Kemarau Datang, Karhutla Menghadang

Ilustrasi kebakaran hutan. (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi kebakaran hutan. (Foto: Pixabay.com)
  • Musim kemarau datang.  Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti Kalimantan dan Sumatera, bahkan di Jawa, dan daerah lain. Kabut asap pun mulai tebal dan kualitas udara buruk dan berbahaya bagi kesehatan. Bahkan, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, sudah menyetop sekolah tatap muka, beralih ke kelas daring sejak pekan lalu.
  • Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, sejak awal Agustus hingga pertengahan Agustus, karhutla mulai mendominasi di Indonesia.
  • Data BNPB per 7-13 Agustus, sudah 38 kejadian bencana, 21,61%  adalah Karhutla. Sisanya, bencana kekeringan, banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem.
  • Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan,  ElNino 2023 diperkirakan lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah, harus  benar-benar serius merestorasimelindungi dan memulihkan ekosistem gambut guna mencegah karhutla.

Kejadian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) mulai terjadi di beberapa wilayah Indonesia akibat dampak dari adanya fenomena El Nino atau musim kemarau. Misalnya, ada sekitar 7 hektar hutan dan lahan terbakar di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan pada Rabu 9 Agustus lalu. Kondisi yang sama juga terjadi di Bukit Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada 13 Agustus lalu. Ada sekitar 3 hektar hutan dan lahan terbakar di lokasi itu.

Tak hanya itu, Karhutla juga terjadi di Wonogiri, Sukoharjo, Grobogan, di Jawa Tengah, serta beberapa Provinsi di Pulau Kalimantan, hingga sejumlah daerah di wilayah Indonesia barat. Sejak akhir Juli lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) menang sudah memprediksi musim kemarau diprediksi akan terjadi pada bulan Agustus dan September 2023 dengan dengan spesifikasi intensitas lemah, sampai moderat.

Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB mengatakan, sejak awal bulan ini hingga pertengahan Agustus, peristiwa Karhutla menjadi bencana yang mendominasi di Indonesia. Data BNPB per 7-13 Agustus menyebut, sudah ada 38 kejadian bencana yang terjadi di Indonesia, dan 21,61 persen merupakan bencana Karhutla. Sisanya, bencana kekeringan, tanah longsor, cuaca ekstrim, dan banjir.

“Kalau Karhutla di wilayah Pulau Kalimantan dan Sumatera itu mayoritas berada di wilayah gambut. Sementara, Karhutla di wilayah Pulau Jawa, Bali, NTT serta NTB itu berada di lahan mineral atau disemak-semak,” kata Abdul Muhari di acara Disaster Briefing BNPB pada 14 Agustus lalu.

BNPB mencatat, Data Karhutla periode bulan Juni-Juli menyebut, Kabupaten yang paling banyak bencana Karhutla adalah Aceh Besar dengan 16 kejadian. Sedangkan, kabupaten berikutnya adalah Klaten (11 kejadian), Kota Palangkaraya (8 kejadian), Belitung Timur (7 Kejadian), dan Bener Meriah (7 kejadian). Sementara, data Karhutla tahun 2023 per 13 Agustus menyebut, Provinsi Aceh menjadi wilayah yang mengalami Karhutla terbanyak di Indonesia dengan 40 kejadian.

“Sebenarnya, sangat banyak kejadian Karhutla di Aceh yang tidak dilaporkan secara resmi. Misalnya, Karhutla yang seluas 1 hektar itu biasanya tidak tercatat,” ujarnya

Meskipun penyebab Karhutla belum diketahui, Abdul Muhari bersyukur, tidak ada korban jiwa akibat adanya bencana tersebut, dan api tidak merambat ke pemukiman warga. Ia bilang, ada perubahan tren Karhutla di beberapa wilayah di Indonesia. Misalnya, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, yang kerap terjadi Karhutla, kini bergeser ke wilayah lain.

“Enam provinsi itu menjadi prioritas penanganan Karhutla. Tapi peristiwa Karhutla di enam provinsi itu tidak terlalu parah dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Melainkan, Karhutla bergeser ke wilayah provinsi tetangganya,” jelasnya

Misalnya, Kepulauan Bangka Belitung dalam kurung waktu satu bulan, sangat sering terjadi Karhutla. Karhutla juga kini kerap terjadi di beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali hingga NTT serta NTB. Selain, frekuensi Karhutla di wilayah Kalimantan Timur dan Kalimantan Timur juga mulai merangkak naik.

