Hutan Tergerus, ‘Upiya Karanji’ Terancam Hilang

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
  • Upiya karanji, songkok dari tumbuhan paku hata (mintu)  ini merupakan khas Gorontalo. Hutan Gorontalo, terus menyusut, perajin, seperti Hadjirah Abdullah,  makin sulit dapatkan mintu di hutan atau sekitar rumah. Mereka harus mencari ke hutan lebih dalam, atau bahkan mencari ke kabupaten tetangga.
  • Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Sejak 1976, Hadjirah menularkan ilmuketerampilan dan pengalaman kepada masyarakat desanya, khusus ibu-ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah. Mereka ini dibentuk sejumlah sekelompok hingga menjadi kelompok mitra usaha.
  • Presiden Abdurrahman Wahid sangat menyukai peci Gorontalo ini. Karena senang pakai upiya karanji, Gus Dur pesan beberapa melalui utusan istana yang datang ke Gorontalo. Hadjirah adalah orang yang menganyam upiya karanji pesanan Gus Dur. Lama kelamaan, upiya karanji populer di kalangan santri dan berbagai pesantren di Indonesia. Permintaan banyak, produksinya pun terus meningkat setiap tahun.
  • Dini Hardiani Has, Dosen Manajemen Hutan di Universitas Satya Terra Bhinneka mengatakan, paku hata sulit karena penjualan kerajinan anyaman ini cukup tinggi, namun tidak diikuti upaya budidaya bahan bakunya. Dengan begitu bisa sulit memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam hutan Gorontalo. Apalagi, hutan di Gorontalo makin tergerus karena banyak penambangan, pertanian jagung dan lain-lain

Hadjirah Abdullah (74) tengah sibuk memilih dan memilah tanaman mintu yang diambilnya dari hutan yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari rumahnya di Dusun Tomula, Desa Pulubala, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo. Tanaman itu akan dikeringkan dibawah sinar matahari dengan jangka waktu kurang lebih satu hari, hingga menjadi bahan baku untuk ‘Upiya Karanji’ yang merupakan Songkok khas Gorontalo.

Setelah kering, perempuan paruh baya ini akan membela tanaman yang biasa disebut paku hata (nentu) ini menjadi beberapa bagian sehingga bentuknya menjadi pipih. Usai dibelah, mintu yang sudah berbentuk pipih akan dihaluskan lagi menggunakan pisau, atau alat yang sudah dibuat dari penutup kaleng bekas yang diberi lubang besar sampai ke lubang yang lebih kecil.

Jika paku hata yang memiliki nama latin Lygodium circinatum sudah dihaluskan, maka perempuan tiga orang anak ini akan melakukan proses penganyaman yang dilakukan sesuai bentuk produk yang sudah ada. Proses menganyam dimulai dengan menggunakan rotan yang diukur menggunakan alat pengukur (mistar) sekitar 8 cm.

“Pengukuran itu sebagai permulaan agar dapat menyatukan rotan dengan mintu. Tapi ukuran itu tidak menjadi patokan, karena akan di sesuai dengan model motif dan ukuran yang diinginkan,” kata Hadjirah Abdullah kepada Mongabay, 5 Maret lalu.

Setelah pengukuran dilakukan, Hadjirah mulai mengaitkan dengan cara melilitkan mintu ke rotan yang dibentuk lingkaran lonjong dari bagian atas hingga ke bagian samping dengan menyambungkan motif yang diinginkan. Bentuk motif gambar dan tulisan tersebut akan disesuaikan dengan pesanan dari pembeli atau customer.

Proses pembuatan motif, gambar atau pola tersebut, Hadjirah menggunakan mintu yang mempunyai dua bagian, ketika dibelah bagian dalamnya berwarna putih dan bagian luarnya berwarna coklat gelap. Ia akan menggunakan mintu berwarna putih yang dililitkan ke rotan, sedangkan mintu yang berwarna coklat gelap akan diputar kebagian luar hingga membentuk motif.

“Cara tersebut untuk bisa menimbulkan terbentuknya motif gambar atau tulisan yang sudah di desain sebelumnya. Tetapi, ada sebagian pengrajin yang sudah terbiasa tanpa menggunakan pola, karena mereka sudah mahir untuk membentuk pola atau gambar sendiri,” jelas Hadjirah

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Ia bilang, dalam satu ikatan-ikatan kecil mintu yang dipakai, bisa membuat tiga Upiya Karanji. Katanya, harga songkok khas Gorontalo ini variatif, mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 350.000 bergantung pada kehalusan anyamannya.

Namun, katanya, untuk menunggu hasil hingga menjadi produk harus memakan waktu sampai dengan tiga hari hingga ke tahap finishing. Karena sudah mahir, Hadjirah bisa mengerjakan hanya dalam waktu satu hari saja.

