Oleh: Daud Yusuf – Dosen Universitas Negeri Gorontalo
Di usia kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77, 17 Agustus 2022 lalu, ternyata kehidupan nelayan skala kecil masih jauh panggang dari api kesejahteraan. Mereka hidupnya masih miskin dan rentan akibat perubahan iklim hingga degradasi ekologi. Hidup mereka memang bergantung pada sumberdaya perikanan. Mereka menangkap ikan dan mengumpulkannya setiap hari buat dimakan maupun dijual. Berangkat pagi hari dan pulang jelang sore setiap harinya. Mereka kerap kali dinamakan nelayan harian. Hasil tangkapannya, mereka acapkali jual ke pengepul maupun juragan. Dari hasil tangkapan itulah mereka meraup pendapatan buat menafkahi keluarganya.
Kisah hidup nelayan skala kecil memang miris. Mereka tak semuanya memiliki faktor produksi berupa kapal dan alat tangkap. Biasanya mereka mengoperasikan kapal milik juragan atau toke. Hasil tangkapannya dihitung dengan sistem bagi hasil setelah dikurangi BBM dan biaya operasional. Jika mujur, mereka bisa meraup pendapatan memuaskan. Sebaliknya, mereka tekor dan berhutang. Problem ini berlangsung terus-menerus yang mengakibatkan utangnya kian menggunung seiring bertambahnya hari.
Hari berganti hari, tak ada perubahan. Apalagi jika mengalami masalah. Misalnya, alat tangkapnya rusak. Atau, tersapu kapal ikan berbobot besar yang menyerobot wilayah tangkap nelayan skala kecil dan menggunakan alat tangkap merusak. Mereka kian terhimpit. Hendak membeli alat tangkap baru. Modalnya tidak ada. Akhirnya, mereka kembali mengutang ke juragan (bos). Jangan berpikir mereka bisa mengakses pinjaman modal/kredit dari lembaga keuangan.
Memang ada lembaga perbankan atau keuangan mikro kini dikembangkan buat melayani kelompok rentan seperti mereka. Tapi, apakah lembaga keuangan mikro mau meminjamkan modal ke nelayan tanpa disertai jaminan? Nelayan skala kecil, boro-boro punya jaminan. Modal membeli BBM solar dan mengganti jaring rusak saja nyaris tak ada. Inilah problem struktural dan kultural yang membelenggu kehidupan nelayan skala kecil hingga kini.
Perampasan
Kemerdekaan negeri ini 77 tahun silam ternyata masih menyisakan kisah miris soal kehidupan nelayan skala kecil. Penulis meyakini kisah ini dialami setiap nelayan skala kecil di setiap jengkal pelosok pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Kehidupan mereka bertambah parah tatkala pemerintah menerbitkan kebijakan kelautan dan perikanan yang merampas hak hidup, ruang laut dan hak akses mereka terhadap sumberdaya (Ocean grabbing).
Mereka pun tak bisa berbuat apa-apa karena acapkali kebijakan itu diterbitkan pemerintah pusat. Diantaranya, (i) penangkapan penduduk pulau Pari Teluk Jakarta akibat mempertahankan lahannya yang diokupasi korporasi; (ii) Aneka ragam kebijakan pemerintah yang merugikan nelayan yaitu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 12/2020 legalisasi ekspor benih bening lobster (BBL), legalisasi cantrang dan trawl (Permen KP No 59/2020), alih muatan di tengah laut (Permen KP No 58/2020) hingga membiarkan asing menguasai pulau kecil (Permen KP No 53/2020); (iii) Okupasi pulau kecil oleh pihak asing yang melarang nelayan mengaksesnya.
Salah satunya, penjualan pulau Lantigiang di Selayar di kawasan Taman Nasional Takabonerate seharga Rp 900 juta (Kompas 01/02/2021), (iv) kebijakan impor garam tahun 2021 menghancurkan nasib petambak garam tradisional, (v) PP No 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah; (ii) PP No 27/2021 tentang, penyelenggaraan bidang kelautan dan perikanan; dan (vi) PP No 43/2021 tentang “Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah” yang melahirkan istilah “Hak Pengelolaan dan/atau perizinan terkait memanfaatkan ruang laut.
Acapkali penulis berpikir di satu sisi pemerintah menggelontorkan anggaran lewat program-program yang digembar-gemborkan seperti bantuan kapal dan kredit dan modal usaha bagi nelayan ratusan miliar. Terungkap dalam laporan kinerja kementerian terkait kenelayanan bertabur prestasi mengagumkan. Nyatanya nelayan skala kecil tetap saja miskin. Di sisi lain pemerintah juga menerbitkan kebijakan-kebijakan yang menimbulkan perampasan ruang dan sumberdaya kelautan. Artinya, nelayan skala kecil sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Apakah regulasi perlindungan nelayan skala kecil belum ada? Kenyataannya, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang (UU) No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Sayangnya, UU ini terkesan macan ompong. Nelayan skala kecil nyaris tak pernah menikmati perlindungan. Justru mereka mengalami penindasan dan penggusuran ruang hidupnya.
