- Warga Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, sejak puluhan tahun lalu menambang emas dengan cara-cara tradisional. Belakangan, makin meluas mulai banyak pakai alat berat dan tambang ilegal ini pun masuk sampai ke Cagar Alam Panua.
- Penertiban mulai dilakukan. Juni lalu, ada sembilan warga diamankan polisi karena pakai alat berat di lokasi pertambangan hingga masuk dalam Cagar Alam Panua. Delapan orang jadi pelaku utama dan satu operator alat berat. Sembilan orang itu diserahkan ke Polres Pohuwato untuk penindakan hukum.
- Penyelesaian masalah tambang emas ilegal sudah puluhan tahun ini di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, seharusnya, lebih dari sekadar penertiban dan penindakan hukum. Masyarakat perlu dibantu untuk bisa beralih mendapatkan mata pencarian lain.
- uyun Ismawati, Senior Advisor dan Co-founder Nexus3 Foundation mengatakan, pertambangan rakyat yang dilegalisasi berdasarkan WPR oleh pemerintah pusat dan daerah ternyata tak jadi solusi utama dalam meminimalisir kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan kepada penambang. Katanya, baik pakai merkuri atau sianida, kesehatan penambang tetap akan terancam.
Siang itu 26 Juli 2022, Rahmat Karim (41) masih sibuk menggali tanah menggunakan linggis di perbukitan agak tinggi di Desa Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Sementara, saudaranya sedang menyedot air dari Sungai Tihu’o untuk disemprotkan ke atas tempat penggalian menggunakan pompa untuk membantu penggalian.
Alhasil, bukti itu perlahan-lahan mulai terkelupas, dan tanahnya sembari jatuh ke tempat penampungan berair yang sudah dibuat sebelumnya. Tempat penampungan itu, terlihat seperti kali kecil yang menjadi tempat air untuk mengencerkan tanah-tanah yang sudah digali.
Saat tanah sudah berada di dalam kali kecil itu, Rahmat mengaduk-aduk menggunakan sekop agar tanahnya sedikit encer, dan langsung dialirkan bersama air menuju saluran yang lebarnya sekitar 1 meter yang sudah disediakan.
Didalam saluran itu, Rahmat menyusun batu-batu kecil secara berjenjang guna memperlambat aliran air, agar tanah mudah terendapkan di dalam karpet. Kedua sisi karpet, disanggah menggunakan beberapa kayu balok, agar tanah mudah terperangkap. Setelah itu, tanah yang terperangkap langsung diangkat dan dimasukan kedalam dulang.
Tanah yang masuk kedalam dulang kemudian digoyang-goyang bersama air, untuk mengeluarkan butiran-butiran tanah kasar. Setelah digoyang-goyang, akan tampak pasir hitam yang disebut “pasir penghantar emas”. Saat lama kelamaan digoyang, akan nampak serbuk-serbuk halus berwarna agak kekuning-kuningan. Rahmat bilang, itu yang disebut sebagai emas halus.
“Serbuk-serbuk halus yang berwarna kekuning-kuningan ini kemudian yang dikumpulkan sampai banyak agar bisa dijual. Tapi, sebelum dijual, kita harus memanaskan emas itu agar kotoran yang menempel di serbuk emas hilang,” kata Rahmat Karim kepada Mongabay, Juli lalu.
Apa yang dilakukan Rahmat Karim, itu disebut sebagai aktivitas pertambangan yang dilakukan secara tradisional. Katanya, model pertambangan itu dilakukan sejak tahun 1990-an di desanya, dan masih banyak yang tetap melakukannya hingga kini. Ia bilang, sekali dirinya menggunakan air raksa atau merkuri untuk mempercepat pengelolaan.
Setiap hari, dirinya bersama saudaranya bisa mendapatkan emas dengan berat mencapai 1 sampai 2 gram. Dalam satu 1 gram, harga biasanya dibeli sebesar Rp. 600 ribu – Rp. 650 ribu (tergantung pembeli). Setiap pekan, emas yang didapatkannya baru bisa dijual. Usai dijual, semua hasil akan dibagi bersama saudaranya.
“Bertambang emas, sudah dari dulu saya lakukan. Kita hidup sampai hari ini karena tambang ini. Anak saya sudah ada dua orang yang berhasil menempuh pendidikan dengan hasil bertambang emas ini,” Jelas Rahmat
Menjadi penambang, merupakan pekerjaan satu-satunya Rahmat. Tidak pernah menempuh pendidikan menjadi salah satu penyebab utama, ia harus menjadi profesi itu. Meski mengetahui dampaknya, Rahmat tak memiliki pilihan lain, selain harus menjadi penambang emas dengan mempertaruhkan nyawanya. Pasalnya, bertambang menjadi sumber utama penghasilan keluarga.
