Masyarakat Adat Moa dalam Marginalisasi Negara

Perempuan Adat Moa sedang memanen jagung di ladang mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa sedang memanen jagung di ladang mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Masyarakat Adat Moa mengalami marginalisasi negara atas memperoleh hutan adatnya. Mereka yang diberikan sekitar 1.484 hektar  dari 7.738 hektar hutan ada yang diusulkan.
  • Dampak dominasi Negara terhadap penguasaan lahan itu akhirnya merubah tata guna dan sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat moa secara drastis.
  • Wilayah adat komunitas Topo Uma adalah hanya salah satu dari sekian banyak wilayah adat komunitas To Kulawi Uma dan komunitas adat lainnya di Kabupaten Sigi yang telah “dirampas” negara.
  • Sisi lain, pengakuan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat pun masih minim, bahkan mereka masih terus terancam, dan wilayahnya dirampas, hingga mengalami kekerasan serta dikriminalisasi.

“Kami tetap akan mengusulkan kembali Hutan Adat sesuai luas wilayah pengusulan awal yaitu, 7.738 hektar. Karena, 1.484 hektar Hutan Adat yang diberikan itu, tidak cukup untuk keberlangsungan hidup generasi Masyarakat Adat Moa kita,” kata kata Daud Rori, Wakil Ketua Lembaga Adat Moa kepada Mongabay, pada awal Juli lalu.

Apa yang disampaikan Daud Rori itu adalah salah satu bentuk upaya perjuangan untuk melawan sikap negara yang terus marginalisasi masyarakat adat moa dalam memperoleh hutan adatnya. Walaupuan diberikan, luasan yang disetujui tetap dianggap mempersempit luang kelola untuk keberlangsungan hidup generasinya. Itupun harus membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk mereka mendapatkan pengakuan atas wilayahnya yang sebelumnya dirampas oleh negara. Padahal, masyarakat adat moa sudah menempati wilayah itu sejak tahun 1917.

Pada 2017, Pemerintah Desa, Lembaga Adat yang dibantu oleh Karsa institute dan Kemitraan-Partnership pengusulan hutan adat mereka ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan luas 7.738 hektar. Tujuan pengusulan hutan adat itu untuk meminimalisir ketimpangan dan konflik agraria yang disebabkan begitu besarnya dominasi Negara terhadap penguasaan dan kontrol atas sumber daya alam di dalam kawasan hutan dan konservasi.

Dampak dominasi Negara terhadap penguasaan lahan itu akhirnya merubah tata guna dan sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat moa secara drastis. Wilayah masyarakat adat moa dengan luas 34.530 hektar di Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng) ini sebagian besar dijadikan sebagai Hutan Lindung (HL) dan konservasi Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Alhasil, ruang hidup mereka ikut terhimpit karena terbelenggu hutan negara.

Ironisnya, dampak lanjutan yang dirasakan oleh masyarakat adat moa adalah mereka kerap dianggap sebagai perusak hutan. Padahal, salah satu suku asli Kulawi yang biasa disebut dengan Komunitas adat Topo Uma ini memiliki kearifan lokal pengelolaan hutan yang dibagi menurut kategori (zona). Lembaga adat mereka pun membuat peraturan tidak boleh menebang pohon sembarangan dan tidak boleh menangkap hewan atau spesies yang dilindungi dan terancam punah.

Daud Rori bilang, jika dibandingkan dengan negara, masyarakat adat moa adalah yang paling ketat menjadi hutan. Semua apa yang bisa diambil di dalam hutan, bahkan pembukaan lahan pertanian itu diatur cukup jelas dalam hukum adat dan tidak boleh dilanggar. Bahkan, mereka mengelola kebun dengan metode perladangan bergilir untuk menjaga tanah agar tidak kritis. Sayangnya, kata Daud, negara tidak melihat itu secara objektif.

