Sustainability Science dalam Pengelolaan Penangkaran Rusa Sambar

Ilustrasi Rusa Sambar. (Sumber Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi Rusa Sambar. (Sumber Foto: Pixabay.com)

Oleh: Sutan Sahala Muda Marpaung, Mahasiswa Doktoral Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, IPB University

Sustainability Science muncul di abad 21 sebagai suatu disiplin ilmu baru. Diperkenalkan pertama kali dalam Konggres Dunia “Challenges of a Changing Earth 2001” di Amsterdam yang diselenggarakan oleh International Council for Science (ICSU), International Geosphere-Biosphere Programme (IGBP), International Human Dimensions Programme on Global Environmental Change (IHDP) and World Climate Research Programme (WCRP).

Berdasarkan status konservasinya, rusa sambar (Rusa unicolor) termasuk jenis satwa yang dilindungi dalam Permen LHK No. 106 Tahun 2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Serta menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) rusa sambar (Rusa unicolor) termasuk kedalam kategori vurnaible atau dapat dikatakan rentan terhadap kepunahan (IUCN 2015). Rusa sambar (Rusa unicolor) merupakan rusa yang terbesar ukurannya di daerah tropika, dan di Indonesia hanya terbatas di daerah Sumatera dan Kalimantan.

Rusa sambar merupakan salah satu jenis rusa yang paling banyak dipilih pemburu sebagai satwa target buru (Kartono et al. 2008). Kegiatan perburuan liar inilah yang menjadi Complexity (masalah) diidentifikasi sebagai penyebab utama terjadinya penurunan jumlah populasi rusa sambar di habitat aslinya di hutan Kalimantan dan Sumatera, disamping karena faktor kerusakan habitatnya (Haqulana 2015).

Menurut saya salah satu upaya untuk menjaga kelestarian rusa sambar adalah dengan melakukan konservasi, baik konservasi in situ di habitat alaminya, maupun konservasi ex situ di luar habitat alaminya. Konservasi in-situ adalah perlindungan populasi dan komunitas secara alami dalam habitat aslinya, sedangkan konservasi ex-situ adalah kegiatan konservasi di luar habitat aslinya, di mana satwa tersebut diambil dan dipelihara pada suatu tempat tertentu dengan kondisi yang dibuat menyerupai habitat aslinya. 

Konservasi ex-situ tersebut dilakukan dalam upaya pengelolaan jenis satwa yang memerlukan perlindungan dan pelestarian (Johnson et al, 2007) yang dapat dilakukan dalam skala kecil (sistem/model kandang) maupun skala besar (sistem ranch/dilepas dalam pagar) (Garsetiasih et al. 2008). Upaya konservasi ex istu satwa liar antara lain dapat dilakukan di lembaga-lembaga konservasi seperti kebun binatang, taman satwa, atau taman safari, disamping juga dapat dilakukan melalui unit-unit penangkaran.

Menurut saya Pengelolaan penangkaran merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan untuk tujuan konservasi dan sosial ekonomi. Menurut Thohari et al. (1991), penangkaran satwa adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan satwaliar yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa tertentu dapat dipertahankan baik di habitat alamnya maupun di luar habitatnya. Selain itu hasil penangkaran satwa juga memiliki prospek untuk dikembangkan dalam skala budidaya secara komersial, sehingga fungsi hutan sebagai sumber pangan dapat terpenuhi.

Sustainability Science

Dalam ekologi, keberlanjutan (bahasa Inggris: sustainablity), berasal dari kata ‘sustain‘ yang artinya ‘berlanjut’ dan ‘ability‘ yang artinya ‘kemampuan’; yaitu sebuah sistem biologis yang tetap mampu menghidupi keanekaragaman hayati dan produktivitas tanpa batas. Suatu lahan dan hutan basah yang sehat dan berumur panjang adalah contoh sistem biologi berkelanjutan.