Rahmat mengaku, dirinya pernah menjadi petani. Dahulu, Ia sering menanam buah-buahan dan bahan-bahan dapur yang bisa dijual di pasar. Namun, karena kebutuhan keluarga yang semakin hari mulai meningkatkan, dan anak-anaknya mulai menempuh pendidikan, akhirnya bertambang menjadi pilihan.
Ia bilang, jika bertani, harus membutuhkan waktu sampai berbulan-bulan untuk mendapatkan hasilnya. Sementara, jika bertambang emas, hanya bisa membutuhkan beberapa hari saja, ia bersama keluarga bisa makan enak dan bisa membiayai semua kebutuhan rumah tangga, termasuk biaya pendidikan anak-anaknya.
“Kalau saya tidak bertambang, anak dan istri saya mau makan apa?. Hanya ini pekerjaan yang saya bisa lakukan. Rata-rata, masyarakat desa Karya Baru juga memiliki nasib yang sama dengan saya,” ujarnya
Hal serupa juga dirasakan oleh Ratna Dunggio, salah satu Warga Desa Karya Baru yang memilih berdagang di wilayah pertambangan ilegal itu. Sejak tambang itu ada, Ratna sudah mulai berjualan hingga sekarang. Ia mengaku, dengan adanya tambang, ekonomi keluarganya sangat terbantuhkan. Ia bisa mendapatkan ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah dalam sehari berjualan.
“Jualan saya ini hanya makanan, minuman, dan rokok-rokok. Ada juga beberapa kebutuhan rumah tangga yang saya jual di sini. Alhamdulillah, jualan saya ini sangat laku tiap hari, banyak yang membeli,” kata Ratna Dunggio kepada Mongabay, Juli lalu
Ratna bilang, warga Desa Karya Baru, sudah sangat ketergantungan dengan pertambangan ini. Bertambang, menjadi salah satu pekerjaan paling utama untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Katanya, sudah banyak ekonomi warga di Desanya yang membaik, akibat adanya pertambangan. Termasuk, dirinya yang hanya menjadi pedagang di lokasi pertambang.
Di lokasi pertambang itu, laki-laki bekerja sebagai penambang, sementara perempuan kerap menjadi pedagang, atau di pekerjaan menjadi tukang masak bagi para penambang. Semua, kata Ratna, mendapatkan kedudukan dan keuntungan yang sama sesuatu dengan kemampuan. Hanya orang yang malas, yang tidak bisa mendapatkan uang di lokasi tambang.
Namun, dengan adanya isu penertiban dan penutupan di lokasi pertambang karena masih berstatus ilegal, Ratna sangat khawatir. Kekhawatirannya itu karena takut akan kehilangan pekerjaan yang sudah puluhan tahun ia geluti. Apalagi, katanya, sudah ada yang ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi karena terbukti melakukan pertamanan di desanya.
“Semua warga disini sangat takut terlibat dengan hukum, karena mayoritas tidak memiliki pendidikan yang memadai. Tapi, semua warga harus bertambang di sini, karena memang tidak ada pekerjaan lain. Kami kerja di mana kalau tambang ini ditutup,” tanya Ratna
Bulan Juni lalu, memang ada sembilan orang pelaku yang berhasil diamankan Polisi, karena menggunakan alat berat di lokasi pertambang hingga masuk dalam kawasan konservasi Cagar Alam Panua. 8 orang diantaranya sebagai pelaku utama dan satunya merupakan operator alat berat Excavator. Sembilan orang itu diserahkan ke Polres Pohuwato untuk dilakukan penyidikan dan penindakan hukum.
Sembilan orang yang berhasil diamankan itu berinisial AL, HM, AJ, ALE, GS, ADL, JL, JAL dan ES. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan pasal 40 ayat 1 juncto dan pasal 19 ayat 1 UU nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, serta terancam hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun. Pasalnya, sudah ada sekitar 13 hektar kawasan Cagar Alam Panua yang dirambah aktivitas terlarang tersebut.
Bukan hanya itu, pada bulan Mei lalu juga, Dit Reskrim Polda Gorontalo berhasil menangkap tersangka atas nama Ayub yang sudah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) karena terbukti melakukan penambangan emas tanpa izin di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato.
