- PT. Agro Artha Surya (AAS) dinilai tidak transparan dalam hal produktivitas sawitnya. Sehingga hal tersebut berdampak kepada pembagian hasil yang tidak sesuai perjanjian dengan Petani Plasma.
- Petani Plasma di Wonosari, Boalemo, Gorontalo, menerima pembagian hasil yang tidak sesuai dengan perjanjian awal. Ada yang hanya menerima Rp. 22.000 ribu per bulan dalam setiap hektar, bahkan ada yang tak menerima sama sekali.
- Ada perbedaan data jumlah petani yang tergabung dalam enam koperasi, sehingga perbedaaan lahan luas lahan yang akhirnya berdampak kepada produktivitas dan pembagian hasil. Bahkan Petani tidak mengetahui bahwa mereka berhutang kepada perusahaan sebesar Rp. 70.000.000 juta per-Hektar.
- Namun, pandemi COVID-19 menjadi alasan produktivitas sawit. Perusahaan mengklaim musim yang sering berubah-ubah, lokasi perkebunan yang bergunung, tenaga kerja yang minim menjadi hal yang menyebabkan pembagian hasil tak sesuai perjanjian awal.
SEMANGAT Hijrah Ipetu belum redup. Dirinya tetap masih melakukan perlawan, dan meminta PT. Agro Artha Surya (AAS) harus transparansi dalam produktivitas Sawit setelah melakukan panen. Laki-laki berumur 38 tahun ini merupakan petani plasma yang ada di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Ia juga salah satu Anggota Koperasi Pangeya Idaman yang bermitra dengan perusahaan sawit.
“Sejak masuk masa panen Tahun 2017 lalu, perusahaan tidak pernah memberikan data produktivitas Sawit itu ke kita,” kata Hijrah Ipetu saat ditemui di rumahnya yang berada di Desa Pangeya, Kecamatan Wonosari, pada Selasa (23/3/2021) lalu.
Lelaki dari dua orang Anak ini kerap kali emosi jika PT. AAS memberikan pembagian hasil Sawit kepadanya. Pasalnya, jumlah pembagian yang diberikan, tak masuk akal buatnya. lahan 16 hektar miliknya yang ditanami Sawit oleh perusahaan, pembagian hasilnya hanya Rp. 23,000 ribu per-bulan. itupun nanti 6 bulan baru diberikan. Hal itu yang terus dipertanyakannya.
Semenjak adanya perusahaan sawit ini, perekonomian Hijran dan keluarganya tidak ada peningkatan, melainkan semakin menurun. Apalagi pembagian hasil dari perusahaan Sawit yang diberikan kepadanya, tidak sesuai dengan perjanjian awal yang dilakukan antara petani dan perusahaan Sawit. Hijrah menilai, PT. AAS hanya memberikan harapan palsu saja kepada masyarakat.
Dengan dalil investasi, perusahaan mengiming-iming mereka dengan membuka lowongan pekerjaan yang besar bagi masyarakat yang ingin bermitra dengannya. Masyarakat yang memiliki lahan, akan dijadikan sebagai buruh lahan sawit. “Masyarakat yang merawat sawit, nanti digaji oleh perusahaan, agar tidak ada pengangguran. itu yang janji mereka [PT. AAS],” ucap Hijrah
Sebelum adanya perusahaan sawit masuk ke wilayahnya. kata Hijrah, masyarakat Wonosari mayoritas berkebun jagung. Hidup mereka bergantung pada salah satu komoditas tanaman pangan terbesar di Gorontalo itu. Meski butuh waktu 6 bulan untuk melakukan panen, Hijrah bisa mendapatkan Rp. 6 juta sekali panen dalam setiap hektar. Ada 16 hektar kebun jagung yang dimilikinya. jika dijumlahkan, ia bisa mendapatkan Rp. 96 juta hanya dalam waktu enam bulan.