Data BNPB soal Analisis curah hutan melalui citra satelit himawari menyebut, akumulasi curah hujan harian di pulau Sumatera dalam satu minggu terakhir lebih banyak di bagian utara. Sedangkan, di pulau Kalimantan sejak tanggal 7-8 Agustus terjadi hujan secara menyeluruh yang dominan di bagian utara.

Adapun di Pulau Sulawesi, akumulasi curah hujan harian yang terjadi di bagian tengah, sedangkan di pulau papua, hanya bagian utara hingga tengah. Untuk pulau Jawa, hanya sebagian kecil Jawa Barat dan Banten yang mengalami hujan. Secara keseluruhan, akumulasi curah hujan harian yang terjadi di wilayah Indonesia adalah rendah-sedang.

Meski begitu, rata-rata waktu terjadinya Karhutla hingga proses pemasangan hanya memiliki waktu sekitar 3 jam sampai 3 hari. Ia bilang, perubahan tren Karhutla ini harus diwaspadai serta diketahui dan diperhatikan semua pemerinta daerah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), agar segera melakukan upaya-upaya mitigasi.

Saat ini, BNPB sedang memaksimalkan dukungan logistik dan perlengkapan pemadaman darat berupa pompa 273 unit, selang 819 unit, nozzle 312 unit, konektor 312 unit, APD 750 paket, dan flexible tank 39 serta sarana prasarana operasi udara berupa helikopter patroli dan water bombing, serta integrasi aplikasi pemantauan karhutla. Selain itu, sekarang sudah 31 unit helikopter yang tersebar di enam provinsi prioritas.

Walaupun Indonesia sudah masuk musim kemarau dan bencana yang mendominasi adalah Karhutla, tapi beberapa wilayah di Indonesia mengalami banjir atau bencana hidrometeorologi basah. Kondisi itu disebabkan karena wilayah Indonesia dipengaruhi oleh dua Samudra dan topografinya yang bergunung di khatulistiwa. Meski begitu, BMKG memprediksi musim kemarau pada tahun ini diperkirakan lebih kering dibandingkan tiga tahun sebelumnya.

“Musim hujan di Indonesia, bukan musim hujan tanpa Karhutla, dan musim kemarau di Indonesia, bukan musim tanpa banjir. Selalu ada fenomena yang berlawanan akan terjadi di Indonesia, bahkan terjadi di satu provinsi saja,” katanya

Ilustrasi kebakaran hutan. (Foto: Pixabay.com)
Ilustrasi kebakaran hutan. (Foto: Pixabay.com)

Data BMKG menyebut, akhir Juli lalu sudah ada sekitar 63 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim kemarau meliputi; Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. Sementara, wilayah akan mengalami curah hujan rendah hingga Oktober mendatang mencakup sebagian besar wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Selain itu, wilayah yang mengalami hari tanpa hujan antara 21-60 hari terjadi akan terjadi di sebagian wilayah Jawa, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Bahkan, wilayah Bali, NTB dan NTT disebutkan sudah masuk dalam krisis, karena sudah 60 hari tidak turun hujan.

Adapun prediksi curah hujan pada bulan Oktober mendatang masih dalam kategori rendah-menengah dan akan terjadi di sebagian Sumatera Utara, sebagian Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DIY.

Kondisi yang sama juga akan terjadi di Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, sebagian Papua Barat dan sebagian Papua.

Sementara, pada November mendatang, curah hujan diprediksi masih kategori rendah-menengah dan akan terjadi di sebagian Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan,

Hal serupa juga akan terjadi di wilayah Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, sebagian Papua Barat hingga sebagian Papua.

Sedangkan, prediksi curah hujan pada Desember 2023 dan Januari 2024 akan berada pada kategori menengah-tinggi, dan akan terjadi di sebagian Aceh, sebagian Sumatera Utara, sebagian Riau, sebagian Lampung, sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, sebagian Maluku Utara, sebagian Maluku dan sebagian Papua Barat.

Mengapa Karhutla terus Berulang?

Karhutla memang sudah menjadi salah bencana yang kerap terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Pada 2015 merupakan tahun terparah Karhutla di dalam hampir dua dekade, dengan apinya yang hampir sebulan menghasilkan karbon harian yang lebih tinggi dari yang dikeluarkan Amerika Serikat. Pasalnya, ada sekitar 2.6 juta hektar lahan yang terbakar dan menjadi salah satu bencana ekologi terbesar di abad ke-21.

Bahkan, menurut data Greenpeace, kabut apa dari Karhutla saat itu mengakibatkan penyakit pernapasan dan lainnya terhadap ratusan ribu orang di Asia Tenggara, serta memicu kerugian sebesar US$16 miliar di sektor kehutanan, agrikultur, pariwisata dan lain-lain. Pada tahun 2019, ada seluas 1.639.500 hektar yang kembali terbakar.

Berdasarkan analisis Greenpeace Southeast Asia-Indonesia yang dibuat pada tahun 2020 menyebutkan, dari 2015 hingga 2019, ada sekitar 4.440.500 hektar telah terbakar di Indonesia. Lahan seluas 789.600 hektar atau 18 persen dari 4.4 juta hektar terbakar berulang kali. Ironisnya, ada sekitar 27 persen lahan yang terbakar berlokasi di konsesi perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas.

Menurut pasal 49 UU 1999 tentang kehutanan, pemegang bertanggung jawab terhadap kebakaran hutan di area mereka. Konsep ini, yang dinamakan strict liability atau tanggung jawab mutlak, diperkuat oleh pasal 88 dari UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam regulasi itu menegaskan, apabila sebuah konsesi perusahaan terbakar, maka perusahaan itu dapat dihukum dengan beragam sanksi, seperti denda, pencabutan izin, hingga gugatan perdata dan pidana. Pemerintah Indonesia berjanji akan menerapkan langkah-langkah akuntabilitas yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab menjaga lahan dibawa manajemen mereka dari kebakaran.

Sayangnya, Greenpeace menemukan, perusahaan sawit dan bubur kertas dengan luas lahan terbakar terbesar sejak 2015 hingga 2019 secara umum tidak mendapatkan hukuman yang serius. Selain itu, dengan disahkannya UU Cipta Kerja atau yang sering disebut Omnibus Law juga menyebabkan hilangnya perlindungan lingkungan demi investasi.

Artinya, Omnibus Law memperlemah sebuah pasal yang mengatakan perusahaan haruslah bertanggung jawab secara mutlak atas kebakaran yang terjadi di konsesinya, terlepas dari sumber api tersebut. Pasalnya, UU itu disusun dengan melibatkan asosiasi pebisnis kelapa sawit dan bubur kertas, yang mana dua-duanya telah lama mendorong pelemahan upaya pencegahan kebakaran, terutama kebijakan perlindungan gambut.

Greenpeace menganalisis, dengan disahkannya UU Cipta Kerja, sektor kelapa sawit dan bubur kertas akan dapat terlepas dari tanggung jawab mereka terhadap kerusakan yang sudah perusahaan-perusahaan lakukan di gambut Indonesia, serta akan melindungi mereka dari tanggung jawab di masa yang akan datang terhadap kerusakan lingkungan dan kebakaran di konsesi mereka.

Hal tersebut disinyalir akan mendorong perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas untuk membuka lahan dengan cara membakar, serta akan kembali memperparah kondisi kabut asap saat musim kemarau tahun ini. Kabut asap itu ditakutkan menyebabkan krisis kesehatan publik di Indonesia dan seluruh Asia Tenggara yang menyamai, atau bahkan melebihi keparahan krisis di 2015 dan 2019.

“Kami sedang memantau apakah wilayah perusahaan-perusahaan yang pernah terbakar pada 2015 dan 2019 itu, apakah terbakar kembali pada tahun 2023 ini,” kata Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia kepada Mongabay, pada 17 Agustus lalu

Saat ini, Belgis sedang berada di wilayah Kalimantan Barat untuk membantu warga dari peristiwa Karhutla yang terjadi di beberapa titik di daerah itu. Ia bilang, ada informasi yang masuk bahwa beberapa titik lahan di wilayah konsesi perusahaan kelapa sawit mulai terbakar. Meski begitu, pihaknya sedang melakukan proses pengecekan langsung menggunakancitra satelit apakan hal benar.