Dalam istilah yang lebih umum, keberlanjutan adalah daya tahan suatu sistem dan proses. Prinsip pengorganisasian keberlanjutan merupakan suatu pembangunan berkelanjutan, yang mencakup empat ranah yang saling terhubung, yaitu ekologi, ekonomi, politik dan budaya. Ilmu keberlanjutan merupakan kajian tentang pembangunan berkelanjutan dan ilmu lingkungan.

Istilah ‘keberlanjutan’ dapat didefinisikan sebagai proses sosio-ekologis yang ditandai dengan pencapaian cita-cita yang sama. Cita-cita menurut definisinya tak terjangkau dalam ruang dan waktu tertentu. Namun, dengan terus-menerus, juga dengan pendekatan yang dinamis, proses tersebut menghasilkan sistem berkelanjutan. Ekosistem dan lingkungan yang sehat diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia dan organisme lainnya. 

Cara mengurangi dampak negatif manusia adalah dengan rekayasa ramah lingkungan, pengelolaan sumber daya lingkungan dan perlindungan lingkungan. Informasi diperoleh dari kimia hijau, ilmu bumi, ilmu lingkungan dan biologi konservasi. Ilmu ekologi mempelajari bidang penelitian akademis yang bertujuan untuk mengatasi ekonomi manusia dan ekosistem alamiah.

Rusa Sambar (Rusa Unicolor)

Rusa sambar merupakan spesies rusa yang memiliki ukuran tubuh yang besar dengan kaki yang panjang (Semiadi, 2005). Menurut Van Bemmel (1949) tinggi bahu rusa sambar mencapai 120 cm dan panjang badannya mencapai 190 cm, dengan bagian perut berwarna lebih gelap daripada punggungnya, dan warna bulunya hitam sampai cokelat tua, ekor yang berambut panjang, muka datar dengan tanduk (bagi jantan) relative kecil tetapi padat dan kuat. Susunan taksonomi rusa sambar (Rusa unicolor).

Beberapa ahli menyampaikan tentang bobot badan rusa, tanduk rusa, warna kulit dan morfologi lainnya yaitu: Semiadi (2005) berat badan betina rusa sambar dapat mencapai 300 kg. Untuk jantan bobotnya antara 180 – 300 kg, dan betina antara 150 – 200 kg, serta berat lahir rata-rata antara 5-8 kg. Susanto (1980) Panjang tanduk berkisar antara 300 – 750 mm dan lebar antara tanduk dari ujung ke ujung antara 250 – 500 mm, rusa sambar jantan memiliki warna kulit cokelat kehitaman (lebih gelap) daripada rusa sambar betina. 

Semiadi (2005) Morfologi lainnya rusa sambar pada ketiak, pangkal paha, bagian kaki sebelah dalam, dan telinganya berwarna lebih terang, bibir dibatasi dengan warna putih, pada sudut mulut terdapat totol yaitu secara sosiologis bahwa tanduk atau ranggah merupakan status sosial pada pejantan saat musim kawin. Pada musim kawin, ukuran dan bentuk tanduk berperan penting untuk kepentingan dominasi kelompok dibandingkan ukuran pejantan itu sendiri.

Habitat rusa sambar bervariasi, beberapa ahli menyampaikan tentang habitat rusa sambar yaitu: Semiadi (2005) mulai dari hutan pantai, hutan sekunder, hutan rawa, padang alang-alang dan pada daerah pengunungan. Namun habitat rusa sambar tidak akan pernah jauh dari sumber air. Habitat menurut Suba et al (2007), dideskripsikan terbagi atas komponen pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lingkungan (air, iklim, topografi, hidrologi, tanah) atau dapat dikatakan bahwa komponen habitat meliputi pakan, pelindung, air, dan ruang.

Menurut Semiadi (2005), rusa sambar dapat ditemukan dari pantai sampai pada ketinggian 3000 mdpl, asalkan cukup banyak tempat berlindung dan biasanya selalu dekat dengan sumber air pada malam hari. Di kalimantan timur, rusa tersebar pada ketinggian antara 25,91 – 429,16 mdpl. Rusa sambar sering disebut sebagai “rusa air” karena sepanjang tahun, terutama pada awal musim kawin, rusa jantan selalu berkubang di kolam lumpur. 