“Rp. 6 juta setiap Ha, dalam sekali panen. Pendapatan tersebut merupakan pendapatan bersih setelah dipotong dengan biaya operasional, dan lainnya. itupun harga jagung saat itu masih Rp. 2,800 ribu per-kilogram. Walaupun panen jagung itu nanti setiap enam bulan, penghasilan yang didapatkan itu, bisa diibaratkan sebagai uang tabungan,” ucapnya
Jika ada masyarakat yang rutin merawat kebun jagungnya, kata Hijrah, pendapatan yang bisa didapatkannya bisa mencapai Rp. 9 juta setiap ha. Apalagi saat ini, harga jagung sudah mencapai Rp, 4000 ribu lebih. JIka kebun jagungnya dulu tak jadi kebun Sawit seperti sekarang. ia yakin sudah bisa mengumpulkan uang ratusan juta rupiah.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Sutahir. Lelaki yang merupakan warga transmigran ini mengilustrasikan implementasi janji perusahaan dengan komitmen awal seperti langit dan bumi. Menurutnya, pembagian hasil yang diberikan kepada petani sangat tidak manusiawi. “Lahan Sawit tidak pernah diurus, tenaga kerja tidak ada, jalan-jalan rusak tidak ada perbaikan, hampir semua Sawit tidak diurus. itu yang membuat masyarakat menderita,” kata Sutahir pada 1 April 2021 lalu.
Sutahir bercerita, sejak dirinya menjadi warga transmigrasi pada tahun 2010 di Kecamatan Wonosari. Ia dijanjikan mendapatkan tanah 2 hektar untuk dikelola secara mandiri. Setelah sampai di lokasi, tanah yang dijanjikan itu ternyata tinggal 1 hektar saja. Sementara untuk 1 hektar lainnya itu, digantikan dengan seekor sapi dengan ukuran kecil sebagai kompensasi.
Saat perusahaan sawit masuk pada tahun 2013, Sutahir memberikan lahannya 1 hektar-nya itu kepada perusahaan Sawit. Namun hingga kini, dirinya tidak pernah menerima pembagian hasilnya. “Perusahaan [PT. AAS] pernah berjanji bahwa semua keluarga saya akan dipekerjakan di perusahaan, namun sampai detik ini, hal itu tidak sama sekali direalisasi,” ungkap Sutahir
Pihaknya juga sudah melaporkan masalah ini ke semua instansi terkait termasuk DPRD Boalemo, dan Pemerintah Kabupaten Boalemo. Tapi belum ada juga penyelesaian. “Investor yang datang ini seharusnya membantu perekonomian masyarakat, bukan membantai kehidupan masyarakat. Apalagi janji mereka yang tidak sesuai harapan,” tuturnya
Bentuk Kerjasama Perusahaan dan Petani
PT. Agro Artha Surya (AAS) didirikan berdasarkan Akta Pendirian nomor 26 tanggal 17 Maret 2011 untuk menjalankan usaha dalam bidang perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Izin lokasi perkebunan PT AAS di Kabupaten Boalemo diterbitkan oleh Bupati Boalemo berdasarkan SK Nomor 162 Tahun 2012, dengan luas izin lokasi 20.000 hektar yang terbagi di Kecamatan Wonosari, Kecamatan Paguyaman, Kecamatan Dulupi, dan Kecamatan Paguyaman Pantai, Tilamuta Kabupaten Boalemo.
Dalam menjalankan Bisnisnya, PT. AAS menerapkan pola Kemitraan. Dokumen Memorandum of Understanding (MOU), PT. AAS yang disepakati dengan Petani menyebutkan, akan berkomitmen dalam melakukan pemberdayaan dan peningkatan nilai tambah bagi masyarakat. Hal itu diwujudkan dengan menjalin kerja sama atau kemitraan dengan koperasi yang merupakan salah satu wadah untuk aktivitas ekonomi warga desa.
Kecamatan Wonosari sendiri adalah salah satu kecamatan dengan luasan perkebunan sawit terbesar di Kabupaten Boalemo. Lahan perkebunan sawit di kecamatan ini mencapai 2,515,25 hektar. Terluas kedua adalah Kecamatan Dulupi yakni 1,603,77 hektar, lalu Kecamatan Paguyaman 872,59 hektar, Paguyaman Pantai 319,20 hektar, dan Tilamuta 109,80 hektar. Sedangkan Kecamatan Mananggu dan Botumoito sama sekali tidak ditanami sawit.
AAS sendiri dalam skema ini, bekerja sama dengan enam koperasi, yaitu; Pangeya Idaman, Surya Jaya, Puncak Idaman, Tunas Towayu, Bukit Jaya, dan Makmur Abadi. Dalam dokumen internal koperasi, mencatat jumlah petani yang tergabung dalam enam koperasi ini mencapai 1.720 orang. Namun anehnya, data itu ternyata berbeda dengan data yang dimiliki oleh pihak perusahaan yang mengklaim jumlah petani yang tergabung dalam enam koperasi mencapai 3.454 orang. Data itu lebih banyak dari data yang dicatat oleh masing-masing koperasi.

Sesuai dokumen Memorandum of Understanding (MOU), yang disepakati antara pihak perusahaan dengan masyarakat mengatur bahwa sistem pengelolaanya adalah 50:50. Artinya, jika masyarakat memiliki lahan dengan luas 1000 hektar, maka luas yang akan dikelola sebagai plasma adalah 500 hektar. Sistem pengelolaan lahan mitra dilakukan dengan sistem single management atau pola manajemen satu atap.
Berdasarkan data temuan dilapangan bahwa luasan lahan petani yang diklaim oleh perusahaan justru lebih sedikit dari catatan koperasi. Luas lahan plasma petani menurut data koperasi berjumlah 4.661,36 hektar, sedangkan oleh perusahaan hanya 4.401,6 hektar. Artinya ada selisih 259,76 hektar. Perbedaan data ini menjadi indikasi tidak adanya komunikasi dan sinkronisasi data antara pihak perusahaan dan koperasi. Adanya perbedaan data semacam ini yang terus dibiarkan berlarut-larut sehingga menimbulkan masalah yang akan berdampak pada perhitungan produktivitas lahan dan jumlah produksi.
Pembagian yang Tak Sesuai
Bendahara Koperasi Pangeya Idaman, Jemmy Liando menilai dalam menjalankan usahanya PT. AAS tidak transparan. Ia menjelaskan koperasi dan petani tidak diberitahu perhitungan biaya produksi. Akses informasi petani maupun koperasi ke perusahaan yang dibatasi menyebabkan perhitungan pendapatan panen tidak jelas. Sementara dalam dokumen MOU yang ditandatangani pada tanggal 28 maret 2013, perusahaan memiliki kewajiban mengelola usaha perkebunan secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna serta mengutamakan tenaga kerja lokal.
Pada tahun 2017, selang 4 tahun sejak dilakukan penanaman awal kebun sawit, PT. AAS sudah memasuki masa panen. Sesuai janji pada saat sosialisasi, masyarakat harusnya mulai menerima penghasilan kebun plasma sebesar Rp. 1.350.000, per bulan untuk setiap hektar. Namun nyatanya, baru tahun kelima yaitu 2018, petani baru bisa menerima hasil kebunnya, itupun tidak sesuai dengan nilai yang dijanjikan perusahaan. Nilai yang diterima petani tidak merata atau bervariasi walaupun luasannya sama. Bahkan jauh lebih rendah dari yang dijanjikan pada saat sosialisasi awal.
Dalam dokumen daftar rekening BRI pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi Unit Desa (KUD) Pangeya Idaman, untuk periode pembayaran bulan Mei, tercatat ada petani yang menerima Rp. 66.000 ribu. Angka itu diterima petani untuk pembayaran tahap pertama dalam kurun waktu 3 bulan yaitu Oktober hingga Desember. Jika dibagi, berarti pertani tersebut menerima Rp. 22.000 ribu per bulan.
