Kebijakan Iklim Indonesia Dinilai Masih Rendah

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.
Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.
  • Kebijakan dan komitmen iklim Indonesia belum sejalan atau tak konsisten dengan Perjanjian Paris, yang ingin menjaga batas  suhu 1,5°C, bahkan rawan  menyebabkan peningkatan, bukan penurunan emisi.
  • Pada September tahun lalu, Indonesia meningkatkan komitmen nationally determined contributions  (NDC) tetapi tetap dinilai belum ambisius. Target NDC baru Indonesia dari 29% naik ke 31,89%, dengan dukungan internasional dari 41% ke 43,20%.
  • Laporan penilaian Climate Action Tracker (CAT) pada 2022, menyebutkan, target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient).
  • Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, kebijakan iklim Indonesia gagal menempatkan negara ini pada jalur pembangunan yang memanfaatkan potensi energi terbarukan besar. 

Bulan September lalu, Indonesia telah menyampaikan dokumen Enhanced Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan meningkatkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) hanya sekitar 2%. Dimana pada Enhanced NDC itu, Indonesia menargetkan penurunan emisi dengan upaya sendiri (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%.

Peningkatan target tersebut didasarkan kepada kebijakan-kebijakan nasional terakhir terkait perubahan iklim, sepert kebijakan sektoral terkait, antara lain Indonesia Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-sink 2030, percepatan penggunaan kendaraan listrik, kebijakan B40, peningkatan aksi di sektor limbah seperti pemanfaatan sludge IPAL, serta peningkatan target pada sektor pertanian dan industri.

Selain kebijakan sektoral itu, perkembangan kebijakan lainnya, seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 sebagai dasar penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon dalam mendukung pencapaian target NDC dan pengendalian emisi GRK dalam pembangunan nasional termasuk peran sub-nasional (provinsi dan kabupaten/kota) serta dunia usaha yang mendorong adanya peningkatan target tersebut.

Perkembangan terakhir dari adaptasi perubahan iklim seperti Global Goal on Adaptation serta kegiatan di tingkat tapak seperti Program Kampung Iklim juga menjadi bagian dari ENDC. Selain itu, kerangka transparansi, kebijakan penguatan fungsi Sistem Registri Nasional (SRN) sebagai carbon registry dan platform Satu Data GRK, keterkaitan dengan Pasal 6 Paris Agreement tentang mekanisme kerjasama, serta pengelolaan dana perubahan iklim melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, menjadi tambahan muatan di dalam ENDC.

Namun, Institute for Essential Services Reform (IESR) yang merupakan anggota dari Climate Action Tracker (CAT), konsorsium tiga think tank yang melakukan pemantauan dan penilaian terhadap kebijakan perubahan iklim di 39 negara dan Uni Eropa, menemukan bahwa kenaikan tipis target NDC Indonesia tersebut masih tidak mencukupi untuk mencegah kenaikan suhu global 1,5°C.

Climate Action Tracker adalah sebuah inisiatif yang melakukan analisis ilmiah independen yang melacak aksi iklim negara dan mengukurnya terhadap tujuan Paris Agreement yang disepakati secara global untuk menahan pemanasan jauh di bawah 2°C, dan mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C. Anggota CAT terdiri dari Climate Analytics, New Climate Institute, dan Institute for Essential Services Reform (IESR) yang bergabung sebagai mitra sejak 2022.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR memandang seharusnya Indonesia dapat menetapkan target lebih ambisius lagi, terutama setelah dirilisnya Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyedian Tenaga Listrik. Ia bilang, Indonesia masih ragu-ragu menetapkan target penurunan emisi yang ambisius dan hanya bermain di zona aman.

Fabby bilang, target penurunan yang ditetapkan dalam Enhanced NDC (E-NDC) sangat mudah dicapai karena referensinya adalah proyeksi peningkatan emisi business as usual (BAU) di 2030. Target penurunan emisi seharusnya berdasarkan tingkat emisi absolut berdasarkan tahun tertentu.