(Semiadi, 2005), menyatakan bahwa habitat yang cocok bagi rusa membutuhkan lapangan berumput, air atau tempat mandi dan kubangan, semak belukar sebagai tempat berlindung serta terbuka untuk berjemur. Secara umum satwa jenis rusa memilih kesukaan habitatnya lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan energi dan nutrisi untuk 6 pertumbuhan dan massa tubuh bagi rusa jantan, dan untuk kebutuhan kehamilan serta menyusui bagi rusa betina.

Complexity

Usaha dalam pengembangbiakan dan pembesaran serta tetap menjaga kemurnian jenisnya agar tidak berubah disebut penangkaran. Meskipun upaya telah dilakukan demi menjaga keberlangsungan satwa, tidak akan terlepas dari permasalahan yang ada, permasalahan sering terjadi dalam upaya konservasi khususnya penangkaran. Rusa sambar adalah salah satu dari sekian mamalia yang memiliki populasi semakin menurun, hingga keberadaannya untuk saat ini dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 berisi tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (Sofyan, 2018). Salah satu jenis satwa liar yang paling lokal pada abad ke-20 dan dapat dikembangkan (Samsudewa dkk, 2016). 

Rusa memiliki perilaku dalam pembagian waktu untuk melakukan aktivitas harian contohnya makan, istirahat, berpindah dan interkasi sosial (Zalma, 2020). Permasalahan biasa terjadi karena terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi.  Permasalahan dikelompokan menjadi dua yaitu internal dan ekstenal. Permasalahan tersebut sangat berpengaruh dalam proses pengelolaan penangkaran dan keberlangsungan hidup satwa didalamnya. Mengetahui permasalahan dalam penangkaran sangat penting bagi pihak pengelola agar masalah tersebut dapat diatasi dengan baik, serta pihak pengelola dapat mengantisipasi sehingga permasalahan tidak terjadi lagi.

Penangkaran Rusa Sambar

Penangkaran satwa liar merupakan salah satu program pelestarian dan pemanfaatan satwa liar, baik untuk tujuan konservasi maupun ekonomi. Dalam hal ini penangkaran rusa termasuk salah satu upaya pelestarian dan pemanfaatan berdasarkan prinsip kelestarian hasil. Menurut Thohari et al. (1991), penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan satwa liar yang bertujuan memperbanyak populasi dengan tetap mempertahankan kemurnian genetik sehingga kelestarian dan keberadaan jenis satwa dapat dipertahankan di habitat alaminya.

Pengelolaan penangkaran harus mempertimbangkan kondisi habitat alami dari rusa yang akan ditangkarkan. Habitat dideskripsikan terbagi atas komponen pakan, perlindungan, dan faktor-faktor lingkugan (iklim, topografi, hidroorologinya). Daya dukung habitat merupakan hal penting dalam pengadaan pakan. (Brahmantiyo et al. 2011) menyatakan daya dukung adalah jumlah individu satwa dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumber daya habitat. 

Daya dukung dipengaruhi oleh kelimpahan pakan dan luasan (ruang) sangat penting dalam menentukan baik buruknya kualitas rusa yang ditangkarkan, daya dukung yang tidak sesuai dengan jumlah populasi dapat menurunkan bobot badan rusa sambar (Brahmantiyo et al. 2011). Sedangkan pelindung atau naungan harus mampu memberikan perlindungan dari cuaca (panas, hujan, angin) dan predator. 

Pakan dan tanaman pelindung (cover/shelter), baik dihabitat alami maupun habitat modifikasi (penangkaran) bisa didapatkan dari vegetasi yang ada atau tumbuh secara alami maupun vegetasi yang sengaja ditanam oleh pengelola. Untuk memastikan vegetasi yang dapat dimanfaatkan baik sebagai pakan maupun pelindung maka perlu kajian kesesuaian lahan yang akan dibangun penangkaran dengan habitat alami rusa sambar dilihat dari jenis dan komposisi tumbuhan yang ada.

