PERUBAHAN IKLIM memang menjadi salah satu permasalahan serius yang dihadapi. Untuk mengatasinya, berbagai cara adaptasi dan mitigasi harus perlu dilakukan, misalnya pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan. Luas hutan mangrove di dunia hanya 0,4% dari luas hutan dunia. Akan tetapi hutan mangrove memiliki peran besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon yakni sekitar lebih dari 4 gigaton C/tahun sampai 112 gigaton C/tahun.
Keberadaan hutan mangrove sebagai penyerap karbon, Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02).
Namun hutan mangrove justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon. Tumbuhan mangrove memiliki banyak daun sehingga lebih berpotensi menyerap karbon lebih banyak dari tumbuhan lain.
Satu hektare hutan mangrove menyerap 110 kilogram karbon dan sepertiganya dilepaskan berupa endapan organik di lumpur. Di hutan mangrove yang dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah, penyimpanan karbon mencapai 800-1.200 ton per hektar.
Pelepasan emisi ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan di daratan, hal ini karena pembusukan serasah tanaman aquatic tidak melepaskan karbon ke udara. Adapun tanaman hutan tropis yang mati melepaskan sekitar 50 persen karbonnya ke udara. Dengan kemampuan mangrove dalam menyimpan karbon, maka peningkatan emisi karbon di alam tentu dapat lebih dikurangi.
Namun, sayangnya, belum semua penduduk menyadari akan pentingnya fungsi hutan mangrove tersebut. Indonesia yang memiliki 75% dari total hutan mangrove di Asia Tenggara masih belum bisa mengoptimalkan fungsi hutan mangrove. Sebaliknya, hutan mangrove mengalami degradasi secara sistematis akibat kepentingan manusia.
Terjadi alih fungsi hutan mangrove sehingga berdampak pada penurunan kemampuan penyerapan karbon di atmosfer dan terurainya karbon tersimpan melalui proses dekomposisi ke atmosfer. Peran ekosistem mangrove sebagai absorber dan tempat reservoir CO2 berubah menjadi penyumbang emisi CO2. kondisi tersebut turut serta mempengaruhi perubahan iklim di dunia.
Untuk melindungi atau mengurangi dampak perubahan iklim, coba kita lihat dulu berapa sih kawasan mangrove di Gorontalo. Berdasarkan data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Provinsi Gorontalo, kerusakannya pun saat ini telah mencapai 67 persen. Hal itu diakibatkan oleh tambak yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan hutan mangrove di Gorontalo, seperti yang terjadi di Kabupaten Pohuwato.
Berdasarkan SK Menhut no 325/Menhut-II/2010 tetang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Gorontalo, Pohuwato memiliki kawasan hutan terluas yakni 473.273 hektare yang terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan SA, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi dan areal penggunaan lain.
Dari jumlah tersebut, luas kawasan hutan mangrove sekitar 15.600 hektare. Namun, dari data Dinas Kehutanan terdapat 8.233 hektare hutan mangrove di daerah tersebut berubah fungsi menjadi tambak. Jumlah itu tesebar di Kecamatan Paguat 158 hektare, Kecamatan Marisa 198 hektare, Duhiadaa 978 hektare, Patilanggio 336 hektare, Randangan 2.403 hektare, Wonggarasi 2.473 hektare, Lemito 500 hektare, Popayato Timu 0,32 hektare, Popayato 673 hektare, dan Popayato Barat 507 hektare. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2018, hutan mangrove di Pohuwato tinggal 4.909,60 hektare saja. Tapi jika di jumlahkan, ada 539,990 ton karbon yang bisa diserap.
Leave a Reply