Problematika Persampahan dan Peran Mahasiswa

Ilustrasi (Sumber foto: IG Potret Kemanusiaan)

Penulis : Fadhil Hadju

MENTARI diselimuti awan tipis pagi itu. Hangat menembus kulit. Penulis mengendarai motor matic merek Suzuki menyusuri jalan di perkotaan Kotamadya Gorontalo. Kicau burung terdengar di antara bisingnya kendaraan. Waktu itu, penulis tengah menuju ke arah kampus Universitas Bina Taruna Gorontalo, di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kelurahan Limba U2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.

Perjalanan itu dari arah perempatan lampu merah Gelael (Mall Gorontalo dulu). Kendaraan cukup ramai di jalan. Sehingga desak-desakan antara kendaraan roda dua, roda empat, serta roda tiga (bentor) terjadi. Berbelok ke arah Gelael menjadi keharusan agar sampai ke arah kampus. Motor melesat, tak jauh dari arah Gelael, sebuah bak sampah terlihat. Sesekali, orang menutup hidung jika lewat di depannya. Saat penulis lewat, bau yang sungguh menyengat menembus masker, dan meresap ke dalam hidung, hingga terasa di kepala. Bau yang tak mudah dilupakan.  Busuknya bukan main.

Bak sampah itu, menjadi tempat penampungan sampah dari buangan sampah pasar sentral, kota Gorontalo. Sampah seperti daun-daun, sisa parutan kelapa, kantong plastik dan lain-lain bercampur di dalam bak sampah. Tak mampu menampung, sampah yang lain berserakan di jalan. Itulah problematika paling kecil persampahan yang akan kita bahas dalam tulisan ini.

Dalam definisi penulis, sampah adalah bahan atau barang habis pakai yang dianggap atau tidak diperlukan lagi. Berdasarkan Undang-undang nomor 18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah mendefinisikan sampah sebagai, sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Dan penghasil sampah adalah setiap orang dan/atau akibat proses alam yang menghasilkan timbulan sampah.

Dari penjelasan tentang penghasil sampah dapat kita artikan bahwa, undang-undang telah menyebutkan sumber sampah yang paling dominan adalah manusia. Sehingga dari regulasi tersebut pemerintah menimbang bahwa, selain dari jumlah penduduk yang semakin bertambah, pola konsumsi yang kian hari makin tak terkendali menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Dalam hal ini, data jumlah penduduk, berdasarkan hasil sensus penduduk (SP) di tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat jumlah penduduk berada pada angka 270,20 juta jiwa. Jumlah itu bertambah dari hasil SP tahun 2010 yang menduduki angka 32,56 juta jiwa.

Sudah banyak diskusi-diskusi, seminar-seminar, yang menyinggung tentang problematika sampah. Tapi masih juga ada masalah sampah. Tercatat, sampah yang ada di lingkungan hanya ada 9% yang didaur ulang, 12% yang dibakar. Bagaimana dengan sisanya? masih tersebar di alam. Seperti hasil pengamatan penulis di lingkungan tempat tinggal, di Desa Dutohe, Kecamatan Kabila, Bone Bolango. Mayoritas masyarakatnya tak menerima pelayanan pengangkutan sampah. Dalam hal ini untuk mendapatkan pelayanan diwajibkan untuk membayar retribusi.  Seperti yang diatur dalam Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah Bone Bolango Bab VIII, Retribusi, Pasal 44 ayat (1) Pemerintah Daerah berwenang memungut retribusi atas jasa pelayanan pengelolaan sampah di TPST dan/atau di TPA yang menjadi kewenangannya. Disusul ayat (2) Setiap orang yang memperoleh pelayanan pengelolaan sampah di TPST dan/atau TPA wajib membayar retribusi.

Pengamatan penulis, mayoritas masyarakat di Desa Dutohe berprofesi sebagai tukang bangunan (sebutan orang Gorontalo : Bas/Basi). Salah satunya tetangga penulis, dibelakang rumahnya terdapat Balangga, sebuah lubang ukurang 5 x 7 meter (perkiraan). Lubang itu menampung buangan sampah hasil rumah tangga. Baik sampah plastik, sampah besi, sampah lauk, sampah sayur, semua tertampung di Balangga. Jadi terkadang, ketika hujan turun, sampah itu tergenang air. Bahkan menyebabkan penyakit DBD.

Penelitian Pengelolaan Sampah di Bone Bolango

Untuk menyelesaikan studi sarjana di bidang Administrasi Publik, penulis diwajibkan untuk melakukan penelitian. Kemudian penulis tertarik dengan telaah Kebijakan Publik, mengenai kebijakan pemerintah dalam menangani pengelolaan sampah. Penulis kemudian melakukan penelitian tentang “Faktor-faktor penghambat Implementasi Pengelolaan Sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup Bone Bolango”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2020. Metode yang digunakan kualitatif deskriptif, dengan mewawancarai sejumlah informan. Ada empat faktor penghambat yang menjadi fokusnya : Perencanaan, Ketersediaan Anggaran, Sumber Daya Manusia, dan Komunikasi. Penulis uraikan sebagai berikut.

