Operasi PLTU Captive Merusak Kehidupan Rakyat di Sulawesi

Ilustrasi PLTU Captive di kawasan industri. (Foto: PIxabay.com)
Ilustrasi PLTU Captive di kawasan industri. (Foto: PIxabay.com)
  • Operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk fasilitas industri (PLTU captive) di Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Tenggara (Sultra) akhirnya merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat di Sulawesi. Demikian temuan Aliansi Sulawesi Terbarukan yang merupakan organisasi gabungan Walhi Sulteng, Walhi Sulsel, dan Walhi Sultra.
  • Desa terdampak PLTU captive ini seperti terjadi di masyarakat Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, terutama di Desa Motui dan Lambuluo. Warga dua desa di Konawe Utara itu terdampak pembakaran batubara. Banyak warga meninggalkan rumah mereka di dua desa itu karena abu sisa pembakaran batubara menyebar ke pemukiman dan mempengaruhi kualitas lingkungan. 
  •  erdasarkan hasil kajian Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berjudul “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia” itu menjelaskan, kebijakan pemerintah dalam transisi energi selama ini masih belum memadai, bahkan terkesan ambigu.
  • Wanhar, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan KESDM juga bicara soal PLTU captive ini. Pemerintah berniat mendorong penurunan emisi pembangkit listrik guna mencapai target transisi energi, tetapi pembahasan selama ini terbatas pada kontribusi pembangkit PLN. Sedangkan masih banyak sistem tenaga listrik di luar milik PLN atau biasa disebut dengan captive power. 

Operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menyediakan listrik untuk suatu fasilitas industri atau biasa disebut PLTU Captive di Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Sulawesi Tenggara (Sultra) akhirnya merusak ekologi dan kehidupan masyarakat di Pulau Sulawesi. Hal itu berdasarkan temuan Aliansi Sulawesi Terbarukan yang merupakan organisasi gabungan Walhi Sulteng, Walhi Sulsel, dan Walhi Sultra.

Misalnya, kawasan industri PT Stardust Estate Investment (SEI) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Dalam kawasan industri ini terdapat PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) dengan luas 1.907 hektar dan PT Central Omega Resources (COR). Keduanya merupakan perusahaan smelter pemurnian nikel milik Jiangsu Delong Nickel Industry Co.Ltd investor asal Cina yang beroperasi di Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Morowali Utara.

Untuk menggerakan smelter, GNI membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive batu bara di luas lahan 712,80 hektar. Sayangnya, proses pembangunan dan pengerjaan PLTU itu, membendung Sungai Lampi yang ada di lokasi itu tanpa sepengetahuan warga dan pemilik lahan sekitar sungai. Walhi Sulteng memprediksi, ketika intensitas hujan tinggi, air Sungai Lampi pasti akan meluap dan bisa merendam sawah dan pemukiman warga sekitar.

“Udara di dusun 5 Desa Bunta disinyalir diselimuti gas sulfur dioksida (So2) merupakan gas beracun hasil pembakaran batubara PLTU Captive,” kata Sunardi Katili, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng saat konferensi pers pada Senin, 12 Juni lalu

Tak hanya itu, pembangunan Dermaga (jetty) di Desa Tanauge, Kecamatan Petasia untuk dijadikan pintu masuk mobilisasi pasokan batubara sejak awal 2023 lalu, diduga rampas lahan warga seluas 65 hektar tanpa proses kompensasi ganti rugi. Sunardi bilang, masyarakat yang mayoritas berprofesi nelayan di lokasi itu juga untuk merasakan penderitaan akibat adanya operasi PLTU Captive tersebut.

