- Revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8/2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tengah (Sulteng) 2013-2033 belum usai walau proses sudah sejak 2017. Padahal, perda itu merupakan landasan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di Sulawesi Tengah. Kebijakan tata ruang belum tuntas berbuntut pada tata kelola sumber daya alam buruk?
- Kualitas Perda RTRW sebelumnya dan proses revisi belum tuntas memberikan dampak buruk dalam pemanfaatan ruang di Sulawesi Tengah. Dalam penelitian Auriga Nusantara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah, menemukan ada praktik penyalahgunaan kewenangan izin pemanfaatan ruang dan penyalahgunaan ruang yang terus berlangsung.
- Hasil penelitian Auriga Nusantara, dan KPK yang berjudul “Politik Tata Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah 2022,” menyimpulkan secara gamblang, ada praktik rent seeking birokrasi dan crony capitalism dalam pemanfaatan ruang di Sulteng. Hal ini, tergambar dari dominasi permasalahan administrasi dalam penerbitan izin.
- La Husen Zuada, dosen Ilmu Politik di Universitas Tadulako sekaligus penulis utama dari penelitian Auriga Nusantara, dan KPK mengatakan, aktor utama yang berperan dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam Sulteng adalah pengusaha-politisi. Mereka bukan sekadar politisi, sekaligus oligarki karena terlibat dalam ruang politik dan ekonomi.
Sudah kurang lebih enam tahun, atau sejak tahun 2017 hingga kini, proses revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) 2013-2033 belum final. Padahal, Perda itu merupakan landasan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di Sulteng.
Pasalnya, Perda RTRW itu masuk dalam kategori buruk, karena ditemukan adanya ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang di lapangan, dan rencana tata ruang wilayah yang tertuang dalam Perda tersebut. Hal itu disebabkan oleh perubahan kebijakan nasional yang setiap kali berubah saat pergantian presiden.
Misalnya, terpilihnya presiden Joko Widodo pada tahun 2014 yang mengusung program prioritas Nawacita, seperti pemanfaatan tanah objek reforma agraria (TORA), penetapan kawasan ekonomi khusus, dan pembangunan industri di kawasan luar Jawa, ikut mempengaruhi dinamika politik di tingkat lokal, diantaranya dalam aspek penggunaan ruang di Sulteng.
Namun, proses revisi RTRW tersebut yang dilakukan sejak 2017 berjalan lambat, karena terjadinya gempa bumi, tsunami dan likuifaksi pada tanggal 28 September tahun 2018, beserta belum adanya kesepakatan berbagai pihak yang terlibat dalam proses pembahasan diantaranya Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVI Palu, Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, BPDAS Palu- Poso dan PT. Citra Palu Mineral.
Belum adanya kesepakatan itu terkait dengan belum rampungnya perubahan status hutan yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH), soal status aktivitas pertambangan yang beroperasi di wilayah Tahura Poboya, serta zona merah rawan pergeseran tanah di wilayah Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Pada tahun 2019, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng menilai proses pembahasan revisi RTRW tidak memasukan perspektif tentang bencana khususnya wilayah rawan gempa bumi, likuifaksi dan tsunami. Misalnya, kawasan Poboya yang dijadikan sebagai lokasi PT. Citra Palu Mineral (CPM), perusahaan tambang yang tergabung dalam Bakrie Group.
Padahal, menurut Perda RTRW Kota Palu dan Surat Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral No.711/03/BGL.V/2020 tentang peta prakiraan gerakan tanah, Kelurahan Poboya masuk dalam kawasan rawan bencana tanah longsor dan berada di wilayah sesar purba yang sangat membahayakan penambang dan penduduk sekitar.
“Karena dalam presentasi tim ahli konsultan ini kami tidak melihat ada wilayah pertambangan yang masuk dalam wilayah kawasan strategis bencana. Padahal kalau kita lihat di zona rawan bencana (ZRB) yang sudah dibuat oleh pemerintah itu sepanjang wilayah pertambangan yang ada di Palu dan Donggala masuk dalam zona merah,” kata Abdul Haris Lapabira, Direktur Eksekutif WALHI Sulteng saat itu.
