- PT Mayawana Persada, yang mengelola konsesi hutan di Kalimantan Barat, telah melakukan pembabatan hutan alam tropis lebih dari 33.000 hektare.
- Sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus).
- PT Mayawana Persada dimiliki oleh perusahaan induk berlapis yang mengarah ke yurisdiksi dengan kerahasiaan tinggi yaitu British Virgin Islands dan Samoa
- Mayawana ini diduga memiliki hubungan dengan grup Royal Golden Eagle (RGE), salah satu produsen yang memiliki kebijakan “nol-deforestasi” dalam rantai pasoknya.
Koalisi organisasi lingkungan telah merilis laporan berjudul Pembalak Anonim yang menyoroti kebangkitan kembali deforestasi di Indonesia, didorong oleh PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat.
Bukti yang disajikan dalam laporan tersebut merekam kasus deforestasi terbesar saat ini di antara semua perusahaan perkebunan pulp dan sawit di Indonesia.
Secara khusus laporan ini menerawang bagaimana dalam tiga tahun terakhir, PT Mayawana Persada, yang mengelola konsesi hutan di Kalimantan Barat, telah melakukan pembabatan hutan alam tropis lebih dari 33.000 hektare, atau setara dengan luasan hampir separuh ukuran Singapura.
Padahal, konsesi Mayawana ini merupakan ekosistem hutan dataran rendah yang memiliki habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan, termasuk beberapa spesies yang terancam punah dan rentan. Terlebih lagi, lokasi perusahaan ini berdekatan dengan Taman Nasional Gunung Palung.
Menurut peta habitat yang diterbitkan International Union for the Conservation of Nature (IUCN), sekitar 49.208 hektar hutan dalam konsesi Mayawana merupakan habitat yang sesuai untuk orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Penelitian Analisis Viabilitas Habitat pada 2016 memastikan, area hutan dan gambut di dalam konsesi Mayawana itu sesuai untuk menjadi habitat orangutan.
Adapun pengamatan yang dilakukan oleh Program Konservasi Orangutan Gunung Palung (GPOCP) terhadap sarang dan suara panggilan serta ketersediaan sumber makanan di area itu memperkirakan, ada 61 orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang tinggal di sekitar Sungai Paduan.
Hilman Afif dari Auriga Nusantara mengatakan, deforestasi yang dilakukan Mayawana ini berpotensi memotong koridor yang digunakan oleh orangutan Kalimantan untuk berpindah dari satu area ke area yang lainnya. Pada saat yang sama, pembukaan hutan ini juga membuka akses yang lebih luas bagi manusia untuk masuk ke hutan dan habitat orangutan.
“Kondisi itu akan menambah tekanan lebih lanjut pada populasi orangutan Kalimantan, bahkan bisa memicu kepunahan karena habitatnya tergerus,” jelas Hilman sambil menambahkan kasus Mayawana ini juga memicu konflik antara perusahaan dan komunitas Dayak setempat.
Padahal, populasi orangutan Kalimantan telah menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir, dengan hampir 150.000 individu hilang antara tahun 1999 dan 2015. Pada tahun 2016, diperkirakan hanya 57.350 orangutan Kalimantan yang tersisa di alam liar.
Selain itu, dalam survei GPOCP tahun 2022 menunjukkan, keberadaan 10 spesies mamalia dan 85 spesies burung di hutan lindung Sungai Paduan. Ia bilang, GPOCP juga menemukan bukti spesies-spesies lain yang terancam punah dan rentan tinggal di dalam atau dekat dengan batas konsesi Mayawana.
“Spesies-spesies yang terancam punah dan rentan itu diantaranya; owa jenggot-putih (Hylobates albibarbis), burung rangkong gading (Rhinoplax vigil), dan Beruang Madu (Helarctos malayanus),” ungkap Hilman
Menurut Hilman, keberadaan berbagai spesies itu akan semakin terancam lagi karena ada sekitar 55.625 hutan tropis berada dalam konsesi Mayawana yang akan direncanakan di babat lagi. 60 persen dari hutan itu pun berada di lahan gambut.
Selain itu, laporan ini juga menunjukkan bahwa Mayawana adalah satu contoh dari banyaknya perusahaan yang memanfaatkan struktur korporasi kompleks melibatkan yurisdiksi lepas pantai (offshore jurisdictions) yang penuh kerahasiaan untuk melakukan pembabatan hutan tropis besar-besaran.
Hilman bilang, 55.000 hektare hutan alam di dalam konsesi Mayawana, menjadikannya sebagai batu uji kritis terhadap upaya pengendalian deforestasi di Indonesia. Namun, katanya, struktur kepemilikan perusahaan yang tidak transparan menyulitkan publik luas untuk mengetahui siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan hutan oleh perusahaan itu.
PT Mayawana Persada dimiliki oleh perusahaan induk berlapis yang mengarah ke yurisdiksi dengan kerahasiaan tinggi yaitu British Virgin Islands dan Samoa – dua yurisdiksi yang tidak mewajibkan pengungkapan nama-nama pemegang saham kepada publik.
Arie Rompas dari Greenpeace Indonesia mengatakan, struktur korporasi yang rumit ini, pada dasarnya, tidak hanya menyembunyikan pemilik manfaat utama perusahaan tetapi sekaligus melindungi mereka dari risiko hukum dan reputasi atas penghancuran hutan tropis yang begitu luas
“Dalam kasus Mayawana, dokumen perusahaan, keterkaitan operasional manajemen, dan hubungan rantai pasoknya menunjukkan bahwa perusahaan ini memiliki hubungan dengan grup Royal Golden Eagle (RGE),” kata Arie Rompas
RGE adalah produsen global untuk produk pulp, kertas, kemasan, tisyu, dan viscose, dan merupakan konglomerat induk dari APRIL, Asia Symbol, dan Sateri. Pada 2015, RGE serta beberapa anak perusahaannya termasuk APRIL memulai kebijakan “nol-deforestasi” dalam rantai pasoknya.
Sebagian pembeli produk RGE adalah beberapa merek mode terbesar di dunia, produsen barang konsumen, dan pengecer umum, banyak di antaranya membuat klaim keberlanjutan pada konsumennya yang menyatakan bahwa bisnis atau produk mereka tidak menyebabkan penghancuran hutan tropis atau merugikan masyarakat.
“Klaim keberlanjutan ini sekarang dipertanyakan atas deforestasi yang terus dilakukan oleh Mayawana di Kalimantan Barat,” tegas Arie
Deforestasi yang dilakukan oleh Mayawana seolah menghapus apa pun pembenaran upaya reasosiasi antara Forest Stewardship Council (FSC) dengan APRIL, perusahaan induk Grup RGE untuk bisnis pulp dan kertas di Indonesia. Satu dekade lalu, APRIL dikeluarkan dari organisasi tersebut karena praktik merusak hutan.
Organisasi yang mempublikasikan laporan ini mendesak FSC untuk menghentikan “proses pemulihan” yang berjalan dengan APRIL untuk kembali masuk ke skema sertifikasi keberlanjutan, setidaknya sampai Mayawana menghentikan deforestasi dan pembukaan lahan gambut.
APRIL diminta harus mengungkap struktur bisnisnya ke publik dengan memuat semua entitas perusahaan di yurisdiksi kerahasiaan, dan Mayawana menyelesaikan konfliknya dengan komunitas Dayak setempat dengan cara yang adil dan bertanggung jawab.
Melalui pernyataan yang diterbitkan oleh APRIL, Grup RGE membantah seluruh keterkaitan grup itu dengan PT Mayawana Persada. Tanggapan RGE dicantumkan secara utuh dalam laporan tersebut.
Organisasi yang menerbitkan laporan yang berjudul, Pembalak Anonim: Deforestasi di hutan tropis dan konflik sosial yang dipicu oleh PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat meliputi: Auriga Nusantara, Environmental Paper Network, Greenpeace International, Woods & Wayside International, dan Rainforest Action Network.
Leave a Reply
View Comments