- Sudah jatuh tertimpa tangga. Tampaknya inilah yang dialami petani plasma di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, ketika bermitra dengan perusahaan sawit
- Sudahlah bagi hasil kebun sawit dari perusahaan sawit tak sesuai perjanjian, petani pun jadi punya utang puluhan juta di bank. Tiap hektar kebun, petani jadi punya utang sekitar Rp68 juta-Rp77 juta.
- Petani menilai, PT Agro Artha Surya tidak transparan soal produktivitas sawit. Petani maupun koperasi tak mendapatkan informasi soal berapa panen kebun petani.
- Dari janji per hektar dapat Rp1 juta lebih, petani plasma ada yang dapat hanya Rp22.000 per hektar. Itu pun bayar tiap tiga bulan sekali.
Perusahaan sawit datang membawa kesusahan hidup warga terjadi di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Janji perusahaan, setelah mau ikut kebun plasma, petani akan dapatkan hasil besar, warga sekitar pun bisa bekerja di perusahaan sawit.
Ternyata, janji tinggal janji. Kenyataan, petani plasma harus menelan pil pahit. Bagi hasil sangat kecil, jauh dari perjanjian, bahkan tanpa sepengetahuan petani, mereka jadi punya utang puluhan juta di bank!
Hijrah Ipetu, anggota Koperasi Pangeya Idaman yang bermitra dengan perusahaan sawit, PT Agro Artha Surya (AAS). Petani plasma di Wonosari ini sejak beberapa tahun ini berjuang agar perusahaan memenuhi janji-janji kepada petani. Dia menuntut perusahaan transparan soal data produktivitas sawit mereka pasca panen.
“Sejak masuk masa panen 2017, perusahaan tidak pernah memberikan data produktivitas sawit itu,” kata Hijrah Ipetu saat ditemui di Desa Pangeya, Wonosari, Maret lalu.
Ayah dua anak ini kerap kali emosi kalau AAS memberikan pembagian hasil sawit kepadanya. Jumlah pembagian tak masuk akal. Lahan 16 hektar yang ditanami sawit oleh perusahaan, hanya Rp23.000 per-bulan. Itupun cair tiap enam bulan. Dia terus mempertanyakan masalah ini.
Sejak ada perusahaan sawit ini, perekonomian Hijrah dan keluarga tidak ada peningkatan, bahkan makin menurun.
Pembagian hasil dari perusahaan sawit tidak sesuai dengan perjanjian awal antara petani dan perusahaan. Hijrah menilai, AAS hanya memberikan harapan palsu kepada masyarakat.
Dengan dalil investasi, perusahaan mengiming-imingi mereka dengan membuka lowongan pekerjaan besar bagi warga yang ingin bermitra dengannya.
Warga yang memiliki lahan akan jadi pekerja lahan sawit. “Masyarakat yang merawat sawit, nanti digaji oleh perusahaan agar tidak ada pengangguran. Itu janji mereka [AAS],” katanya.
Sebelum ada perusahaan sawit, kata Hijrah, warga Wonosari mayoritas berkebun jagung. Hidup mereka bergantung pada salah satu komoditas tanaman pangan terbesar di Gorontalo itu. Meski perlu waktu enam bulan untuk panen, Hijrah bisa mendapatkan Rp6 juta sekali panen dalam setiap hektar.
Dia punya lahan 16 hektar untuk tanam jagung dengan sekitar Rp96 juta sekali panen.
“Rp6 juta setiap hektar, dalam sekali panen. Pendapatan ini merupakan pendapatan bersih setelah dipotong biaya operasional, dan lain-lain. Itupun harga jagung saat itu masih Rp2.800 per-kilogram. Walaupun panen jagung setiap enam bulan, penghasilan itu,bisa diibaratkan sebagai uang tabungan,” katanya.
Kalau warga rutin merawat kebun jagung, kata Hijrah, pendapatan bisa lebih, sampai Rp9 juta setiap hektar. Apalagi saat ini, harga jagung Rp4.000 lebih. Kalau kebun jagung dulu tak jadi kebun sawit seperti sekarang dia yakin sudah bisa mengumpulkan uang ratusan juta rupiah.
