secara merata.
Penyediaan air bersih adalah keniscayaan sekaligus tantangan dan masalah penting yang kita hadapi entah sampai kapan. Degradasi terus terjadi, kondisi hutan menurun akibat pembalakan liar, terbakar (atau dibakar), eksploitasi bahan tambang, industri juga penyerobotan masyarakat. Semua aktivitas tersebut didasari atas nama kepentingan karena “kebutuhan”, meski sebenarnya di masa depan kita akan lebih membutuhkan “kepentingan” ekosistem hutan itu sendiri. Hutan merupakan salah satu sumber daya penting untuk menjaga kapasitas dinamika lingkungan, terutama dalam memastikan bahwa sumber daya air tersedia berkelanjutan di tengah ancaman perubahan iklim.
Perubahan iklim, yang saat ini menjadi “pekerjaan rumah” oleh negara negara seluruh dunia, telah meningkatkan kejadian badai tropis, perubahan pola angin, berdampak pada reproduksi hewan dan tumbuhan, peningkatan frekuensi serangan serangga, perubahan salinitas air laut hingga epidemi. Perubahan iklim juga berdampak besar pada pola tanam di sektor pertanian, mempengaruhi masa panen akibat kekeringan dan banjir yang berkepanjangan pada musim hujan. Seiring sejalan dengan kerusakan DAS yang memicu erosi, sedimentasi di dasar sungai, pencemaran, intrusi air laut, abrasi pantai, sehingga kesemuanya berdampak pada menurunnya fungsi menyimpan dan mengalirkan aliran permukaan menuju danau atau laut. Akhirnya bencana hidrometeorologi sulit dielakkan.
Perubahan landscape dan penggunaan lahan dan hutan, tidak bukan dan paling sering oleh alasan kepentingan dan kebutuhan. Hal ini sudah menjadi dinamika yang terus terjadi hingga saat ini. Sudah semacam romantika hidup yang kadang menghadapkan kita pada kebimbangan antara “melepaskan” atau “mempertahankan”. Dalam konteks konservasi, tentu pertimbangan matang diperlukan untuk mengambil keputusan yang tepat jika dihadapkan pada kebimbangan seperti ini. Sebagai misal, dalam kasus perubahan status dan fungsi kawasan hutan, kadang status fungsi hutan konservasi “dilepaskan” atas nama investasi hingga karena bertambahnya populasi. Ditambah lagi masyarakat juga ikut-ikutan melakukan konversi untuk bertani.
Konversi lahan dan hutan tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem dimasa depan akan dibayangi ancaman degradasi. Dampaknya tidak saja kepunahan berbagai jenis flora-fauna, tapi juga ancaman nyata yang mengintai seperti bencana hidrometeorologi. Atas kondisi ini, maka pilihan konversi hutan yang sering mengatasnamakan investasi, bertambahnya populasi hingga dalih kebutuhan nafkah petani, seharusnya bisa juga demi konservasi, keberlanjutan sistem hidrologi, termasuk menumbuhkan ekonomi.
Bencana alam seringkali sulit diperhitungkan juga dikendalikan. Perlu kesadaran bersama untuk memperhatikan lingkungan dalam gemuruh pembangunan yang mulai tumbuh berkembang. Namun di sektor lain, yang tidak terkena dampak secara langsung, umumnya masih wacana dengan rencana kerja berupa aksi konservasi setengah hati.
Penyelamatan lingkungan, terlebih lagi pemulihan kawasan yang terdegradasi masih dipandang sebagai kegiatan memerlukan biaya tinggi (cost center). Program semacam ini masih dianggap sebagai kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan. Padahal, jika dipikir dengan matang, konservasi dan perlindungan sesungguhnya adalah investasi jangka panjang untuk kelangsungan masa depan seluruh generasi.
Sikap sadar ekosistem dan perlunya konservasi dalam pembangunan belum sepenuhnya dipahami dan dituangkan dalam program nyata sebagai gerakan antisipasi, bukan menunggu dan merencanakan rehabilitasi. Hal ini telah mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Gorontalo yang sejak lama menyadari pentingnya perlindungan dan pengelolaan Sumber Daya Hutan secara lestari. Tercermin dalam Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) Kabupaten Gorontalo (2014) yang salah satu agenda utamanya adalah menekankan: “Penyelenggaraan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam fokus pada perlindungan terhadap sumber mata air, perlindungan terhadap erosi & longsor serta pengelolaan keanekaragaman hayati”.
