Suburnya Perdagangan Satwa Ilegal Melalui Facebook

Orangutan yang disita Mei 2022 di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Orangutan yang disita Mei 2022 di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Perdagangan online satwa langka dilindungi ters terjadi. Orangutan, harimau, gajah, trenggiling, burung-burung endemic Sumatera, Kalimantan, Maluku sampai Papua, terus jadi sasaran perburuan dan perdagangan. Model penjualan online seperti di media sosial Facebook, masih jadi pilihan bagi para pemain.
  • Sejak 20152023, data Garda Animalia memperlihatkan, ada sekitar 113.608 iklan dari 12.597 akun penjual menawarkan satwa multi spesies melalui Facebook. Dalam periode sama, setidaknya ada 82.155 satwa multi spesies berhasil dijual ke 7.384 akun peminat. Ada sekitar 1.453 grup Facebook yang mewadahi aktivitas terlarang ituPulau Jawa menjadi wilayah paling banyak memiliki grup-grup Facebook itu.
  • Penelitian Setyo Hari Sukoco dari Universitas Budi menemukan, perdagangan satwa liar ilegal merupakan industri besar.  Dalam proses perdagangan, menemukan harga-harga satwa liar pasaran global. Misal, tulang harimau lebih US$200, sepasang taring US$6.200-7.200. Harimau hidup dewasa US$50.000, anak harimau hidup US$3.200, dan seluruh kulit U$35.000.
  • Data Kepolisian Internasional (Interpol) menyebutkan perniagaan satwa ilegal tetap bertumbuh 5-7% saban tahun di seluruh dunia. Indonesia tercatat sebagai negara ekspor produk satwa liar terbesar di dunia, setelah negara Jamaica.

Orangutan, harimau, gajah, trenggiling dan banyak lagi satwa langka maupun dilindungi terus jadi target perdagangan. Platform perdagangan online atau biasa disebut electronic commerce (e-commerce) berperan dalam suburnya perdagangan ilegal satwa-satwa itu. Termasuk media sosial Facebook dengan marketplace-nya, masih jadi pilihan bagi para pemain.

Mongabay berupaya menelusuri perdagangan satwa liar dilindungi lewat penjualan online di Facebook dan menemukan banyak akun pribadi diduga penadah atau penjual satwa seperti orangutan, harimau, trenggiling, lutung Jawa, dan lain-lain.

Dari penelusuran, ditemukan akun-akun yang aktif membagikan foto atau video satwa dengan status dijual. Mereka ada yang mencantumkan jaminan dilengkapi surat-surat resmi.

Akun Kang Tupai menampilkan foto tiga kucing kuwuk atau kucing hutan yang masuk satwa liar dilindungi di Indonesia.

“Jantan betina ad. Lok stabatt. Bantu kawan hewan Langkat. Siap kirim-kirim,” tulisnya lewat unggahan di Facebook 11 April 2023.

Ada juga foto trenggiling berukuran besar dengan posisi melingkar dan dipegang tangan kirim diunggah akun Rokim Pets.

“TG kg. Rekber on. Kirim-kirim seputar Jawa aja,” tulisnya di Facebook.

Akun Facebook terkunci bernama Hars Shukla, pada 13 Agustus 2023, ikut mengunggah orangutan dengan status kondisi tersedia.

“Orangutan in stock. For more information and video please contact (picture from internet),” sebutnya lewat unggahan yang kemudian dikomentari beberapa akun.

Mongabay juga menemukan akun Rio Dar. Tertulis kalau satu bayi orangutan siap pada 16 Agustus 2023. Juga, satu satwa langka terancam punah bernama latin prinodon linsang dari Kepulauan Bangka Belitung ikut dia posting pada 20 Agustus 2023.

Satwa-satwa langka dan dilindungi dari hutan Indonesia ini terus terancam dan melalui online masih jadi sarana melancarkan perdagangan ilegal ini.

Berdasarkan data Garda Animalia, Facebook masih menjadi salah satu Platform media sosial pilihan yang terus digunakan oleh penadah atau penjual untuk memperdagangkan multi spesies sampai saat ini. Meski jumlah grup Facebook yang digunakan sebagai wadah menjual satwa semakin berkurang, tapi jumlah spesies yang terjual semakin meningkat drastis.

Sejak 2015 hingga 2023, ada sekitar 113.608 iklan dari 12.597 akun penjual menawarkan satwa multi spesies melalui Facebook. Dalam periode yang sama, setidaknya ada 82.155 satwa multi spesies yang berhasil dijual ke 7.384 akun peminat. Ada sekitar 1.453 grup Facebook yang mewadahi aktivitas terlarang itu, dan Pulau jawa menjadi wilayah yang paling banyak memiliki grup-grup Facebook itu.