Selain itu, dalam pembahasan RTRW itu, adanya usulan perubahan peruntukan kawasan suaka alam/pelestarian alam dan kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan dan perkebunan sawit. Salah satu wilayah status KSA/KPA yang beralih fungsi adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya yang digunakan untuk keperluan aktivitas pertambangan PT. CPM. Terlebih, lokasi itu menjadi tempat sumber mata air untuk kebutuhan penduduk di Kota Palu
Tak hanya itu, pembahasan RTRW itu dinilai tidak partisipatif dan kurang transparan. Kelompok masyarakat sipil merasa tidak dilibatkan dalam proses pembahasan revisi Perda RTRW sejak awal. Sementara, hal itu berbanding terbalik dengan korporasi PT. CPM dilibatkan sejak awal hingga pembentukan tim kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Hal ini memunculkan kesan adanya dominasi PT. CPM, sehingga menimbulkan kecurigaan akan diakomodir kepentingan korporasi, dibanding aspek keselamatan warga. Selanjutnya, ketidaktransparanan pembahasan yaitu tidak tersosialisasikannya draft Perda yang dibahas, dan sulit untuk diakses oleh publik juga menjadi kritikan oleh Walhi Sulteng saat itu
“Saya sering sekali melihat kehadiran PT. CPM dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan revisi RTRW ini. CPM satu-satunya perusahaan yang terlibat dalam kegiatan revisi RTRW ini. Apa kepentingan CPM dalam revisi RTRW ini,” lanjut Abdul Haris Lapabira
Namun, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura mengklaim, revisi Perda RTRW Sulteng sudah memperhatikan kerentanan terhadap bencana dan zona rawan bencana, khususnya gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi. Rusdy bilang, pihaknya dibantu oleh Kementerian ATR/BPN untuk menyusun hal teknis itu sejak tahun 2018, pasca gempa bumi, tsunami dan likuifaksi.
Rusli menambahkan, revisi RTRW telah disesuaikan dengan pembangunan yang memperhatikan mitigasi bencana, dan telah mengintegrasikan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, pihaknya tetap memastikan keamanan bagi investor yang mau menanamkan modal di daerahnya.
“Tujuan penataan ruang yang tercantum dalam RTRW Provinsi Sulawesi Tengah yakni mewujudkan pembangunan wilayah yang bertumpu pada sektor pertanian, sumber daya wilayah pesisir dan kelautan, industri, pertahanan keamanan serta pariwisata yang produktif dan berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan berbasis mitigasi bencana,” kata Rusdy Mastura seperti dikutip di antaranews
Sayangnya, buruknya kualitas Perda RTRW ini dan belum tuntas proses revisinya ternyata memberikan dampak negatif dalam pemanfaatan ruang di Sulawesi Tengah. Dalam penelitian yang dilakukan Auriga Nusantara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), menjelaskan Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah, menemukan adanya praktek penyalahgunaan kewenangan izin pemanfaatan ruang dan penyalahgunaan ruang yang terus berlangsung.
Ombudsman menemukan, ada izin dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang tidak berwenang. Kasus ini ditemukan di Kabupaten Donggala, dimana pada tahun 2015 dokumen IUP produksi dikeluarkan oleh Bupati Donggala. Padahal berdasarkan aturan, izin tersebut seharusnya dikeluarkan oleh Gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Berikutnya, ada maladministrasi perizinan yaitu adanya izin yang tidak sesuai prosedur, seperti izin lingkungan yang mendahului izin usaha pertambangan, serta adanya aktivitas produksi pertambangan meski belum memiliki IUP Produksi. Ada juga IUP yang tumpang tindih dengan kawasan hutan, perusahaan tambang lain, laut, dan jalan.
