- Penulis: Arief Abbas, M.A. – Antropolog, Orang Gorontalo
***
Kisah-kisah peradaban manusia adalah kisah soal tanah. Tanah menjembatani kehidupan atas apa yang dikandungnya. Namun tanah juga mengulum siapa saja yang melawannya. Pertikaian dan perebutan kuasa terjadi di atas, bahkan atas nama tanah, yang di dalamnya ada orang-orang rela mati demi memperebutkannya. Dapat dikatakan bahwa peradaban manusia yang silih berganti ini terjadi di atas tanah di mana kehidupan bermula dan berujung. Tanah juga barangkali bukan tuhan apalagi dewa. Tapi tanah telah menempati tempat yang istimewa di dalam konstruk kepercayaan agama-agama dunia dan lokal, selama ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Mulai dari ciptaan, kebesaran, simbol, berikut yang paling intim dan mendalam adalah “manifestasi/citra Tuhan”. Berbagai kitab suci, figur-figur sakral, hingga aturan-aturan ketat agama dan kepercayaan lokal ini, bahkan serasa tak lengkap jika tak bicara soal tanah.
Kenyataan semacam ini saya temukan salah satunya di dalam konstruk kebudayaan, pengetahuan lokal, dan bahasa Gorontalo. Di Gorontalo, tanah disebut huta. Posisi huta menjadi begitu sentral karena selain menjadi tempat di mana kebudayaan agrikultur terjadi sejak awal dan terus berkembang, juga merupakan salah satu basis adat Gorontalo—selain angin (dupoto), api (tulu) dan air (taluhu)—yang saling menyangga. Salah satu syair bersajak (tuja’i) yang menjadi fundamen hukum adat Gorontalo itu berbunyi “huta-huta lo ito Eya”, atau “tanah-tanah itu milik Tuanku”. Kuno Kaluku dan Agiorno Dungga masing-masing di dalam makalah Seminar Adat Gorontalo tahun 1971 bahkan menyebut bahwa seluruh praktik dan tradisi masyarakat Gorontalo itu bermuara pada rekognisi terhadap huta sebagai adati asali (adat asli). Penting dicatat bahwa tuja’i ini muncul sebelum pengaruh Islam datang, setidak-tidaknya, diketahui pada abad ke-15. Pun ketika Islam benar-benar menempati puncak di era keemasannya pada pemerintahan Eato (1673-79), posisi syair ini enggan tergantikan.
Rekognisi terhadap huta memberi inspirasi terhadap bahasa, praktik pertanian, hingga ritual lokal yang berkaitan satu-sama lain. Pada aspek bahasa, kita menemukan beberapa kata yang menggunakan huta sebagai pelengkap, boleh jadi merubah arti, namun tidak melepaskan substansinya sebagai “sumber”. Ambil contoh pada kata bilu-huta (siram), pohutu (buat), dan bu-huta (ikat). Tiga kata ini memiliki arti berbeda. Namun jika dilekatkan pada konteks menerima tamu di rumah, maka tuan rumah akan lebih sering menggunakan “po-mu-huta/bu-huta pomayi teyi/kopi tiyo”, ketimbang “pohutuwamayi teyi/kopi tiyo”, atau bahkan “bilu-huta-pomayi teyi/kopi”—yang justru tidak relevan meskipun secara preskriptif demikian—kepada si tamu. Mengapa demikian? Sebab di dalam kata “bilu-huta” (siram), yang telah menjadi po-mu-huta/bu-huta-pomayi teyi/kopi, ada intensi untuk menciptakan dan menghidupkan “ikatan” persaudaraan lewat secangkir kopi/teh, tinimbang sekadar membuatkannya (pohutu).
Sedangkan pada aspek pertanian, huta adalah satu-satunya entitas yang memiliki helidu, yang berarti keniscayaan/kesetujuan terhadap dualitas. Di dalam corak masyarakat lokal Gorontalo, helidu pada huta ini berarti sebuah kepastian, bahwa apa pun yang ditanam di tanah pasti memiliki keniscayaan: jika tidak untuk tumbuh (tumula), maka apa pun itu, semestinya akan punah (moodu). Jika itu tumbuh, maka ia berguna (ohunaliyo); namun jika tidak, maka ia tidak lain membawa derita (modutolo). Menariknya, penggunaan helidu ini secara langsung menampakkan ciri masyarakat Gorontalo yang agraris dan bergantung pada tanah untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Helidu tidak ada pada di dalam kebudayaan masyarakat pesisir Gorontalo. Sebab laut tidak memiliki kepastian. Para nelayan tidak selalu mendapatkan tangkapan ikan setiap pergi melaut berminggu atau berbulan-bulan, namun setiap petani akan menuai apa pun yang mereka tanam.
