“NYAWA KALO NYAWA!”

Ilustrasi (Sumber foto: Republika)
Ilustrasi (Sumber foto: Republika)

Penulis: Arief Abbas, M.A.

“Kami ini masyarakat di sini sepenuhnya bergantung di Tambang. Berkebun, iya. Kami punya lahan. Tapi tidak selalu, bahkan lahan kami tidak diurus lagi sudah berapa tahun belakangan. Sudah rimbun. Dan jika seandainya tambang ini ditutup atau diambil alih, nyawa kalo nyawa!” – Jimbon

Kalimat di atas meluncur deras dari, sebut saja Jimbon, salah satu warga dari Desa Tulabolo Barat, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango. Jimbon menceritakan pelik-pilu pengalamannya selama menjadi tukang ojek di wilayah pertambangan emas rakyat Suwawa. Lokasi pertambangan dari desa Tulabolo Barat ia tempuh selama dua jam perjalanan dengan menggunakan motor trail yang telah dimodifikasi. Jimbon telah menjadi tukang ojek dan menggantungkan dirinya pada pekerjaan tersebut lebih dari lima tahun belakangan. Jimbon, bahkan tanpa tedeng aling-aling menyatakan “saya bukan hanya menjadi tukang ojek, saya juga tumbuh dan besar di sini” sambil menunjuk motor miliknya. Saya bersyukur bisa berjumpa dan berbincang dengannya halaman rumahnya.

Menjadi seorang tukang ojek bukan hal yang mudah, namun sekarang adalah satu-satunya pilihan untuk bergantung bagi Jimbon. Apalagi jumlah yang diperoleh dari satu kali tarikan gas motornya sangat prestisius. Jika Jimbon membawa bahan makanan mentah dari gudang/warung logistik untuk keperluan makan para penambang, ia diupah sebesar Rp. 200.000 untuk sekali jalan; jika yang ia antar ke atas adalah para penambang atau siapa pun yang ingin ke areal pertambangan, ia mendapat Rp. 250.000 dalam sekali jalan. Jimbon tentu saja, sebagaimana warga lain di desa ini, memiliki kebun. Namun pendapatan dari perkebunan itu bagi Jimbon tidak seberapa dengan apa yang ia peroleh sekali jalan. “Itu perharinya, bagaimana jika ada muatan/orang yang naik/turun setiap hari? Mana bisa hasil panen memenuhi itu?”.

Berbagai pernyataan dan pertanyaan-pertanyaan yang dihentakkan Jimbon ini memukul batin saya sangat kuat. Sebab selama ini, ketika bicara soal tambang, saya, atau pun banyak orang di luar sana, bakal merasa bahwa hasil bumi tersebut hanya memuaskan kalangan penambang dan pemilik lubang, namun tidak dengan berbagai aktor lain yang, tanpa sadar, juga memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan aktivitas pertambangan, seperti Jimbon dan para tukang ojek lainnya, yang justru dipandang sebelah mata. Jimbon memang orang yang saya wawancarai waktu itu, namun saya pikir, yang bertengger di pikiran para tukang ojek lainnya sedikit-banyaknya demikian: bergantung lebih di pertambangan.

Ekosistem pertambangan rakyat, yang di dalamnya ada orang-orang seperti Jimbon, sejujurnya adalah satu rangkaian kapital yang saling berkait kelindan. Ketika bertanya berapa jumlah manusia yang berada di areal tersebut kepada kepala desa, katanya, tidak menentu. ”Di atas sana, jika sedang sepi saja, ada ribuan manusia; dan jika sedang ramai-ramainya, bisa mencapai belasan hingga puluhan ribu orang yang mencari penghidupan di tambang”, ujarnya. Angka ini tidak terkonsentrasi sekadar pada pada penambang kasar, kepala kongsi, pemilik lubang dan pemilik modal—yang dianggap mendapat pengaruh langsung dari hasil tambang. Pertambangan rakyat justru punya pengaruh langsung pada melainkan juga pada para kijang (porter), tukang masak, pemilik usaha, pengawas (aparatus), hingga tukang ojek, seperti jimbon.

Aktor-aktor ini juga tidak layak disebut sebagai pemain sekunder, yang kedua, atau bukan menjadi prioritas di dalam. Justru, aktivitas mereka menjadi penyokong penting dalam menjaga keberlangsungan tambang rakyat. Para tukang ojek seperti Jimbon misalnya, keberadaan mereka diperhitungkan. Sebab siapa memangnya yang mau berjalan kaki sehari semalam mengangkut logistik dari perkampungan menuju areal pertambangan untuk memberi makan para penambang, jika bukan tukang ojek? Di titik ini, Jimbon menyela pembicaraan kami dengan satu kalimat kunci: “kalau tidak ada kami, memangnya tukang masak mau memasak apa untuk mereka [para penambang]?”. Dengan demikian, kerja-kerja tukang ojek ini menjadi sangat vital, bukan sekunder lagi. Itulah ekosistem yang saya maksud.