“Masyarakat adat moa mempunyai rasa memiliki yang kuat terhadap hutan, karena hutan merupakan urat nadi dan menjadi sumber kehidupan turun temurun sejak dari nenek moyang kami. Tapi kalau petugas balai hanya menjelaskan tugasnya saja, tidak ada rasa memiliki atas hutan seperti masyarakat adat moa,” kata Daud

Namun, pada 10 September 2021 melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masyarakat adat moa hanya diberikan wilayah hutan adat seluas 1.484 hektar, atau sangat jauh berbeda dengan luasan yang diusulkan sejak awal. Wakil Bupati Sigi, Samuel Yansen Pongi pun geram saat menerima SK tersebut. Ia mengaku, sampai dua kali mengirim surat ke KLHK perihal mempertanyakan alasan kenapa luasan yang diberikan cukup jauh berbeda dengan luasan yang diusulkan.

“Akan tetapi, sampai detik ini, kami belum menerima surat balasan dari KLHK. Kami siap membantu masyarakat ketika ingin mengajukan kembali sesuai usulan luasan awal,” kata , Samuel Yansen Pongi, kepada Mongabay, Juli lalu.

Perempuan Adat Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Arma Janti Massang, Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) mengaku kaget juga dengan luasan yang diberikan itu. Ia juga sedikit kecewa karena dalam SK itu, tidak ada tembusan ke Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dan ke BBTNLL. Padahal, BBTNLL menjadi bagian dalam tim terpadu serta kawasan mereka yang dilepas.

Meski begitu, kata Arma, luasan hutan adat yang diberikan sudah dipertimbangkan dengan baik oleh KLHK. Ia meminta masyarakat adat moa menerima dulu keputusan itu, sembari mengelola hutan adat itu dengan sebaik-baiknya berdasarkan tradisi dan hukum adat. Pihaknya juga mengaku siap untuk melakukan pembinaan, pemberdayaan, dan peningkatan kapasitas lembaga adat dengan membangun kolaborasi berbagai pihak, sesuai dengan perintah SK tersebut.

“Terima dulu keputusan SK itu dan kelola dulu Hutan Adat yang diberikan. Nanti setelah sudah dikelola dengan baik, baru bisa mengusulkan kembali,” kata Arma Janti Massang, kepada Mongabay, Juli lalu.

Kepala Desa Moa, Heriyanto Djempa dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Moa, Prasetyo Hetta juga sepakat menerima keputusan itu, tapi tetap akan pengusulan hutan adat dengan dengan luasan yang awal. Keputusan yang diambil itu sudah berdasarkan hasil musyawarah Pemerintah Desa dan Lembaga Adat Moa. Prasetyo Hetta bilang, penduduk desa moa semakin hari bertambah, dan secara otomatis kebutuhan lahan juga ikut meningkat. Argumentasi itu menjadi dasar utama pengusulan tetap akan kembali dilakukan.

“Keputusan rencana pengusulan kembali hutan adat itu diambil untuk memikirkan anak dan cucu kita kedepan. Luas 1.484 hektar itu sangat tidak cukup buat kita, karena jumlah penduduk kita semakin hari bertambah,” kata Prasetyo Hetta

Desmon Mantaili, Program Manager Karsa Institute mengatakan, sebenarnya tujuan masyarakat adat moa dalam mengusulkan hutan adat adalah untuk melindungi hutan tersisa di Sulteng. Pasalnya, provinsi yang berada di jantung Pulau Sulawesi itu semakin tergerus hutannya karena keberadaan berbagai perusahaan dalam sektor ekstraktif, baik pertambangan maupun perkebunan sawit skala besar. Katanya, perusahaan bisa datang kapan saja dan menguasai lahan masyarakat adat jika tidak ada pengakuan hutan adat.

Apa yang ditakutkan Desmon itu selaras dengan hasil penelitian Auriga Nusantara, dan KPK yang berjudul “Politik Tata Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah 2020.”. Laporan itu menemukan bagaimana praktek rent seeking birokrasi dan crony capitalism dalam pemanfaatan ruang di Sulteng sangat tumbuh dengan subur. Aktor utama dari praktek tersebut adalah pengusaha-politisi.

Rent seeking adalah praktik yang dilakukan oleh pengusaha agar memperoleh hak istimewa dari negara untuk menyediakan barang dan jasa tertentu dengan cara melobi dan suap. Sementara, crony capitalism adalah istilah untuk menyebut ekonomi yang kesuksesan bisnisnya bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah.

Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). (Foto: Sarjan Lahay)
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). (Foto: Sarjan Lahay)

Pengusaha-politisi adalah kelompok yang paling kuat dalam mempengaruhi kebijakan negara, karena mereka memiliki tiga modal kekuasaan sekaligus yaitu: modal uang (ekonomi), fisik, dan kewenangan. Dengan menguasai ruang politik dan ekonomi, pengusaha-politisi bisa kapan saja dengan menggunakan cara apa saja memanfaatkan ruang dalam skala besar untuk usaha mereka di sektor pertambangan dan perkebunan.

Ombudsman Perwakilan Sulteng pun menemukan, praktek penyalahgunaan kewenangan izin pemanfaatan ruang terus berlangsung yang dibuktikan dominasi permasalahan administrasi dalam penerbitan izin. Hasil laporan koordinasi dan supervisi sektor pertambangan minerba KPK juga menemukan, adanya tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai 111 miliar rupiah dari 353 IUP karena tumbuh suburnya praktek crony capitalism. Kondisi ini yang ditakutkan akan terus terjadi hingga memicu deforestasi dan menggerus masyarakat adat di Sulteng.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia (2021) menyebut, deforestasi netto Sulteng di dalam dan di luar kawasan hutan sejak tahun 2013-2020 sudah mencapai 131,945.0 hektar. Rata-rata setiap tahun, ada 18,849.3 hektar hutan yang hilang. Deforestasi yang cukup besar itu terjadi karena adanya sejumlah  izin usaha pertambangan dan perkebunan dengan total luasan sebesar 1,382,711.43 hektar atau sekitar 22.60% dari 6.117.275 hektar luas daratan Sulteng. Perkebunan sawit skala besar, dan pertambangan menjadi sektor pendorong utama deforestasi di Sulteng.

Desmon bilang, hutan adat yang diusulkan oleh masyarakat adat moa menjadi salah satu benteng utama agar perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak hutan dan lingkungan tidak bisa masuk. Selain meningkatkan kualitas kehidupan sosial, katanya, hutan adat juga bertujuan mendorong pemulihan kawasan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta sebagai wilayah pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.

Pemerintah, katanya, harus melihat masyarakat adat secara utuh dan tidak mempersulit untuk memberikan pengakuan hutan adat mereka. Kebijakan Reforma Agraria (land reform) harusnya menjadi solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan tanah dan lahan yang telah marginalkan komunitas-komunitas adat. Namun, implementasi di lapangan sangat jauh berbeda. Ia bilang, negara sepertinya belum berpihak ke masyarakat adat dalam memberikan pengakuan hutan adat mereka.

Walaupun diberikan, masyarakat adat harus membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan pengakuan atas hutan adat mereka. Kondisi itu sangat kontras dengan perusahaan-perusahaan ekstraktif yang dengan mudah mendapatkan izin, terlebih saat disahkannya UU Cipta Kerja yang memberikan karpet merah bagi oligarki dalam penguasaan hutan dan lahan di Indonesia.

“Padahal, reforma agraria memungkinkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemanfaatan sumber daya alam, memberikan perlindungan dan pengelolaan yang lebih berkelanjutan. Sayangnya, negara masih terus berpihak ke korporasi,” kata Desmon Mantaili

Masyarakat Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sedang membersihkan lahan dari ilalang. Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia
Masyarakat Desa Moa, Kecamatan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sedang membersihkan lahan dari ilalang. Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia

Marginalisasi Negara

Wilayah adat komunitas Topo Uma adalah hanya salah satu dari sekian banyak wilayah adat komunitas To Kulawi Uma dan komunitas adat lainnya di Kabupaten Sigi yang telah “dirampas” negara dengan ditetapkannya sebagai kawasan hutan Negara. Ketidakadilan dan ketidakberpihakan Negara terhadap komunitas-komunitas adat ini dapat dilihat dari Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sigi di mana 74,91% wilayahnya adalah kawasan hutan Negara.