Tak hanya itu, mayoritas atau sekitar 61 persen pelaku perdagangan satwa ini adalah pedagang kecil, dan sisanya adalah; peminat; pemelihara; dan perdagangan besar. Mereka rata-rata menjual satwa itu sebesar Rp. 1.139.232 per satwa. Sementara itu, Jawa Barat menjadi provinsi di Indonesia yang teridentifikasi paling banyak aktivitas perdagangan ilegal satwa liar di Facebook.

Robby Padma, Koordinator Pemantauan Perdagangan Satwa Garda Animalia mengatakan, bagi penadah atau penjual, Fecabook masih menjadi salah satu media sosial yang keamanannya lebih terjamin dibandingkan menjual di pasar-pasar hewan. Terlebih lagi, kata Robby, ada kemudahan dalam bertransaksi di Facebook.

Disisi lain, kata Robby, aparat penegak hukum (APH) belum bisa secara optima melakukan deteksi dini dalam melihat kejahatan perdagangan satwa liar ini melalui media sosial. Selain itu, APH juga belum optimal dalam melakukan pendekatan multidoor dalam penanganan kasus kejahatan satwa liar guna memberikan efek jera kepada para pelaku.

Tak heran jika APH kerap kewalahan sebab para sindikat pun semakin jauh lebih gesit dan canggih dengan jejaring lokal sampai global melalui media sosial. Robby bilang, penadah atau penjual terus melakukan adaptasi untuk menghilangkan jejak kejahatan yang mereka lakukan terhadap satwa di media sosial, sehingga sulit dideteksi oleh aparat.

“Sehingga perdagangan ilegal satwa liar masih terus terjadi di media sosial, terutama di Facebook. Bahkan, dari tahun 2015 hingga 2023, satwa-satwa yang dijual semakin banyak jumlahnya,” kata Robby Padma kepada Mongabay, Rabu 7 Februari 2024 lalu.

Kajian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, yang dilakukan April 2021 hingga Maret 2022 menemukan hal serupa. Facebook menjadi platform paling banya digunakan dalam memuluskan aktivitas terlarang itu.

Hal itu terungkap dalam webinar Penguatan Kajian Pencegahan Perdagangan & Peredaran Satwa Liar di Indonesia Berbasis Daring yang diadakan Departemen Kriminologi Universitas Indonesia pada tahun lalu.

Krismanko Padang, Analis Kebijakan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik-KLHK mengatakan, 45 jenis dari 60 jenis satwa yang diperdagangkan di platform milik Mark Zuckerberg itu merupakan satwa dilindungi. Padahal di Indonesia, perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan tindak pidana.

“Sayangnya, saat ini hukuman yang diterapkan masih belum sebanding dengan kerugian yang dibebankan kepada lingkungan,” jelas Krismanko dalam webinar tersebut.

Perdagangan ilegal satwa liar diketahui sebagai salah satu dari bentuk kejahatan transnasional terbesar di dunia setelah perdagangan narkoba, pemalsuan/peniruan, perdagangan orang, dan minyak.  Secara global, perkiraan Uni Eropa terhadap transaksi perdagangan ilegal satwa liar mencapai USD 2 sampai 20 miliar per tahun.

Data dari Kepolisian Internasional (Interpol) menyebutkan perniagaan haram ini tetap bertumbuh 5-7% saban tahun di seluruh dunia. Sementara Indonesia tercatat sebagai salah negara yang melakukan ekspor produk satwa liar terbesar di dunia, setelah negara Jamaica.

KLHK mencatat perdagangan satwa liar di Indonesia berkisar antara 7,8 miliar dan 19 miliar USD per tahun dari 2018 hingga 2017. Ironisnya, kerugian negara akibat perdagangan dan peredaran satwa liar berbasis daring itu sebesar 9 triliun per tahun. Perhitungan kerugian itu pun keluar di tahun 2013 lalu dan belum ada rujukan terbaru pada perkiraan kerugian saat ini.

Namun, Wildlife Conservation Society (WCS) memperkirakan kehilangan nilai ekonomi yang dialami Indonesia akibat bisnis kotor itu bisa mencapai USD 1 miliar per tahun. Nilai tersebut dapat lebih besar lagi jika dihitung kerugian kerusakan ekologi, kerusakan ekosistem, hilangnya keragaman hayati dan spesies tertentu.

