- Sepeda bambu Spedagi kembali membuktikan kekuatannya kuat dikayuh untuk jarak sejauh 2.100 km. Dalam tur Gowes Lestari, tiga pesepeda mengkampanyekan hidup yang lestari.
Pekan ketiga Januari ini, menjadi pekan penuh kesan bagi Singgih Susilo Kartono. Spedagi, sepeda bambu karya desainer asal Temanggung ini kembali ramai menghiasi media. Pertama, karena Presiden Joko Widodo membawa Spedagi dalam car free day (CFD) di Jakarta pada Minggu, 15 Januari 2023. Kedua, sehari kemudian, tim Gowes Lestari membuktikan bahwa Spedagi mampu dibawa melaju sejauh 2.100 km dari Jakarta ke Flores, Nusa Tenggara Timur.
Tim Gowes Lestari, yang terdiri dari Bob Aria Bharuna, Yayak M Saat, dan Agus Yuliyono melaju menggunakan Spedagi seri Dalanrata mulus tanpa hambatan hingga tujuan. Dengan sepeda bambu karya dalam negeri itu, mereka berangkat dari Monumen Nasional, Jakarta, pada 2 Januari 2023, sukses menapak tujuan Kampus Bambu Turetogo di Kabupaten Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur pada 16 Januari 2023.
Ketiganya menggunakan sepeda bambu, yang dirakit dengan setingan turing jarak jauh, dengan membawa barang bawaan yang terhitung cukup berat. Konsep Gowes Lestari kali ini adalah gowes mandiri tanpa kendaraan penyokong yang mengiringi. Gowes Lestari kali ini didukung oleh Journey To Zero, sebuah wadah yang ditunjukkan bagi siapa saja yang memiliki tujuan yang sama, yaitu berperan aktif untuk langit dan lingkungan yang lebih baik. Gowes Lestari juga menjadi sarana melestarikan aktivitas bersepeda sebagai bagian dari kehidupan.
Menurut Bob, kualitas Spedagi nyaman dipakai perjalanan jarak jauh. “Kami hampir tiap hari gowes. Kalau lewat jalan yang tidak rata, sangat nyaman. Cukup bagus meredam jalanan tidak rata, jadi badan tidak pegal dan capek,” ujar Bob, Jumat (20/1/2023).
Spedagi bukan kali ini saja terbukti kuat dibawa melaju jauh melipat jarak. Pada 2016, Bob pernah menguji Spedagi sejauh 500 km dari Jakarta ke Temanggung. Poetoet Sodarjanto, Ketua Bike To Work Indonesia (B2W), pernah memanfaatkannya untuk mudik pada 2017. Sepeda itu dikayuh dari Jakarta ke Madiun menempuh jarak 745 km tanpa kerusakan. Bahkan Spedagi mampu melipat jarak 1.200 km pada ajang Paris-Brest-Paris Randonneur 2019. Tahun lalu, pada Juni-Agustus, Spedagi juga digunakan dalam Journey from Zero yang menghubungkan Banda Aceh ke Bali sejauh 4.224 km.
Karena Kolesterol
Spedagi diciptakan oleh Singgih pada 2013. Ide membuat sepeda bambu itu terpercik di benak desainer lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu karena naiknya kadar kolesterol. Gangguan kesehatan itu membuatnya rutin bersepeda tiap pagi di sekitar rumahnya di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah. Jalanan yang lengang dan hawa sejuk menciptakan atmosfer yang cocok untuk menggenjot pedal. Belakangan, daya kreatifnya tergugah. Hobi barunya itu mendorongnya memanfaatkan bambu sebagai bahan dasar untuk membuat kerangka sepeda.
Opsi untuk bambu masuk akal belaka. Tumbuhan tersebut berlimpah di Indonesia dan pemanfaatannya untuk kereta angin sudah ada contohnya. Craig Calfee, misalnya. Desainer asal La Selva Beach, California, Amerika Serikat itu merupakan pionir sepeda bambu. Dia tidak mendapatkan bahannya dari negara asalnya, tapi Ghana, Afrika Barat.
“Saya merasa tertampar,” kata Singgih. Wajar, di kampungnya pohon bambu berlimpah-limpah.
Maka, pada 2013 Singgih memulai proyek barunya: merakit sepeda bambu. Mereknya Spedagi, akronim dari sepeda pagi, rutinitas Singgih. Bambu dipilih karena jumlahnya berlebih, sanggup menahan getaran, dan ramah lingkungan. Ia memakai bambu petung (Dendrocalamus asper) yang dikenal kuat sebagai bahan konstruksi dan mudah ditemukan di Indonesia.
Pun demikian, tidak mudah bagi Singgih untuk menciptakan desain dan melangsungkan produksi yang tepat. Dia meluncurkan bermacam uji coba dan melahirkan berbagai prototipe.
“Kira-kira, saya habis lima tahun untuk bisa menemukan desain yang sesuai,” ujarnya.
Seiring waktu, Spedagi tersedia dalam empat jenis yang nama-namanya diambil dari khazanah lokal: Dalanrata (road bike), Dwiguna (dual track), Rodacilik (minivelo), dan Gowes Mulyo (Joy Bike). Singgih juga mengembangkan produk lain seperti Engkrak (helm) dan sadel dari bambu.
Menurut Bob Bharuna, kualitas Spedagi seri Dalanrata makin bagus. Dibanding ketika awal mencobanya. “Dulu agak lentur (flexing), kini semakin rigid. Saya bawa barang 25 kg tak terlalu lentur,” jelasnya.
Menurut Bob, sepeda bambu layaknya seperti sepeda besi biasanya. “Saya sering pakai untuk perjalanan Jakarta dan luar kota. Saya pakai nyaman-nyaman aja. Kalau sudah biasa, dengan gear ratio yang sudah kami tentukan, ya sama saja nyamannya,” kata Bob.
Secara teknologi Spedagi belum bisa seringan sepeda dari bahan karbon, karena sebagian komponennya masih dari besi. Sebenarnya bisa saja mengkombinasikan bambu dengan komponen dari karbon. Namun bisa mendongkrak harganya. Di situs webnya tertera harga frame sepeda berkisar Rp5,5 juta–Rp6,5 juta.
Kiprah Mendunia Sepeda dari Desa
Walau diproduksi di desa, namun Spedagi memiliki kiprah yang mendunia. Pada 2017, karya Singgih ini diganjar penghargaan perunggu Design for Asia (DFA) Awards. Setahun kemudian, Spedagi menyabet medali emas di Japan Good Design Awards (G-Mark). Bahkan gagasannya tentang bambu sebagai solusi disambut di Jepang, dengan pendirian Spedagi Jepang.
Di sisi lain, Spedagi juga unjuk gigi dalam ajang Konferensi Tingkat Tinggi Government 20 (KTT G20) November tahun lalu. Dalam ajang itu, Singgih meluncurkan Spedagi seri GoRo alias Gotong Royong Nusantara. “G20 adalah forum yang penting, karena bisa menjadi sarana publikasi bagi revitalisasi desa,” ujarnya.
Spedagi desain baru ini memiliki roda depan lebih kecil dibandingkan dengan roda belakangnya. Rancangan itu memiliki makna filosofis: sudah seharusnya negara-negara kecil yang menentukan arah politik global ketimbang negara-negara besar.
“Karena selama ini kepemimpinan negara-negara besar juga tak lebih baik,” kata Singgih.
Sepeda itu merupakan karya bersama beberapa lembaga secara gotong royong dalam mengkampanyekan kendaraan rendah karbon, pemberdayaan desa, dan green mobility.
Sumber: Arung Kala Komunika Indonesia
Leave a Reply