Kabupaten Sigi merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Donggala, yang diresmikan pada tanggal 21 Juli 2008, berdasarkan Undang–Undang Nomor 27 tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah. Dari tiga belas kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi adalah satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki wilayah laut, dan hanya memiliki wilayah pegunungan dan dataran rendah.

Data Karsa institute menyebutkan, dari 519,602 hektar luas wilayah Kabupaten Sigi, 74,91% diantaranya merupakan kawasan hutan negara dan hanya tersisa 25,09% untuk Areal Penggunaan Lain. Bahkan dari 15 kecamatan dan 176 desa yang ada di Kabupaten Sigi, terdapat 13 kecamatan dan 143 desa yang masuk dalam kawasan hutan negara.

Kondisi ini menimbulkan terjadinya ketimpangan dan konflik agraria yang disebabkan begitu besarnya dominasi Negara terhadap penguasaan dan kontrol atas sumber daya alam di dalam kawasan hutan dan konservasi.

Tata guna dan sistem penguasaan tanah oleh komunitas-komunitas adat termasuk komunitas adat Topo Uma, berubah secara drastis akibat kebijakan Negara ini. Masyarakat tidak dapat lagi dengan leluasa mengakses wilayah-wilayah adatnya bahkan di lahan permukiman dan juga lahan-lahan pertanian, dan perkebunan yang sejak berabad-abad lalu sudah mereka kuasai dan kelola. Ketimpangan agraria ini pun dapat berpotensi munculnya konflik-konflik agraria antara komunitas-komunitas adat dengan Negara.

Sisi lain, pengakuan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat pun masih minim, bahkan mereka masih terus terancam, dan wilayahnya dirampas, hingga mengalami kekerasan serta dikriminalisasi. Isu masyarakat adat pun kerap jadi komoditas dalam pemilihan umum, dan janji-janji pengakuan dan perlindungan berjalan lamban. RUU Masyarakat Adat, hingga saat ini tak ada kejelasan.

Sejak pada 2014, Presiden Joko Widodo mengkampanyekan akan mengalokasikan penguasaan lahan kepada rakyat berupa perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria seluas 5 juta hektar. Namun, dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara yang berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi” (2022) menemukan, yang terealisasi baru sekitar 2 juta hektare atau 11% dari total janjinya.

Perempuan Adat Moa sedang memanen jagung di ladang mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Perempuan Adat Moa sedang memanen jagung di ladang mereka. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Praktek keberpihakan Negara ke korporasi dan memarginalkan masyarakat adat sebenarnya telah terjadi sejak orde baru. Dalam laporan Walhi dan Auriga itu menyelidiki bagaimana industri ekstraktif diberikan ruang yang seluas-luasnya menguasai wilayah Indonesia dengan berbagai bisnis mereka yang turut merusak lingkungan, merampas lahan masyarakat, memicu konflik agraria, memperparah kondisi bumi hingga memicu krisis iklim.

Misalnya, sejak Presiden Republik Indonesia Soeharto berkuasa selama 32 tahun, ada sekitar 78 juta hektare hutan dan lahan diberikan sepanjang rezimnya kepada korporasi, terutama setelah diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968. Pemberian penguasaan hutan dan lahan itu berupa izin kehutanan, sawit, maupun tambang.

Pada zaman Habibie, Gus Dur, dan Megawati yang berkuasa 2-3 tahun telah memberikan penguasaan lahan dengan total 6 juta hektare kepada korporasi. Namun, pada rezim Megawati, ada 13 korporasi diizinkan menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektar (dari total luas izin 6.257.640.49 hektar), setelah dirinya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004 atas Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Selain itu, pada zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang selama 10 tahun berkuasa menjadi Presiden Indonesia yang paling banyak menyerahkan penguasaan lahan seluas 55 juta hektare kepada korporasi, pasca reformasi. Sedangkan, Pada zaman Joko Widodo yang berjalan kurang lebih 9 tahun sejak 2014, telah menyerahkan lahan ke korporasi mencapai 8 juta hektar. Pemberian lahan ke korporasi diprediksi akan lebih masif terjadi, terlebih saat disahkannya UU Cipta Kerja.