“Untuk selaras dengan ambisi 1,5°C, emisi dari sektor energi di 2030 harus setara dengan tingkat emisi dari sektor energi 2010,” kata Fabby Tumiwa peluncuran hasil penilaian CAT terhadap aksi dan kebijakan iklim Indonesia pada 6 Desember lalu.

Fabby menjelaskan, untuk mencapai penurunan emisi yang signifikan, Indonesia harus mencapai penurunan emisi land use, land-use change and forestry (LULUCF) yang substansial untuk sektor hutan dan lahan. Target bersyarat dan tidak bersyarat Indonesia sangat bergantung pada sektor kehutanan, yang menyumbang sekitar 60% dari upaya pengurangan emisi.

Apalagi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menerbitkan rencana operasional untuk mencapai emisi negatif bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada tahun 2030, dengan fokus pada pencegahan deforestasi, konservasi hutan alam, pengelolaan hutan lestari, dan meningkatkan penyerapan karbon dari lahan gambut dan bakau. Ia yakin, Indonesia bisa melakukan mitigasi yang lebih ambisius.

Tak hanya itu, untuk sektor energi, katanya, Indonesia mempunyai potensi energi terbarukan yang melimpah, bahkan hingga lebih dari 7 TW yang dapat memanfaatkannya menjadi sumber energi yang minim emisi. Pasalnya, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030, energi terbarukan dalam rencana ini mencapai 52% dari kapasitas yang direncanakan antara 2021-2030 dan ditetapkan mencapai 23% campuran pada tahun 2030.

Jika dibandingkan dengan RUPTL sebelumnya, perkiraan total pembangkitan dari energi terbarukan berkurang sebesar 22 TWh, sejalan dengan penurunan keseluruhan permintaan listrik pada tahun 2030. Tenaga air dan panas bumi juga telah dikurangi masing-masing sebesar 17 TWh dan 14 TWh, sementara energi terbarukan lainnya (terutama matahari dan angin) meningkat hampir 9 TWh pada tahun 2030 dalam RUPTL yang baru itu.

Padahal, berdasarkan data Dewan Energi Nasional (DEN), Indonesia memiliki potensi besar untuk tenaga air (94 GW), tenaga angin (61 GW), bioenergi (33 GW), panas bumi (29 GW), dan tenaga ombak (18 GW). ESDM memperkirakan potensi surya Indonesia sebesar 208 GW, sementara IESR memperkirakan potensi teknis surya hampir tiga kali lebih besar.

Sayangnya, kata Fabby, kebijakan iklim Indonesia gagal menempatkan negara ini pada jalur pembangunan yang menggunakan potensi energi terbarukan yang sangat besar. Pasalnya, hingga 2021, bauran energi terbarukan pada sistem energi di Indonesia masih renda atau sekitar 11,5% dari dari bauran energi primer Indonesia dan 13,5% dari bauran listrik

Menurut Fabby, Indonesia perlu membuat kemajuan substansial di sektor ini untuk memenuhi target 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Peraturan Presiden tentang Tarif Terbarukan, yang dikeluarkan pada bulan September 2022, katanya, dapat mengatasi beberapa hambatan keuangan dan peraturan utama yang dihadapi energi terbarukan, serta bisa mencapai target yang lebih ambisius.

Fabby memandang dengan beberapa perkembangan dukungan internasional dan komitmen pemerintah terhadap pensiun dini PLTU batubara akan memberikan ruang yang leluasa bagi pengembangan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target 23% energi terbarukan pada 2025, bahkan mencapai 40% di 2030.

Delima Ramadhani, Koordinator Climate Action Tracker, dari IESR juga memiliki analisis yang sama. Berdasarkan kajian Deep Decarbonization of Indonesia Energy System (2021), pihaknya menyimpulkan pada tahun 2050, pemanfaatan 100% energi terbarukan dalam sistem energi Indonesia layak secara teknis dan ekonomis.

“Status aksi iklim Indonesia dapat ditingkatkan dengan memastikan kebijakan iklim pada dekade ini diimplementasikan untuk memenuhi kontribusi yang adil berdasarkan upaya global (fairshare). Target NDC dengan bantuan internasional juga harus konsisten, setidaknya dengan jalur optimal dengan biaya terendah untuk ambisi 1,5°C (global least cost pathways),” kata Delima Ramadhani dalam forum yang sama.

Data Global Energy Monitor pada Juli 2022, Indonesia memiliki 40 GW pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi dan 26 GW lainnya dalam rencana, 15 GW sedang dibangun, 2 GW diumumkan, 2 GW diizinkan, dan 7 GW pra-izin. Sementara itu, berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik RUPTL 2021-2030, batu bara direncanakan mencapai 64% dari campuran pembangkit listrik pada tahun 2030 dari 61% pada tahun 2021.

Rencana ini tidak sejalan dengan tujuan Paris Agreement. Menurut Delima, dominasi PLTU batubara yang saat ini sekitar 61% di sistem energi Indonesia, perlu dikurangi secara signifikan menjadi hanya 10% pada tahun 2030. Katanya, teknologi yang digunakan PLTU batubara diharuskan tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fired power plant) pada 2030 dan diakhiri operasinya secara bertahap hingga berhenti seluruhnya pada 2040.

“Untuk itu, Indonesia harus meningkatkan komitmen iklimnya, dan bantuan internasional berperan besar untuk implementasi penghentian batubara yang sesuai dengan Persetujuan Paris,” jelas Delima

Sebenarnya, dalam proses paralel, Indonesia saat ini sedang menjajaki percepatan penghapusan batubara melalui Mekanisme Transisi Energi (ETM) Bank Pembangunan Asia, dan perjanjian kerja sama bilateral. Indonesia juga sudah menyepakati skema Energy Transition Mechanism, dan Just Energy Transition Partnerships (JETP) untuk kemitraan transisi energi yang adil.

Selain itu, Indonesia sudah menandatangani deklarasi Global Coal to Clean Power Transition di COP26 dan mengindikasikan bahwa Indonesia terbuka untuk menghapus batubara secara bertahap pada tahun 2040-an dan meningkatkan ambisi nol bersih, tergantung pada dukungan internasional.

Delima bilang, penghapusan batubara sebelum tahun 2045 akan membawa manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi yang signifikan. CAT memperkirakan bahwa dengan menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara yang berusia lebih dari 20 tahun dan mengevaluasi kembali pipa saluran batu baranya, Indonesia dapat menghindari lebih dari 45.000 kematian dini dalam dekade berikutnya.

Meski begitu, Fabby bilang, komitmen pendanaan USD 20 miliar belum cukup untuk mencapai dekarbonisasi sektor energi yang setidaknya membutuhkan total investasi sebesar USD 135 miliar pada 2030. Katanya, porsi dana hibah dalam pendanaan JETP perlu diperbesar, yang dapat dipakai untuk mempercepat penguatan ekosistem transisi energi dan penyiapan proyek.

“Selain itu, langkah selanjutnya setelah JETP disepakati adalah penyusunan rencana investasi yang dilakukan secara transparan serta mengarusutamakan prinsip berkeadilan dalam bertransisi energi dengan melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok terdampak,” kata Fabby

Bagaimana Kebijakan Iklim Indonesia?

Berdasarkan hasil laporan dari Assessment CAT pada tahun 2022, target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih dalam kategori sangat tidak mencukupi (highly insufficient). Peringkat “highly insufficient” menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan batas suhu 1,5°C Paris Agreement dan menyebabkan peningkatan, bukannya penurunan emisi.

Peningkatan target penurunan emisi GRK untuk NDC tanpa syarat sebesar 1805 MtCO2e dan target bersyarat sebesar 1710 MtCO2e pada tahun 2030 (kecuali LULUCF) juga dinilai sangat tidak mencukupi (highly insufficient). Artinya, peringkat ini menunjukkan bahwa target pembagian wajar Indonesia pada tahun 2030 mencerminkan minimal hingga tidak ada tindakan sama sekali dan sama sekali tidak konsisten dengan batas suhu 1,5°C.