Kini, pelaku perdagangan ilegal satwa liar sudah memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memuluskan bisnis kotor itu. Mereka memanfaatkan media sosial, termasuk Facebook untuk dijadikan wadah untuk memudahkan proses perdagangan satwa hingga melintasi batas-batas negara dan benua.

Penelitian Setyo Hari Sukoco dari Universitas Budi Luhur juga menemukan, perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi melalui media sosial (facebook) merupakan aktivitas yang sangat kompleks dan dikendalikan oleh kelompok kriminal yang terorganisir dengan baik.

Setyo juga menemukan, perdagangan satwa liar ilegal saat ini merupakan industri besar. Hal itu didorong oleh permintaan bagian tubuh hewan yang digunakan sebagai obat-obatan dan barang konsumsi, serta status sosial yang diperoleh dari kepemilikan kedua proyek tersebut

Dalam proses perdagangan, Setyo pun menemukan harga-harga satwa liar pasaran global. Misalnya, tulang harimau dijual lebih dari USD 200, sepasang taring dijual seharga USD 6.200-7.200, harimau hidup dewasa seharga USD 50.000, anak harimau hidup seharga USD 3.200, dan seluruh kulit seharga USD 35.000.

Ada juga gading gajah yang dijual dengan nilai lebih dari USD 2.000 per kilogram (kg), sedangkan nilai cula badak mencapai USD 66.000 per kilogram, yang melebihi nilai emas atau platinum.

“Harga-harga ini dapat meningkat secara eksponensial lebih tinggi dalam rantai pasokan,” tulis Setyo.

Hukum Indonesia Lemah?

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2017, Indonesia merupakan negara dengan kekayaan biodiversitas terestrial tertinggi kedua di dunia. Bahkan, jika digabungkan dengan keanekaragaman hayati di laut, Indonesia menjadi yang pertama. Meski hanya menempati 1,3% luas daratan bumi, namun Indonesia diwarisi sekitar 17% satwa yang ada di seluruh dunia.

Menurut catatan KLHK, Indonesia memiliki 35 ribu sampai 40 ribu spesies tumbuhan (11-15%), 707 spesies mamalia (12%), 1.602 spesies burung (17%), 2.184 spesies ikan air tawar (37%), 350 spesies amfibi dan reptil, 2.500 spesies moluska, 2 ribu spesies krustasea, 6 spesies penyu laut, 30 spesies mamalia laut, dan lebih dari 2.500 spesies ikan.

Indonesia juga menjadi rumah bagi beragam satwa langka dan asli yang tak bisa ditemukan di tempat lain. IUCN (2013) menyatakan bahwa terdapat 259 jenis mamalia, 384 jenis burung, dan 173 jenis amfibi endemik Indonesia.

Dengan tingginya keanekaragaman hayati ini, membuat perdagangan ilegal satwa liar menjadi tantangan serius dan membawa Indonesia memasuki situasi krisis yang mengancam keberlangsungan hidup satwa-satwa liar. Bahkan, hal itu bisa mendorong kepunahan satwa-satwa liar dan endemik di Indonesia.

Sebenarnya, kerangka hukum internasional seperti Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) telah menyediakan payung kebijakan yang baik untuk mengatur peredaran perdagangan satwa liar secara legal serta pencegahan terhadap perdagangan ilegal.

Namun, menurut penelitian Haidar Zacky Alfarissy As dari Universitas Islam Indonesia pada tahun 2022 menemukan, CITES tidak memberikan keberhasilan baik untuk menekan perdagangan ilegal satwa liar di dunia. Akibatnya, banyak negara-negara kehilangan spesies hewan langkanya, seperti Indonesia.

Adapun kerangka hukum Indonesia juga masih memberikan celah bagi peredaran perdagangan satwa secara ilegal. Misalnya, Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, hanya memberikan maksimum lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta kepada Pelaku perdagangan ilegal satwa liar.

Owa jawa atau silvery gibbon (Hylobates moloch) yang berhasil disematkan dari penyeludupan. (Foto: Sarjan Lahay)
Owa jawa atau silvery gibbon (Hylobates moloch) yang berhasil disematkan dari penyeludupan. (Foto: Sarjan Lahay)

Denda yang diberikan itu sangat kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang bakal diraup oleh para cukong atau aktor intelektual di balik bisnis kotor itu. Sementara “pemain besar“ bisa menikmati selisih nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi dari proses perdagangan ilegal satwa liar itu. Ironisnya, para pemburu satwa liar menjadi pihak yang mendapatkan keuntungan ekonomi paling kecil dan tetap miskin.

Sederhananya, fenomena itu seolah-olah menggambarkan bahwa memperdagangkan satwa liar secara ilegal merupakan bisnis yang memberikan keuntungan besar dengan resiko kecil. Hal inilah yang diduga menjadi salah satu pemicu terus berlangsungnya kejahatan terhadap satwa liar dan dilindungi.

“Inilah mengapa kita dapat melihat bahwa kejahatan perdagangan ilegal satwa liar juga merupakan suatu fenomena terhadap eksploitasi kemiskinan,” kata Rony Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara kepada Mongabay, 8 Februari lalu.

Selain itu, kata Rony, UU No. 5 Tahun 1990 itu juga belum mengatur bentuk perdagangan satwa liar secara daring sebagai salah satu modus operandi kejahatan terhadap satwa liar dilindungi. Ia bilang, regulasi itu sudah ketinggalan zaman dan tidak pernah dievaluasi dan direvisi. Padahal kejahatan perdagangan ilegal satwa liar berkembang dengan cepat.

Terlebih lagi, kata Rony, tidak sedikit juga dalam kasus-kasus perdagangan ilegal satwa liar yang pelakunya dibekingi oleh aparat. Bahkan ada juga yang pelaku utamanya adalah aparat penegak hukum itu sendiri. Dengan begitu, katanya, pelaku perdagangan ilegal satwa liar bisa mencari jalur-jalur tikus serta melakukan berbagai cara guna memuluskan bisnis kotornya itu.

Berdasarkan hasil laporan Perkumpulan SKALA dengan judul “Potret Perdagangan Ilegal Satwa Liar di Indonesia 2016,” menemukan, bagaimana perdagangan ilegal satwa liar relatif lebih mudah melintas antar-provinsi maupun antar-pulau di Indonesia, bahkan menjangkau batas-batas negara.

Dalam laporan itu disebutkan, bandara dan pelabuhan laut merupakan titik strategis bagi rute perdagangan satwa liar. Di mana satwa-satwa itu umumnya diselundupkan melalui bis, mobil, diselipkan pada barang-barang pribadi, atau jasa paket dengan pernyataan palsu untuk menembus pemeriksaan.

Owa Jawa yang sedang dikurung dan berhasil diamankan petugas saat razia kedaraan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay
Owa Jawa yang sedang dikurung dan berhasil diamankan petugas saat razia kedaraan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay

Disisi lain, kata Rony, UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan transaksi elektronik UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, belum memuat norma mengenai pencegahan terhadap perdagangan satwa liar dilindungi. Ia bilang, dua UU itu tidak bisa digunakan untuk menjerat pelaku perdagangan ilegal satwa liar secara daring.

“Karena dua UU itu tidak ada pasal yang mengatur itu. Saat ini secara pidana masih menggunakan pendekatan UU konservasi, pilihan lain menggunakan UU lingkungan hidup dengan cara menggugat pelaku menggunakan pendekatan perdata,” jelas Rony

Rony bilang, perlu ada perbaikan regulasi, khususnya UU KSDAE, serta menegakan hukum secara kolaborasi, karena kejahatan itu melibatkan banyak sektor, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Imigrasi, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selain melakukan penelusuran, kata Rony, penegak hukum harusnya menggugat pelaku kejahatan itu untuk mengganti rugi dan melakukan pemulihan. Pendekatan lain adalah dengan melakukan perampasan aset menggunakan UU TPPU. Ia bilang, pelaku kejahatan ini harus dimiskinkan karena motif kejahatan adalah motif ekonomi.

Robby Padma, dari Garda Animalia menambahkan, perlu adanya penguatan regulasi dalam UU ITE. Pasalnya, dalam UU itu juga tidak menyertakan norma berkaitan dengan pelarangan perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi secara daring.

Tak hanya itu, kata Robby, perlu adanya peningkatan kapasitas terhadap APH dalam mendeteksi iklan-iklan perdagangan satwa liar melalui media sosial, serta dengan modus yang sering dilakukannya. Termasuk mengoptimalkan cara kerja algoritma dalam mendeteksi iklan perdagangan satwa liar.

Ia bilang, perlu ada pengembangan alat deteksi dini seperti pembentukan tim patroli siber atau pengoptimalan penggunaan teknologi terkini seperti kecerdasan buatan (AI) dalam melacak perdagangan ilegal satwa liar secara daring. Katanya, harus ada peninjauan ulang terhadap aturan komunitas dengan objek utama satwa liar yang dilarang diperdagangkan.

“Perlu ada penguatan pendekatan multidoor dalam penanganan kasus kejahatan perdagangan ilegal satwa liar, serta memperkuat kolaborasi lintas sektoral,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.