Tentu saja jika ditanya apa yang mendorong Jimbon menjadi tukang ojek, tidak lain adalah motif ekonomi. Rata-rata tukang ojek dari desa Tulabolo Barat, tidak hanya Jimbon, akan menjawab demikian. Apalagi, pekerjaan menjadi sebagai tukang ojek di desa ini juga dinamis dan bisa dipertukarkan (exchange) kapan saja ada waktu dan keinginan. Kadangkala, para tukang ojek sewaktu-waktu bisa menjadi penambang jika ada informasi bahwa salah satu lubang galian telah menghasilkan emas (bapica) atau ada seseorang yang memanggilnya untuk kerja, bahkan bisa jadi muncul dengan keinginan mandiri. Alhasil, selama Jimbon masih sehat dan fisiknya masih kuat, ia bisa melakukan ketiga hal tersebut sesukanya.

Meskipun memiliki lahan, pekerjaan di sektor perkebunan tidak bisa dijadikan satu-satunya pegangan. Hitungan matematis berlaku di sini, misal: jika seorang warga berencana menggarap lahan yang ditanaminya dengan jagung, ia harus menghabiskan biaya ratusan ribu  hingga jutaan rupiah untuk empat sampai lima bulan masa kerja agar dapat menuai hasil. Di tengah jalan, seorang perlu membersihkan lahan, memberantas gulma, memperbaiki struktur tanah, dekomposisi, meratakan tanah, menanam bibit, menyediakan pupuk, menjaga kebun dari serangan hama, menyediakan pestisida, bahkan memelihara keberlangsungan mesin produksi. Ditambah, petani juga butuh makan sebelum/setiap hendak pergi berkebun.

Pada masa panen, salah satu warga yang saya wawancarai menyeru: “paling tinggi Rp. 10 juta yang akan diperoleh si petani. Tapi itu belum dihitung dengan pengeluaran selama masa tanam. Bisa-bisa, minus yang kita dapat jika dikurangi”. Namun setelah itu, warga itu kembali berkata “tapi coba bandingkan dengan tambang”. Di titik ini, hitungan matematis kembali bekerja. Katanya, hasil yang mereka peroleh secara langsung atau tidak dari pertambangan yang upahnya bisa diperoleh perhari. Ia mengunci pembicaraan dengan satu kalimat kunci “bisa berkali-kali lipat apa yang kami peroleh di tambang ketimbang di kebun”. Ini menunjukkan bahwa tambang rakyat, mau dikata seperti apa pun, tetap saja punya pengaruh yang sangat besar dalam membentuk pikiran dan tindakan masyarakat.

Pembentukan pengetahuan dan tindakan ini kembali tampak pada perkataan Jimbon di akhir kalimatnya “nyawa kalo nyawa”. Ini ungkapan berani. Warga desa yang punya budaya tutur melayu kasar mengartikan frasa tersebut sebagai ungkapan resistensi terhadap siapa pun yang mengancam aktivitas dan hubungan produksi mereka. Sebab wilayah pertambangan rakyat adalah sumber kapital yang-telah-menjadi-utama. 

Sehingga, siapapun yang mengancam keberlangsungan pertambangan dengan cara mengambilalih atau menutup, warga setempat yang menggantungkan hajat mereka di sektor tersebut akan merasa teralienasi dari pekerjaannya, dan jika hal ini terjadi, maka boleh dibilang: nyawa adalah taruhannya. Sebab sekali lagi, pertambangan rakyat adalah sebuah ekosistem yang saling terhubung. Jika satu agensi kehilangan akses terhadap produksi, maka jejaring ekosistem lainnya akan guncang. Maka bagaimana nasib warga jika pertambangan rakyat ini hilang, diambilalih, atau bahkan ditutup dengan alasan?

Apa yang ditunjukkan Jimbon dan beberapa warga lainnya lewat dialog-dialog kami, setidaknya membuat saya sadar begitu tergantungnya masyarakat pada sektor pertambangan rakyat. Dari tambang, mereka membuat dapur-dapur rumah tetap mengepul, anak-anak tetap bersekolah, membayar listrik, hingga memenuhi kebutuhan dasar lainnya. Saya belajar sangat banyak, dan saya ingin belajar lebih banyak lagi!