Lebih dari 1 Miliar Makanan Dibuang Setiap Hari di Seluruh Dunia

Ilustrasi sampah makanan. (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi sampah makanan. (Foto: Pixabay.com)

Laporan penting dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang diterbitkan hari ini menjelang Hari Tanpa Sampah Internasional menunjukkan bahwa sampah makanan terus merugikan ekonomi global dan menyebabkan polusi, perubahan iklim, dan kerusakan alam.

Laporan Indeks Sampah Makanan UNEP 2024, yang ditulis bersama dengan WRAP, memberikan estimasi global yang paling akurat tentang sampah makanan di tingkat ritel dan konsumen di seluruh dunia.

Dalam laporan itu menemukan, rumah tangga di seluruh benua membuang lebih dari 1 miliar makanan per hari pada tahun 2022, sementara 783 juta orang terkena dampak kelaparan dan sepertiga umat manusia menghadapi kerawanan pangan.

Laporan ini memberikan panduan bagi negara-negara untuk meningkatkan pengumpulan data dan menyarankan praktik-praktik terbaik dalam beralih dari pengukuran ke pengurangan sampah makanan.

Pada tahun 2022, terdapat 1,05 miliar ton sampah makanan yang dihasilkan (termasuk bagian yang tidak dapat dimakan), yang setara dengan 132 kilogram per kapita dan hampir seperlima dari seluruh makanan yang tersedia bagi konsumen.

Dari total makanan yang terbuang pada tahun 2022, 60 persen terjadi di tingkat rumah tangga, dengan layanan makanan bertanggung jawab atas 28 persen dan ritel 12 persen.

“Sampah makanan adalah tragedi global. Jutaan orang akan kelaparan hari ini karena makanan terbuang sia-sia di seluruh dunia,” kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP.

Menurut Inger Andersen, tak hanya pembangunan yang besar-besaran, dampak dari limbah sisa makanan itu juga menyebabkan kerugian besar bagi iklim dan alam. Meski begitu, katanya, negara-negara memprioritaskan masalah ini.

“Negara-negara juga secara signifikan membalikkan kehilangan dan pemborosan pangan, mengurangi dampak iklim dan kerugian ekonomi, serta mempercepat kemajuan dalam mencapai tujuan global,” jelasnya

Sejak tahun 2021, katanya, telah terjadi penguatan infrastruktur data dengan lebih banyak penelitian yang melacak sampah makanan. Secara global, jumlah titik data di tingkat rumah tangga meningkat hampir dua kali lipat.

Namun, katanya, banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah masih belum memiliki sistem yang memadai untuk melacak kemajuan dalam memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu, mengurangi separuh sampah makanan pada tahun 2030, terutama di sektor ritel dan layanan makanan.

Hanya empat negara G20 (Australia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat) dan Uni Eropa yang memiliki estimasi sampah makanan yang sesuai untuk melacak kemajuan hingga tahun 2030. Kanada dan Arab Saudi memiliki perkiraan rumah tangga yang sesuai, dengan perkiraan Brasil yang diperkirakan akan dirilis pada akhir tahun 2024.

Dalam konteks ini, laporan ini berfungsi sebagai panduan praktis bagi negara-negara untuk mengukur dan melaporkan sampah makanan secara konsisten.

Inger Andersen bilang, data tersebut menegaskan bahwa sampah makanan bukan hanya masalah ‘negara kaya’, dengan tingkat sampah makanan rumah tangga yang berbeda pada tingkat rata-rata yang diamati untuk negara-negara berpenghasilan tinggi, menengah ke atas, dan menengah ke bawah, yaitu hanya sebesar 7 kg per kapita.

Di saat yang sama, katanya, negara-negara yang lebih panas tampaknya menghasilkan lebih banyak sampah makanan per kapita di rumah tangga, yang mungkin disebabkan oleh konsumsi makanan segar yang lebih tinggi dengan bagian yang tidak dapat dimakan yang cukup besar dan kurangnya rantai dingin yang kuat.

Menurut data terbaru, kehilangan dan pemborosan pangan menghasilkan 8-10 persen emisi gas rumah kaca (GRK) global tahunan – hampir 5 kali lipat emisi sektor penerbangan – dan kehilangan keanekaragaman hayati yang signifikan dengan menggunakan hampir sepertiga lahan pertanian dunia.

“Kerugian akibat kehilangan makanan dan sampah pada ekonomi global diperkirakan mencapai sekitar USD 1 triliun,” tulisan laporan tersebut.

Daerah perkotaan diharapkan mendapat manfaat dari upaya untuk memperkuat pengurangan dan daur ulang sampah makanan. Daerah pedesaan umumnya membuang lebih sedikit makanan, dengan pengalihan yang lebih besar dari sisa makanan untuk hewan peliharaan, ternak, dan pengomposan di rumah sebagai penjelasan yang mungkin.

Hingga tahun 2022, hanya 21 negara yang telah memasukkan pengurangan kehilangan dan/atau limbah pangan dalam rencana iklim nasional mereka (NDC). Proses revisi NDC 2025 memberikan kesempatan penting untuk meningkatkan ambisi iklim dengan mengintegrasikan kehilangan dan pemborosan pangan.

“Laporan Indeks Sampah Pangan menggarisbawahi urgensi penanganan sampah pangan di tingkat individu dan sistemik,” tulisan laporan tersebut.

Diperlukan data dasar yang kuat dan pengukuran yang teratur agar negara-negara dapat menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu. Berkat implementasi kebijakan dan kemitraan, negara-negara seperti Jepang dan Inggris menunjukkan bahwa perubahan dalam skala besar dapat dilakukan, dengan pengurangan masing-masing sebesar 31 persen dan 18 persen.

Harriet Lamb, CEO WRAP mengatakan, dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh sampah makanan terhadap lingkungan, perlu ada tindakan terkoordinasi yang lebih besar di seluruh benua dan rantai pasokan.

“Kami mendukung UNEP dalam menyerukan agar lebih banyak negara G20 mengukur limbah makanan dan bekerja menuju SDG 12.3,” ujar Harriet Lamb

Menurut Harriet, sangat penting untuk memastikan bahwa makanan disimpan untuk dimakan bukan dibuang. Katanya, kemitraan Pemerintah-Swasta adalah salah satu alat utama untuk menyelesaikan masalah sampah makanan ini.

“Baik bisnis, pemerintah, atau filantropi, para pelaku harus bersatu di belakang program-program yang menangani dampak besar dari membuang-buang makanan terhadap ketahanan pangan, iklim, dan dompet kita,” jelasnya

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.