Hal sama juga dirasakan Sutahir, warga transmigram di Wonosari. Dia menggambarkan perbandingan janji perusahaan dengan realisasi awal bak langit dan bumi.
Pembagian hasil kepada petani, katanya, sangat tidak manusiawi. “Lahan Sawit tidak pernah diurus, tenaga kerja tidak ada, jalan-jalan rusak tidak ada perbaikan, hampir semua sawit tidak diurus. Itu yang membuat masyarakat menderita,” katanya, April lalu.
Saat jadi warga transmigrasi pada 2010 di Kecamatan Wonosari, dia dijanjikan dapat tanah dua hektar untuk kelola mandiri. Setelah sampai di lokasi, tanah ternyata tinggal satu hektar. Sisa satu hektar, ganti dengan satu sapi ukuran kecil sebagai kompensasi.
Saat perusahaan sawit masuk pada 2013, Sutahir memberikan lahan satu hektar itu untuk bermitra dengan perusahaan sawit. Hingga kini, dia tidak pernah menerima pembagian hasil. “Perusahaan pernah berjanji, semua keluarga saya akan dipekerjakan di perusahaan. Sampai detik ini hal itu tidak sama sekali ada realisasi.”
Dia sudah melaporkan masalah ini ke berbagai instansi terkait termasuk DPRD Boalemo, dan Pemerintah Boalemo tetapi belum ada penyelesaian. “Investor yang datang ini seharusnya membantu perekonomian masyarakat, bukan membantai kehidupan masyarakat. Apalagi, janji mereka tidak sesuai harapan,” katanya.
Jemmy Liando, Bendahara Koperasi Pangeya Idaman, mengatakan, dalam menjalankan usaha AAS tidak transparan. Dia bilang, koperasi dan petani tidak mendapatkan informasi mengenai perhitungan biaya produksi. Akses informasi petani maupun koperasi ke perusahaan pun dibatasi. Kondisi ini, katanya, menyebabkan perhitungan pendapatan panen tak jelas.
Padahal, katanya, dalam dokumen nota kesepakatan (memorandum of understanding/MoU) yang ditandatangani pada 28 Maret 2013, perusahaan memiliki kewajiban mengelola usaha perkebunan secara profesional, transparan, partisipatif, berdaya guna serta mengutamakan tenaga kerja lokal.
Pada 2017, selang empat tahun sejak penanaman awal kebun sawit, AAS sudah memasuki masa panen. Sesuai janji saat sosialisasi, masyarakat seharusnya mulai menerima penghasilan kebun plasma Rp1, 350 juta per bulan untuk setiap hektar.
Nyatanya, baru tahun kelima pada 2018, petani baru menerima hasil kebun, itupun tidak sesuai dengan janji perusahaan. Nilai yang diterima petani tidak merata atau bervariasi walaupun luasan sama. Bahkan jauh lebih rendah dari janji saat sosialisasi awal.
Dalam dokumen daftar rekening BRI pembagian sisa hasil usaha (SHU) Koperasi Unit Desa (KUD) Pangeya Idaman, untuk periode pembayaran Mei, tercatat ada petani yang menerima Rp66.000. Angka itu diterima petani untuk pembayaran tahap pertama dalam kurun waktu tiga bulan yaitu Oktober-Desember. Kalau dibagi, berarti pertani menerima Rp22.000 per bulan.
“Dari setiap koperasi yang bermitra dengan perusahaan, pembagian hasil sangat berbeda-beda. Kita juga tidak pernah menerima invoice dari perusahaan terkait produktivitas sawit,” kata Jemmy.
Kerjasama, data petani dan luasan beda
AAS berdiri berdasarkan akta pendirian Nomor 26 tertanggal 17 Maret 2011 dengan jenis usaha bidang perkebunan sawit di Boalemo, Gorontalo. Izin lokasi AAS di Boalemo terbit oleh Bupati Boalemo berdasarkan SK Nomor 162/2012, dengan luas izin lokasi 20.000 hektar terbagi di Kecamatan Wonosari, Paguyaman, Dulupi, Paguyaman Pantai, dan Tilamuta.