  1. Perencanaan

Dari berbagai informan, penulis menyimpulkan bahwa segi perencanaan pengelolaan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup Bone Bolango masih jauh dari kata baik. Perencanaan pengadaan TPST, TPA masih belum terpenuhi. Jika memiliki Perda, sudah sejak 2015, dan penulis melakukan penelitian tahun 2019, artinya sudah empat tahun setelah Perda disahkan. Namun, masih ada problem perencanaan pengelolaan sampah. Dari informan lain, segi perencanaan pengelolaan sampah di serahkan ke pemerintah desa atau kelurahan. Namun, secara pengamatan dan hasil informan penelitian, pelimpahan tersebut belum jadi solusi baik untuk problem pengelolaan sampah.

  1. Ketersediaan Anggaran

Simpulan dari hasil penelitian penulis bahwa, ketersediaan anggaran masih jauh dari cukup. Kurangnya ketersediaan anggaran ini berdampak pada kurang memadainya fasilitas pengelolaan sampah.

  1. Sumber Daya Manusia (SDM)

Simpulan yang penulis peroleh dari segi SDM yakni masih jauh dari kata memadai. SDM yang dimaksud adalah petugas pengangkut sampah di Dinas Lingkungan Hidup, pada tahun 2019, berjumlah 25 petugas. Dalam hal ini, Kabupaten Bone Bolango memiliki luas wilayah 1.915.000 km2, sehingga pelayanan terbatas pada tujuh kecamatan yang ada di Bone Bolango.

  1. Komunikasi

Penulis merasa perlu memasukan segi “komunikasi” dalam hal pengelolaan sampah. Sebagaimana yang diatur dalam Perda Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Sampah Bone Bolango dalam Bab VII, Hak dan Kewajiban, Pasal 42 ayat 1 bagian e, setiap orang berhak memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan pengelolaan sampah secara baik dan berwawasan lingkungan. Padahal masyarakat juga dituntut untuk berperan dalam pengelolaan sampah, dalam Bab X, Peran Masyarakat, Pasal 46 ayat (1) Masyarakat dapat berperan dalam pengelolaan sampah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Namun, dari hasil penelitian ini didapat bahwa, komunikasi yang harusnya menjadi jembatan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sampah yang baik, malahan tidak terbangun dengan baik. Sehingga Balangga jadi alternatif bagi masyarakat.

Realita Sampah

Di Indonesia terdapat salah satu organisasi atau NGO bidang lingkungan, yang fokus riset dan kajiannya tentang sampah yakni, Ecoton (Ecological Observational and Wastlands Conservation). Mengambil tempat penelitian di sungai-sungai di wilayah pulau Jawa, Ecoton memberikan sejumlah pengetahuan tentang sampah pada kita. Pengetahuan itu seperti, Impor Sampah, Mikroplastik dan Pencemaran Sungai dampak dari Mikroplastik dan masih banyak lagi.

Ecoton, pada tahun 2020, melakukan penelitian tentang Dampak Sampah Impor Terhadap Lingkungan dan Kesehatan. Indonesia, termasuk dalam negara pembangunan berkelanjutan (SDG’s), yang secara global akan mencapai mutu lingkungan yang baik pada tahun 2030. Namun, Indonesia masuk dalam negara penerima impor sampah.

Kenaikan volume sampah plastik dipicu karena Indonesia melakukan impor sampah untuk kebutuhan industri daur ulang. Impor sampah tersebut yang kemudian disusupi sampah plastik dan sampah B3 yang tidak bisa diolah, khususnya pada impor sampah kertas,” tertulis dalam penelitian Ecoton.

Jadi, realita saat ini yang membuat kita semakin hari semakin banyak sampah adalah negara juga melakukan impor sampah. Di mana, hal itu bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Pemicu dari impor sampah ini yakni, kurang tegasnya regulasi undang-undang (baca jurnal Ecoton 2020 di situs resmi : https://ecoton.or.id).  

Dari permasalahan impor sampah berdampak pada pencemaran air, tanah dan udara (akibat dari aktivitas industri). “Karena industri kertas yang mengolah sampah impor dan membuang limbahnya ke sungai sementara sampah plastik yang merupakan sampah selundupan di jual ke masyarakat untuk disortir dan dijual kembali. Kemudian sampah yang tidak bisa didaur ulang ditimbun atau dibakar,” tulis penelitian Ecoton. Seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya tentang Balangga, dalam hal ini masyarakat menampung sampah dan membakarnya di situ.

Bagaimana dengan dampak lingkungannya? Ecoton melakukan brand audit terhadap 3 jenis sampah rumah tangga antara lain household (detergen, pakaian, sepatu, tisu, cd bekas dll), personal care (pasta gigi, face wash, minuman dll). “Semua jenis sampah impor tersebut berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan karena sampah plastik, sampah residu dan sampah B3,”.