Selanjutnya, ada kepemilikan lahan tambang oleh individu dan perusahaan. Penguasaan lahan oleh perusahaan dan individu didasarkan pada surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT). Praktek ini umumnya dilakukan dengan cara jual beli tanah yang memiliki kandungan tambang, yang selanjutnya dilakukan eksplorasi. Ada aktivitas tambang yang merusak lingkungan, dan penambangan di luar IUP.
Temuan permasalahan IUP di Sulteng itu sejalan dengan hasil laporan koordinasi dan supervisi sektor pertambangan minerba. Pada tahun 2014, dari 443 IUP di Sulteng, ada 199 IUP berstatus non clean and clear (non-CNC) atau bermasalah. Masalah administrasi sebanyak 88%, disusul tumpang tindih kewenangan 11%, tumpang tindih sama komoditas dan beda komoditas masing-masing 0,5%.
Bukan hanya itu, dalam laporan itu ditemukan adanya tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai 111 miliar rupiah dari 353 IUP. Dimana, ada IUP yang tidak menyampaikan SPT pajak penghasilan, ada IUP yang tidak transparan dalam pengalokasian dana jaminan reklamasi, ada IUP yang tidak menyampaikan data laporan produksi.
Hasil penelitian Auriga Nusantara, dan KPK yang berjudul “Politik Tata Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah 2022,” menyimpulkan secara gamblang bahwa ada praktek rent seeking birokrasi dan crony capitalism dalam pemanfaatan ruang di Sulteng. Hal ini tergambar dari dominasi permasalahan administrasi dalam penerbitan izin.
Rent seeking adalah praktik yang dilakukan oleh pengusaha agar memperoleh hak istimewa dari negara untuk menyediakan barang dan jasa tertentu dengan cara melobi dan suap. Sementara, crony capitalism adalah istilah untuk menyebut ekonomi yang kesuksesan bisnisnya bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah.
Aktor Dibalik Pemanfaatan Ruang dan SDA
La Husen Zuada, Dosen Ilmu Politik di Universitas Tadulako yang sekaligus merupakan penulis utama dari penelitian Auriga Nusantara, dan KPK mengatakan bahwa, aktor utama yang berperan dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan SDA di Sulteng adalah pengusaha-politisi. Mereka bukan hanya sekedar politisi, tapi sekaligus oligarki karena terlibat dalam ruang politik dan ekonomi
Pengusaha-politisi adalah mereka yang menjadi bagian dari partai politik atau memiliki keterkaitan dengan partai politik, serta memiliki sejumlah usaha. Mereka ini meliputi pimpinan dan kader partai politik, anggota legislatif yang diusung oleh partai politik, maupun pimpinan eksekutif yang terpilih berdasarkan rekomendasi partai politik.
Menurut La Husen Zuada, kalangan politisi-pengusaha memiliki peran penting dalam pemanfaatan ruang dan SDA di Sulteng, yaitu berperan merumuskan kebijakan dan melaksanakan kebijakan. Selain itu, para politisi ini juga menjadi pemilik usaha yang memanfaatkan ruang dalam skala besar, seperti: sektor pertambangan dan perkebunan.
Kelompok pengusaha-politisi ini memiliki tiga modal kekuasaan sekaligus yaitu: modal uang (ekonomi), fisik, dan kewenangan. La Husen bilang, modal kekayaan dan kewenangan yang dimiliki para oligarki ini dengan mudah mempengaruhi kelompok lain, baik secara persuasif maupun secara paksa (fisik).
Katanya, keberadaan para oligarki yang memanfaatkan ruang di Sulteng ini, menjadi tantangan tersendiri dalam menghasilkan sebuah regulasi RTRW yang pro kepentingan publik.
“Pengusaha-politisi adalah kelompok yang paling kuat dalam mempengaruhi kebijakan negara. Mereka memiliki kepentingan membesarkan partai politik yang ada mereka di dalamnya,” kata La Husen Zuada kepada Mongabay, pada 17 Maret lalu.