“Masifnya mobilisasi kapal tongkang bermuatan batubara untuk kebutuhan PLTU Captive di lokasi itu sangat berpengaruh ke kehidupan ekonomi dan sosial nelayan di sekitar lokasi itu. Bahkan, ada yang berhenti menangkap ikan karena batu bara sering tumpah, ditambah lagi penjagaan ketat oleh Polisi Air Udara jadi momok menakutkan bagi para nelayan mencari ikan lagi,” jelas Sunardi Katili

Saat ini, PT. GNI telah membangun 3 unit PLTU Captive batu bara di Desa Tanauge berkapasitas 300 Mw yang hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari pemukiman warga. Akibatnya, kata Sunardi, warga sekitar PLTU harus setiap hari membersihkan rumahnya, menutup pintu dan jendela agar terhindar debu hitam dari pembakaran batubara milik PT. GNI.

Fenomena yang sama juga dialami oleh warga Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Hadirkan PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di lokasi tersebut secara drastis merubah kondisi ekologi dan kehidupan masyarakat sekitar akibat dibangunnya sejumlah PLTU Captive oleh perusahaan besar itu.

Penampakan Kawasan Industri Nikel, PT IMIP, Foto: Milik PT IMIP
Penampakan Kawasan Industri Nikel, PT IMIP, Foto: Milik PT IMIP

Misalnya, PT. VDNI yang mulai beroperasi sejak 2014 dan membangun pabrik pemurnian di tahun 2017, yang kemudian resmi beroperasi pada tahun 2019. Terletak di Morosi, Kabupaten Konawe, luas lahan perusahaan ini sebesar 700 hektar. Kapasitas produksi perusahaan ini dalam setiap tahun mampu memproduksi sebanyak 800 Ribu Ton Nikel Pig Iron (NPI) dengan kadar 10-12%.

Dalam menunjang operasionalnya, PT. VDNI akhirnya membangun delapan unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan total kapasitas sebanyak 530 MW dan mampu mengkonsumsi batubara sebanyak 180.000 ton per tahun. Konsumsi batubara yang cukup besar tersebut berkontribusi pada menurunnya kualitas lingkungan sekitarnya. Akibatnya, produksi lahan pertanian masyarakat terus mengalami penurunan setiap tahunnya.

“Berdasarkan hasil wawancara lapangan tim Walhi Sultra bersama masyarakat Morosi, pembakaran batu bara yang dilakukan tanpa henti, menyisakan abu hitam yang kemudian bercampur dengan udara lalu menyebar ke lahan-lahan pertanian masyarakat. Akibatnya kualitas air tanah menjadi tidak produktif lagi,” kata Andi Rahman, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sultra.

Pasalnya, buangan hasil sisa pembakaran batu bara mengandung zat Sulfur Oksida (SO2) yang menyebabkan keracunan pada tanaman. Selain itu, kata Andi, batubara juga berkontribusi pada masalah kesehatan masyarakat sekitar. Sejak adanya pabrik pengolahan nikel di Morosi, Kabupaten Konawe, angka penderita Infeksi saluran pernapasan (ISPA) terus mengalami peningkatan.

Selain PT. VDN, PT OSS di Desa Tani Indah, Kabupaten Konawe juga mencemari lingkungan di sekitar lokasi perusahan dan membuat warga sekitar menderita akibat keberadaan PLTU yang dibangunnya. Berdasarkan hasil penelusuran Walhi Sultra, sejak perusahaan beroperasi pada 2018, lahan tambak di Desa Labota, Tani Indah, Lalimbue dan Kapoiala baru tercemar abu sisa pembakaran batubara. Padahal, Ketiga desa itu, merupakan kawasan basah dengan komoditas unggulan seperti kepiting, Udang dan Bandeng.

Data Badan Pusat Statistik (2018) mencatat, hasil produksi perikanan budidaya Kabupaten Konawe mencapai 40.356 Ton pada tahun 2018. Namun angkat itu terus menurun di tahun-tahun berikutnya seiring dengan masifnya aktivitas perusahan di kawasan Morosi. Andi bilang, ada sekitar 151 hektar tambak milik masyarakat tercemar dan tidak bisa digunakan lagi akibat aktivitas PLTU yang dibangun oleh PT OSS.

“Tambak-tambak masyarakat yang dahulu dijadikan sebagai sumber mata pencaharian, kini sudah rusak karena debu sisa pembakaran batubara dari PLTU yang ada di lokasi tersebut,” jelas Andi

Selain berdampak pada masyarakat di Kabupaten Konawe, aktivitas PT OSS juga memberi dampak pada masyarakat Kabupaten Konawe Utara, terutama di Desa Motui dan Lambuluo. Pasalnya, lokasi perusahan berada di batas administrasi dua kabupaten di Sulawesi Tenggara tersebut. Warga dua desa di Kabupaten Konawe Utara juga ikut terdampak limbah pembakaran batubara yang bercampur dengan udara.

Andi bilang, banyak masyarakat meninggalkan rumah mereka di dua desa tersebut akibat abu sisa pembakaran batu bara sudah menyebar ke menyebar ke pemukiman masyarakat dan mempengaruhi kualitas lingkungan. Katanya, masyarakat yang bermigrasi atau memilih pindah itu juga disebabkan oleh hilangnya pekerjaan mereka yang mayoritas merupakan petani tambak.

“Mayoritas masyarakat di lokasi itu sebelumnya merupakan petani tambak, dan mereka terpaksa harus mencari pekerjaan lain karena tambak tidak lagi mampu berproduksi di tengah gempuran abu batubara,” kata Andi

Berdasarkan perhitungan Walhi Sultra, PLTU Captive yang dibuat oleh PT. VDN dan PT OSS membuat sekitar 4.000 jiwa terancam debu hitam batu bara, dan sebanyak 18 KK Nelayan kehilangan pekerjaan akibat rusaknya wilayah tangkapan mereka. Bahkan, kebutuhan air bersih masyarakat tidak lagi terpenuhi karena tercemar debu batubara milik kedua perusahaan smelter tersebut.

Bukan hanya PLTU, kata Andi, tambang-tambang nikel yang menyuplai bahan baku ke PT. VDN dan PT OSS juga merupakan wilayah yang ada di Sulawesi Tenggara. Katanya, tiga tahun terakhir, ada sekitar 8400-an hektar kawasan hutan lindung yang ditambang secara illegal, dan bahan baku nikelnya dibawa ke dua perusahaan smelter itu.

Tak hanya itu, wajah kotor PLTU Captive di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan (Sulsel) juga membuat masyarakat sekitar menderita. Dislokasi itu, ada dua PLTU yang menyuplai listrik ke Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) di Kabupaten Bantaeng. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kabupaten Bantaeng yang diolah oleh Walhi Sulsel, sejak 2010 hingga 2017 tercatat ada 13 perusahaan di kawasan Industri itu dengan berbagai bidang usaha.

Salah satu perusahaan besar yang ada di KIBA adalah, PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia (HNI) merupakan perusahaan pengolahan dan pemurnian nikel yang memiliki luas lahan 100 hektar. Kapasitas tanur atau tungku besar HNI untuk tahap 1 sebanyak 16.500 KVA dengan total nilai investasi mencapai 80 juta USD. Olehnya, perusahaan smelter ini membutuhkan daya listrik yang besar dari dua PLTU yang ada di Jeneponto.

Namun, hadirnya dua PLTU di Jeneponto itu telah memberikan berbagai dampak sosial, lingkungan dan kesehatan kepada masyarakat. Nelayan, Para budidaya rumput laut, tambak ikan dan udang di lokasi tersebut menjadi kelompok yang paling terdampak abu sisa pembakaran batu bara dari dua PLTU itu. Petani tanaman hortikultura, petambak garam, pedagang, hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga mengalami hal yang serupa.

Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulsel mengatakan, dampak-dampak yang didapatkan oleh masyarakat di sekitar dua PLTU yang dibangun oleh PT. PLN Persero dan PT. Bosowa Energi itu kurang lebih sama dengan kondisi warga di Morowali Utara (Sulteng), Konawe, dan Konawe Utara (Sultra). Ia bilang, masyarakat yang bergantung hidupnya dari sumber daya laut dan berbagai potensi pertanian di dataran, terhimpit ekonominya.