Ekologi rusa selain komponen habitat yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan penangkaran adalah pengetahuan dari perilaku alami satwa yang akan ditangkarkan dalam hal ini adalah perilaku rusa sambar. Pengetahuan tentang perilaku satwa sangat diperlukan untuk menentukan tindakan dalam pengelolaan populasi dan habitat (Takandjandji, 2009). Perilaku dimaksud meliputi perilaku makan, perilaku seksual/reproduksi, sex ratio, perilaku sosial, dan lainnya.

Perilaku seksual atau perkawinan baik secara alami maupun buatan memerlukan pengetahuan yang cukup, karena sistem perkawinan mempengaruhi kualitas dari rusa yang dihasilkan. Selain pemilihan indukan yang salah, sistem perkawinan tidak terarah dapat menurunkan bobot tubuh rusa sambar dihasilkan dalam penangkaran (Brahmantiyo et al. 2011).

Maka menurut saya Rusa sambar sebelum masuk ke dalam penangkaran harus terlebih dahulu beradaptasi dengan lingkungan barunya, hal dikarena secara perilaku alaminya rusa ini termasuk satwa yang sensitif dan mudah gugup terhadap perubahan lingkungan sekitarnya sehingga perlunya adaptasi terlebih dahulu, Dengan penjelasan diatas maka rusa sambar dapat berhasil dalam melakukan konsep sustainability Science.

 

REFERENSI

  • Brahmantiyo B, Wirdateti, Nugraha T, Trasidiharta A. 2011. Peningkatan bobot
  • badan dewasa rusa sambar melalui seleksi di penangkaran. B Plasma
  • Nutfah 17(1):68-72. doi.org/10.21082/blpn.v17n1.2011.p68-72
  • Haqulana M. 2015. Harimau dan rusa gunung Dempo turun ke permukiman.[diunduh 20 Februari 2020][http://news.okezone.com/read/2015/09/18/340/1216507/ harimau -dan-rusagunung-dempo-turun-ke-permukiman].
  • Garsetiasih, R. & Takandjandji, Mariana. 2008. Model Penangkaran Rusa. Makalah Utama pada Hasil-hasil Penelitian: Konservasi Sumberdaya Alam Hutan. Padang. doi.org/10.20886/jphka.2012.9.2.113-123
  • Johnson, J., R. Thorstrom, D. Mindell. 2007. Systematics and Conservation of the Hook-Billed Kite Including the Island Taxa from Cuba and Grenada. Animal Conservation.10: 349-359. doi: 10.1111/j.1469- 1795.2007.00118.x
  • Kartono, A.P., Y. Santosa., D. Darusman., A.M. Thohari. 2008. Penentuan Kuota
  • Buru dan Introduksi Populasi Rusa Sambar untuk Menjamin Perburuan
  • Lestari. Media Konservasi 13(2):53–58.
  • Semiadi G, Jaya Adhi-IGM, Trasodiharto A. 2005. Pola Kelahiran Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran Kalimantan Timur. Biodiversitas 6(1): 59-62. doi: 10.13057/biodiv/d060112
  • Suba RB, HL. Hans, Irman. 2007. Some ecological aspects of bornean sambar deer (Cervus unicolor brookei) In the wild. Natural Life 2(1):42-56.
  • Susanto M. 1980. Habitat dan tingkah laku rusa di Indonesia. Materi Kursus Pengelolaan Konservasi Lingkungan Angkatan Ke-II. Bogor
  • Takandjanji M. 2009. Desain penangkaran rusa timor berdasarkan analisis komponen bio-ekologi dan fisik di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
  • Thohari AM, Haryanto, Masy’ud B, D Rinaldi, H Arief, WA Djatmiko, SN Mardiah, N Kosmaryandi, Sudjatnika. 1991. Studi kelayakan dan perancangan tapak penangkaran rusa di BPKH Jonggol, KPH Bogor, vii Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
  • Van Bemmel ACV. 1949. Revision of the rusine deer in the Indo-Australian archipelago. Treubia. 20 (1949): 191 – 237.doi.org/10.14203/treubia. v20i2.2625