Dalam menjalankan usaha, AAS menerapkan pola kemitraan. Dokumen MoU, AAS yang disepakati dengan petani menyebutkan, akan berkomitmen dalam pemberdayaan dan peningkatan nilai tambah bagi masyarakat. Hal itu dengan menjalin kerja sama atau kemitraan dengan koperasi sebagai salah satu wadah aktivitas ekonomi warga desa.
Wonosari merupakan satu kecamatan dengan luasan perkebunan sawit terbesar di Boalemo. Lahan perkebunan sawit di kecamatan ini mencapai 2.515,25 hektar. Terluas kedua di Kecamatan Dulupi 1.603,77 hektar, lalu Paguyaman 872,59 hektar, Paguyaman Pantai 319,20 hektar, dan Tilamuta 109,80 hektar. Sedangkan di Mananggu dan Botumoito, sama sekali tidak ditanami sawit.
AAS dalam skema ini, bekerja sama dengan enam koperasi, yaitu, Pangeya Idaman, Surya Jaya, Puncak Idaman, Tunas Towayu, Bukit Jaya, dan Makmur Abadi.
Dalam dokumen internal koperasi, mencatat jumlah petani yang tergabung dalam enam koperasi ini mencapai 1.720 orang. Anehnya, data itu ternyata berbeda dengan data perusahaan yang mengklaim jumlah petani tergabung dalam enam koperasi mencapai 3.454 orang. Data itu lebih banyak dari data masing-masing koperasi.
Sesuai dokumen MoU, yang disepakati antara perusahaan dengan masyarakat mengatur sistem pengelolaa 50:50. Artinya, kalau masyarakat punya lahan 1.000 hektar, luas yang mereka kelola sebagai plasma 500 hektar. Sistem pengelolaan lahan mitra dengan single management atau pola manajemen satu atap.
Berdasarkan data temuan lapangan, luasan lahan petani yang diklaim perusahaan justru lebih sedikit dari catatan koperasi. Luas lahan plasma petani menurut data koperasi berjumlah 4.661,36 hektar, sedangkan perusahaan hanya 4.401,6 hektar. Artinya, ada selisih 259,76 hektar.
Ada perbedaan data semacam ini, katanya, kalau terus terjadi bakal menimbulkan masalah dan berdampak pada perhitungan produktivitas lahan dan produksi petani.
Petani punya utang, mulai melawan
Saking minim komunikasi dan transparansi, koperasi dan petani pun tak tahu ternyata mereka jadi punya utang di bank.
Jemmy bilang, petani tidak mengetahui kalau mereka berutang Rp70 juta juta perhektar. “Kami tidak tahu berapa jumlah utang kami di bank. Tidak ada komunikasi terkait itu kepada kami. Namun dari informasi yang kami telusuri, utang itu berjumlah hingga Rp70 juta juta per setiap hektar, itupun uang itu berbunga.”
Dari dokumen yang didapatkan, enam koperasi di Kecamatan Wonosari yang bermitra dengan perusahaan kena biaya pembangunan kebun sawit cukup besar. Antara lain, Koperasi Pangeya Idaman, Rp68 juta per hektar, Koperasi Surya Jaya Rp77 juta per-hektar, Koperasi Puncak Idaman, Rp68 juta per-hektar.
Lalu, Koperasi Tunas Towayu, Rp68 juta per-hektar, Koperasi Bukit Jaya, Rp77 juta per-hektar dan Koperasi Makmur Abadi Rp65 juta per-hektar.
Melalui koperasi, petani mencoba menuntut karena tidak ada penjelasan terkait hasil produksi yang mereka terima tetapi, perusahaan mengelak. Alasan perusahaan, tuntutan petani tak ada dalam dokumen perjanjian hingga tidak bisa menjadi dasar tuntutan yang sah.
Perusahaan berdalih kalau penyebab bagi hasil kecil karena produktivitas lahan plasma petani tidak baik. “Namun, kami tidak menerima laporan hasil penjualan dan angka statistik produktivitas. Perusahaan tidak pernah memberikan itu. Tidak ada transparansi bagi hasil kepada kami sebagai petani,” kata Jemmy,
Pada pertengahan 2018, konflik pun pecah. Para petani plasma yang tergabung di dalam koperasi protes karena perusahaan tak kunjung peuni janji sesuai kesepakatan.