“Dari eman koperasi yang bermitra dengan perusahaan, pembagian hasil yang diberikan sangat berbeda-beda. Kita juga tidak pernah menerima invoice dari perusahaan terkait produktivitas Sawit,” jelas Jemmy Liando pada 2 April 2021 lalu
Tak hanya itu, Jemmy Liando mengungkapkan petani tidak mengetahui bahwa mereka berhutang kepada perusahaan sebesar Rp. 70.000.000 juta per-Hektar. “Kami bahkan tidak tahu berapa jumlah hutang kami di bank. Tidak ada komunikasi terkait itu kepada kami. Namun dari informasi yang kami telusuri, hutang tersebut berjumlah hingga Rp. 70.000.000 juta per setiap ha, itupun uang itu berbunga,” ungkap Jemmy
Melalui koperasi, petani mencoba menuntut janji kepada perusahaan, karena tidak ada penjelasan yang diterima petani terkait kecilnya hasil produksi yang mereka terima. Namun, kata Jemmy, perusahaan mengelak. Alasannya tuntutan petani tidak ada dalam dokumen perjanjian sehingga tidak bisa menjadi dasar tuntutan yang sah. Perusahaan berdalih jika penyebabnya adalah produktivitas lahan plasma petani yang tidak baik.
“Namun, kami tidak menerima laporan hasil penjualan dan angka statistik produktivitas. Perusahaan tidak pernah memberikan itu, sehingga tidak ada transparansi bagi hasil kepada kami sebagai petani,” ujar Jemmy
Pada pertengahan tahun 2018, konflik pun pecah. Sejumlah masyarakat yang tergabung di dalam koperasi melakukan protes. Pemicunya adalah perusahaan yang tidak memenuhi janji sesuai kesepakatan yang telah dibangun. Masyarakat di Desa Pangeya, Kecamatan Wonosari, yang merupakan basis dari koperasi Pangeya Idaman, terus melakukan perlawanan dengan melakukan demo di kantor pemerintahan dan berulang kali mengadakan pertemuan dengan pemerintah untuk mencari solusinya. Mereka menyuarakan tuntutannya agar perusahaan memenuhi janjinya tersebut.
Ketua Koperasi Pangeya Idaman, Taslim Ipedu mengatakan perusahaan sebagai pemilik kuasa perkebunan tentu harus memperhatikan kualitas sawit yang mereka kelola. Tapi sejauh ini, dari pengamatan petani hingga tahun 2020, perusahaan jarang terlihat melakukan aktivitas perawatan kebun. Misalnya melakukan pembersihan lahan dan pemupukkan sawit di kebun plasma.
“Perusahaan hanya melakukan perawatan atau pembersihan kebun yang berada dekat dengan jalan atau akses utama sedangkan yang ada di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau, sawitnya jarang diperhatikan,” Kata Taslim Ipetu
Petani meminta lahan mereka dikembalikan jika perusahaan tidak bisa merawat dan mengelola kebun plasma. Menurut Taslim, lebih baik mereka mengelola sendiri kebun sawitnya atau menggantinya dengan tanaman lain untuk membayar sendiri hutangnya kepada bank, daripada tidak ada kejelasan dan hanya menerima hasil kebun sangat kecil dan sering macet dari perusahaan. dia menegaskan, adanya sawit justru terasa semakin membebani petani.
Taslim menjelaskan dalam dokumen perjanjian MOU, disebutkan bahwa kewajiban perusahaan adalah membuat dan memberikan laporan kemajuan pekerjaan fisik pembangunan kebun plasma setiap akhir triwulan kepada koperasi apabila diminta oleh koperasi. Namun, kenyataanya permintaan koperasi tidak pernah diindahkan perusahaan. Hal ini menegaskan PT. AAS telah melanggar perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
“Sampai dengan saat ini, petani belum mengetahui status lahan mereka. Tidak ada kejelasan batas-batas antara lahan inti dan lahan plasma. Mirisnya lagi, lahan milik petani ketika dikonfirmasi ke Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Boalemo, sudah beratas namakan PT. AAS sebagai HGU,” ucap Taslim

Anggota DPRD Boalemo, Fatkurohman mengaku dirinya sudah berulang-ulang kali menggiring masalah tersebut ke ke DPRD Boalemo, tapi sampai dengan sekarang belum juga selesai masalahnya. Hal itu, kata Fatkurohman, banyak pejabat pemerintah daerah, maupun pejabat swasta tidak memahami masalah kemitraan perusahaan sawit dengan petani plasma. Tidak ada juga pengawasan secara maksimal yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terkait dengan perjanjian petani plasma dengan perusahaan.
“Tidak ada pengkajian untung ruginya seperti apa. Terkesan Pemda tidak memberikan pendampingan secara khusus. Bahkan saat perusahaan melakukan sosialisasi, tidak melibatkan pemerintah. Akibatnya, perjanjian yang dilakukan antara perusahaan Sawit dan petani plasma tidak didasari dengan perjanjian diatas materai, melainkan hanya secara lisan saja,” kata Fatkurohman
Fatkurohman pernah mempertanyakan kepada perusahaan mengapa pembagian hasilnya tak sesuai dengan perjanjian awal. ia pun meminta dasar dari perusahaan yang memberikan pembagian hasil yang dianggap terlalu kecil. Namun perusahaan tetap tidak memberikan data produktivitas Sawit.
Sejak Tahun 2013, Fatkurohman menyebutkan tidak pernah melihat perusahaan melakukan perawatan dan pemupukkan Sawit. Padahal, kata dia, dalam penangguhan pembayaran perusahaan, ada dana untuk pemeliharaan Sawit serta pemupukkan. Tapi hal itu tidak digunakan. Dirinya mempertanyakan dana pemeliharaan Sawit serta pemupukkan ke mana uangnya.
Fatkurohman menduga jangan sampai pemilik perusahaan PT. AAS ini tidak mengetahui masalah yang terjadi antara perusahaan dan petani plasma, termasuk dana pemeliharaan dan pemupukkan yang entah ke mana. “Bisa saja masalah ini hanya pekerjanya yang di Gorontalo yang mengetahui saja, karena biaya pemupukkan dan biaya pemeliharaan itu ada, tapi tidak ada praktek dalam kebun yang dilakukan,” kata Fatkurohman
Hingga detik ini, Fatkurohman menilai pemerintah kabupaten Boalemo sampai pemerintah provinsi Gorontalo tidak mampu menyelesaikan masalah ini. Padahal ada ribuan masyarakat yang menderita akibat masalah Sawit ini. “Ke DPR RI sudah dua kali, tapi sampai hari ini tidak ada perubahan. kami sudah lelah untuk bersuara ke pemerintah terkait masalah Sawit ini. Saya meminta DPR RI bisa melakukan audit kepada perusahaan sawit ini (PT. AAS) yang ada di Boalemo ini. masyarakat akan menderita jika tidak melakukan hal itu,” tegasnya
Sementara itu, Plt Bupati Kabupaten Boalemo, Anas Jusuf tak mengomentari banyak soal masalah tersebut. Ia hanya menyebutkan bahwa perusahaan sawit dengan petani plasma memiliki perjanjian atau MOU secara tertulis yang bisa menjadi dasar untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pihaknya tidak bisa mengintervensi secara hukum, hanya secara teknis saja.
“Pada prinsipnya pemerintah daerah mendorong, perusahaan sawit (PT. AAS) untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan petani plasma langsung,” Kata Anas Jusuf, 10 April 2021
Anas menjelaskan pihaknya sudah beberapa kali melakukan mediasi antara perusahaan dan petani, namun sampai hari ini belum ada titik temu. Ia mengakui sudah ada beberapa langka yang dilakukan perusahaan, tapi hingga kini juga belum tuntas. “Sehingganya kita kasih kesempatan Perusahaan untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan petani,
Inpres Moratorium Sawit Tak Sentuh Persoalan Kemitraan
Salah satu tujuan utama diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 atau yang juga dikenal dengan inpres moratorium sawit adalah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit di Indonesia. Namun jika melihat pada proses implementasi kebijakan ini yang sudah berjalan hampir tiga tahun, belum berdampak secara signifikan terhadap peningkatan produktivitas.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware melalui rilis resminya mengatakan bahwa salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit adalah dengan mengevaluasi pola kerjasama kemitraan antara perusahaan dengan pekebun sawit. Dimana salah satu pola yang banyak diimplementasikan adalah Pola Satu Manajemen (PSM). Namun, pihaknya melihat inpres moratorium sawit belum menyentuh pada persoalan pola kemitraan tersebut sebagian dari bagian dari proses evaluasi perkebunan.