“Para PNS di desa dan kecamatan mengaku kepada kami bahwa mereka tidak konsen untuk bekerja di kantor mereka akibat terdampak udara yang sangat menyengat karena sudah terkontaminasi dengan abu sisa pembakaran batubara dari dua PLTU itu,” kata Muhammad Al Amin

Ambigu Transisi Energi

Sebenarnya, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Pernyataan Global Coal to Clean Power Transition Statement di COP26, pertama kalinya berkomitmen untuk menghentikan penggunaan batu bara secara bertahap dan tidak akan membangun atau berinvestasi di PLTU baru. Hal ini diikuti dengan peluncuran peta jalan PLN untuk carbon neutrality pada tahun 2060 dan menjadi salah tindakan untuk menyelaraskan dengan target 1,5°C Perjanjian Paris.

September 2022 lalu, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs), Indonesia meningkatkan target penurunan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) meningkat dari 29% menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. Namun, Climate Action Tracker menilai revisi NDC Indonesia “sangat tidak memadai” dalam mengurangi kontribusi emisi karbon negara ke tingkat yang sesuai dengan pemenuhan target 1,5°C.

Akhir 2022 lalu juga, pemerintah Indonesia dan Badan Energi Internasional (IEA) merilis peta jalan Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi karbon yang mengusulkan tiga skenario transisi yang berbeda yaitu: Optimis, Sedang, dan Pesimis. Peta jalan ini, bersama dengan komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP), memajukan target NZE Indonesia untuk sektor ketenagalistrikan dari tahun 2060 menjadi tahun 2050, dan meningkatkan pangsa listrik terbarukan menjadi 34% pada tahun 2030. Namun, IEA menyatakan bahwa rencana tersebut masih terlambat sepuluh tahun untuk target 1,5°C yang selaras dengan skenario Paris.

Sayangnya, sampai saat ini penetapan target NZE belum sepenuhnya selaras di seluruh kementerian dan entitas terkait. PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awalnya memiliki target untuk NZE pada tahun 2050, tetapi kemudian mundur dan menetapkan tahun 2060 sebagai target resmi. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan target NZE pada 2070. Di sisi lain, rekomendasi Bappenas sebelumnya di bawah visi nasional 2045 mendesak target NZE yang optimis untuk Indonesia.

Kondisi itu berdasarkan hasil kajian yang diluncurkan Trend Asia dan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berjudul “Ambiguitas vs Ambisi: Tinjauan Kebijakan Transisi Energi Indonesia”. Laporan yang diterbitkan pada Maret 2023 lalu itu menjelaskan, kebijakan pemerintah dalam hal transisi energi selama ini masih jauh atau belum memadai, bahkan terkesan ambigu.

Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng
Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng

Salah satu ambiguitas utama yakni komitmen lisan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pembangunan PLTU baru pada tahun 2025. Pada Mei 2021, pemerintah mengumumkan moratorium untuk pembangunan PLTU. Tenggat waktu untuk pembangunan pembangkit baru awalnya ditetapkan pada tahun 2023, namun diubah menjadi tahun 2025 tidak lama setelah pemerintah mengumumkan untuk menyelesaikan mega proyek 35 GW di sisa waktu tersebut.

Berikutnya, sikap ambiguitas Pemerintah Indonesia juga terjadi saat diterbitkannya Perpres 112/2022. Dimana, Perpres itu memperjelas bahwa pembangunan PLTU baru akan dilarang di luar yang ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Hal itu dinilai memberikan kelonggaran bagi kapasitas bahan bakar fosil baru sebagai bagian dari mega proyek 35 GW. Padahal, ambisi NZE belum selaras dengan skenario Paris.