Masyarakat di Desa Pangeya, Kecamatan Wonosari, basis dari Koperasi Pangeya Idaman, terus melawan dengan demo di kantor pemerintah dan berulang kali mengadakan pertemuan dengan pemerintah. Mereka menyuarakan tuntutannya agar perusahaan memenuhi janji.
Taslim Ipedu, Ketua Koperasi Pangeya Idaman, mengatakan, perusahaan harus memperhatikan kualitas sawit yang mereka kelola. Sejauh ini, dari pengamatan petani sampai 2020, perusahaan jarang terlihat merawat kebun. Dia contohkan, jarang ada pembersihan lahan dan pemupukan sawit di kebun plasma.
“Perusahaan hanya perawatan atau pembersihan kebun dekat dengan jalan atau akses utama. Yang ada di lokasi-lokasi yang sulit dijangkau, sawit jarang diperhatikan.”
Petani meminta kembalikan lahan mereka kalau perusahaan tidak bisa merawat dan mengelola kebun plasma. Menurut Taslim, lebih baik mereka mengelola sendiri kebun sawit itu atau mengganti dengan tanaman lain.
Dengan begitu, mereka bisa membayar sendiri utang kepada bank, daripada tak ada kejelasan dan hanya menerima hasil kebun sangat kecil bahkan sering macet. Ada sawit dan menjadi petani plasma ini justru makin membebani mereka.
Menurut Taslim, dalam dokumen MoU, disebutkan, kewajiban perusahaan membuat dan memberikan laporan kemajuan pekerjaan fisik pembangunan kebun plasma setiap akhir triwulan kepada koperasi apabila diminta koperasi. Kenyataan, perusahaan tak pernah mengindahkan permintaan koperasi.
Kondisi ini, katanya, menegaskan kalau AAS telah melanggar perjanjian yang disepakati kedua pihak. “Sampai saat ini, petani belum mengetahui status lahan mereka. Tidak ada kejelasan batas-batas antara lahan inti dan lahan plasma.”
Mirisnya lagi, lahan milik petani ketika dikonfirmasi ke Badan Pertanahan Negara (BPN) Boalemo, katanya, sudah beratas namakan AAS sebagai hak guna usaha.
Fatkurohman, anggota DPRD Boalemo, mengaku sudah berulang kali menggiring masalah ini ke ke DPRD Boalemo. Namun, katanya, hingga kini belum selesai. Dia nilai, banyak pejabat pemerintah daerah, maupun pejabat swasta tak memahami masalah kemitraan perusahaan sawit dengan petani plasma. Tidak ada juga pengawasan maksimal pemerintah daerah terkait perjanjian petani plasma dengan perusahaan.
“Tidak ada pengkajian untung rugi seperti apa. Terkesan pemda tidak memberikan pendampingan khusus. Bahkan saat perusahaan sosialisasi, tidak melibatkan pemerintah,” katanya.
Fatkurohman pernah mempertanyakan kepada perusahaan soal pembagian hasil tak sesuai perjanjian awal. Dia meminta dasar perusahaan memberikan bagi hasil itu. Lagi-lagi, perusahaan tidak memberikan data produktivitas sawit petani plasma.
Sejak 2013, kata Fatkurohman, tidak pernah melihat perusahaan melakukan perawatan dan pemupukan sawit. Padahal, katanya, dalam penangguhan pembayaran perusahaan, ada dana untuk pemeliharaan sawit dan pemupukan. Dia mempertanyakan, ke mana dana pemeliharaan dan pemupukan sawit itu.
Dia menduga, pemilik perusahaan tidak mengetahui masalah antara perusahaan dan petani plasma, termasuk dana pemeliharaan dan pemupukan yang entah ke mana. “Bisa saja masalah ini hanya pekerja yang di Gorontalo yang mengetahui saja, karena biaya pemupukan dan biaya pemeliharaan itu ada, tapi praktik dalam kebun tak dilakukan,” kata Fatkurohman.
Dia sesalkan belum ada upaya penyelesaian dari Pemerintah Boalemo maupun Pemerintah Gorontalo. Padahal, katanya, ada ribuan warga menderita dampak sawit ini. “Ke DPR RI sudah dua kali, tapi sampai hari ini tidak ada perubahan. Kami sudah lelah bersuara ke pemerintah terkait masalah sawit ini. Saya meminta DPR bisa audit kepada perusahaan sawit ini di Boalemo ini.”
Plt Bupati Kabupaten Boalemo, Anas Jusuf tak mengomentari banyak soal masalah ini. Dia hanya menyebutkan, perusahaan sawit dengan petani plasma memiliki MoU tertulis yang bisa jadi dasar untuk menyelesaikan masalah. Pemerintah Boalemo, katanya, tidak bisa mengintervensi secara hukum, hanya teknis.
“Pada prinsipnya pemerintah daerah mendorong, perusahaan sawit menyelesaikan masalah dengan petani plasma langsung,” kata Anas April lalu.
Menurut dia, pemerintah kabupaten sudah beberapa kali mediasi antara perusahaan dan petani, namun sampai hari ini belum ada titik temu. Dia bilang, sudah ada beberapa langkah dilakukan perusahaan walau belum tuntas.
“Kita kasih kesempatan perusahaan untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan petani.”
Dalih perusahaan
Saipul, salah satu pimpinan AAS mengatakan, pembagian hasil tergantung pada hasil panen. Dia mengakui, ada petani hanya dapat Rp7.000 setiap hektar, dan Rp22.000 setiap hektar.
Pembagian hasil itu, katanya, sesuai penyerahan jumlah lahan dari petani. “Kalau lahan yang diserahkan kecil, pasti pendapatan juga kecil. Harus diketahui ada beberapa petani yang diberikan Rp2 Juta, Rp3 juta, bahkan ada Rp7 juta,” katanya melalui sambungan telepon.
Menurut dia, musim sering berubah-ubah, lokasi perkebunan bergunung, dan tenaga kerja minim menjadi alasan utama produktivitas sawit tidak maksimal. Dia juga mengaku kesulitan dalam perawatan kebun.
“Skill tenaga kerja perawatan di perkebunan sawit itu tidak maksimal, misal, kalau di Kalimantan dan Sumatera, satu orang pekerja itu bisa merawat sampai dengan 25 pohon, kalau di Boalemo, satu orang hanya bisa kerjakan 10 pohon.”
Dia juga berdalih kondisi pandemi COVID-19, bikin perusahaan sangat terpukul. Selama ini, perusahaan juga datangkan sawit dari provinsi lain selain produksi kabupaten ini.
Saat panen sawit dari Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat (Mamuju), banyak perbatasan di setiap daerah yang ditutup. Jadi, mereka perlu empat hari agar sawit sampai ke Boalemo. Sementara batas waktu pengelolaan hanya dua hari. Akibatnya, minyak terpotong karena pengelolaan lambat.
“Pabrik kita ini kapasitas 40 ton per-jam, kalau delapan jam, ada sekitar 350 ton dikelola, untuk kebun di Boalemo itu belum mencukupi, hingga kita harus mendatangkan sawit dari luar daerah untuk dikelola langsung di pabrik. Tapi sawit itu sampai nanti empat hari. Alhasil, ada beberapa yang kita tidak dikelola, karena sudah busuk,” kata Saipul.
Dampaknya, kata Saipul, produktivitas sawit setiap bulan tidak menetap, melainkan naik turun walau dia tidak bisa menjelaskan rinci berapa produktivitas sawit setiap bulan ataupun tahun.
Dia berdalih hal itu bukan urusannya. “Ada bagian yang mengurus itu, saya bukan di departemen itu, jadi saya tidak mengetahui produktivitas sawit selama ini.”
Masalah antara petani plasma dan perusahaan, dia anggap biasa. Menurut dia, perkebunan sawit ini investasi jangka panjang.
Untuk utang yang dibebankan kepada petani itu, katanya, merupakan biaya pembangunan kebun sawit untuk kemitraan yang dihitung per hektar.
Saipul mengatakan, biaya pembangunan kebun sawit itu dihitung dari pembukaan lahan, penanaman, pembuatan jalan, dan parit serta pemeliharaan menjelang panen. Saipul tak menyebutkan rinci biaya satuannya.