Selanjutnya, kata La Husen, aktor kedua yang berperan dalam pemanfaatan ruang dan SDA di Sulteng adalah pengusaha. Kelompok ini adalah mereka yang memiliki sejumlah usaha, namun tidak terlibat politik. Kelompok pengusaha hanya memiliki dua modal kekuasaan yaitu kekayaan dan fisik.
Kelompok pengusaha memiliki pengaruh yang lemah, bila dibandingkan dengan kelompok pertama (pengusaha-politisi). Kekuasaan yang mereka miliki akan pudar jika mereka tidak lagi memiliki kekayaan. Dengan demikian eksistensi pengaruh pengusaha sangat bergantung pada harta kekayaan yang dimiliki.
Berbekal kekayaan, katanya, pengusaha memiliki relasi sosial dengan masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan (buruh), dan masyarakat sekitar yang mendapatkan manfaat atas kegiatan usaha. Hubungan pengusaha dan masyarakat ini sangat terlihat dalam beroperasinya usaha pertambangan.
Rony Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara berpandangan hal yang sama. Menurutnya, pengusaha sangat mengerti akan kebutuhan jangka pendek masyarakat. Tawaran-tawaran perbaikan ekonomi, perubahan nasib, mengurangi tingkat pengangguran, dan iming-iming kesejahteraan, tidak luput dari berbagai upaya untuk mendapatkan akses pengelolaan SDA.
Disisi lain, kata Rony, masyarakat lupa, eksploitasi berlebihan terhadap SDA akan menimbulkan bencana. Tidak sedikit bencana yang terjadi karena keserakahan manusia dalam eksploitasi SDA. Ia bilang, SDA itu tidak hanya hak manusia saat ini untuk menikmatinya, melainkan juga untuk generasi yang akan datang.
“Bisa dibayangkan ke depan, jika SDA sudah tidak lagi ada, perubahan iklim menjadi tidak terkendali, dan penyakit akan merajalela,” kata Rony Saputra kepada Mongabay, 26 Maret lalu.
Berikutnya, kata La Husen, aktor ketiga dibalik pemanfaatan ruang dan SDA adalah birokrasi. Birokrat yang berperan sebagai pelayan publik, dan pelaksana kebijakan memiliki kewenangan untuk mempengaruhi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang. La Husen bilang, kewenangan yang dimiliki birokrasi kerap disalahgunakan untuk mengeluarkan izin yang tidak sesuai prosedur.
Praktek ini selain diakibatkan oleh lemahnya pemahaman administratif, juga dikarenakan adanya oknum birokrasi yang menjalankan praktek rent seeking bureaucracy atau mencari uang. Di sisi lain, para pengusaha memanfaatkan kedekatan mereka dengan para pejabat pemerintah, termasuk birokrasi untuk melakukan akumulasi kekayaan, seperti: mendapatkan izin, tidak berjalannya pengawasan, dan lemahnya penegakan hukum.
“Masih adanya oknum birokrat yang berwatak mencari untung dalam aktivitas perizinanan yang didorong oleh gaya hidup mereka, investasi dan tampil dalam pemilu. Juga dipicu oleh belum membaiknya tata Kelola perizinan, seperti ketertutupan informasi dalam proses perizinan dan pengawasan,” kata La Husen Zuada
Terakhir, kata La Husen, aktor yang juga ikut berperan dalam pemanfaatan ruang dan SDA di Sulteng adalah kepolisian. Kepolisian sebagai aparat negara memiliki peran penting dalam penegakan hukum bagi pelanggar pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, kepolisian juga berperan dalam menjaga keamanan demi terciptanya stabilitas politik dan ekonomi.