Agenda penting ini terus disosialisasikan kepada masyarakat oleh Pemda Gorontalo termasuk penyelamatan Hutan Nantu (baca: Suaka Margasatwa Nantu-Boliyohuto). Bupati Gorontalo, Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd beserta jajarannya tak henti gencarkan gerakan penyelamatan Hutan Nantu pada masyarakat dan tokoh masyarakat yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto. Hingga pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Gorontalo ke 346 di Tahun 2019, wacana ini kembali dipertegas melalui sebuah forum diskusi yang dilanjutkan dengan penandatanganan Kesepakatan Nantu oleh tokoh masyarakat, pemerintah daerah, akademisi, hingga elit politik pusat dan daerah asal Gorontalo. Rekomendasinya: bahwa penting untuk meningkatkan sebagian status Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto menjadi status kawasan hutan konservasi. Tentu hal ini sejalan dengan agenda PBB, atau UN Decade Ecosystem Restoration (2020-2030) yang menekankan pentingnya restorasi ekosistem.
Langkah ini merupakan momentum penting membangun paradigma tentang perlunya konservasi untuk pembangunan ekonomi masyarakat secara lestari dan berkesinambungan. Peran masyarakat harus dimulai dengan kesadaran pentingnya penyelamatan hutan dimana rakyat merasakan manfaatnya dalam bentuk kesejahteraan sosial dan ekonomi. Kebijakan keberpihakan pada konservasi yang dilakukan Pemda Gorontalo mungkin bukan kebijakan populis, dibanding pembangunan mall, tempat rekreasi, konversi hutan untuk industri perkebunan, pertambangan, dan sebagainya, yang secara kasat mata akan mendatangkan keuntungan lebih besar, cepat dan sesaat.
Suaka Marga Satwa (SMS) Nantu-Boliyohuto diapit oleh 3 kabupaten, yaitu Kabupaten Gorontalo Utara di bagian utara, Kabupaten Boalemo di bagian barat dan Kabupaten Gorontalo di bagian selatan. Di bagian tengah-selatannya terdapat Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto yang memisahkan bagian barat dan timur. Didalamnya, jika dicermati dengan citra satelit, terdiri atas kumpulan vegetasi rapat yang tentunya berperan melindungi sumber daya air dan tanah pada bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Paguyaman. DAS yang menjadi irigasi utama bagi pertanian dan kebutuhan keseharian hidup masyarakat sekitarnya.
Niat hati Bupati Gorontalo tersebut bukan tak berdasar, meng-konversi Hutan Produksi menjadi fungsi Konservasi bagi beliau adalah “Solusi tanpa menunggu Rehabilitasi”. Dimulai ketika suatu saat sebelum memasuki pertengahan Tahun 2019, Tim Riset Universitas Nasional (UNAS) dan NGO bernama Yayasan Adudu Nantu International (YANI) melakukan eksplorasi singkat selama 20 hari dengan dukungan ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Temuan mereka bahwa terdapat sekitar 126 jenis tumbuhan, 79 jenis burung, komunitas babi rusa, dan hayati penting lainnya tersebar di bagian barat HPT yang memang sebagian besar masih didominasi oleh tutupan vegetasi rapat. Ditambah lagi beberapa anak sungai mengalir ke Teluk Tomini. Bupati Gorontalo memberi respon positif, kesimpulan ditarik: mengajukan permohonan perubahan HPT Boliyohuto yang menjadi wilayah penelitian, menjadi kawasan konservasi.
Wilayah yang diusulkan berubah fungsi menjadi konservasi seluas kurang lebih 6.200 ha dari 10.000 ha luas total HPT Boliyohuto. Bagian selatannya berbatasan langsung dengan tiga desa di Kecamatan Asparaga. Kawasan tersebut perlahan mulai mendapat tekanan pembukaan lahan. Agar tercipta keharmonisan ekologi dan ekonomi, Pemda Gorontalo di bawah naungan Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo mempertimbangkan untuk segera mengajukan perubahan kawasan menjadi fungsi konservasi Taman Hutan Raya atau Tahura. Harapannya, bahwa pemerintah bersama masyarakat akan berperan aktif dalam usaha konservasi dengan tetap mengakomodir pemanfaatan sumber daya secara lestari. Tentu hal ini juga merupakan perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam harmonisasi pembangunan berkelanjutan untuk masyarakat.
Rencana Taman Hutan Raya, sebuah kawasan konservasi hasil konversi hutan produksi, akhirnya dapat dicapai. Tahun 2022, menjadi salah satu derap Pemda Gorontalo dalam penyelamatan sistem hidrologi, sebagai bagian pembangunan yang berbasis keharmonisan ekologi dengan ekonomi. Tentu ini belum sepenuhnya menjadi prestasi, karena masih banyak tantangan pengelolaan yang membutuhkan pengabdian dengan rencana pengelolaan yang saling terintegrasi
*Penulis Ivan Taslim adalah Mahasiswa Program Doktor IPB University Prodi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSL) Tahun 2022
Leave a Reply