Film “Before You Eat”, Babak Baru Perjuangan Keadilan di Industri Perikanan

Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) bersama Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai di depan Istana Kepresidenan Jakarta, (Adhi Wicaksono/Greenpeace)
Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) bersama Greenpeace Indonesia melakukan aksi damai di depan Istana Kepresidenan Jakarta, (Adhi Wicaksono/Greenpeace)

Momen peringatan Hari Buruh Internasional tanggal 1 Mei dan Hari Tuna Sedunia tanggal 2 Mei tahun ini sekaligus menjadi momen penting bagi Greenpeace Indonesia untuk mendukung publikasi film dokumenter “Before You Eat” Director’s Cut yang diproduksi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Film dokumenter “Before You Eat” Director’s Cut telah diluncurkan secara global melalui landing page-nya, www.beforeyoueat.id. Setelah sukses menjangkau lebih dari 5.000 penonton melalui rangkaian nobar luring di Indonesia sepanjang 2022 dengan film “Before You Eat” (BYE) versi original, versi director’s cut ini dibuat untuk menjangkau lebih banyak penonton di seluruh dunia.

Perbedaan utama film BYE versi awal dan versi director’s cut adalah pada durasi–dari yang semula 97 menit menjadi 47 menit. Kendati demikian, kedua film ini tetap memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan kesadaran publik tentang pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di laut lepas akibat aktivitas para pelaku industri perikanan global.

BYE Director’s Cut menitikberatkan pada kisah pengalaman bekerja di kapal penangkap ikan asing yang dituturkan langsung oleh para awak kapal perikanan atau ABK migran Indonesia.

Film yang diproduksi oleh SBMI ini didukung oleh Greenpeace Indonesia dalam distribusi melalui beragam kegiatan kampanye publik. Hal ini dikarenakan, sebagai organisasi lingkungan yang salah satunya bergerak dalam upaya pelindungan laut, Greenpeace Indonesia juga memiliki perhatian yang tinggi terhadap isu pelindungan ABK dan memperjuangkan keadilan di industri perikanan.

Sebab, praktik pelanggaran HAM terhadap ABK hampir selalu terjadi di kapal-kapal penangkap ikan jarak jauh yang juga melakukan praktik perikanan ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan (IUU fishing) yang merusak lingkungan.

Sejak film BYE Director’s Cut rampung diproduksi pada Oktober 2023, film ini sudah ditayangkan secara luring di sejumlah kegiatan nobar di Indonesia, Taiwan dan Amerika Serikat–melalui kegiatan yang diinisiasi dan diselenggarakan secara kolaboratif oleh SBMI, Greenpeace Indonesia, Greenpeace Taiwan dan Greenpeace USA.

Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno mengatakan, tanpa menunjuk secara spesifik negara mana atau perusahaan perikanan apa yang terlibat dalam praktik kerja paksa dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi terhadap ABK migran, film ini berusaha menggambarkan realitas di balik industri perikanan global.

Hariyanto bilang, harapan SBMI dalam membuat film BYE Director’s Cut bisa disaksikan secara online streaming, karena ini menjadi sebuah kesempatan langka di mana para ABK migran mendapat wadah agar pengalaman dan ceritanya bisa didengar oleh khalayak di seluruh penjuru dunia.

“Semakin banyak orang yang tahu kisah mereka, semakin besar perjuangan kita untuk mengakhiri praktik perbudakan di laut dan perikanan ilegal.” Kata Hariyanto Suwarno melalui siaran pers yang diterbitkan Greenpeace Indonesia.

Sementara itu, Sutradara Kasan Kurdi menjelaskan, dirinya terinspirasi membuat film ini karena ‘terganggu’ oleh sebuah ironi dari kisah para awak kapal ikan migran yang bekerja di laut. Di satu sisi mereka bekerja untuk ‘memberi makan’ konsumen seafood dunia, di sisi lain mereka juga harus memberi makan keluarga mereka.

“Kondisi itu ternyata tidak banyak berubah setelah 2-3 tahun sejak film BYE versi asli diproduksi. Dan saya yakin inti pesan dari film BYE dan BYE Director’s Cut ini akan selalu relevan hingga waktu yang sangat lama,” katanya.

Pimpinan Global Kampanye Beyond Seafood, Greenpeace Asia Tenggara, Arifsyah Nasution mengatakan hal serupa. Ia bilangi, film ini adalah babak baru bagi kerja kampanye strategis dan kolaboratif kami dengan SBMI untuk mendesak keadilan, keberlanjutan dan transparansi dalam industri makanan laut global.

“Sejak menjalin kerja sama dengan SBMI hampir sedekade silam, Greenpeace Asia Tenggara khususnya Indonesia telah mendukung menyuarakan kisah-kisah para ABK migran, sementara SBMI melakukan kerja-kerja advokasi bagi mereka di lapangan.

Arifsyah menjelaskan, pihaknya sangat terinspirasi oleh keberanian para nelayan migran untuk bersuara serta komitmen SBMI yang terus mendorong film ini agar ditonton semakin banyak orang di dunia.

“Semoga film ini juga terus menginspirasi lebih banyak penonton dan gerakan-gerakan nelayan demi membuat perubahan nyata untuk menghentikan perbudakan di laut dan perikanan ilegal secara global,” pungkasnya

Staf Redaksi Benua Indonesia