Anindita Hapsari, dari Climate Action Tracker mengatakan, Indonesia perlu menurunkan target NDC bersyarat menjadi 75% dan target NDC tanpa syarat menjadi 62% di bawah NDC-nya Skenario BAU (tidak termasuk LULUCF). Ia bilang, target NDC tanpa syarat perlu dibawa jauh di bawah kebijakan saat ini untuk menghasilkan emisi yang mendekati tingkat saat ini pada tahun 2030, dan kebijakan ditingkatkan untuk membengkokkan kurva emisi.

“Sedangkan, untuk NDC bersyarat, harus jauh di bawah tingkat saat ini pada tahun 2030 untuk mendorong dekarbonisasi mendalam sejalan dengan jalur nol bersih dan akan membutuhkan dukungan keuangan yang signifikan dari komunitas internasional,” kata Anindita Hapsari.

Selain itu, CAT juga menilai kebijakan dan tindakan (Policies and action) Indonesia juga tidak cukup (insufficient) jika dibandingkan dengan kontribusi mereka yang adil. Peringkat “Tidak Cukup” menunjukkan bahwa kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada tahun 2030 memerlukan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C.

Jika semua negara mengikuti pendekatan Indonesia, pemanasan akan mencapai lebih dari 2°C dan hingga 3°C. Kekhawatiran besar adalah ketergantungan yang berkelanjutan pada bahan bakar fosil, khususnya batubara. Olehnya, kata Anindita, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan NDC yang lebih ambisius.

Sementara itu, dalam laporan assessment CAT untuk net zero target pada tahun 2060 dinilai tidak memiliki informasi yang lengkap (information incomplete) untuk mencapai net zero yang lebih cepat. Selain itu, untuk target pembiayaan yang adil (fair share target) juga masih belum kritis (critically insufficient), dan keuangan iklim (climate finance) tidak dapat diterapkan (not applicable).

Shahnaz Firdaus, dari IERS CAT-Country Assessment Team mengatakan, emisi Indonesia dari land use, land-use change and forestry (LULUCF) masih menjadi sumber emisi utama atau menyumbang hampir 50% dari total emisi negara selama 20 tahun terakhir. Emisi LULUCF tahunan Indonesia mencapai sekitar 1 GtCO2e /tahun, dengan mempertimbangkan deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi gambut, dan kebakaran gambut.

Data Global Forest Watch (2021) menunjukan, Indonesia sendiri menyumbang 7% dari total kehilangan tutupan pohon dunia antara tahun 2001 dan 2020. Namun, kata Shahnaz, Indonesia telah mengambil langkah positif di sektor ini dan berhasil melanjutkan tren penurunan kehilangan tutupan pohon tahunan dalam lima tahun terakhir.

Shahnaz bilang, meskipun tren penurunan kehilangan tutupan pohon merupakan pertanda baik, tapi pendorong deforestasi terbesar di Indonesia masih didorong oleh komoditas seperti sawit yang mencapai lebih dari 90% pada tahun 2021.

Kemudian, katanya, implementasi moratorium izin pembukaan lahan di hutan primer dan gambut tidak efektif. Padahal, katanya, penegakan yang ketat dari moratorium tersebut sangat penting untuk memitigasi risiko lingkungan dan sosial dari biofuel dan produksi komoditas lainnya di Indonesia.

“Kebakaran hutan juga masih menjadi isu yang sangat penting di Indonesia. Pada tanggal 9 September 2019, terdapat hampir 64.000 peringatan kebakaran di negara ini,” kata Shahnaz Firdaus

Berikutnya, lemahnya implementasi komitmen terhadap perjanjian internasional, peraturan dan tujuan yang bertentangan, serta koordinasi yang buruk antara lembaga pemerintah dan kementerian merupakan tantangan utama untuk mencapai pengurangan emisi yang lebih besar di sektor kehutanan.