Dilema
Sebenarnya, pertambangan ilegal yang ada di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato sudah menjadi perhatian publik. Bahkan, Bupati Pohuwato, Saipul Mbuinga pernah membuat surat untuk melarang warga sekitar melakukan aktivitas terlarang tersebut. Namun, aktivitas itu masih berjalan hingga kini. Pemerintah terkesan sangat dilema untuk melakukan tindakan dan mengambil keputusan.
Sumitro Monoarfa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pohuwato mengatakan, pemerintah sangat berkomitmen untuk menjaga aktivitas yang mencoba merusakan lingkungan di wilayah. Namun, katanya, kalau bicara pertambangan rakyat, pihaknya harus membutuhkan masukkan dari berbagai pihak dalam pengambilan keputusan. Apalagi, alasan warga menambang, karena masalah ekonomi.
Sumitro mengetahui, aktivitas pertambangan ilegal di Kecamatan Dengilo masih beraktivitas hingga kini, meski sudah ada larangan dari Pemerintah Daerah. Ia jua mengaku, aktivitas pertambangan itu sudah merusakan lingkungan dan mengancam lahan-lahan pertanian seperti sawah yang produktif di wilayah itu. Tapi, katanya, pihaknya sangat dilema untuk mengambil keputusan dan tindakan.
“Kita bisa untuk melakukan tindakan di pertambangan ilegal di Dengilo. Tapi, bagaimana kondisi masyarakat sekitar jika kehilangan pekerjaan. Karena, salah satu pekerjaan mereka adalah hanya bertambang. Kita sangat dilema,” Sumitro Monoarfa kepada Mongabay, Juli lalu
Jailani, dari UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah III Pohuwato juga merasakan hal yang sama. Pihaknya yang mengawasi Hutan Produksi Konversi tidak bisa berbuat apa-apa jika wilayahnya sudah tergerus pertambangan ilegal. Katanya, perlu ada ruang bersama untuk membahas penyelesaian permasalah di Pohuwato, serta ekonomi warga sekitar harus menjadi pertimbangan utama.
Jailani mengaku, saat mengambil tindakan, pihaknya sering memikirkan resiko kepada warga sekitar. Katanya, sudah puluhan tahun, warga sekitar yang bergantungan hidup di lokasi pertambangan ini. Katanya, perlu ada kajian secara komprehensif yang harus dilakukan sebelum mengambil tindakan penutupan aktivitas terlarang tersebut.
“Warga bertambang itu karena persoalan ekonomi. Kita juga sangat dilemah soal itu, karena sudah menyangkut masalah perut. Jika lokasi itu di tutup, apakah pemerintah menyediakan pekerjaan kepada mereka? Itu pertanyaan yang muncul dari warga penambang,” kata Jailani kepada Mongabay, Juli lalu.
Arief Abbas, Antropolog dan Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo mengatakan, soal pertambanga ilagal yang berada di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, tak bisa dipandang hanya dari satu aspek bidang keilmuannya saja, tapi harus secara keseluruhan. Misalnya, dari aspek ekonomi dan sosial kemasyarakat yang ada di sekitar lokasi pertambangan ilegal itu.
Menurut Arief, dalam ilmu antropologi, pertambang rakyat sudah menjadi salah satu kultur sistem pertanahan baru untuk masyarakat. Ekosistem pertambangan rakyat, tidak hanya menghidupi penambang saja, tapi juga ikut menghidupi pedagang, ojek, dan profesi lainnya yang berada di sekitaran lokasi penambang. Arief bilang, kalau bicara pertambang rakyat, sperfektifnya harus secara keseluruhan.
Sederhananya, kata Arief, penambang adalah salah satu profesi yang sangat berdampak secara langsung dari hasil dari aktivitas pertambang. Sementara, pedagang, ojek, dan profesi lainnya yang berada di sekitaran lokasi yang mendapatkan dampak tidak langsung dari aktivitas itu. Arief bilang, sejatinya ekosistem pertambangan rakyat sangat berkontribusi besar untuk membentuk peradaban dan ketahanan masyarakat sekitar.
“Ekosistem pertambangan rakyat membentuk kultur yang sangat ketergantungan dari berbagai aspek kehidupan. Jika pertambangan ini ditutup, maka ekosistem yang ada juga akan dipengaruhi, bahkan hilang. Misalnya, orang yang menjadi pedagang, ojek, dan profesi lainnya akan kehilangan pekerjaanya,” kata Arief Abbas kepada Mongabay, September lalu.