“Ada direksi yang mengurus itu, itu bukan di bagian saya, jadi saya tidak mengetahui biaya satuannya dalam pembangunan kebun sawit itu.”
Mana peran Inpres Moratorium Sawit?
Pemerintah Indonesia punya aturan soal sawit antara lain, Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 soal moratorium izin sawit, yang mengamanatkan setop izin sawit baru, evaluasi izin sawit dan peningkatan produktivitas. Implementasinya? Di Boalemo, Gorontalo, tak ada.
Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, salah satu cara bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit adalah mengevaluasi pola kerjasama kemitraan antara perusahaan dengan pekebun sawit. Satu pola yang banyak dijalankan adalah pola satu manajemen (PSM).
Dia menilai, Inpres Moratorium Sawit belum menyentuh persoalan pola kemitraan ini sebagian dari bagian dari proses evaluasi perkebunan.
“Strategi pemerintah menghadirkan pola satu manajemen ini adalah untuk meningkatkan produktivitas perkebunan sawit karena manajemen pengelolaan kebun berada dalam satu kontrol manajemen yakni perusahaan. Sayangnya, nasib petani masih jauh dari kata ‘sejahtera’ karena praktik di lapangan sangat berbeda. Petani plasma jadi kelompok yang paling dirugikan,” kata Inda.
Bony, bagian Penelitian, Pengembangan, Penguatan Komunitas Sawit Watch, menambahkan, dalam catatan Sawit Watch sampai 2020, ada 81 kasus kemitraan terjadi di perkebunan sawit. Mereka sudah sampaikan masalah ini ke Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) RI pada 1 Maret 2021.
“Pola satu manajemen menimbulkan banyak persoalan di tingkat lapang. Salah satu contoh antara PT. Agro Artha Surya dengan petani plasma Desa Pangea, Wonosari, Boalemo,” katanya, April lalu.
Bony menilai, AAS tidak mengedepankan prinsip-prinsip keterbukaan dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat. Antara lain, katanya, perusahaan tidak memberikan informasi soal status lahan masyarakat, batas antara lahan inti dan plasma, serta perhitungan biaya produksi yang tidak jelas.
“Petani yang awalnya dijanjikan memperoleh penghasilan sekitar Rp1,3 juta per bulan hanya menerima Rp22.000 perbulan.” Kehadiran perusahaan, katanya, bukan mensejahterakan justru menyengsarakan.
Misno Udin Tolinggi, Ketua Pengurus Pusat Asosiasi Petani Sawit Nusantara (PSN), mengatakan, MoU seharusnya menguntungkan satu sama lain. Bukan malaj merugikan masyarakat, terutama koperasi yang jadi mitra perusahaan.
“Berdasarkan data yang saya temukan di lapangan, dari enam koperasi yang di Wonosari yang bekerjasama dengan perusahaan, tidak pernah menerima invoice dari perusahaan terkait produktivitas sawit,” kata Misno.
Dia mendesak, perusahaan lebih terbuka dengan petani terkait produktivitas sawit. Pembagian hasil yang terlalu kecil, katanya, bukti perkebunan tidak dibangun secara baik.
Perusahaan, katanya, harus menyelesaikan masalah ini dengan petani langsung.
“Seharusnya, satu hektar lahan itu, bisa ditanami 136 pohon, dan jika sawit itu dirawat baik, bisa mencapai 8-12 ton setiap hektar sekali panen. Di Wonosari, ada kejanggalan, karena ada lahan petani yang isi hanya 12 pohon, ada yang cuman tiga pohon. Itu bukti lahan ini tidak dikelola dengan baik.”
Dia mengusulkan, harus ada sinkronisasi data antar data perusahaan dan koperasi untuk menyamakan persepsi. Sampai hari ini, pemetaan lahan oleh perusahaan, tidak pernah diberikan kepada koperasi.
Dengan berbagai alasan pemerintah dan perusahaan, bagaimana kelanjutan hidup petani plasma di Boalemo?
*Sarjan Lahay adalah jurnalis di Timesindonesia. Dia penerima Program Fellowship Liputan Tata Kelola Kebun Sawit Mongabay Indonesia
Leave a Reply
View Comments