“Strategi pemerintah menghadirkan pola satu manajemen (PSM) ini adalah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit karena manajemen pengelolaan kebun berada dalam satu kontrol manajemen yakni di pihak perusahaan. Namun sayangnya nasib petani saat ini masih jauh dari kata ‘sejahtera’ karena praktek di lapangan sangat berbeda dan petani plasma menjadi kelompok yang paling dirugikan,” tulis Inda
Staff Research Pengembangan, Penguatan Komunitas dan Anggota Sawit Watch, Bony menambahkan dalam catatan pihaknya hingga tahun 2020, ada sebanyak 81 kasus kemitraan terjadi di perkebunan sawit. Pihaknya sudah sampaikan masalah tersebut ke Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) RI pada Senin 01 Maret 2021 lalu.
“Pola satu manajemen (PSM) menimbulkan banyak persoalan di tingkat lapang. Salah satunya contohnya terjadi antara PT. Agro Artha Surya (PT. AAS) dengan petani plasma Desa Pangea, Kec. Wonosari, Kab. Boalemo,” kata Bony pada 4 April 2021 lalu
Bony menilai, PT. AAS tidak mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat. Misalnya tidak memberikan informasi soal status lahan masyarakat, batas antara lahan inti dan plasma, serta perhitungan biaya produksi yang tidak jelas. “Petani yang awalnya dijanjikan akan memperoleh penghasilan sekitar 1,3 juta per bulan namun hanya menerima sekitar Rp. 22,000 ribu saja perbulan. Hadirnya perusahaan bukan mensejahterakan justru menyengsarakan,” ucapnya
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Petani Sawit Nusantara (PSN), Misno Udin Tolinggi. dia menjelaskan MUO yang dibuat seharusnya harus menguntungkan satu sama lain. Bukan mala merugikan masyarakat, terutama koperasi yang menjadi mitra perusahaan. “Berdasarkan data yang saya temukan di lapangan, dari enam koperasi yang di Wonosari yang bekerjasama dengan perusahaan, tidak pernah menerima invoice dari perusahaan terkait produktivitas Sawit,” kata Misno Udin Tolinggi
Misno berharap perusahaan bisa lebih terbuka dengan petani terkait produktivitas sawit yang selama ini di panen. Pembagian hasil yang terlalu kecil kepada petani, itu merupakan bukti perkebunan Sawit tersebut tidak dibangun secara baik. Dia meminta perusahaan harus menyelesaikan masalah ini dengan petani langsung.
“Seharusnya, 1 hektar lahan itu, bisa ditanami 136 pohon, dan jika sawit itu dirawat dengan baik, bisa mencapai 8 Ton sampai 12 Ton setiap hektar dalam sekali panen. Namun di Wonosari ada kejanggalan, karena ada lahan petani yang isinya hanya 12 pohon, ada yang cuman 3 pohon. itu bukti lahan ini tidak dikelola dengan baik,” ucapnya
Solusinya, kata Misno, harus ada sinkronisasi data antar data perusahaan dan data koperasi untuk menyamakan persepsi. Karena sampai hari ini, pemetaan lahan yang dilakukan oleh perusahaan, tidak pernah diberikan kepada koperasi.
Alasan Pandemi COVID-19
Salah satu Pimpinan PT. Agro Artha Surya (AAS), Saipul mengatakan pembagian hasil tersebut tergantung pada hasil panen. Ia mengakui ada petani yang diberikan hanya Rp. 7,000 ribu setiap hektar, dan Rp. 22,000 setiap hektar. Tapi menurutnya, pembagian hasil yang diberikan itu, sesuai dengan penyerahan jumlah lahan dari petani. “Kalau lahan yang diserahkan kecil, pasti pendapatan yang diberikan juga pasti kecil. Tapi harus diketahui ada beberapa petani yang diberikan Rp. 2 Juta, Rp. 3 juta, bahkan ada yang Rp. 7 juta,” kata Saipul melalui sambungan telepon
Menurut Saipul, musim yang sering berubah-ubah, lokasi perkebunan yang bergunung, serta tenaga kerja yang minim menjadi alasan utama produktivitas Sawit tidak maksimal. Ia juga mengaku kesulitan dalam melakukan perawatan untuk perkebunan Sawit.