Terakhir, huta juga muncul pada satu-satunya ritual di Gorontalo yang terekognisi di dalam hukum adat: Mopo’a Huta. Praktik ini ini adalah pelengkap dalam ritual Dayango. Para figur kunci seperti Wombuwa enggan menyebut Mopo’a Huta sesuai dengan arti literalnya, yakni “memberi makan tanah”. Sebab pertama, huta di dalam praktik Mopo’a Huta merujuk pada “alam” sebagai satu-kesatuan utuh tak bercerai yang menjadi daras segala kehidupan. Kedua, Mopo’a Huta menyimpan tindakan berbagi (tayadu) untuk sesama. Menariknya, penggunaan kata “sesama” dalam tayadu ini tidak hanya antara manusia, namun juga antara manusia dan entitas “diri non-manusia”, seperti gunung (huidu), hutan (ayuwa), laut (deheto), danau (bulalo), sungai (dutula), dsbg., dengan masing-masing lati sebagai “diri” (person) yang hidup di dalamnya. Lati, yang secara literal berarti “setan”, justru bermakna “diri-yang-lain” namun direkognisi sebagai manusia, karena mereka memiliki intensi, karakter, sifat—yang secara langsung atau tidak dapat memengaruhi kehidupan masyarakat pada umumnya.
Kesadaran di balik tayadu ini berjangkar pada satu pandangan dunia bahwa kosmos tidak hanya dihuni oleh manusia, melainkan juga entitas non-manusia. Kosmologi ini pun membentuk corak “epistemologi relasional” yang meniscayakan hubungan di antara manusia dan entitas non-manusia agar saling bergantung (interdependen). Setiap tingkah laku yang dilakukan manusia di atas huta akan memengaruhi seluruh ekosistem di dalamnya yang ditinggali oleh lati. Jika manusia berkomitmen untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan kosmos, maka yang terjadi adalah koeksistensi bersama di atas huta. Namun jika tidak, maka yang datang justru adalah malapetaka berupa bencana seperti banjir (taluhe da’a), longsor (tonggabu), gempa bumi (liluhu), kemarau (polodulahe), dsbg. Dengan demikian, di dalam alam pikir masyarakat Gorontalo, apa pun tidak bisa bercerai.
Kesadaran terhadap koeksistensi bersama inilah yang lantas melandasi praktik Mopo’a Huta di dalam ritual Dayango yang dipraktikkan oleh masyarakat lokal. Mopo’a Huta telah menjadi sebuah “kontrak primordial” antara manusia dan alam semesta sepanjang peradaban. Penting sekali lagi untuk diingat bahwa hukum adat Gorontalo juga telah merekognisi kontrak ini ke dalam kategori buto’o hunggia (adat kerajaan), pun setelah mengalami berbagai perjumpaan dengan Islam, dan tak berubah-ubah sampai saat ini. Islam, dalam hal ini, justru telah melengkapi bagaimana Mopo’a Huta dipraktikkan lewat berbagai doa dan shalawat yang diucapkan oleh para praktisinya saat ritual. Sayangnya, para akademisi bahkan baate (pemangku adat) menepis, bahkan enggan menyebut Mopo’a Huta sebagai bagian dari adat Gorontalo.
Tentu ada berbagai faktor yang meminggirkan Mopo’a Huta, seperti tuduhan sesat, animis, hingga yang paling tidak relevan adalah bagian dari PKI di tahun 65. Namun demikian, tidak satupun tuduhan ini yang dibenarkan oleh para praktisi Dayango. Sebaliknya, mereka justru menyebut bahwa Mopo’a Huta adalah bagian daripada adat dan Islam di Gorontalo. Argumen ini tentu saja punya daras dan pernah dibela mati-matian oleh para akademisi Gorontalo di tahun 70an, seperti Kuno Kaluku, Agiorno Dungga, Tahir A. Giu, di tahun 1971 lewat Himpunan Naskah Seminar Adat, hingga yang paling mentereng adalah Samin Radjik Nur, maha guru hukum adat Gorontalo di dalam disertasinya itu. Keempatnya kukuh mempertahankan bahwa Mopo’a Huta adalah adat Gorontalo, yang menjadi hukum adat Gorontalo, karena praktik tersebut adalah manifestasi dari rekognisi manusia terhadap anasir alam semesta, yang salah satunya adalah huta.
Beberapa penjelasan di atas, dengan demikian, akan berujung pada satu simpulan konkrit: bahwa huta (dan tiga anasir lainnya) memiliki posisi yang istimewa—juga sakral—di dalam proses pembentukan pengetahuan masyarakat lokal Gorontalo yang merembes ke dalam bahasa, praktik keseharian, ritual, hingga hukum adat setempat. Pada saat yang sama, praktik ini dibuhul oleh satu kesadaran yang membentuk corak berpikir masyarakat lokal tentang “relasionalitas”, bahwa posisi manusia tidak bercerai, bahkan justru saling bergantung dengan berbagai entitas (non-manusia) di alam semesta untuk saling berbagi dan mencukupi.
Sayangnya, argumen tentang relasionalitas ini justru absen dari percakapan sehari-hari, sehingga, apa yang muncul di pikiran dan benak kita saat ini adalah tanah tok’ sebagai objek. Tanpa sadar, hal ini justru mereduksi makna tanah sebagai huta, dari yang sebelumnya merupakan entitas yang hidup dan menghidupkan, justru menjadi benda mati yang tidak berguna kecuali dirampas, dieksploitasi, dan dihancurkan untuk kepentingan segelintir manusia saja. Jika mereka adalah orang-orang di luar Gorontalo yang datang menginvasi, tak ada syukur untuk itu. Tetapi jika mereka manusia Gorontalo, yang di dalam darahnya mengalir darah para tetua (mongopanggola), maka mereka tidak lain adalah perusak! Tapi bukankah kisah-kisah peradaban manusia, yang di dalamnya terdapat perampasan, membuat hal ini niscaya terjadi?***
Leave a Reply