Belgis bilang, kebakaran berulang di dalam konsesi perusahaan sawit dan bubur kertas berpotensi terjadi lagi, apalagi El Nino 2023 diperkirakan lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Katanya, pemerintah benar-benar harus segera melakukan restorasi gambut atau melindungi dan memulihkan ekosistem gambut untuk mencegah dampak buruk yang akan terjadi.

Gambut merupakan ekosistem esensial di Indonesia karena memegang peranan penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, mengatur tata air di sepanjang lanskap dan meminimalisir resiko banjir, dan mitigasi perubahan iklim. Gambut Indonesia menyimpan kandungan karbon yang banyak sekali di dalam tanah dan biomassa, terutama dalam keadaan utuh, dengan rata-rata 12 kali lebih banyak kandungan karbon per hektar daripada hutan hujan tropis di tanah mineral di pulau-pulau Asia.

Sejak Karhutla pada 2015, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi dan memulihkan ekosistem gambutnya dengan target yang ambisius seluas 2 juta hektar, dengan tenggat waktunya pada 2020 lalu. Langka itu diambil untuk meminimalisir penyebaran dan intensitas kebakaran gambut serta mengatasi krisis iklim dalam waktu bersamaan dengan cara mencegah emisi yang timbul dari kebakaran.

Saat tenggat waktu berakhir pada 2020 lalu, Pemerintah Indonesia mengklaim berhasil dalam melaksanakan program tersebut. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada akhir 2018, mereka telah memulihkan ekosistem gambut hingga lebih dari 1 juta hektar dari upaya sendiri, dan 3,47 juta hektar dari upaya perusahaan sawit dan bubur kertas.

Namun, berdasarkan temuan Greenpeace dalam laporan berjudul “Restorasi Hilang dalam Kabut Asap” yang dibuat pada 2021 menemukan, bahwa upaya Pemerintah Indonesia untuk melindungi dan memulihkan ekosistem gambut tidak efektif dalam mencegah mereka dari kebakaran. Pembukaan lahan gambut termasuk deforestasi dari ekspansi industri kelapa sawit dan bubur kertas masih terus berlanjut.

Tak hanya itu, Greenpeace menemukan, masih banyak konsesi dan perusahaan yang beroperasi di dalam Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terus merusak fungsi hidrologis gambut dengan mempertahankan dan memperpanjang kanal, menurunkan tinggi muka air, dan memperluas pembukaan lahan.

Bukan hanya itu, hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di tujuh provinsi yang diprioritaskan untuk direstorasi oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) memiliki status “kritis sedang” dan “kritis tinggi” karena penggunaan lahan untuk penanaman perkebunan kelapa sawit dan HTI, seperti untuk bubur kertas.

Meski sudah ada upaya restorasi, api terus membara di dalam KHG ini dan mendegradasi gambut lebih lanjut. Dari 2015 hingga 2019, terdapat kebakaran di 200 dari 520 KHG di tujuh provinsi yang diprioritaskan untuk direstorasi oleh BRG, dengan hampir 2 juta hektar gambut terdampak oleh kebakaran.

Meski dua pertiga dari KHG yang dianalisis ada di kondisi yang relatif baik, namun KHG ini berisiko mengalami kerusakan. Belgis bilang, kehadiran perkebunan kelapa sawit dan bubur kertas, serta terbitnya izin-izin baru di atas lahan gambut dan KHG, akan meningkatkan risiko kerusakan gambut dan hilangnya gambut. El Nino 2023 akan memperparah kondisi Karhutla.

Belgis menjelaskan, modifikasi cuaca bukan menjadi solusi yang efektif untuk menghadapi Karhutla, karena teknologi itu membutuhkan biaya yang cukup besar. Ia bilang, melindungi dan memulihkan ekosistem gambut serta melakukan reviu izin perusahaan sawit dan bubur kertas yang wilayah-wilayah berulang kali terbakar adalah solusi yang terbaik.

Menurutnya, apabila upaya rehabilitasi dan perlindungan gambut yang ketat tidak segera diimplementasikan dengan cepat, maka gambut-gambut ini mungkin akan segera rusak hingga level kritis, sampai ke titik di mana kerusakannya sudah tidak bisa pulih kembali.

“Tahun 2022 lalu, kami pernah melaporkan beberapa perusahaan ke Gakkum KLHK, karena ada beberapa titik di lokasi perusahaan-perusahaan itu masih terus terbakar. Namun, sampai hari ini belum ada tindakan dari Gakkum KLHK,” pungkasnya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.