Ermi Mauke, Perempuan Penjaga Hutan Suwawa Gorontalo

Ermi Mauke, penjaga hutan Sawawa (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Ermi Mauke, penjaga hutan Sawawa (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
  • Ermi Mauke, nenek usia 73 tahun ini kuat mendaki gunung untuk menjaga dan merawat hutan di Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
  • Hutan di pemukiman Ermi itu, awalnya rusak karena marak pembalakan liar dan pertambangan emas ilegal.
  • Ermi tak pelit berbagi benih maupun bibit, seperti kopi kepada warga lain. Ermi juga mengajak warga tanam beragam, tak hanya satu tanaman.
  • Hutan memiliki nilai spiritual erat dengan manusia. Upaya melindungi dan memulihkan hutan sebagai bentuk memulihkan diri dalam memperdalam hubungan spiritual dengan sang pencipta.

Ermi Mauke masih terlihat kuat kala mendaki gunung di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang tak jauh dari Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Gunung dengan kemiringan sekitar 20 derajat itu, begitu mudah di dakinya meski sudah berumur 73 tahun.

“Walaupun sudah tua begini, saya masih kuat untuk mendaki gunung,” kata Ermi Mauke saat mengajak Mongabay untuk melihat hutan-hutan yang dirawatnya sudah puluhan tahun di kawasan pegunungan Suwawa yang tak jauh dari Desanya, pada 20 April Kemarin.

Perempuan paruh baya itu mau pergi ke salah satu hutan yang sejak Tahun 1982 di rawatnya. Hutan itu awalnya merupakan hutan yang sudah rusak akibat illegal logging dan perambahan pertambangan emas tanpa izin (PETI) yang ada di sekitaran kawasan itu. Ermi merestorasi hutan itu secara mandiri bersama keluarganya dengan menanam tanaman yang masuk dalam tanaman konservasi.

Tanaman yang ditanamnya antara yaitu; kopi, kecapi, kemiri, limau, jambu mete, alpukat, durian dan beberapa tanaman biji-bijian yang bisa ditanam menggunakan sistem agroforestry. Semuanya memiliki nilai ekonomis, dan bisa memenuhi kebutuhan papan Ermi untuk kebutuhan sehari-hari dengan keluarganya. Ia bilang, semua itu dilakukannya untuk melindungi dan merawat hutan agar tetap lestari.

Ermi merupakan salah satu warga transmigrasi lokal asal Kecamatan Atinggola, Kabupaten Gorontalo Utara, yang dikirim oleh pemerintah pusat pada tahun 1982 di Desa Tulabolo Timur, salah desa terdalam di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango. Jarak Desa itu sekitar 36 Kilometer dari Pusat Kota Gorontalo, atau harus membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua untuk menuju ke desa itu.

Ermi bercerita, dahulu kawasan hutan yang tak jauh dari desanya itu sangat marak illegal logging dan pertambangan emas tanpa izin yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Ada sejumlah hutan yang dibabat untuk diambil pohonnya untuk dijual. Bahkan lahan perkebunannya yang diberikan pemerintah dengan luas satu hektar juga menjadi korban saat itu. Mulai dari situlah ia berpikir untuk melakukan restorasi hutan.

Restorasi hutan yang dilakukan saat itu berawal dari pengatasnamaan lahan. Ia mengatasnamakan lahan di kawasan hutan itu sekitar empat hektar itu menjadi miliknya. Tujuannya, agar masyarakat penambang dan yang melakukan illegal logging saat itu tidak mau melakukan pembabatan hutan. Ia bilang, langka itu yang hanya bisa dilakukannya agar hutan itu terlindungi.

Ermi Muake, di kebun beragamnya. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Ermi Muake, di kebun beragamnya. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Setelah sudah memiliki lahan-lahan itu, Ermi mulai melakukan penanam pohon-pohon yang memiliki nilai ekonomis. Ia sangat menghindari tanaman monokultur yang notabene dapat merusak struktur tanah dan lingkungan, misalnya tanaman jagung. Sejak itulah, ia dan keluarganya merawat hutan itu hingga kini.

Selain itu, sesekali dirinya juga kerap mengelilingi hutan itu guna memastikan tidak ada lagi praktek-praktek ilegal yang dapat merusakan hutan. Ia bilang, hutan merupakan rumah dan sumber pangan, yang harus dijaga kelestariannya. Alhasil, praktek-praktek ilegal di kawasan hutan yang dijaganya, sudah tidak ada lagi.

“Sudah tak ada lagi yang menebang pohon di sini, karena saya sudah larang. Hampir setiap hari saya menjaga hutan ini, jadi orang-orang juga takut untuk merusak hutan ini,” kata Ermi

Tak hanya itu, Ia juga kerap mengajak kepada masyarakat sekitar untuk menanam pohon-pohon di perkebunan mereka. Bibit kopi yang dimilikinya kerap dibagikan ke masyarakat. Ia berkeinginan, pola pertanian masyarakat Gorontalo yang hanya bergantung pada tanaman jagung bisa merubah. Kopi yang merupakan tanaman konservasi menjadi rekomendasinya kepada masyarakat untuk dikembangkan.

Bukan hanya itu, bentuk kepeduliannya dalam menjaga hutan karena melihat banyak keanekaragaman hayati didalamnya untuk patut dijaga. Apalagi, hutan yang dijaganya menjadi penyangga kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBN) yang merupakan salah satu taman nasional terbesar di Pulau Sulawesi,

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) mencakup dua wilayah: Kabupaten Bone Bolango (Gorontalo) seluas 110.000 hektar dan Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) dengan luas 282.008,757 hektar. Taman nasional ini merupakan sebuah kawasan vegetasi hutan hujan, dan menjadi taman nasional terbesar di Pulau Sulawesi.

Di dalam Taman Nasional ini, teridentifikasi ada 125 jenis burung, 24 jenis mamalia, 23 jenis amfibi dan reptil, serta ada 289 jenis pohon. TNBNW ini menjadi habitat bagi flora endemic seperti cempaka, palem matayangan, dan nantu. Kawasan ini berbatasan langsung dengan 125 Desa termasuk Desa Tulabolo Timur.

Ermi Mauke, di hutan yang dia pulihkan. (Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia)
Ermi Mauke, di hutan yang dia pulihkan. (Foto: Sarjan lahay/ Mongabay Indonesia)

Menjaga Hutan, Bentuk Bersyukur kepada Tuhan

Menurut perempuan dari empat orang ini, hutan memiliki nilai spiritual yang erat dengan manusia. Upaya melindungi dan memulihkan hutan yang dilakukannya sebagai bentuk memulihkan diri sendiri untuk memperdalam hubungan spiritual kita sebagai ciptaan Tuhan [makhluk] dan Sang Maha Pencipta [Sang Khalik]. Ia bilang, menjaga hutan merupakan bentuk bersyukur kepada tuhan.

Anggapan Ermi itu sangat jelas juga dijelaskan dalam Jurnal Penelitian oleh Ariyadi, dan Siti Maimunah dari Universitas Muhammadiah pada Fakultas Agama Islam dengan judul “Peran Agama Islam dalam Konservasi Hutan”. Dalam penelitian itu sangat jelas menerangkan menjaga hutan merupakan salah bentuk rasa syukur kepada Tuhan.

Misal, Islam sebagai agama yang bersumber dari kalam Allah SWT memberikan beberapa petunjuk penting tentang berbagai peristiwa alam termasuk dalam hal ini adalah bencana alam dan masalah lingkungan. Allah menciptakan alam semesta ini dengan rapi dan sistematik dan manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara dan memakmurkannya.

Dalam penelitian itu juga menjelaskan tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah dan menjadi pengatur di muka bumi. Dengan prinsip ibadah dan khalifah, maka sudah seharusnya manusia mengelola alam dengan prinsip pengabdian dan pengaturan.

Pengabdian berarti manusia mengelola alam dengan cara yang menunjukkan bakti kepada Allah SWT. Sedangkan pengaturan berarti mengelola lingkungan untuk kebutuhan dirinya dengan cara menjaga kelestarian kualitas alam.

Ermi bilang, menjaga hutan merupakan salah praktek yang diyakininya masuk dalam prinsip-prinsip beragama. Ketika ada yang merusak hutan, sama menghilangkan tujuan-tujuan syariat Islam dan menodai prinsip-prinsip kepentingan yang terkandung di dalamnya. Namun, katanya, di Gorontalo sudah ada yang seperti itu dengan dalil investasi.

Di Gorontalo, kerusakan ekologi alam sungguh memprihatinkan bahkan berada di titik nadir memprihatinkan. Kawasan Hutan Gorontalo terancam kelestariannya. Perluasan kepentingan bisnis dunia industri untuk mengejar akselerasi logika kemajuan ekonomi membuka peluang bagi tindakan eksploitasi sewenang-senang atas alam bahkan sering kali dengan cara membabat hutan yang dilakukan secara sengaja, dan akhirnya hutan Gorontalo mengalami deforestasi.

Misalnya, Data Global Forest Watch dari 2002 sampai 2020, Gorontalo kehilangan 52.3 ribu hektare hutan primer basah, dan menyumbang 42 persen dari total hilangnya tutupan pohon dalam periode yang sama. Area total hutan primer basah di Gorontalo berkurang 7.2 persen dalam periode waktu ini.

Bukan hanya itu, sejak tahun 2001 hingga 2020, Gorontalo kehilangan 127 ribu hektare tutupan pohon, setara dengan penurunan 13 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 84.5Mt emisi CO₂e. Deforestasi itu diduga terus terjadi karena investasi sektor ekstraktif, seperti perkebunan dan pertambangan.

Misalnya, dekat dari Ermi, ada salah perusahaan tambang milik Bakrie Group bernama PT Gorontalo Minerals (GM) yang memiliki izin konsesi seluas 24.995 hektar di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. 17.798 hektar merupakan kawasan hutan yang,terdiri dari hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap [HP]. Sisanya, 7.197 hektar merupakan area penggunaan lain [APL], berupa lahan perkebunan dan pertanian masyarakat.

Ironisnya, perusahaan itu konsesi pertambangan ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pada Februari tahun 2019, perusahaan ini untuk mendapatkan izin operasi produksi, dan saat ini sedang melakukan pembukaan jalan untuk menuju lokasi utama operasi.

Terlebih, perusahaan ini menggunakan banyak alat berat dan menggunakan model pertambangan terbuka atau open pit. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, GM sudah melakukan pembukaan lahan sebesar 61,3 hektare sejak tahun 2018 hingga 2021.

Ketika sudah ada perusahaan lambang emas itu, Ermi mengaku lebih semangat untuk menjaga hutan. Semangatnya itu sebagai bentuk perlawanan kepada sektor ekstraktif tersebut. Menurutnya, perlu ada langkah yang baik yang harus dilakukan, tidak perlu harus turun ke jalan melakukan demonstrasi untuk menolak perusahaan tambang.

“Saya ini tidak sekolah, jadi yang saya lakukan hanya menjaga hutan saja. Karena itu yang saya bisa lakukan, apalagi saya sudah berumur seperti ini,” kata Ermi

Pohon raksasa ini ditebang pembalak liar. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Pohon raksasa ini ditebang pembalak liar. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Sebagai Amanah

Ermi Mauke bercerita, apa yang dilakukan ternyata merupakan amanah dari orang tua dan leluhurnya. Orang tuanya mengajar bahwa hutan merupakan rumah bagi seluruh makhluk, termasuk manusia. Sejak itulah, ia berkomitmen untuk terus menjaga hutan hingga sudah memiliki empat orang anak dan satu cucu.

Meski tak lahir di Desa Tulabolo yang saat ini menjadi tempat tinggalnya, ia percaya semua hutan harus betul-betul dijaga dan dilestarikan. Ia bilang, jika hutan rusak, ancaman krisi pangan juga akan terjadi. Hal itu juga yang diajarkan ke seluruh anak-anaknya yang juga saat ini menjadi penerusnya.

Namun, apa yang dilakukannya, sampai hari ini belum ada perhatian dari pemerintah. Selama hampir 40 tahun, ia hanya melakukan secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah. Bahkan, pohon yang ditanam itu, dibudidayakan secara mandiri.

Ia juga mengaku, restorasi ekosistem yang merupakan suatu upaya mengembalikan kondisi hutan dengan tujuan memperoleh kembali keanekaragaman hayati, struktur, dan lainnya, sama sekali tidak dipahaminya. Restorasi ekosistem itu dipahaminya sebatas berkebun di hutan dengan menanam tanaman yang bisa dipanen secara tahunan.

Hingga kini, Ermi masih semangat terus melakukan aktivitasnya menjaga hutan bersama anak-anaknya. Cerita Ermi bisa menjadi inspirasi untuk semua perempuan di Indonesia yang hidup di pinggiran kawasan hutan yang terancam ekosistemnya. Meski tak memiliki ilmu pertanian yang selayaknya didapatkan di Lembaga Pendidikan, dia bisa memberikan bukti nyata dalam menjaga bumi agar tetap sehat.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.