“Saya sudah menjadi pengrajin Upiya Karanji sudah sejak berumur 9 tahun dan sekarang saya berumur 74 tahun. Jadi, saya sudah cukup mahir dalam membuat peci Gorontalo ini,” jelasnya

Hadjirah bilang, untuk membuat Upiya Karanji dari tanaman mintu ini tidaklah seperti pengetahuan formal yang terstruktur dan sudah jelas sejak awalnya. Katanya, pengetahuan ini adalah sebentuk pengetahuan relasional dan diperlukan kearifan lokal untuk dapat memahaminya.

Katanya, pembelajaran untuk mengetahui cara membuat Upiya Karanji ini dilakukan pada waktu yang tidak tertentu dan tidak menggunakan jadwal yang khusus. Hanya saja, proses pembelajaran ini membutuhkan waktu dan kemampuan dengan berkeyakinan belajar secara mandiri.

Ruang belajarnya adalah tempat bekerja yaitu rumah, sebagai wadah untuk mewariskan keterampilan yang dimilikinya. Katanya, cara mempelajari untuk generasi selanjutnya yaitu keluarga atau orangtua yang mengetahui keterampilan ini harus mengarahkan anaknya atau cucunya untuk bisa mempelajarinya.

“Anak saya ada tiga orang. Mereka semua saya ajarkan untuk cara menganyam mintu hingga menjadi Upiya Karanji, dan saat ini mereka sudah sangat mengetahuinya,” jelasnya

Upiya karanji, songkok dari tumbuhan paku hata (mintu) khas Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Upiya karanji, songkok dari tumbuhan paku hata (mintu) khas Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Warisan Leluhur

Upiya Karanji merupakan sebuah Peci atau Songkok atau Kopiah yang digunakan oleh masyarakat Gorontalo sejak zaman dahulu dan merupakan warisan leluhur. Upiya Karanji yang dalam bahasa Gorontalo berarti Kopiah Keranjang atau juga disebut Peci Gorontalo ini sangat identik dengan Suku Gorontalo.

Dalam kebudayaan masyarakat Gorontalo, Upiya Karanji seringkali di digunakan saat perayaan hari-hari besar Islam, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad, Tahun Baru Islam, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Basri Amin, Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo dalam tulisannya mengatakan, Upiya Karanji sudah ada sejak abad ke-17. Bahkan, katanya, peci tersebut kerap digunakan oleh Sultan Eyato salah satu orang yang memimpin kesultanan Gorontalo yang memiliki peran besar dalam islamisasi Gorontalo.

“Sultan Eyato sangat senang memakai upiya karanji dan melalui dirinya upiya karanji hadir dalam sejarah Gorontalo,” tulis Basri Amin

Namun, katanya, pada abad ke-20, banyak perubahan terjadi. Nasionalisme bangkit, organisasi kebangsaan lintas-suku dan kelompok menguat. Pergaulan antar bangsa, terutama di benua Asia sendiri dan perjumpaannya dengan Eropa juga ikut meluas.

Saat itu, bangsa-bangsa India, Tiongkok, Arab, dan Eropa akhirnya membawa pengaruh dalam pola berpakaian. Upiya Karanji disinyalir menjadi salah satu warisan yang ikut dipengaruhi hingga mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Hadjirah Abdullah memang bisa dibilang sebagai pelopor atau orang yang mengabdikan dirinya untuk melestarikan songkok khas daerah Gorontalo yang merupakan warisan leluhur ini. Ia  memulai usaha kerajinan anyaman mintu ini sejak tahun 1967 atau sembilan tahun setelah dirinya lahir.

Sejak itu, wanita paruh baya yang hanya berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTP) ini meluruskan tekadnya untuk tetap menjaga songkok khas daerah Gorontalo untuk tetap lestari. Menurutnya, melestarikan Upiya Karanji merupakan amanah dari leluhurnya yang harus tetap dijaga keberadaan agar tidak punah atau hilang.

“Almarhum bapak saya yang mengajarkan saya untuk membuat Upiya Karanji ini. Bapak saya berpesan, jika kita menjaga songkok khas daerah Gorontalo ini tetap ada, itu sama dirinya tidak pernah mati. Jadi, saya menganggap menjaga Upiya Karanji adalah amanah,” jelasnya

Sejak tahun 1976, Hadjirah Abdullah menularkan ilmu dan keterampilan serta pengalamannya kepada masyarakat di lingkungan desanya, khususnya kepada ibu-ibu rumah tangga dan remaja yang putus sekolah. Mereka ini dibentuk sejumlah sekelompok hingga menjadi kelompok mitra usaha.

