Hari Hutan Indonesia: Gorontalo Mengalami Deforestasi

Kondisi Bentang Alam Kota Gorontalo (Foto: Sarjan Lahay/Benua Indonesia)

TANGGAL 7 Agustus dipilih untuk merefleksikan disahkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019, tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.  Sehingga hari ini ditetapkan menjadi hari hutan Indonesia.

Hutan adalah kunci untuk memerangi perubahan iklim, dan untuk berkontribusi pada kemakmuran dan kesejahteraan generasi sekarang dan masa depan. Hutan juga memainkan peran penting dalam pengentasan kemiskinan dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Tak hanya itu, Hutan adalah ekosistem yang paling beragam secara biologis di darat, rumah bagi lebih dari 80 persen spesies hewan, tumbuhan, dan serangga darat. Namun terlepas dari semua manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan kesehatan yang tak ternilai ini, deforestasi global terus berlanjut pada tingkat yang mengkhawatirkan. Misalnya yang terjadi di Gorontalo.

Hutan alam di Gorontalo pada tahun 2000 ada 823,390 ha, tahun 2009 mengurung menjadi 735,574 ha, tahun 2013 kembali mengurang menjadi 715,293 ha, dan pada tahun 2017 kembali lagi mengurang menjadi 649,179 ha. Persentase luas hutan alam tahun 2017 per Kabupaten diantaranya, untuk Boalemo 46 %, Bone Bolango 66%, Gorontalo 24 %, Gorontalo utara 39%, dan Pohuwato 73%.

Penggundulan hutan, tegakan pohon (stand of tressi) atau deforestasi di Gorontalo dari tahun ke tahun mengalami kenaikan angka persentase. Di mana deforestasi pada tahun 2000 sampai 2009, ada konsesi 31,252 ha, dan ada 56.560 ha di luar konsesi. Selanjutnya, deforestasi pada tahun 2009 sampai 2013, ada konsesi 11,801, dan ada 8,484 ha di luar konsesi, sementara deforestasi pada tahun 2013 sampai 2017, konsesi ada 39,085 ha dan ada 27,029 ha di luar konsesi.

Deforestasi pada tahun 2013 sampai 2017, itu terjadi di tersebar di kabupaten yang ada di Gorontalo, yaitu diantaranya Boalemo 5,786 ha, Bone Bolango 5,573 ha, Gorontalo 12,524 ha, Gorontalo utara 20,672 ha, dan Pohuwato 21,560 ha.

Pada tahun 2000 sampai 2009, deforestasi terjadi pada Tumpang Tindih 3,808 ha, Hutan Tanaman Industri (HTI) 5,732, Perkebunan Kelapa Sawit 705 ha, Tambang 21,008 ha, di luar konsesi 56,560 ha. Pada tahun 2009 sampai 2013, deforestasi terjadi pada Tumpang Tindih 3,133 ha, Hutan Tanaman Industri (HTI) 987, Perkebunan Kelapa Sawit 1,645 ha, Tambang 6,036 ha, di dan luar konsesi 8,484 ha.

Sementara pada tahun 2013 sampai 2017, deforestasi terjadi pada Tumpang Tindih 11,174 ha, Hutan Tanaman Industri (HTI) 9,819 ha, Perkebunan Kelapa Sawit 4,517 ha, Tambang 13,575 ha, di luar konsesi 27,029 ha.

 

Sarjan Lahay
Sarjan Lahay adalah seorang jurnalis lepas di Gorontalo, sebuah provinsi di pulau Sulawesi yang sering disebut sebagai Serambi Madina. Ia memulai karir jurnalistiknya pada tahun 2018, dengan menjadi reporter di beberapa media lokal. Sarjan sangat tertarik dengan isu lingkungan dan ingin berbagi cerita masyarakat Gorontalo yang terkena dampak pencemaran lingkungan untuk menjangkau khalayak yang lebih luas di luar provinsi. Pada awal tahun 2021 ia menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia hingga sekarang.