Hasil analisis proses pencemaran lingkungan akibat sampah impor di aliran sungai Brantas di Jawa Timur (lokasi riset Ecoton), ditemukan bahwa sungai telah tercemar oleh mikroplastik sangat parah. Pada bulan Maret 2019, hasil penelitian dari 7 lokasi di hilir Sungai Brantas ditemukan partikel mikroplastik dalam air sebanyak 293-2499 partikel per liter (Norvadila; Arisandi : Dampak Sampah Impor Terhadap Lingkungan dan Kesehatan : 2020).

Dampak dari banyaknya partikel mikroplastik, tercatat oleh Ecoton, sejumlah 80% ikan yang hidup di sungai Brantas dalam lambungnya mengandung mikroplastik. Bahkan dari konsumsi ikan berdampak pada manusia. Hasil riset Ecoton, ditemukan mikroplastik pada feses manusia yang tinggal di tepi Sungai Brantas.

Namun dari hal tersebut, di negara kita Indonesia belum mengatur tentang baku mutu pencemaran mikroplastik. Sehingga sejumlah industri dapat dengan bebasnya mencemari sungai dan lingkungan sekitarnya dengan mikroplastik.

Penulis juga memiliki pengalaman dengan sampah di tepi pantai Kurenai, Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango. Sejumlah sampah bertumpuk di sudut pinggiran pantai. Sejumlah botol-botol plastik menjadi tempat mainan biota di pinggir pantai seperti kepiting. Sampah yang ada di bakar. Penulis melihat tumpukan sampah yang telah dibakar.

Salah satu pengakuan pengunjung pantai kurenai, Satrina Utina, Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo bahwa, destinasi itu menjadi pilihan favoritnya. Suguhan pemandangan yang indah, terlebih di sore hari menarik minatnya, selain itu, biaya masuk yang murah (Rp. 5 ribu untuk kendaraan roda dua) menjadi daya tarik baginya untuk mengunjungi destinasi itu.

“Kekurangannya para wisatawan sering lupa angkat sampah, jadi sampah  di mana-mana. Itu jadi membuat kurang vibesnya destinasi ini,” ucap Satrina.

“Destinasi yang seharusnya indah untuk foto-foto, jadinya kami agak risih karena banyaknya sampah,” sambung dia.

Dari hal itu, keberadaan sampah plastik yang ada di sekitaran pantai kurenai itu harus segera diperhatikan. Agar bisa mencegah pencemaran mikroplastik baik pada biota pantai, maupun pada manusia sendiri.

Peran Mahasiswa

Banyak mahasiswa sekarang yang tidak merasa terjajah. Padahal selama ini mereka sudah dijajah,” ungkap Andreas Agus, Educational Program Ecoton pada penulis.

Pola pikir seperti membeli air kemasan yang dianggap biasa adalah salah satu contoh pikiran mahasiswa dan pemuda yang sudah terjajah. Menurut dia, air adalah sumber daya yang menjadi hak manusia. Dengan membiarkan sungai rusak, tanpa melakukan gerakan adalah hal yang salah.

Sungai adalah sumber air minum utama kita yang harus tetap bisa diakses oleh semua orang sebagai air minum,” terang dia.

Dari hal itu penulis dapat menariknya dengan peran dan tanggung jawab mahasiswa dalam kehidupan sosial. Mahasiswa dan tanggung jawabnya memiliki tiga peran : sebagai agent of change (agen perubahan), social control (pengontrol masalah sosial), dan iron stock (sumber daya tangguh).

Sebagai agen perubahan, mahasiswa memiliki tanggung jawabnya untuk merubah pola perilaku kehidupan sosial. Pola perilaku seperti apa? paling minimal, menyadarkan diri sendiri untuk mengurangi budaya konsumsi, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kemudian memberikan edukasi kepada masyarakat tentang problematika sampah. Untuk itu, pengetahuan mahasiswa tentang sampah haruslah memadai.

Kemudian sebagai social control, mahasiswa memiliki sumber daya dan kewajiban mengawal hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang sehat. Contohnya, mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengurangi konsumsi plastik. Seminimal mungkin, kurangi penggunaan kantong plastik, pada saat membawa belanjaan yang minim. Atau gerakan yang lebih radikal seperti melakukan advokasi di rana kebijakan pemerintah. Menyadarkan pemerintah tentang bahaya sampah yang tak bisa dihindari lagi.

Jika kedua hal itu bisa dilaksanakan oleh mahasiswa, maka secara tidak langsung mereka akan menjadi sumber daya tangguh (iron stock) bagi masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa, problematika sampah ini berawal dari diri sendiri. Kesadaran akan lingkungan, pengurangan budaya konsumsi, dan mengingat kembali peran sebagai mahasiswa menjadi solusinya.