Kopi Dulamayo, Tanaman Mitigasi Bencana di Hulu Gorontalo

Buah kopi yang sudah memerah dan siap petik. (Foto: Sarjan Lahay/Mongbay Indonesia)
Buah kopi yang sudah memerah dan siap petik. (Foto: Sarjan Lahay/Mongbay Indonesia)
  • Kopi Dulamayo merupakan nama kopi jenis robusta di Hulu Gorontalo. Nama Dulamayo jadi brand kopi dari daerah itu. Di sini, kopi jadi salah satu tanaman mitigasi bencana, seperti banjir yang sering terjadi di Kabupaten Gorontalo.
  • Sumanti Maku, Kepala BPBD Kabupaten Gorontalo mengatakan, banjir ini kerusakan alam dan hutan di hulu Gorontalo. Penebangan pohon untuk perkebunan jadi penyebab utama banjir bandang.
  • Sistem wanatani atau agroforestri mereka terapkan di Dulamayo. Dengan menanam tanaman beragam dengan mencampur jenis pohon-pohon hutan atau kayu-kayuan dengan tanaman jangka pendek.
  • Sabaruddin, Dosen Konservasi Kehutanan, Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo mengatakan, petani kopi bisa terapkan sistem agroforestri guna membantu pemanfataan lahan secara optimal sekaligus memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem ini, dapat meningkatkan daya dukung ekologi terutama di hulu, dan bisa bermanfat dalam menjamin kebutuhan pangan di pedesaan.

Jemari Oma Jau sangat cetakan memetik ceri merah yang bergelantungan di ranting pohon di kebun miliknya yang seluas 1 hektar di Desa Dulamayo Selatan, Kecamatan Telaga Jaya, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo. Sekitar pukul 07:30 WITA, 18 Januari 2022 pagi itu, ia tengah sibuk memanen kopi yang sudah hampir 5 tahun di tanaminya.

“Ini namanya Kopi Dulamayo,” kata Oma Jau kepada Mongabay. Ia menjelaskan Kopi Dulamayo merupakan salah satu kopi robusta yang hidup di salah satu daerah Hulu Gorontalo yang disebut sebagai Dulamayo. Label nama Kopi Dulamayo dijadikan sebagai brand kopi dari daerah itu.

Dari satu pohon ke pohon yang lain, perempuan paruh baya itu terlihat sangat bersemangat kala memanen biji kopi itu. ia bilang, selain menjadi salah satu komoditi unggulan di daerah dulamayo, kopi juga sudah menjadi kebutuhan masyarakat sekitar. Menurutnya, tanpa kopi, hari-hari yang dijalaninya tak sempurna.

Kopi yang dimiliki Oma Jau ada sekitar 20 pohon. Setiap pohon, bisa menghasilkan 3 kilogram, jika dijumlahkan ada sekitar 60 kilogram yang bisa didapatkannya dalam sekali panen. Sementara dalam setiap bulan, panen bisa dilakukan dua kali. Ia bilang, kopi bisa memberikan kehidupan untuk masyarakat dulamayo.

“Usai dipanen, jika bisa langsung menjualnya dengan harga 7 ribu per kilogram. Jika kita keringkan lagi dan disangrai, kita bisa menjualnya sampai 50 ribu per kilogram. Cukup lumayan bukan,” jelasnya

Ia mengaku, dengan adanya tanaman kopi, ekonomi keluarganya bisa terbantukan. Tak hanya itu, kopi yang ditanamannya tidak menggunakan pestisida atau pupuk kimia, guna aman untuk dikonsumsi. Ia bilang, kopi dulamayo juga masih dikelola secara tradisional tapi rasa internasional.

Kopi di daerah dulamayo memang sudah ada sejak 1970-an. Hanya saja, dengan adanya program Agropolitan Jagung di Gorontalo pada tahun 2002, kopi menjadi salah satu komoditi yang terdampak. Perkebunan kopi saat itu, berubah menjadi perkebunan jagung. Pohon kopi hanya ditanam di pembatas kebun saja.

Jemi Monoarfa, penggiat ekonomi desa di Gorontalo menyaksikan betul perkembangan kopi yang ada di dulamayo. Ia juga merupakan orang yang pertama kali merintis nama kopi dulamayo sejak tahun 2018. Ia bilang, daerah dulamayo miliki potensi yang sangat luar biasa untuk mengembangkan kopi.

“Iyaa betul, kopi di dulamayo memang hanya ditanam di pembatas perkebunan saja, dan tidak ditanam sepenuhnya di kebun petani. Padahal, potensi untuk tanaman kopi sangat baik di daerah ini, sehingga saya melakukan pendampingan ke mereka,” kata Jemi Monoarfa kepada Mongabay 18 Januari lalu.

Oma Jau sedang petik kopi Dulamayo. Foto: Kopi Dulamayi, jadi salah satu tanaman mitigasi bencana di daerah ini. Foto: (Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Oma Jau sedang petik kopi Dulamayo. Foto: Kopi Dulamayi, jadi salah satu tanaman mitigasi bencana di daerah ini. Foto: (Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Sejak tahun 2016, Jemi melakukan pendampingan kepada masyarakat yang ada di Desa Dulamayo Utara, dan Dulamayo Selatan untuk melakukan budidaya tanaman kopi. Tujuannya, untuk meningkatkan perekonomian desa berbasis potensi lokal di Gorontalo. Ia bilang, kopi dulamayo cukup untuk dijadikan sebagai komoditi utama di Gorontalo.

Sudah hampir tujuh tahun, petani yang disampingnya sudah mencapai sekitar 70 orang. Semua dibantunya untuk berbudidaya tanaman kopi dengan harapan warga dampingannya dapat menanam, mengeloh hingga menjual kopi. Ia bilang, konsep ini agar warga bisa mengolah kopi secara berkeadilan guna menuju kesejahteraan mereka.

“Saya mendampingi mereka agar mereka juga tidak bergantung dengan tanaman jagung yang merupakan tanaman monokultur. Kopi harus menggantikan jagung, karena kopi juga dapat memberikan keuntungan ekonomi mereka,” jelasnya

Meski begitu, Jemi belum bisa menghitung secara jelas berapa luasan kopi yang ditanami oleh petani yang didampinginya. Kebiasaan masyarakat yang masih menanam jagung juga belum sepenuh berubah. Sebagaian besar juga, kopi masih ditanami di pembatas perkebunan saja.

“Dari sekitar 70 orang petani yang saya dampingi, ada yang menanam 20 pohon kopi, ada juga yang menanam 30 pohon kopi. Tapi sebagian besar masih di pembatas perkebunan mereka, ada juga yang sudah mulai menanam di dalam kebun mereka,” kata Jemi

Jemi percaya, ketika kopi dulamayo dikelola dengan bagus dan didukung oleh pemerintah daerah, bisa memberikan dampak positif untuk dan kelestarian lingkungan pendapatan daerah. Apalagi, akses untuk perjalanan ke dulamayo sudah tersedia. Ia bilang, pemerintah tidak sibuk lagi untuk membangun jalan menuju dulamayo.

“Lahan-lahan di wilayah dulamayo sangat bagus. Semua tanaman bisa tumbuh di sini, jadi pemerintah tidak akan rugi jika mengolah kopi, karena produktivitasnya bisa menjanjikan,” ucapnya

Jemur kopo Dulamayo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Jemur kopo Dulamayo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Tanaman Mitigasi Bencana

“Ekologi, berdaya di hulu – Adaptif, tangguh di hilir,” menjadi motto utama kopi dulamayo yang dirintis Jemi bersama masyarakat dulamayo. Pasalnya, kopi dulamayo disebut juga sebagai tanaman mitigasi bencana di hulu Gorontalo. Dulamayo yang memiliki ketinggian 827 meter diatas permukaan laut [mdpl] tidak akan mudah terjadi erosi atau tanah longsor jika terus ditanami kopi.

Jemi Monoarfa menyebut selain meningkatkan perekonomian desa, kopi dulamayo juga sebagai tanaman mitigasi bencana yang kerap terjadi di Kabupaten Gorontalo. Menurutnya, kopi merupakan tanaman yang bisa menjaga struktur tanah untuk mencegah terjadinya longsor. Apalagi, kopi dulamayo tidak menggunakan pestisida atau pupuk kimia yang merusak tanah.

Jemi bilang, motto “ekologi, berdaya di hulu” merupakan salah satu kata yang bisa menerangkan bahwa kopi bisa menjaga kelestarian dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungan yang berada di hulu Gorontalo. Sementara, untuk kata “Adaptif, tangguh di hilir” merupakan penyesuaian antara makhluk dan lingkungan agar bisa tangguh di hilir.

“Motto itu kita buat untuk bisa membuktikan bahwa kopi dulamayo merupakan tanaman yang bisa melestarikan makhluk hidup dan lingkungan dari hulu hingga ke hilir. Artinya, kopi dulamayo bisa menjaga lingkungan tetap menjadi baik,” jelas Jemi

Sistem wanatani atau agroforestri yang merupakan bentuk pengelolaan sumber daya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek menjadi metode utama yang dilakukan oleh masyarakat dulamayo.

Model-model agroforestri mulai dari kebun yang ditanami berbagai jenis pohon buah dengan jenis komoditi lainnya, sudah sangat banyak dilakukan oleh masyarakat dulamayo. Katanya, tanaman kopi menjadi tanaman yang kerap menggunakan sistem tersebut untuk di sandingkan dengan tanaman-tanaman lainnya.

Jemi mengajarkan, dalam setiap tanaman yang di tanaman petani, harus ada tanaman kopi yang disandingkan untuk ditanam. Misalnya, ketika petani menanam cengkeh atau buah pala atau tanaman lainnya, tanaman kopi menjadi penyangga utama. Ia bilang, hal tersebut bertujuan agar masyarakat terus menanam kopi yang sudah menjadi identitas mereka.

“Sehingga kopi yang ada di dulamayo, kita namakan sebagai kopi dulamayo. Itu merupakan penamaan agar identitas masyarakat dulamayo yang bisa menjaga lingkungan dengan tanaman kopi bisa terus terjaga,” kata Jemi

Sabaruddin, Dosen Konservasi Kehutanan, Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo mengatakan kopi memang sangat pantas dijadikan sebagai tanaman mitigasi bencana di hulu Gorontalo. Jagung yang merupakan tanaman monokultur bisa digantikan dengan tanaman kopi. Ia bilang, tanaman kopi tidak menghasilkan sedimentasi yang kerap memicu banjir.

Jagung merupakan tanaman musiman yang pengelolaannya bisa merusakan struktur tanah dan bisa menciptakan sedimentasi. Sedimentasi itu yang mengalir ke Daerah Aliran Sungai [DAS] jika terjadi hujan, dan bisa menimbulkan kedangkalan. Kedangkalan DAS itu yang bisa memicu erosi atau tanah longsor hingga banjir. Ia bilang, tanaman kopi bisa mitigasi bencana itu.

Apalagi, katanya, petani kopi bisa menggunakan sistem agroforestry yang dapat membantu penggunaan lahan secara optimal yang bisa memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem tersebut juga dapat meningkatkan daya dukung ekologi terutama di daerah hulu, dan bisa manfaatkan untuk menjamin kebutuhan pangan di daerah pedesaan.

“Namun, untuk meminta masyarakat menerapkan sistem agroforestri agak sulit, karena petani di Gorontalo sudah terbiasa menanam jagung. Apalagi, jagung merupakan komoditi unggulan di Gorontalo. Perlu ada edukasi dan pendampingan khusus untuk merubah kebiasaan masyarakat itu,” kata Sabaruddin kepada Mongabay awal Januari lalu.

Biji kopi Dulamayo setelah proses pengeringan. Kopi di desa ini jadi salah satu tanaman mencegah bencana seperti banjir yang kerap terjadi. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Biji kopi Dulamayo setelah proses pengeringan. Kopi di desa ini jadi salah satu tanaman mencegah bencana seperti banjir yang kerap terjadi. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Kerap Terjadi Bencana

Kabupaten Gorontalo memang merupakan salah satu daerah di Indonesia yang rentan terhadap perubahan iklim. Pertimbangan ini didasarkan data awal Kajian Penilaian Kerentanan Tingkat Provinsi Gorontalo yang dilakukan Dewan Nasional Perubahan Iklim 2011. Banjir bandang yang kerap terjadi setiap tahun membuktikan itu.

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Kabupaten Gorontalo mencatat selama tahun 2021, ada 39 kali bencana banjir yang melanda di 13 kecamatan dari 19 kecamatan yang ada di Kabupaten Gorontalo. Korban akibat bencana banjir tersebut mencapai 9,362 kepala keluarga [KK] dengan 30,024 jiwa.

Sumanti Maku, Kepala BPBD Kabupaten Gorontalo mengatakan banjir yang kerap terjadi di daerahnya disebabkan oleh kerusakan alam dan hutan yang berada di hulu Gorontalo. Penebangan pohon untuk pembukaan perkebunan menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang.

Sumanti bilang, saat curah hujan tinggi, lahan-lahan atau hutan yang ada di hulu Kabupaten Gorontalo sudah tak mampu lagi menahan air. Apalagi sudah banyak sedimentasi akibat dari deforestasi yang makin hari terus meningkat akibat perkebunan tanaman monokultur. Alhasil, warga yang berada di hilir menjadi korban

Betul saja, data Global Forest Watch mencatat dari tahun 2002 sampai 2020, Kabupaten Gorontalo mengalami deforestasi dengan kehilangan 11,6 ribu hektare hutan primer basah dan meyumbang 43 persen dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total prime basah di Kabupaten Gorontalo berkurang 17 persen dalam periode waktu itu.

Tak hanya itu, dari tahun 2001 hingga 2020, Gorontalo kehilangan 27,7 ribu hektare tutupan pohon. Hal tersebut setara dengan 20 persen penurunan tutupan pohon sejak tahun 2000, dan 19,0 juta ton emisi CO₂e.

“Pemanasan global akibat dampak perubahan iklim juga menjadi indikator penyebab terjadinya banjir,” kata kata Sumanti Maku, kepada Mongabay awal Januari lalu.

Cokro Katilie, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah [Bappeda] Kabupaten Gorontalo juga mengakui itu. Jagung yang merupakan tanaman monokultur yang ada di hulu menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjir. Ia bilang, harus ada komoditi yang bisa menjadi penyangga tanaman jagung.

Cokro bilang, kopi adalah salah satu komoditi yang akan direncanakan untuk menjadi penyangga tanaman jagung. Pasalnya, kopi memiliki pasar yang sangat terbuka besar dan bisa menopang perekonomian petani. Ia bilang, tahun ini akan direncanakan untuk melakukan pengembangan tanaman kopi di beberapa daerah termasuk dulamayo.

“Berdasarkan kajian kita, setiap produk kopi tidak ada yang tertolak di pasar. Sehingga kopi sangat pantas untuk dikembangkan. Paling tidak, kopi bisa menjadi penyangga tanaman jagung,” kata Cokro Katilie kepada Mongabay awal Januari lalu.

Meski begitu, katanya, perlu ada kolaborasi dan kerja sama dengan berbagai pihak. Ia sebagai pemerintahan daerah mengaku tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan mitigasi bencana yang kerap terjadi. Apalagi Kabupaten Gorontalo merupakan salah satu daerah di Indonesia yang rentan terhadap perubahan iklim.

Perubahan perilaku petani juga menjadi salah satu hal yang penting untuk didorong dalam pengelolaan lingkungan yang baik. Cokro bilang, jika petani di Gorontalo sudah beralih ke tanaman kopi, pasti perlahan bencana bisa meminimalisir. Ia juga meminta petani bisa menerapkan sistem wanatani atau agroforestri dalam perkebunan, guna meningkatkan daya dukung ekologi daerah hulu Gorontalo.

“Kopi miliki dampak positif terhadap lingkungan dalam jangka panjang, dan bisa menjadi tanaman yang dapat memitigasi bencana di Kabupaten Gorontalo. Sehingga kita memiliki kopi menjadi komoditi yang akan dikembangkan,” kata Cokro

 


Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dengan versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan diklik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.