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Dengan bantuan pemerintah saat itu, Hadjirah berhasil memfasilitasi mitra usaha yang dibuatnya bersama sejumlah masyarakat untuk pemasaran produk, promosi, serta dapat mengikutsertakan dalam pameran-pameran yang diadakan baik di tingkat lokal hingga nasional.

Alhasil, Pada tahun 1990, Hadjirah menjadi pemenang ke-2 Lomba Cipta Cinderamata Khas Daerah Sulawesi Utara dengan produk Upiya Karanji yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Provinsi Sulawesi Utara. Sejak itulah, usaha anyaman mintu itu berkembang dan tidak sampai mengalami kepunahan.

Presiden Republik Indonesia ke-4, KH. Abdurrahman Wahid sangat menyukai Peci Gorontalo ini. Sebelum populer di kalangan masyarakat luas, Gus Dur sempat datang ke Gorontalo dalam sebuah kunjungan pribadi dan tanpa pengawalan. Menurut pengakuan Gus Dur saat itu, beliau mendapatkan mimpi dan dalam mimpinya bertemu dengan seorang Ulama di sebuah tempat.

Setelah bermimpi Gusdur akhirnya bertemu dengan Ulama Gorontalo tersebut di sekitar wilayah Paguyaman (Kabupaten Gorontalo), sebuah daerah yang cukup jauh dari Pusat Kota Gorontalo. Setelah bertemu dan berbincang dengan Ulama tersebut, Gus Dur pun diberikan hadiah sebuah Upiya Karanji.

Karena sangat tertarik dan merasa nyaman dengan upiya Karanji yang diberikan, Gus Dur pun kembali memesan beberapa buah Upiya Karanji melalui utusan istana yang datang langsung ke Gorontalo. Hadjirah adalah orang yang menganyam sejumlah Upiya Karanji yang dipesan Gus Dur tersebut.

Lama kelamaan, Upiya Karanji menjadi sangat populer di kalangan santri dan berbagai pesantren di Indonesia. Atas banyaknya permintaan Upiya Karanji, produksinya pun terus meningkat setiap tahunnya.

Upaya pengabdian dan kecintaan Hadjirah dalam melestarikan kerajinan khas daerah itu juga memberikan dampak positif dalam meningkatkan pendapatan mitra usaha yang dibuatnya bersama masyarakat sekitar.

Disamping itu, dampak positif lainnya yang dirasakan adalah adanya meningkatnya mutu sumber daya manusia, penciptaan wirausaha baru, kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya perajin anyaman mintu serta memberi motivasi kepada anak-enak yang masih sekolah untuk berkreasi.

Akhirnya, pada tahun 2019, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, menetapkan ‘Upiya Karanji’ atau kopiah keranjang sebagai karya budaya dari Provinsi Gorontalo, menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Pada tahun 2020, Rusli Habibie Gubernur Gorontalo saat itu menjadikan Upiya Karanji sebagai kelengkapan pakaian dinas Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang wajib dikenakan setiap hari di kantor dan saat bertugas sekalipun. Hal itu diatur dalam Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pakaian Dinas dan Atribut Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo.

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo jadi pemenang lomba cipta cenderamata pada 1990. Foto: dokumen Hadjirah Abdullah
Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo jadi pemenang lomba cipta cenderamata pada 1990. Foto: dokumen Hadjirah Abdullah

Hutan Tergerus

Sayangnya, dengan segala populernya Upiya Karanji dikalangan masyarakat Indonesia, ternyata ada masalah cukup serius yang menghantui keberadaan songkok khas Gorontalo itu, yaitu; terancam hilang karena hutan di Gorontalo semakin tergerus. Hadjirah mengaku sangat merasakan kondisi itu.

Ia bilang, dahulu tumbuhan mintu yang menjadi bahan baju pembuatan Upiya Karanji bisa dicari di dekat rumahnya. Akan tetapi, dirinya sekarang harus menempuh perjalanan dengan jarak yang cukup jauh ke hutan agar bisa mendapatkan tumbuhan tersebut.

Bahkan, dirinya kerap kali harus ke wilayah kabupaten tetangga seperti Boalemo, dan Gorontalo Utara untuk mencari tanaman itu. Ia bilang, kondisi Gorontalo yang sudah semakin banyak perkebunan, khususnya kebun jagung dan meningkatnya pemukiman warga, menjadi penyebab habitat tumbuhan mintu semakin jauh.

“Sekarang, sudah cukup kesulitan untuk mencari tanaman mintu ini, karena untuk mencarinya harus menempuh perjalan yang cukup jauh. Pasalnya, hutan juga semakin jauh ke dalam,” kata Hadjirah

Mintu (Bahasa Gorontalo) atau paku hata (Lygodium circinatum) termasuk dalam kelompok famili Schizaeaceae adalah sejenis tumbuhan paku hutan yang merambat. Jenis paku ini, tersebar secara alami di daerah tropis yang terdapat banyak cahaya terutama pada tempat-tempat terbuka karena sifatnya yang menyukai sinar matahari.

Selain itu, dalam pertumbuhannya, paku hata mempunyai ciri merambat ke atas beberapa meter pada tanaman lain, untuk mendapatkan sinar matahari bagi pertumbuhannya dan memiliki batang tumbuhan yang menjalar di bawah permukaan tanah. Jenis tanaman paku ini banyak tumbuh dalam hutan pada ketinggian rendah atau sedang hingga ketinggian 1.500 mdpl.

Tak hanya itu, Paku Hata ini merupakan salah satu jenis penciri penyusun hutan tropis dan merupakan faktor penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Pasalnya, tanaman ini merupakan tumbuhan bawah yang menutup lantai hutan, sehingga dapat mencegah terjadinya erosi dan dapat mengurangi aliran permukaan tanah, sehingga ketak memberikan manfaat secara ekologis.

Namun, di Gorontalo hutannya semakin tergerus. Data Global Forest Watch menyebutkan, sejak 2002 sampai 2021, Gorontalo kehilangan 52.9 ribu hektar hutan primer basah, dan menyumbang sekitar 42% dari total kehilangan tutupan pohon. Sejak tahun 2001 hingga 2021, Gorontalo kehilangan 129 ribu hektar tutup pohon.

Dari data itu, Pohuwato dan Kabupaten Gorontalo menjadi dua daerah teratas kehilangan tutupan pohon sekitar 51% sejak 2001 dan 2021. Pohuwato mengalami kehilangan tutupan pohon paling banyak sebesar 37.8 ribu hektar, sedangkan Kabupaten Gorontalo 28.2 ribu hektar.

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Dini Hardiani Has, Dosen Manajemen Hutan di Universitas Satya Terra Bhinneka mengatakan, permasalahan yang terjadi terhadap ketersediaan bahan baku kerajinan anyaman paku hata adalah karena penjualan kerajinan anyaman ini cukup tinggi, namun tidak diikuti dengan upaya budidaya bahan bakunya.

Kondisi itu, kata Dini, akan membuat masyarakat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam hutan di Gorontalo. Apalagi, hutan di Gorontalo semakin tergerus akibat banyaknya penambangan ilegal, dan konversi lahan hutan menjadi perkebunan jagung.

Selain itu, katanya, pemanenan tumbuhan paku hata yang berlebihan mengakibatkan ketersediaan tanaman paku hata menjadi berkurang dan terancam punah. Hal ini akan berdampak kepada masyarakat pengrajin dan cinderamata khas dari Gorontalo seperti Upiya Karanji atau songkok khas Gorontalo.

“Semakin sedikit ketersediaan tumbuhan paku hata di alam maka akan terkikisnya budaya masyarakat yang memakai Upiya Karanji yang digunakan untuk aktifitas sehari-hari,” kata Dini Hardiani Has kepada Mongabay, Sabtu  11 Maret lalu.

Menurutnya, perlu adanya domestikasi yaitu menjadikan tumbuhan liar sebagai tanaman budidaya agar ketersediaan tumbuhan di hutan tidak punah. Katanya, dengan dibudidayakannya tumbuhan paku hata masyarakat dapat terus memanfaatkan tumbuhan itu sebagai bahan kerajinan untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat.

Katanya, pembudidayaan tumbuhan paku ini memerlukan media air dan dilakukan didalam laboratorium sampai fase menjadi bibit dan mengeluarkan salur barulah dipindahkan ke lapangan. Setelah paku hata sudah bisa hidup diluar ruangan, tumbuhan itu juga dapat dibawa kedalam hutan untuk berkembangbiak dalam habitat aslinya (in-situ) dan luar habitat (ex-situ).

“Berbeda dengan tumbuhan lain, tumbuhan paku hata ini memerlukan inang (pohon) atau benda yang dapat membantu tumbuhan paku merambat dan dapat hidup,” jelasnya

Dalam proses budidaya ini, katanya, diperlukan keterlibatan para pihak yaitu, pemerintah daerah,  institusi pendidikan atau Universitas untuk mendampingi masyarakat dan memberikan arahan dalam budidaya tumbuhan paku hata agar tetap berjalan.

“Diharapkan dengan adanya domestikasi tumbuhan paku hata ini dapat menjadi alternatif bagi masyarakat pengrajin Upiya Karanji yang biasanya mengambil tumbuhan paku hata di dalam hutan dan dapat mengurangi pemanenan di alam,” katanya

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.