Arief menjelaskan, sebenarnya para penambang sangat mengetahui resiko saat mereka menjalankan profesinya. Tapi, ekonomi yang hanya menjadi pertimbangan utama mereka, sementara keselamatan terkesan diabaikan. Katanya, banyak penambang yang perkenomiannya sangat terbantukan dari hasil pertambanga, bahkan banyak anak-anak mereka yang menempuh pendidikan di luar daerah hingga sampai magister dan doktor.
Katanya, ketergantungan masyarakat dengan tambang, sudah sangat melekat dan sulit untuk dipisahkan. Meski mereka tahu ada ancaman kematian yang akan menghantui saat melakukan aktivitas itu, mereka sangat tidak peduli. Ia bilang, pemerintah tidak bisa langsung mengambil tindakan penutupan dan penertiban, tapi harus mengintervensi mereka saja dalam segi pengelolaan. Pemerintah juga harus memahami konteks di lokasi pertambangan rakyat.
“Meski masyarakat mengklaim itu adalah lokasi pertambangan ilegal, tapi buat masyarakat itu lokasi yang legal untuk mereka bertambang. Sehingga, pemerintah hanya perlu intervensi pengelolaan saja, tidak bisa menutup lokasi itu,” jelasnya
Masyarakat Harus Dibantu
Muhammad Jufri Hard, Penggiat Lingkungan Gorontalo mengatakan, seharusnya Pemerintah Kabupaten Pohuwato harus membantu para penambang di Desa Karya Baru, Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato dalam mendapatkan izin pertambangan rakyat (IPR). Pasalnya, pemerintah pusat sudah memberikan izin wilayah pertambangan rakyat (WPR) sejak awal tahun 2022 di lokasi tersebut.
Jufri menjelaskan, pemerintah harus secepatnya untuk melakukan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk menyesuaikan dengan lokasi yang sudah memiliki WPR. Katanya, jika hal tersebut tidak dilakukan, pemerintah akan terkesan hanya berpihak kepada perusahaan, tapi tidak kepada rakyat.
“Kalau perusahaan, pemerintah secepat-cepatnya melakukan revisi RTRW, tapi kalau masyarakat yang meminta, pemerintah seperti slow respon. Ini harus menjadi perhatian, pemerintah jangan pilih kasih,” kata Muhammad Jufri Hard, kepada Mongabay, September lalu.
Selanjutnya, kata Jufri, jika RTRW dan IPR sudah diberikan, pemerintah daerah juga harus masyarakat dalam penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) serta mengintervensi pengelolaan pertambangan sesuai yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 atas Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ia bilang, intervensi pengelolaan pertambangan yang dilakukan yaitu pengelolaan modern sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik dan benar, tanpa alat berat. Katanya, penggunaan alat berat di WPR dan bagi pemilik IPR sangat tidak diperbolehkan, karena sangat berdampak kepada lingkungan sekitar. Selain itu, pemerintah tidak memperbolehkan penggunaan merkuri dalam lokasi tambang rakyat tersebut.
Katanya, pemerintah hanya bisa mengizinkan penggunaan sianida yang dibatasi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Ia bilang, jika tidak diintervensi secara detail seperti itu, maka akan berdampak buruk terhadap masyarakat sekitar. Katanya, itu adalah salah satu cara untuk membantu masyarakat, tanpa menutup pertambangan ilegal itu.
“Hal itu pernah dilakukan oleh United Nations Development Program (UNDP) yang mengintervensi pengelolaan di salah satu lokasi WRP yang berada di Gorontalo Utara. Pemerintah Pohuwato bisa mengambil contoh itu,” jelasnya
Sumitro Monoarfa, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pohuwato mengaku, pihaknya memang rencana akan melakukan revisi RTRW untuk menyesuaikan dengan WRP yang sudah diterbitkan oleh kementerian awal 2022. Kataya, saat ini Pemerintah Kabupaten Pohuwato sedang mengkonsultasi permasalahan ini kepada ahli-ahli pertambangan yang berbagai pihak yang terlihat secara langsung dalam pertambangan rakyat.
Sumitro pastikan, RTRW Kabupaten Pohuwato akan berubah untuk memberikan IPR kepada penambang-penambang yang ada di lokasi pertambangan. Ia bilang, pemerintah tidak akan pernah tutup mata dengan masyarakat yang sangat bergantungkan hidup dengan pertambangan itu. Hanya saja, harus membutuhkan waktu minimal 1 tahun untuk mengubah , RTRW Kabupaten Pohuwato.