“Tapi, kabar baiknya adalah, pada bulan Februari 2022 lalu, KLHK RI menerbitkan rencana operasional untuk mencapai emisi negatif bersih di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) pada tahun 2030,” katanya.

Selanjutnya, emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF) meningkat kembali 2% pada tahun 2021 setelah turun sebesar 4% pada tahun 2020. CAT memperkirakan, berdasarkan kebijakan saat ini, emisi indonesia akan mencapai 1114-1320 MtCO2e/tahun pada tahun 2030 (tidak termasuk LULUCF), atau meningkat 351-415% dari 1990.

Menurutnya, pada tingkat ini, Indonesia akan mencapai target NDC tanpa syarat dan target 2030 yang tidak bersyarat (kecuali kehutanan), meskipun emisi meningkat tajam. Pasalnya, beberapa kebijakan dan rencana utama telah diterbitkan atau sedang dalam proses, termasuk peraturan Presiden tentang Feed-in Tariffs, Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan, dan pajak karbon.

Sistem perdagangan emisi Indonesia yang sedang dalam tahap awal pengembangannya dan mencatat 42,5 MtCO2e transaksi sekitar 2 USD/tCO2e dalam fase percontohan sukarela tahun 2022 juga dinilai dapat membantu dalam pencapaian target NDC.

“Implementasi dan pengembangan kebijakan dan rencana ini merupakan peluang utama bagi Indonesia untuk meningkatkan ambisi iklimnya, mengatasi hambatan yang dihadapi pengembangan energi terbarukan, dan beralih ke jalur pembangunan rendah karbon,” kata Shahnaz

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.
Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.

Berikutnya, kata Shahnaz, pada tahun 2019, sektor industri menyumbang 6% dari total emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF). Katanya, Industri semen, pupuk berbasis amonia, dan logam merupakan subsektor industri penghasil emisi terbesar di Indonesia.

Dalam sektor transportasi, kata Shahnaz, mandat konsumsi biofuel Indonesia adalah salah satu yang paling ambisius di dunia. Namun, deforestasi masih menjadi isu utama dalam pengembangan biofuel di Indonesia. Selain itu, pada September 2020, Indonesia mencatat sekitar 2.300 EV dan 80 persen diantaranya merupakan kendaraan roda dua.

“Sayangnya, hal tersebut masih jauh dari target Rencana Umum Energi Nasional yang disingkat (RUEN) sebesar 900.000 EV pada tahun 2020 dan 2,3 juta EV pada tahun 2025,” kata Shahnaz Firdaus.

Selanjutnya, dalam sektor pertanian (Agriculture), kata Shahnaz, intensitas emisi keseluruhan dari sektor pertanian telah mengalami tren penurunan di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Hal tersebut diakibatkan oleh perluasan industry minyak sawit domestic untuk memenuhi permintaan biofuel.

Dalam sektor bangunan (building), katanya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan target untuk mengurangi total konsumsi energi final di sektor bangunan, baik komersial maupun perumahan sebesar 15% dibandingkan dengan BAU pada tahun 2025.

“Pemerintah meluncurkan Peraturan 21/2021 untuk penilaian kinerja semua proyek konstruksi dan memberikan sertifikasi bangunan hijau (green building) merupakan salah satu kebijakan yang baik. Meski begitu, seharusnya Indonesia harus lebih ambisius dalam mencapai target NDC,” katanya.

Mahawan Karuniasa, Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia juga memandang hal serupa. Ia bilang, untuk menjaga 1,5°C Paris Agreement, Indonesia tidak boleh melebihi dari 33 GtCO2e pada tahun 2030. Namun, dengan skenario kebijakan yang sedang berjalan saat ini, Indonesia menuju ke 58 GtCO2e pada tahun 2030.