Ironisnya, Pasal 3 ayat 4 dalam Perpres 112 itu ternyata memberikan pengecualian terhadap moratorium pembangunan PLTU Captive atau pembangkit listrik yang terintegrasi dengan industri dan terdaftar pada Proyek Strategis Nasional. Pengecualian besar ini akan memungkinkan pembangunan PLTU terus berlanjut selama mereka pensiun pada tahun 2050 atau memungkinkan pembangkit batu bara yang lebih kecil untuk beroperasi meskipun tidak ekonomis.

Data dari Global Energy Monitor (GEM) menunjukan terdapat lebih dari 22,6 GW PLTU Captive yang diperuntukkan untuk berbagai jenis industri, termasuk untuk industri smelter pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara. Pengecualian ini dinilai berisiko memungkinkan operator dan pemilik untuk memperpanjang aset batu bara.

Kebijakan yang tidak jelas dan target yang tidak selaras inilah merupakan hal yang kontraproduktif dan dapat melemahkan target NZE yang paling ambisius untuk Indonesia. Padahal, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) merekomendasikan penghentian batu bara di seluruh dunia harus dilakukan pada tahun 2040 untuk mencegah bencana perubahan iklim sesuai dengan target 1,5°C dalam Perjanjian Paris.

Wanhar, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM mengatakan, pemerintah terus mendorong penurunan emisi pembangkit listrik dalam upaya mencapai target transisi energi. Namun pembahasan transisi energi selama ini dinilai hanya terbatas pada kontribusi pembangkit milik PT. PLN (Persero), sedangkan masih banyak sistem tenaga listrik di luar milik PLN atau biasa disebut dengan Captive Power.

“Selama ini pembahasan transisi energi hanya terbatas pada kontribusi PLN dalam upaya memenuhi komitmen penurunan emisi sektor pembangkit. Untuk itu, Pemerintah mendorong kontribusi penurunan emisi ini juga dapat dilakukan oleh captive power,” kata Wanhar seperti dikutip dari website Kementerian ESDM

Wanhar bilang, pada acara KTT G20 di Bali, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana percepatan transisi energi bersih melalui JETP yang akan didanai oleh International Partners Group (IPG) terdiri dari negara Jepang, AS, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Kanada, Denmark, Norwegia dan Uni Eropa. Implementasi JETP diharapkan dapat mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dengan target emisi 290 juta ton CO2 pada tahun 2030.

“Target tersebut tidak hanya mencakup sistem tenaga listrik PLN, namun juga mencakup captive power yaitu wilayah usaha non PLN dan IUPTLS. Saat ini captive power diproyeksikan banyak menggunakan pembangkit berbahan bakar fosil baru dalam skala yang masif, sehingga peranan captive power akan sangat penting dalam pencapaian target emisi JETP tersebut,” jelas Wanhar.

Climate Action Tracker menganalisis, ketenagalistrikan, pengurangan tenaga batu bara di Indonesia seharusnya turun 10% pada tahun 2030 dan akan dihentikan secara bertahap pada tahun 2040. Sayangnya, Data Kementerian ESDM mencatat, mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara. Apalagi, masih ada rencana pembangunan PLTU Captive total kapasitas 9 gigawatt di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara.

Hal itu yang membuat Aliansi Sulawesi Terbarukan geram dan meminta Pemerintah Indonesia agar segera menghentikan operasi PLTU Captive penggunaan batu bara di seluruh kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Mereka juga meminta untuk segera pulihkan kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kawasan industri nikel di Pulau Sulawesi. Pasalnya, PLTU Captive sudah merusak ekologi dan kehidupan masyarakat sekitar.

“Kami juga meminta, pemerintah dan perusahaan segera berikan ganti rugi bagi petani, nelayan dan rakyat yang bermukim di sekitar kawasan industri nikel di Pulau Sulawesi atas dampak sosial ekonomi yang masyarakat rasakan,” tegas Sunardi Katili

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.