“Semoga rencana untuk merubah RTRW ini bisa cepat dilakukan. Kita juga memikirkan masyarakat yang ada di lokasi itu, tapi kita tetap akan menindak penambang yang menggunakan alat berat,” pungkasnya
Pertambangan Rakyat Bukan Solusi
Yuyun Ismawati, Senior Advisor dan Co-founder Nexus3 Foundation mengatakan, pertambangan rakyat yang dilegalisasi berdasarkan wilayah pertambangan rakyat (WPR) oleh pemerintah pusat dan daerah ternyata tidak menjadi solusi utama dalam meminimalisir kerusakan lingkungan dan ancaman kesehatan kepada penambang. Katanya, baik menggunakan merkuri atau sianida, penambang tetap akan terancam kesehatannya.
Menurutnya, penggunaan sianida untuk pengolahan emas tidak sepenuhnya bisa dilakukan oleh masyarakat penambang secara baik dan sesuai protokol. Sejak tahun 2010 ia melakukan penelitian dan temuannya mengungkapkan bahwa masyarakat penambang kerap mengabaikan aspek-aspek keselamatan kerja baik bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat sekitar lokasi pengolahan.
“Saat melakukan kegiatan penambangan, para penambang kerap tanpa perlindungan apapun, baik melakukan pengolahan emas menggunakan sianida ataupun mercury. Kondisi ini dapat menimbulkan resiko pencemaran udara, tanah dan air,” kata Yuyun Ismawati
Yuyun bilang, masalah lingkungan menjadi masalah yang luar biasa besar jika masyarakat sekitar lingkar tambang maupun penambang tidak mengetahui bahaya dari merkuri dan sianida bagi lingkungan. Katanya, merkuri dan sianida merupakan bahan yang sama-sama berbahaya bagi kesehatan, hanya dampak yang dirasakan berbeda di waktu saja.
Yuyun meyakini, walaupun pemerintah mengintervensi pengelolaan emas di pertambangan rakyat dengan menggunakan sianida sesuai dengan protokol kesehatan, tapi tetap akan ada celah kerusakan lingkungan yang terjadi. Ia bilang, pasti ada penambang yang tidak menggunakan protokol kesehatan, dan pasti sianida bisa mencemari air di lokasi pertambangan.
Walaupun demikian, katanya, pasti tidak semua penambang di lokasi pertambangan rakyat, menggunakan sianida. Pengolahan emas dengan menggunakan mercury pasti tetap berjalan, karena tersedia di pasaran dalam berbagai ukuran dan kemasan, dibanding dengan sianida. Menurutnya, hal tersebut yang harus diperhatikan pemerintah jika benar-benar ingin menyelamatkan masyarakatnya dari ancaman kesehatan dan kerusakan lingkungan.
Menurut hukum Indonesia, merkuri masuk dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang memerlukan izin untuk impor dan diizinkan untuk digunakan untuk tujuan yang dibatasi. Pemerintah Indonesia sudah berkomitmen untuk mewujudkan Indonesia Bebas Merkuri 2030 dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM).
Perpres tersebut merupakan implementasi Konvensi Minamata tahun 2017 yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri antropogenik. Yuyun bilang, komitmen ini harusnya dijaga dan dilaksanakan oleh seluruh daerah termasuk Pemerintah Kabupaten Pohuwato untuk menanggapi pertambanga ilegal di wilayahnya.
Yuyun Ismawati mengaku beberapa kali melakukan penelitian merkuri di Indonesia. Ia pernah mengumpulkan sampel di sejumlah wilayah Indonesia, diantaranya: Petelu di Nusa Tenggara Barat, Minahasa Utara di Sulawesi Utara, Mandor di Kalimantan Barat, Sekotong di Lombok Barat, Sukabumi, dan Garut. Sampel yang diambilnya adalah, merkuri di air, tanah, sedimen sungai, udara, ikan, beras, rambut, kulit dan darah.
Hasilnya, 70 persen masyarakat yang berada di lingkar tambang, rambutnya mengandung merkuri di atas 1 ppm masuk dalam kategori tinggi, karena melebihi angka aman sesuai standar World Health Organization (WHO). Sementara, untuk merkuri di air, tanah, sedimen sungai, udara, ikan, beras, kulit dan darah juga sudah berada di atas standar.
Katanya, saat ini Indonesia masuk dalam peringkat ke 2 yang kelompok populasinya yang memiliki merkuri tinggi. Sayangnya, Indonesia tidak memiliki sistem warning atau mekanisme informasi kepada publik soal kandungan merkuri yang sudah mencemari wilayah lingkar tambang.