Contohnya, soal kartu nelayan buat membeli BBM subsidi. Faktanya, sebagian besar mereka belum memilikinya. Lebih miris lagi, sudah memiliki kartu nelayan tapi tak ada modal cukup membeli BBM subsidi. Olehnya buat melaut. Terpaksa mereka mengutang ke juragan. Nantinya biaya BBM itu dipotong dari hasil tangkapan yang diperolehnya. Kalau hasil tangkapan tidak memuaskan, utang malah bertambah.
Kini terbit lagi UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Meski dipending implementasinya oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap cacat formil dan inkonstitusional, UU ini malah mengaburkan definisi nelayan skala kecil. Selama ini nelayan skala kecil dibatasi ukuran kapal kurang 5 GT (UU Perikanan No 45/2009). Dijelaskan pula bahwa aktivitasnya hanya buat memenuhi kebutuhan subsistensi. Artinya apa dibalik UU Cipta Kerja ini?
Pengambil kebijakan dan parlemen kita tak punya “keberpihakan” terhadap nelayan skala kecil. Apalagi di tengah wabah pandemi Covid-19 yang kini belum berakhir. Nelayan skala kecil hanya dibutuhkan kala ada perhelatan politik Pilpres, dan Pilkada. Selebihnya, kembali ke rutinitas semula. Tak ada lagi perhatian apalagi keberpihakan kebijakan. Sampai kapal mereka bernasib begini? Ada UU-nya, tapi hanya di atas kertas dan formalitas belaka.
Jika nasib nelayan skala kecil terus begini, jangan berharap naik kelas. Padahal, 80 persen pasokan pangan protein di seluruh dunia bersumber dari hasil tangkapan nelayan skala kecil (FAO, 2022). Berarti memasok kebutuhan pangan seluruh umat manusia di bumi ini baik negara-negara maju, berkembang dan negara sedang berkembang dengan pendapatan rendah.
Jika situasi ini dibiarkan terus, sulit membebaskan nelayan skala kecil dari kemiskinan struktural maupun kultural. Apalagi, lambat laut sumberdaya perikanan kian lama kian mengalami deplesi eksploitasi berlebihan buat memasok permintaan pasar dunia yang dilakukan korporasi besar. Bila sumberdaya ikan ditangkap terus-menerus, proses regenerasinya terhambat akibatnya stoknya mengalami deplesi dan tangkap lebih. Situasi inilah yang berpotensi memicu tragedi komoditas (tragedy of commodity). Korbannya, lagi-lagi nelayan skala kecil.
Kebijakan Afirmatif
Jika negara berniat mensejahterakan nelayan skala kecil, pertama, diperlukan kebijakan afirmatif sebagai turunan (UU) No. 7/2016. Umpamanya, adanya dukungan kelembagaan dan permodalan dalam bentuk kebijakan moneter. Umpamanya, ada kredit mikro khusus buat nelayan skala kecil dengan suku bunga rendah buat menyediakan kapal dan alat tangkapnya tanpa jaminan (faktor produksi). Penjaminnya adalah pemerintah. Sayangnya, hingga kini Indonesia tak punya Bank khusus buat nelayan dan petani.
Kedua, nelayan skala kecil mesti berorganisasi dalam koperasi nelayan berbasis digital. Misalnya, Koperasi nelayan bekerja sama dengan Pertamina buat menjual BBM subsidi. Nelayan anggota koperasi otomatis mendapatkan BBM subsidi dari koperasi nelayan. Mereka tak perlu lagi berutang ke juragan. Koperasi sekaligus berperan sebagai trading house bagi nelayan. Koperasi yang akan menampung tangkapan nelayan. Prosesnya akan lebih efisien dan mudah karena koperasi telah menerapkan digitalisasi produksi hasil tangkapan, harga, mekanisme pembayaran dan keanggotaan.
Ketiga, menjadikan organisasi nelayan skala kecil, model Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) sebagai “mitra strategis” pemerintah dalam menyukseskan program perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Paradigma pendekatan proyek mestinya digeser menjadi pendekatan kolaboratif dan share pengetahuan serta manajemen. Pemerintah tidak lagi membagi-bagikan kapal ke nelayan yang berujung sebagai barang onggokan. Melainkan, memberikan ruang kepada nelayan membangun kapalnya sendiri yang dibiayai pemerintah dan diawasi organisasinya.
Tujuannya agar kapal dan alat tangkapnya sesuai dengan kondisi oseanografi (arus, pasang surut dan gelombang), budaya masyarakat dan karakteristik wilayah pesisirnya. Kepemilikan kapalnya bersifat kolektif dalam institusi Koperasi Nelayan berbasis digital sehingga menciptakan efisiensi kolektif. Inilah gagasan kebijakan afirmatif buat mendongkrak kesejahteraan nelayan skala kecil di Indonesia, termasuk di Provinsi Gorontalo yang nasibnya relatif sama. Semoga!
Leave a Reply