Menurutnya, jika semua target NDC di semua negara dikumpulkan dan di implementasikan, maka Indonesia bisa menurunkan 56-53 GtCO2e saja pada tahun 2030. Ia bilang, jarak antara 33 GtCO2e ke 56-53 GtCO2e masih cukup besar atau mencapai 20-23 GtCO2e. Jika 20-23 GtCO2e tidak dapat dipenuhi semua negara, maka Indonesia akan berada di 1,5°C dan emisi global pada tahun 2030 akan berada diatas pada 33 GtCO2e.

“Apalagi, Indonesia merupakan negara kelima yang memiliki total emisi global terbanyak di dunia. Artinya, Indonesia memiliki peran besar untuk upaya global menjaga 1,5°C,” kata Mahawan Karuniasa,

Sementara itu, Erik Armundito, dari Direktorat Lingkungan Hidup, Bappenas RI mengaku sangat optimis dengan peningkatan target Indonesia di NDC untuk penurunan emisi GRK dengan upaya sendiri (unconditional) meningkat dari 29% di dokumen Updated NDC menjadi 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%.

Erik bilang, Bappenas RI sudah memiliki kebijakan pembangunan rendah karbon (PRK) yang merupakan platform pengembangan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui aktivitas yang menghasilkan emisi dan intensitas emisi GRK rendah, serta mengurangi penggunaan sumber daya alam.

Apalagi, katanya, PRK itu sudah terintegrasi ke prioritas nasional dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang juga sudah dilengkapi dengan strategi dan indikator makro, serta target yang sangat jelas setiap tahun. Katanya, indikator makro yang dimaksud adalah persentase potensi penurunan intensitas emisi GRK dengan target sebesar 27,3% dan 31,6% di tahun 2024.

Menurut Erik, peningkatan target Indonesia untuk penurunan emisi GRK merupakan langkah maju sekaligus menunjukan upaya untuk mendorong pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Katanya, Bappenas RI juga memiliki mandat untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengendalian pencapaian target tersebut.

Selain itu, pihaknya juga mengembangkan aplikasi Aksara untuk memantau aksi-aksi penurunan emisi GRK. Aplikasi Aksara juga digunakan untuk pemantauan, evaluasi, dan pengendalian terhadap capaian penurunan emisi GRK dan intensitas emisinya yang dihasilkan dari aksi PRK di sektor prioritas.

“Sektor prioritas itu termasuk sektor berbasis lahan, kehutanan, lahan gambut, pertanian, pesisir, serta sektor berbasis energi, transportasi, dan berbagai sektor lainnya yang dapat mendukung aksi tersebut,” kata Erik Armundito dalam forum tersebut

Katanya, pemantauan dari aplikasi Aksara hingga bulan November 2022, sudah ada 37.397 aksi PRK telah dilaporkan yang dikontribusikan oleh berbagai kementerian dan lembaga dan pemerintah daerah. Ia mengklaim, pemerintah pusat dan provinsi telah menghasilkan potensi penurunan GRK sebesar 442,525 GtCO2e sampai saat ini.

Ia bilang, dengan skenario yang dibuat oleh pemerintah itu, Indonesia akan mencapai level emisi absolut di tahun 2050 sebesar 360 MtCO2e dan akan mencapai net zero emission di tahun 2060. Katanya, dari angkat tersebut, ada sekitar 78-80 persen akan lebih rendah dari scenario unconditional dan conditional NDC Indonesia dan dapat membawa Indonesia mencapai kategori hampir cukup (almost sufficient) menurut kriteria penilain CAT.

Meski begitu, pihaknya sangat mengapresiasi hasil assessment CAT mengenai status dan kemajemukan Indonesia dalam mencapai target iklim sesuai dengan Paris Agreement. Ia bilang, hasil assessment CAT akan membantu meningkatkan dan mensukseskan komitmen iklim di Indonesia.

“Kita sudah mensimulasikan target-target penurunan GRK dan kita sudah memantau semua, sehingga target-target yang ingin kita capai, bisa tercapai,” kata Erik.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.