“Skill tenaga kerja yang melakukan perawatan di perkebunan sawit itu tidak maksimal, misalnya kalau di wilaya Kalimantan dan Sumatera, satu orang pekerja itu bisa merawat sampai dengan 25 pohon, tapi kalau di Boalemo, satu orang hanya bisa kerjakan 10 pohon saja,” ujar Saipul
Tak hanya itu, dengan kondisi Pandemi COVID-19, kata Saipul, perusahaan sangat terpukul. Pasalnya, saat pihaknya mengambil Sawit dari Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat tepatnya di Mamuju, banyak perbatasan-perbatasan di setiap daerah yang ditutup. Sehingganya harus membutuhkan empat hari, sawit untuk sampai ke Boalemo. Sementara batas waktu pengelolaan hanya dua hari saja. Akibatnya, presentasi minyak dipotong karena pengelolaan lambat.
“Pabrik kita ini kapasitas 40 ton per-jam, kalau 8 jam, ada sekitar 350 ton yang dikelola, dan untuk kebun di Boalemo itu belum mencukupi, sehingga kita harus mendatangkan sawit dari luar daerah untuk dikelola langsung di pabrik kita. Tapi sawit itu sampai nanti empat hari. Alhasil, ada beberapa yang kita tidak dikelola, karena sudah busuk,” jelas Saipul
Berdasarkan hal itu, kata Saipul, produktivitas sawit setiap bulan itu tidak menetap, melainkan naik turun. Namun dirinya tidak bisa menjelaskan secara rinci berapa jumlah produktivitas sawit setiap bulan ataupun Tahun. Ia berdalil hal itu bukan urusannya. “Ada bagian yang mengurus itu, saya bukan di departemen itu, jadi saya tidak mengetahui produktivitas sawit yang dilakukan selama ini,” jelas Saipul
Permasalahan yang terjadi antara Perusahaan dan petani plasma dianggapnya itu hal yang biasa. Menurutnya, perkebunan Sawit ini merupakan investasi jangka panjang. Sementara untuk utang yang dibebankan kepada masyarakat itu, merupakan biaya pembangunan kebun sawit untuk kemitraan yang dihitung per-hektar.
Dari dokumen yang didapatkan, enam koperasi di kecamatan Wonosari yang bermitra dengan perusahaan dibebankan biaya pembangunan kebun sawit cukup besar. Misalnya; Koperasi Pangeya Idaman, Rp. 68,000,000 per-hektar; Koperasi Surya Jaya, Rp. 77,000,000 per-hektar; Koperasi Puncak Idaman, Rp. 68,000,000 per-hektar; Koperasi Tunas Towayu, Rp. 68,000,000 per-hektar; Koperasi Bukit Jaya, Rp. 77,000,000 per-hektar; dan Koperasi Makmur Abadi, Rp. 65,000,000 per-hektar.
Saipul menyebutkan biaya pembangunan kebun sawit itu merupakan biaya yang dihitung dari pembukaan lahan, penanaman, pembuatan jalan, dan parit serta pemeliharaan menjelang panen. Saipul tak menyebutkan secara rinci biaya satuannya. “Ada direksi yang mengurus itu, itu bukan dibagian saya, jadi saya tidak mengetahui biaya satuanya dalam pembangunan kebun sawit itu,” pungkas Saipul
Sarjan Lahay* Penulis merupakan penerima Program Fellowship Liputan Tata Kelola Kebun Sawit di Indonesia: Implementasi, Peluangan dan Tantangan, yang dilaksanakan oleh Mongabay Indonesia. Tulisan ini sudah pernah tanya sebelumnya di Times Indonesia pada tanggal 10 April 2021 lalu.
Leave a Reply