Green Paradox dan Dilema Mobil Listrik serta BBM

Ilustrasi (Sumber gambar: Pixabay)
Ilustrasi (Sumber gambar: Pixabay)

Penulis : Fadhil Hadju

Mungkin bukan urusan saya ketika melihat berita di media bahwa Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo akan mengundang Elon Musk ke negeri ini. Namun yang menjadi persoalan adalah ketika Founder Tesla itu diundang ke suatu negara tentu saja akan ada suatu persetujuan dan kerjasama dalam rangka mendatangkan teknologi energi hijau.

Melansir tempo.co pada november 2022 nanti, presiden RI akan mengundang Elon Musk berkunjung ke Indonesia. Pasalnya kunjungan presiden ke kantor perusahaan Space X milik Elon menjadi dasar kunjungan itu. Ya, tidak ada yang salah dengan kunjungan tersebut. Setidaknya presiden memiliki rencana baik mendatangkan kendaraan bermodel ramah lingkungan atau go green.

Mobil listrik atau elctricity car boomning di berbagai media. Disebut bahwa, dengan adanya kendaraan tersebut maka gejala polusi udara yang ditimbulkan oleh mobil berbahan bakar minyak/fosil (BBM) akan berkurang. Namun, apakah anda sekalian menyadari bahwa dibalik keindahan logika Elon tentang baiknya sumber energi listrik tersebut ada jebakan green paradox di dalamnya.

Green paradox pertama kali diperkenalkan oleh Ekonom Jerman Hans-Wener Sinn (2012) dalam bukunya berjudul Green Paradox A Supply-Side Approach to Global Warming. Dalam buku tersebut, sebutnya green paradox mengemukakan masa depan dengan mengungkapkan bahwa pengurangan penggunaan bahan dasar karbon akan berdampak pada percepatan krisis iklim. Dia berfokus pada kebijakan hijau (green policy) yang ditetap oleh pemimpin dunia dalam rangka melawan perubahan iklim atau krisis iklim.

Sinn mengungkapkan Green Paradox adalah kekuatan utama dibalik jatuhnya harga energi. Kebijakan pemerintah harus menyadari dampak daripada green paradox yakni, energi hijau yang dianggap baik akan lebih mengancam iklim, terutama pada penggunaan bahan bakar fosil secara masif. Pemerintah dan seluruh unsur pembuat kebijakan seharusnya tidak naif dalam menyadari penggunaan energi alternatif, kata Sinn. Dan juga sambungnya, mereka (pemerintah) harus berhenti bermimpi tentang energi apa yang digunakan 30 tahun kedepan, mereka lebih berfokus pada koordinasi tindakan efektif bersama.

Transisi Energi Hijau melalui Presidensi G20

Lagi-lagi pemerintah kita ingin bersikeras melancarkan keinginan sebaiknya melalui kebijakan perubahan penggunaan energi fosil pada kendaraan (BBM), menuju ke penggunaan yang ramah lingkungan dengan energi listrik.

Melansir Kompas.com, Presiden RI Joko Widodo resmi meluncurkan program Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak Swasta pada februari 2022 lalu.

Menurut Jokowi, upaya meningkatkan penggunaan kendaraan listrik merupakan salah satu strategi untuk mencapai target Indonesia menurunkan emisi sebanyak 29 persen di 2030 dan mencapai target emisi nol atau net zero emission pada 2060.

Tapi apakah benar dengan beredarnya kendaraan listrik akan menjadi penyebab turunnya emisi karbon sebanyak 29 persen ? Ya, memang hal itu benar adanya. Namun perlu kita ketahui, solusi hijau belum benar-benar hijau.

Ada banyak pendapat dari para ahli mengenai kesalahpahaman kita tentang penggunaan energi hijau ini. Salah satunya telah saya paparkan tentang green paradox pendapat Hans-Wener Sinn (2012). Ada satu lagi yang perlu kita ketahui tentang betapa pemahaman kita masih perlu diperbaiki tentang penggunaan green energy tersebut.

Pada channel youtube WION dengan judul GRAVITAS : The Dark Side Of Electric Vehicles menayangkan kendaraan yang disebut sebagai ramah lingkungan dan bersih tersebut sebenarnya tidak benar-benar bersih dan ramah lingkungan. Ada sebuah kenyataan di dalamnya. Baterai yang digunakan adalah hasil dari perbudakan dan mempekerjakan anak-anak dan kondisi memilukan lainnya.

Sumber energi dari baterai yang digunakan pada kendaraan listrik yakni, dari Lithium (Li) dan Cobalt (Co). Penggunaan Cobalt paling banyak pada baterai. Konsumsi untuk kendaraan listrik yakni 4 – 30 Kg Cobalt per baterai. Bahan dasar batu ini dapat ditemukan di berbagai sisi dunia seperti : Australia, China, Kuba, Filipina, Rusia, Kanada, Madagaskar, Amerika Serikat, Papua Nugini, Afrika Selatan, Maroko dan lainnya. Tapi 70 persen asal dari bahan ini adalah dari Negara Demokratik Kongo.

Metode yang digunakan dalam menambang batu Cobalt ini ada dua jenis menurut WION, yakni Industri Skala Besar dan Skala Kecil. Perbedaannya, Industri skala kecil tak memiliki payung hukum dan tak memiliki protokol keamanan. Sedang produksi cobalt yang diperoleh mencapai 20-30 persen. Ada sejumlah 200 ribu penambang yang bekerja, diantara jumlah tersebut ada 40 ribu anak umur 6 tahun yang dipekerjakan. 

Anak-anak ini dipekerjakan setiap harinya. Mereka memasuki lubang pertambangan untuk memperoleh batu cobalt. Tak jarang banyak yang meninggal saat pencarian di dalam lubang pertambangan itu. Sedang perjuangan mereka itu tak sebanding dengan yang diperoleh. Mereka memperoleh keuntungan dari penambangan itu sejumlah kurang dari 1$.

Ada korban-korban yang bergunung dibalik suksesi perubahan penggunaan energi kendaraan ini. Tapi tak juga bisa kita pungkiri bahwa, penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari energi fosil ini juga berbahaya untuk bumi. Melansir NRDC, mengungkapkan hasil riset yang mengatakan bahwa polusi yang ditimbulkan dari energi fosil ini menyebabkan kematian satu dari lima orang setiap harinya di dunia. Menurut riset, sejumlah 2,5 pm pembakaran bahan bakar fosil bertanggung jawab akan kematian 8,7 juta orang secara global pada 2018.

Dilema yang terjadi dalam kehidupan umat manusia ini tak terhindarkan. Di satu sisi kita tercekik dengan udara kotor bahan bakar fosil, dan dengan gagahnya kita membuat suatu terobosan dengan menciptakan sumber alternatif bahan bakar listrik, tetapi kita tak sadar ada konsekuensi besar dibaliknya.

Dari hal ini pemerintah Indonesia juga harus mempertimbangkan tentang kebijakan hijau yang akan dilaksanakan tersebut dalam Presidensi  G20.

Apakah ada solusi alternatif ?

Melansir theguardian, dalam artikel yang berjudul Electric Cars are Not the Only Green Solution. Chris Barker, mengatakan bahwa segala jenis kendaraan yang ada di dunia adalah hal buruk yang menyebabkan polusi. Selain menyebabkan polusi, semakin terkomersialisasikannya kendaraan listrik yang katanya ramah lingkungan ini, maka konsumsi masyarakat akan meningkat. Seiring dengan itu, jumlah kendaraan akan bertambah di jalan-jalan, dan akhirnya jalanan akan macet.

Adapun solusi yang bisa kita lakukan yakni, dengan menyebarkan dan mempromosikan budaya jalan kaki, bersepeda dan menggunakan transportasi umum serta mengurangi hasrat untuk berkelana atau traveling kita. Tetapi apa benar itu menjadi solusi alternatif kita?