Namun, katanya, dalam pengelolaan tambang di Sulteng, kepolisian dihadapkan pada situasi yang dilematis, yaitu menegakkan hukum dan menjaga stabilitas keamanan. Upaya kepolisian untuk menutup tambang ilegal sebagai langkah penegakan hukum, kerap diperhadapkan penolakan masyarakat setempat yang memiliki ketergantungan akan keberadaan tambang.
Peristiwa ini pernah terjadi di konflik antara komunitas masyarakat adat Kambuno di Poboya melawan Pemerintah Kota Palu. Masyarakat Poboya melalui lembaga adat menginginkan agar aktivitas penambangan tetap dilanjutkan, sementara Pemerintah Kota Palu menginginkan penutupan. Sikap pemerintah Kota Palu ini memicu aksi demonstrasi ribuan warga Poboya.
Saat itu, aparat kepolisian lebih memilih berperan sebagai penjaga stabilitas keamanan, daripada bersikap tegas terhadap penegakan hukum kepada para penambang yang menyalahi aturan. Melalui pendekatan stabilitas keamanan, instruksi kata menutup tambang diperhalus menjadi mengamankan (membatasi aktivitas penambangan).
“Penyelesaian tambang ilegal memerlukan duduk bersama antara masyarakat, pemerintah, keamanan dan stakeholder terkait untuk merumuskan langkah dan kebijakan terbaik. Selain itu aparat keamanan dalam menjalankan tugas perlu menjaga integritas mereka, tidak menjadi bagian dari aktivitas illegal,” kata La Husen.
Tapi, kata Rony, sebagai penegak hukum, seharusnya aparat kepolisian bisa menelusuri dan menginvestigasi aktor utama di belakang tambang-tambang ilegal tersebut. Rony bilang, jika yang disasar hanya penambangan di lapangan, maka akan wajar akan ada perlawanan dari masyarakat.
Disisi lain, kata Rony, pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan melarang pihak manapun untuk membeli dan menampung hasil tambang-tambang ilegal. Sayangnya, kebijakan pemerintah saat ini baru menyasar penambangnya, belum ada kebijakan yang menyasar ke pelaku intelektual termasuk menyasar ke pembelinya.
“Jika tidak ada permintaan dan penawaran, maka tidak akan ada yang akan menambang secara illegal,” kata Rony Saputra
Meski begitu, La Husen Zuada juga menemukan, aktor-aktor dalam tiga institusi demokrasi seperti partai politik, eksekutif dan legislatif juga memiliki peranan yang sangat dominan, seperti dalam pembuatan peraturan daerah. Pasalnya, aktor-aktor itu memiliki kepentingan atas ruang baik sebagai pengusaha pertambangan maupun perkebunan.
Misalnya, Partai politik sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan politik eksekutif (kepala daerah) dan legislatif (anggota dewan) menjadi ranah bertemunya berbagai kepentingan. Sementara, ketua dan pengurus partai politik memiliki latar belakang bisnis, termasuk pertambangan dan perkebunan.
Disisi lain, eksekutif membawahi birokrasi yang berwenang mengeluarkan izin dan melakukan pengawasan, termasuk penindakan atas penyalahgunaan ruang, sedangkan legislatif sebagai pembuat kebijakan. Kondisi ini yang membuat aktor-aktor dalam tiga institusi demokrasi itu memiliki relasi kuasa serta peran dominan yang memicu adanya penyalahgunaan wewenang.
Harusnya, kata Rony, setiap pejabat yang tadinya naik dari partai politik sudah selayaknya mereka mundur dari jabatan politik dan focus untuk melayani kepentingan masyarakat. Jika tidak, kebijakan yang akan mereka kerjakan pasti akan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan, salah satunya kepentingan partai.
“Tidak sedikit dari mereka terlibat dalam penyalahgunaan wewenang, salah satunya dengan menerbitkan izin tanpa memberikan pertimbangan terlebih dahulu, yang akhirnya memperburuk pemanfaatan ruang dan pengelolaan SDA,” pungkasnya
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments