Perusahaan Emas Ancam Habitat Julang Sulawesi di Bone Bolango

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia
Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia
  • Julang Sulawesi, satu satwa endemik Sulawesi yang mendiami hutan di Bone Bolango, Gorontalo. Satwa langka dilindungi ini makin terancam kala habitat mereka akan jadi pertambangan emas skala besar.
  • Julang Sulawesi ini, dikenal dengan ‘petani hutan’ karena jadi penyebar benih-benih dari buah-buah yang jadi makanannya. Julang punya andil besar dalam ‘membuat’ hutan.
  • Ivan Taslim, Dosen Geografi di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) menilai, pertambangan emas GM berpotensi mempercepat kepunahan julang Sulawesi. Dari proses awal pembukaan lahan hingga produksi akan menciptakan polusi air, udara dan suara yang akan mengganggu habitat satwa.
  • Yoyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia mengatakan, tambang, baik berizin atau yang tidak di dalam kawasan hutan, pasti akan mengganggu keanekaragaman hayati di dalamnya, termasuk, julang Sulawesi.

Masih lekat dalam ingatan Sumanti Dukalang, burung Julang Sulawesi yang kerap disebut sebagai ‘Petani Hutan’ itu sering mencari makanan di kebunnya yang tak jauh dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Perempuan paruh baya yang merupakan warga Desa Moopiya, Kecamatan Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo ini menganggap, burung itu menandakan kesuburan suatu kawasan.

“Kalau tempat itu sering digunakan Julang Sulawesi untuk mencari makan, pasti tempat itu sangat subur. Dahulu, kebun saya menjadi tempat mereka untuk mencari makan, karena di kebun saya tidak jauh dari Taman Nasional,” kata Sumanti Dukalang kepada Mongabay, awal Januari Lalu

Sumanti bilang, kicauan burung Julang Sulawesi kerap menemani perjalanan mereka jika ingin pergi ke kebun pada pagi hari, dan pulang dari kebun pada sore hari. Katanya, suasana itu  dinikmatinya sudah puluhan tahun, dan ia meyakini populasi burung itu masih sangat banyak di kawasan hutan dan konservasi yang tak jauh kebunnya.

Namun, perusahaan emas PT. Gorontalo Minerals (GM) yang mendapatkan izin konsesi Kontrak Karya (KK) Generasi VII dari Presiden sejak tahun 1998 disinyalir dapat memberikan dampak buruk terhadap habitat Julang Sulawesi (Aceros cassidix) yang merupakan salah satu dari 13 jenis spesies burung Rangkong di Indonesia.

Pasalnya, izin konsesi sebesar 24.995 hektar yang dimiliki anak perusahaan dari PT. Bumi Resources Tbk itu, mayoritas berada dalam kawasan hutan, dan tempat itu menjadi salah satu habitat burung yang biasa disebut sebagai ‘petani hutan’ itu.

Detailnya, dari areal kontrak karya milik GM itu, ada seluas 17.798 hektar yang berada di dalam kawasan Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi (HP). Sisinya, atau seluas 7.197 hektar berada dalam Area Penggunaan Lain [APL] yang berupa lahan perkebunan dan pertanian masyarakat sekitar.

“Jika sudah ada tambang, baik yang berizin atau yang tidak berizin di dalam kawasan hutan, pasti akan mengganggu keanekaragaman hayati di dalamnya. Termasuk, Julang Sulawesi yang merupakan salah satu burung endemik di pulau Sulawesi,” kata Yoyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa, pendiri dan peneliti dari Rangkong Indonesia

Sebenarnya, perusahaan emas yang sahamnya 20 persen dimiliki oleh PT. Aneka Tambang (Antam) ini sudah mendapatkan surat persetujuan sejak 25 tahun lalu oleh Presiden Republik Indonesia dengan surat No. B.52/Pres/1/1998. Kegiatan penambangan dan pengolahan tembaga serta mineral pengikutnya berlokasi di kompleks sungai Mak, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.

Awalnya, 14.000 hektar dari 24.995 hektar luasan konsesi GM itu merupakan TNBNW. Namun, pada 25 Mei 2010, Menteri Kehutanan saat itu, Zulkifli Hasan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 324/Menhut-II/2010 tentang alih fungsi hutan, bahwa sebagian hutan konservasi sekitar 14.000 hektar, jadi hutan produksi terbatas (HPT).

Konsesi tambang PT GM, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. (Foto: Sarjan Lahay)
Konsesi tambang PT GM, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. (Foto: Sarjan Lahay)

Ironisnya, di tahun yang sama, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pun kembali menerbitkan Surat Keputusan (SK) bernomor SK 673/Menhut-II/2010 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk eksplorasi emas dan mineral atas nama PT. Gorontalo Minerals. Sejak itulah, GM melakukan eksplorasi di lokasi tersebut.

Parahnya lagi, pada tanggal 27 Februari 2019 lalu, GM yang awalnya melakukan eksplorasi, kini  sudah masuk dalam tahapan operasi produksi dengan kontrak sampai dengan 1 Desember 2052 atau sekitar 33 tahun berdasarkan nomor SK 139.K/30/DJB/2019. GM menargetkan, produksi 5,000,000 ton bijih emas/tahun, dan produksi konsentrat mencapai 130,000 ton/tahun.

Padahal, TNBNW yang memiliki luas sekitar 287.115 hektar itu merupakan tempat berlindung berbagai jenis flora dan fauna, termasuk Julang Sulawesi yang merupakan satu dari burung endemik yang terancam punah di pulau Sulawesi. Yoki bilang, pertambangan legal itu akan menjadi penyebab langsung populasi julang sulawesi terganggu.

“Perusahaan emas di Bone Bolango itu bisa dipastikan akan mengganggu habitat dan populasi julang sulawesi. Apalagi, pertambangan ilegal itu menggunakan alat berat serta akan beroperasi dengan model pertambangan terbuka,” kata kata Yoki, sapaan akrab Yoyok.

Julang Sulawesi adalah jenis burung endemik yang hanya ditemukan di pulau Sulawesi, Indonesia. Burung ini juga dikenal dengan nama lain yaitu ‘Petani Hutan’ yang memiliki ukuran yang cukup besar, dengan panjang hingga mencapai 104 cm, serta memiliki kemampuan berkicau nya yang sangat indah, melengking dan merdu.

Dalam buku ‘Manual Identifikasi dan Bio-Ekologi Spesies Kunci di Sulawesi‘ yang ditulis pada tahun 2022 oleh oleh Abdul Haris Mustari, salah satu dosen pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan, Julang Sulawesi secara umum berwarna hitam, paruhnya besar berwarna kuning, dan ekor berwarna putih.

Untuk membedakan antara betina dan jantan hanya dari ukuran tubuh, warna bulu leher, dan terdapat tonjolan di atas kepala (casque) yang sangat mencolok dan membedakannya dengan jenis burung lain.

Burung jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar, warna bulu lehernya kuning-keemasan, dan tonjolan di atas kepala (casque) berwarna lebih cerah atau merah. Sementara untuk betina, ukuran tubuhnya lebih kecil, warna bulu kepala dan lehernya hitam dan tonjolan di atas kepala (casque) berwarna kuning dengan ukuran lebih kecil dari tanduk jantan.

Selain itu, pada burung jantan dan betina dewasa terdapat garis di pangkal paruh yang kombinasinya menyerupai huruf ‘V’, atau tanda pangkat pada anggota militer dan jumlah garis tersebut sering diasosiasikan dengan umur individu julang sulawesi tersebut. Berat julang dapat mencapai 3,6 kg.

Wilayah Konsesi PT GM (Sumber: Auriga Nusantara)
Wilayah Konsesi PT GM (Sumber: Auriga Nusantara)

Keberadaan burung ini mudah terdeteksi, selain ukuran tubuhnya yang besar juga suaranya yang khas serta kepakan sayapnya yang sangat jelas terdengar. Bulu mata pada julang diketahui dapat digunakan sebagai salah satu faktor untuk menarik pasangannya. Hal tersebut juga mendukung perilaku hidup burung ini memang harus berpasangan (monogami).

Habitat burung ini berada di hutan primer, hutan rawa, hutan sekunder atau kawasan hutan hijau dengan ketinggian 1.100-1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Buah-buahan adalah pakan utama Julang Sulawesi. Terkadang mereka memakan hewan, seperti serangga, telur burung, kadal, kelelawar, tikus, dan ular.

Selain itu, julang sulawesi memanfaatkan hutan yang menyediakan pohon-pohon besar untuk berbiak dan bersarang. Mereka membuat sarang di lubang pohon yang besar dengan ketinggian 13-53 m. Biasanya, sarang mereka berada di tengah hutan yang jauh dari aktivitas manusia. Lubang pohon yang dibuat kerap ditutup dengan lumpur untuk melindungi telur dari predator.

Burung ini biasanya terbang cukup rendah di atas kanopi hutan secara berpasangan dan berkelompok. Saat musim buah, burung ini kerap berkumpul dalam jumlah sangat banyak sekitar 50 individu. Mereka juga dapat memetik buah-buahan selama terbang, sambil mengusir burung serta primata lainnya di pohon pakan.

Penyebaran alami burung endemik ini terdapat di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau disekitarnya termasuk Pulau Lembeh, Kepulauan Togean, Pulau Muna dan Pulau Buton. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) merupakan habitat alami bagi Julang Sulawesi.

“Burung julang sulawesi sering dijumpai mencari makan di pohon beringin yang sedang berbuah, karena burung ini sangat menyukai buah beringin,” tulis Abdul Haris Mustari dalam bukunya.

Julang Sulawesi termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, juga Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia membuat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi untuk mendorong perlindungan julan sulawesi agar tidak mengakui kepunahan. Selain itu, spesies ini juga terdaftar pada Lampiran II Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam Punah (CITES)

Lembaga konservasi dunia the International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengategorikan Julang Sulawesi atau orang lokal Gorontalo menyebutnya burung Alo ini berstatus “Rentan” (Vulnerable/VU). Artinya, memiliki 10 persen kemungkinan punah dalam jangka waktu 100 tahun ke depan akibat perburuan yang masif.

Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia
Julang sulawesi yang merupakan burung endemik Sulawesi ini bisa ditemukan di hutan Tangkoko. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

Mempercepat Kepunahan

Ivan Taslim, Dosen Geografi di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) menilai, aktivitas pertambangan oleh GM sangat berpotensi mempercepat kepunahan Julang Sulawesi. Mahasiswa Doktoral Program Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam di IPB University ini menjelaskan, dari proses awal pembukaan lahan (land clearing) hingga kegiatan produksi akan menciptakan polusi air, udara dan suara yang akan mengganggu habitat Julang Sulawesi.

Ia yakin, kegiatan operasi pertambangan emas GM akan menyumbang gangguan ekosistem, habitat dan keanekaragam hayati lainnya yang ada di sekitaran lokasi perusahaan, termasuk Julang Sulawesi. Katanya, eksploitasi bahan tambang baik emas ataupun mineral lainnya sudah tentu berpotensi merusak lingkungan.

Berdasarkan dokumen Amdal dan Kerangka Acuan GM yang diperoleh Mongabay menjelaskan, proses pembangunan jalan tambang menggunakan alat berat antara lain truck, bulldozer, excavator, grader, dan compactor. Jalan tambang akan dirancang agar dapat dilalui kendaraan dan peralatan tambang untuk dua arah dengan lebar empat kali lipat lebar alat angkut terbesar yang digunakan.

Alat angkut terbesar yang akan digunakan adalah Rigid Dump Truck Komatsu HD 465 atau setara dengan lebar 4,2 m. Artinya, jalan tambang yang akan didesain sebesar 18 m. Hal tersebut tentu jelas akan membuka tutup hutan yang sangat besar. Ivan bilang, dampak negatif dari adanya perusahaan tambang emas berpotensi lebih besar daripada dampak positifnya

Bukan hanya itu, dalam tahapan kegiatan penambangan dalam proses pembukaan lahan meliputi pembersihan lahan, penggalian, dan penimbunan, akan melakukan penebangan pohon, pemotongan kayu, dan penggalian. Kegiatan pembersihan lahan juga akan menggunakan bantuan alat excavator dan dump truck. Sementara, pembabatan semak dan tanaman perdu, menggunakan alat bulldozer.

Pada proses pembangunan pabrik pengolahan. Bijih yang telah ditambang selanjutnya akan diproses di pabrik pengolahan, yang terdiri dari unit peremukan, penggerusan, flotasi, thickening, dan filtering. Pabrik pengolahan akan dibangun di lahan seluas 15,02 hektare di sebelah selatan proyek pit sungai mak, yang pastinya akan memakai tutupan hutan yang ada di HPT.

Apalagi metode produksi pertambangan yang akan dipakai yaitu model pertambangan terbuka atau open pit dengan menggali mineral deposit yang ada pada satuan batuan, yang sama dilakukan oleh perusahaan tambang emas terbesar di dunia yaitu PT. Freeport Indonesia. Proses penambangan emas itu dapat mengakibatkan kerusakan habitat burung Julang Sulawesi, seperti hilangnya hutan dan perubahan iklim.

“Penambangan emas dapat menyebabkan penebangan hutan dan pengurangan luas hutan yang merupakan habitat burung Julang Sulawesi. Hal ini dapat menyebabkan pengurangan populasi burung julang dan meningkatkan risiko kepunahan spesies,” kata Ivan Taslim kepada Mongabay, 19 Januari lalu

Selain itu, kata, penambangan emas juga dapat menyebabkan perubahan iklim, seperti peningkatan suhu dan perubahan curah hujan, yang dapat mempengaruhi kondisi habitat burung tersebut. Katanya, penambangan emas juga dapat menyebabkan polusi air dan udara, yang dapat mempengaruhi kesehatan burung julang dan menurunkan kualitas makanan burung julang sehingga mereka kesulitan untuk mencari makan.

“Bisa jadi pencemaran air dan udara dapat diminimalisir, tetapi kebisingan dari suara alat operasional dan mesin pengolah yang setiap saat beroperasi pastinya tidak dapat dikurangi. Hal itu tentu, akan mempengaruhi habitat julang Sulawesi dan burung lainnya,” kata Ivan

Pemukiman dan kawasan hutan yang akan terkena tambang emas PT GM. Foto: Sarjan Lahay
Pemukiman dan kawasan hutan yang akan terkena tambang emas PT GM. Foto: Sarjan Lahay

Selain itu, Yoyok juga menjelaskan, ancaman Julang Sulawesi adalah perburuan serta habitat rusak, dan pertambangan emas ilegal dan legal menjadi pemicu utama. Dia bilang, julang sangat bergantung dengan hutan sebagai tempat pangan, berkembang biak dan bersarang untuk hidup. Kalau hutan rusak, katanya, akan mengganggu populasi julang Sulawesi.

Perusahaan tambang emas, kata Yoki, akan membuka akses bagi orang sekitar untuk berburu. Apalagi, ada kepercayaan beberapa warga kalau kepala julang memiliki nilai magis, seperti penolak bala dan sebagai simbol kemapanan.

Padahal, katanya, Julang sangat penting bagi ekosistem. Satwa ini sering disebut ‘petani hutan’ yang mampu menyebarkan biji-biji dari sisa buah yang dia makan dalam cakupan terbang hingga rentang 100 kilometer persegi. Saat biji-biji dari sisa buah jatuh di tanah, akan menjadi bibit dari pepohonan dan suatu saat jadi pohon-pohon besar. Julang berandil besar dalam regenerasi hutan.

“Pertambangan ilegal yang sudah merambat kawasan Panua bisa dipastikan sangat mengganggu habitat dan populasi julang Sulawesi. Apalagi, pertambangan itu menggunakan alat berat,” kata Yoyok

Ivan dan Yoyok berharap, harus ada pengawasan secara rutin yang harus dilakukan pemerintah terhadap aktivitas perusahaan tambang emas yang akan beroperasi selama 30 tahun kedepan itu. Pemerintah dan perusahaan juga diminta harus melakukan pencegahan terlebih dahulu, sebelum terjadi kerusakan jangka panjang.

Supriyanto, Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) Gorontalo tak merespon apa-apa saat dihubungi Mongabay untuk meminta penjelasan soal pengawasannya terhadap burung endemik sulawesi yang terancam habitatnya karena perusahaan tambang emas.

Sebelumnya, Mongabay juga pernah membuat tulisan soal perusahaan emas yang mengancam ekosistem TNBNW. Tapi, Supriyanto menolak menanggapi. Dia bilang, lokasi GM berada di luar taman nasional, dan dirinya tidak ada wewenang memberikan komentar.

Sementara itu, sejak 18 Januari, Mongabay menghubungi Didik Budi Hatmoko, Kepala Kantor PT. Gorontalo Minerals (GM) di Gorontalo untuk memintai penjelaskan soal terancamnya habitat burung Julang Sulawesi yang diakibatkan oleh perusahaannya. Namun, hingga berita ini diterbitkan, ia tak memberikan penjelasan.

 

*Liputan merupakan hasil Kolaborasi Mongabay Indonesia, Barta1 dan Internews


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.