Sementara itu, kondisi masyarakat adat masih termarginalisasi di wilayah adatnya karena pengakuan dan perlindungan wilayah adat masih jauh dari harapan. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) baru meregistrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 26,9 juta hektar, dan sebanyak 219 wilayah adat diantaranya sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota.

Kepala BRWA Kasmita Widodo mengatakan, masih ada sekitar 23,17 juta hektar wilayah adat yang belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah sampai saat ini. Sedangkan, yang sudah diberikan pengakuan oleh KLH ada sebanyak 123 Hutan Adat dengan luas mencapai 221.648 hektar. Meski begitu, katanya, keputusan pengakuan hutan adat oleh KLHK memang tidak mudah, karena harus diawali dengan pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) oleh pemerintah daerah.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU Kehutanan dan Pasal 234 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 202. Sayangnya, kata Kasmita, komitmen kepala daerah dan kapasitas pemerintah daerah masih rendah untuk membentuk Perda pengakuan masyarakat adat. Setelah ada Perda pun, pelaksanaan verifikasi sampai dengan pengukuhan masyarakat adat masih berjalan sangat lambat. Begitu juga dengan KLHK yang masih terbatas dalam melakukan verifikasi usulan hutan adat.

Warga adat Moa sedang panen kacang-kacangan dari Pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Warga adat Moa sedang panen kacang-kacangan dari Pampa. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Lambanya pengakuan wilayah adat itu juga sejalan dengan hasil penelitian Walhi dan Auriga Nusantara (2022), yang memperlihatkan begitu jomplangnya perlakuan untuk korporasi dengan masyarakat adat. Dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan saat ini, 19 juta hektar diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektar kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektar untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan untuk perkebunan sawit.

Artinya, yang diberikan kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektare. Di sisi lain, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektare. Dengan demikian, 92% alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8% kepada rakyat, itupun dibagi-bagi menjadi Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Kemitraan Kehutanan, Hutan Tanaman Rakyat, Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial, dan Hutan Adat.

Kasmita bilang, rata-rata hanya sekitar 15 usulan hutan adat setahun yang dapat diverifikasi lapangan. Selain itu, masih ada kegamangan untuk melakukan verifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional. Selain itu katanya, Kementerian ATR/BPN belum ada kemajuan yang berarti dalam sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat masyarakat adat.

“Alih-alih menegaskan wilayah adat sebagai hak ulayat masyarakat adat, justru pemerintah akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur dalam PP Nomor 18/2021. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih menerjemahkan hak menguasai negara secara eksesif,” kata Kasmita Widodo dalam acara konferensi pers pada Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), Rabu (9/8/2023).

Padahal, katanya, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi oleh hak ulayat. Kebijakan negara menerbitkan HPL di atas wilayah adat justru berpotensi hilangnya hak masyarakat adat atas tanah ulayat yg telah dimiliki, dikuasai dan dikelola secara turun-temurun, sekaligus menabrak esensi perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat yang telah diatur di dalam konstitusi.

Data BRWA menunjukan, dari analisis tutupan hutan di 1.336 wilayah adat, ada sekitar 12,9 hektar berupa hutan primer dan 5,37 juta hektar hutan sekunder. Pada areal hutan sekunder sudah cukup banyak dikelola oleh badan usaha yang mendapat Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dari Pemerintah. Padahal, katanya, masyarakat adat memiliki relasi yang kuat dengan hutan sebagai bagian dari budaya dan ruang hidupnya.

Kasmita bilang, masyarakat memiliki kekuatan menjaga hutan berdasarkan tradisi dan budaya, serta menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan yang tersisa, pemulihan degradasi hutan dari kepentingan bisnis, menekan laju perubahan iklim hingga penyelamatan keanekaragaman hayati. Ironisnya, hubungan masyarakat adat dengan hutan dan tanah leluhurnya dicoba diputuskan dengan kepentingan investasi.

“Kepentingan bisnis yang dikelola pemerintah atau diberikan pemerintah kepada badan-badan swasta akan memutus hubungan lintas generasi para pemuda adat dalam menjaga tradisi, budaya dan jati diri bangsa Indonesia,” kata Kasmita Widodo

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.