“Sebetulnya, merkuri yang sudah mencemari lingkungan di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Ini akan berdampak besar kepada kesehatan dan pertumbuhan manusia,” katanya
Yuyu bilang, merkuri dapat menyebabkan penyakit kronis dan akut. Penyakit kronis itu yaitu; disfungsi hati, penurunan leukosit, kelumpuhan anggota gerak, mati rasa, dan tremor (Parkinson disease). Tremor merupakan keadaan tangan dan kaki selalu gemetar, selain itu otot wajah, dan bibir sering bergerak dengan tidak sadar.
Selain itu, merkuri juga dapat menurunkan gairah untuk aktivitas, sulit tidur, emosi kadang memuncak, daya ingat kurang, kram pada saat kondisi cuaca dingin, dan sering merasa cemas. Sedangkan penyakit akut yang timbul adalah keracunan akut, diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit mata, vertigo, keguguran kandungan, dan penyakit kulit.
Merkuri akan menyerang sistem saraf pusat, sehingganya para penambang akan mengalami kerusakan saraf pusat, dan mengalami nyeri pada lengan dan paha, kadang merasa lemah, sulit berdiri, gerakan lambat sulit bicara, mengalami gangguan mental, sakit kepala yang menusuk, serta hipersalivasi.
Bukan hanya itu, merkuri sangat berpengaruh secara signifikan terhadap urin seorang penambang emas. Artinya, para penambang berpotensi tidak mendapatkan keturunan, atau keturunannya mengalami cacat saat lahir jika terpapar merkuri pada konsentrasi yang tinggi.
Penyebaran merkuri bisa melalui perairan, dan merkuri akan mudah masuk ke dalam plankton dan berpindah ke biota air lainnya, bahkan bisa ke lahan pertanian berupa sawah yang menjadi air tersebut sebagai sumber irigasi. Yuyun bilang, manusia dapat terakumulasi merkuri melalui konsumsi makanan yang tercemar seperti dari ikan dan padi.
Selain masalah kesehatan, kata Yuyun, pertambangan rakyat hanya menjadi terminologi yang pakai untuk menutupi cukong-cukong yang menjadi pemodal dalam melakukan aktivitas tersebut. Rakyat, katanya, hanya digunakan untuk menjadi tameng agar dapat menguasai sepenuhnya wilayah pertambangan tersebut. Katanya, hal itu berdasarkan penelitiannya yang dilakukan sejak tahun 2010 hingga sekarang.
“Sebenarnya, itu bukan tambang rakyat, tapi itu tambang untuk cukong-cukong yang menjadi pemodal utama dalam aktivitas itu. Cukong-cukong itu berasal dari orang-orang yang memiliki kekuasaan di wilayah itu. Rakyat hanya menjadi pekerja dan yang paling berdampak kesehatannya,” kata Yuyun Ismawati
Olehnya, kata Yuyun, pertambangan rakyat atau biasa disebut sebagai Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) pada dasarnya pasti menimbulkan dampak lingkungan. Penambangan emas skala kecil terkesan menguntungkan bagi masyarakat, akan tetapi memiliki biaya yang lebih tinggi daripada harga jualnya, baik dari segi kesehatan, kerusakan lingkungan maupun dampak sosial. Bila pertambangan liar sampai melibatkan ribuan orang, aparat pun kesulitan menertibkan karena telah menjadi kekuatan yang besar.
Menurutnya, alternatif terbaik bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan adalah pengalihan mata pencaharian dari pertambangan ke bidang lain. Katanya, diperlukan edukasi dan pembinaan yang secara baik dan berkelanjutan untuk menemukan cara agar masyarakat di lingkar tambang bisa beralih ke bidang lain.
“Upaya penertiban baik lewat operasi maupun razia pendatang itu tidak cukup, karena hanya berhasil dalam jangka pendek. Oleh karena itu selama lebih dari sepuluh tahun isu ini tetap bertahan, bahkan meluas,” ucapnya
Selanjutnya, diperlukan sinergi bukan hanya dari tingkat Pemda, segala sektor, baik dari Pemerintah Pusat, Kementerian, hingga departemen-departemennya. Katanya, solusi berupa lokalisasi dan legalisasi pertambangan harus dilakukan dengan hati-hati agar tak bertentangan dengan undang-undang lain, khususnya mengenai kehutanan dan lingkungan hidup, serta kesehatan.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments