Bendungan Datang, Gula Aren Bulango Ulu Akan Tenggelam?

Yanti Kadir, sedang sibuk melayani pembeli di Pasar Kamis Tapa di Desa Talumopatu, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. (Foto: Sarjan Lahay)
Yanti Kadir, sedang sibuk melayani pembeli di Pasar Kamis Tapa di Desa Talumopatu, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. (Foto: Sarjan Lahay)
  • Gula aren dari Bulango Ulu, Bone Bolango,  Gorontalo, salah satu produk andalan dan identitas daerah. Namun, produk dari nira enau dari hutan  di daerah sentra ini terancam karena wilayah itu  terkena proyek bendungan. 
  • Data Badan Pusat Statistik (BPS) Gorontalo menyebutkan, Bone Bolango satu daerah sentra gula aren cukup besar di Gorontalo. Periode 2010-2017 rata-rata produksi gula aren mencapai 505 ton setiap tahun. Angka itu lebih besar dibandingkan kabupaten atau kota lain.
  • Bulango Ulu satu lokasi utama pembangunan bendungan yang merupakan proyek strategis nasional (PSN) 2018. Desa Owata dan Mongiilojadi lokasi genangan air untuk bendungan di Bulango Ulu itu merupakan sentral pengelolaan gula aren di Kecamatan Bulango Ulu
  • Imran Bagu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kabupaten Bone Bolango mengatakan, gula aren sudah jadi identitas Bone Bolango. Gula aren Bolango Ulu juga jadi ikonik karena memiliki kualitas sangat baik.

Yanti Kadir (36) sedang sibuk melayani pembeli di Pasar Kamis Tapa di Desa Talumopatu, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Seperti biasa, tak henti-henti pembeli mampir di lapaknya untuk melihat jualannya yang semua adalah Gula Aren. Ada yang membeli, ada juga yang hanya sekedar menanyakan harganya saja.

Gula aren (Arenga saccharifera) yang dijual Yanti itu berasal dari Kecamatan Bulango Ulu, salah satu wilayah di ujung utara Kabupaten Bone Bolango. Yanti menjadi pengepul bagi petani-petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil olahan air nira itu. Dalam setiap kilogram, ia membelinya dari Rp.14 ribu hingga Rp. 17 ribu rupiah. Ia menjualnya kembali di pasar menjadi Rp. 20 ribu hingga Rp. 22 ribu rupiah setiap kilogram.

“Untung yang saya dapat dari penjualan gula aren ini rata-rata hanya sekitar Rp. 5 ribu rupiah setiap kilogram saja,” kata Yanti Kadir kepada Mongabay pada Kamis 16 Maret lalu. Sudah hampir satu dekade, ia menjalani profesi itu dengan menjual gula aren di pasar, untuk menghidupi keluarganya.

Yanti bercerita, sehari sebelum pasar di adakan merupakan waktu dirinya harus menunggu masyarakat yang berasal dari Kecamatan Bulango Ulu untuk membawa gula aren di desanya. Saat itu, dirinya harus bersaing dengan pengepul lainnya untuk membeli gula aren untuk dijual di pasar yang akan diadakan besok harinya.

Karena sudah ada pelanggan tetap, Yanti tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan gula aren dengan jumlah yang banyak. Meski begitu, ia harus menerima jika petani gula aren yang sudah menjadi pelanggannya itu ingin menaikan harga jual. Kondisi itu kerap menguras isi dompetnya.

“Mau tidak mau, saya harus beli, karena sudah menjadi pelanggan. Konsekuensinya, saya harus menaikan harganya juga jika dijual kembali di pasar, agar saya juga mendapatkan untung. Saya juga harus membiayai hidup keluarga,” jelasnya sambil menambahkan “Semua gula aren yang saya jual di pasar, pasti laku semua,”

Bagi warga Gorontalo, gula aren memang menjadi salah satu bahan yang tidak bisa absen untuk digunakan dalam rumah tangga. Selain menjadi bahan campuran untuk membuat berbagai jenis masakan, gula aren juga kerap digunakan untuk sebagai campuran membuat berbagai makanan khas Gorontalo. Misalnya Tiliaya, salah satu jenis makanan tradisional Gorontalo yang menjadi cemilan para raja zaman dahulu.

Selain itu, gula aren yang berfungsi untuk menambah tenaga, mencegah anemia, mempercepat peredaran darah, meningkatkan daya tahan tubuh, menjaga kadar kolesterol tubuh, dan berbagai manfaat kesehatan lainnya menjadikan gula aren sangat laku dipasaran serta menjadi sumber kehidupan petani di Bulango Ulu.

Gula aren di toko. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Gula aren di toko. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Di Bulango Ulu, gula aren memiliki dua bentuk. Ada yang berbentuk batok, ada juga yang dikemas dalam bentuk bubuk. Pemerintah Bone Bolango menamakan gula aren yang berbentuk bubuk itu sebagai Gabulu yang artinya Gula Aren Bulango Ulu.

Memang, potensi Gula aren di Bone Bolango cukup besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Gorontalo menyebutkan, Bone Bolango salah satu daerah yang menjadi sentra produksi gula aren cukup besar di Provinsi Gorontalo. Periode 2010-2017 rata-rata produksi gula aren mencapai 505 ton setiap tahunnya. Angkat itu lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.

Dengan produksi yang cukup besar itu, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango menjadikan gula aren sebagai komoditi unggulan yang dapat menggerakan perekonomian masyarakatnya. Tak hanya iu, Bupati Bone Bolango hingga membuat Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 42 Tahun 2014 tentang Panduan Pengembangan Kompetensi Inti Industri Daerah Kabupaten Bone Bolango 2014-2018.

Perbup itu bertujuan untuk mengembangkan suatu daerah menjadi daerah yang mandiri dan maju dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara optimal, mempercepat pertumbuhan sektor industri, membangun infrastruktur wilayah yang menjadi akses industri kecil dan industri rumah tangga, dan membentuk klaster-klaster gula aren.

Sasaran dalam Perbup itu yaitu, untuk tercapainya produksi gula aren cetak dengan target 1.600 ton per tahun, meningkatkan pangsa pasar gula aren cetak dan gula semut aren, serta terciptanya daerah industri mandiri dan maju. Gula aren bulango ulu juga akan didorong untuk mendapatkan sertifikasi mutu untuk bisa diversifikasi produk olahannya serta hasil kerajinan aren lainnya.

Bahkan, pada tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Bone Bolango membuat Unit Pengelola Terpadu (UPT) Aren di Bulango Ulu yang dilengkapi dengan gedung bahan baku, produksi, promosi serta pengemasan produk. UPT bertujuan untuk meningkatkan kualitas gula aren di Bone Bolango agar harga jualnya dapat meningkat di pasar lokal, nasional dan internasional.

Alhasil, akibat adanya UPT yang merupakan sentral pengembangan gula aren itu, ada sekitar 372 unit usaha gula aren yang berhasil dibuat saat itu. Hamim Pou, Bupati Bone Bolango pun beberapa kali mempromosikan gula aren bulango ulu yang biasa disebut Gabulu itu ke luar negeri, dengan target bisa tembus ke pasar ekspor.

Sayangnya, UPT ini sudah tidak beroperasi lagi seperti biasanya. Keterbatasan anggaran dalam meningkatkan daya jual dan pengelolaan Gula Aren Bolango Ulu menjadi penyebabnya. Kini, pendampingan pengelolaan gula aren diserahkan ke Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma) yang tetap bekerjasama dengan dinas terkait.

Namun, kata Yanti, dengan segala potensi yang dimiliki gula aren dari Bulango Ulu itu, ternyata ada masalah yang cukup serius yang menghantui keberadaan produk jualan utamanya itu, yaitu; terancam tenggelam akibat adanya pembangunan Bendungan Bulango Ulu (BBU) yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan.

Gula aren Bulango Ulu, di pasaran Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Gula aren Bulango Ulu, di pasaran Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Terancam Tenggelam

Bulango Ulu memang menjadi salah satu lokasi utama pembangunan bendungan yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemerintah Pusat tahun 2018. Mega proyek senilai Rp2,2 triliun ini akan dibangun dengan tinggi 65,9 m dan luas genangan 690 hektar yang berlokasi di tiga desa, yaitu: Desa Tuloa, di Kecamatan Bulango Utara, dan Desa Owata dan Mongiilo di Kecamatan di Bulango Ulu.

Sementara, Desa Owata dan Mongiilo yang menjadi lokasi genangan air untuk bendungan di Bulango Ulu itu merupakan sentral pengelolaan gula aren di Kecamatan Bulango Ulu dan menjadi pusat pengelolaan gula aren di Bone Bolango. Artinya, jika bendungan akan beroperasi, maka pohon enau yang menjadi sumber bahan baku air nira di dua desa itu untuk pembuatan gula aren akan ikut tenggelam.

Dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diperoleh Mongabay, pembangunan bendungan ini, terdapat tiga tahap, yaitu; tahap pra konstruksi; tahap konstruksi; tahap operasional. Jadwal tahap konstruksi itu dimulai Tahun 2019 sampai 2022, sementara untuk proses pengisian awal bendungan dijadwalkan pada tahun 2022.

Proses pengisian itu, akan dilakukan jika proses pembebasan lahan dengan masyarakat setempat telah selesai dilaksanakan. Proses pengisian itu, akan dilakukan selama 1 tahun, dan bendungan ini akan mulai beroperasi pada tahun 2023. Namun, karena ada aksi penolakan warga, tahap konstruksi baru dimulai awal 2021 lalu.

Pada tahapan konstruksinya, masyarakat yang terkena dampak yaitu penduduk Desa Tuloa Kecamatan Bulango Utara ada 711 jiwa dari 212 kelapa keluarga (KK). Sementara, di Kecamatan Bulango Ulu, tepatnya di Desa Owata ada 311 KK, dan Desa Mongiilo ada 224 KK yang akan terdampak.

Saat proses penyusunan Amdal yang dilakukan pada tahun 2017, rona awalnya menunjukan ada 75,7 persen tidak setuju dengan pembangunan Bendungan Bulango Ulu, dan 23,3 persen yang setuju. Hal tersebut menunjukan persentase penduduk yang tidak setuju lebih besar dibandingkan dengan yang setuju.

Ketidak percayaan dengan janji pemerintah, adanya ketakutan atau kekhawatiran terkait tidak adanya ganti rugi tanah, bangunan, dan tanah warisan leluhur menjadi alasan masyarakat menolak pembangunan bendungan ini. Pemindahan pemakaman, hilangnya mata pencaharian dan fasilitas sekolah serta fasilitas umumnya yang tidak jelas relokasinya, juga menjadi alasan.

Sementara itu, untuk masyarakat yang setuju pembangunan bendungan ini, meminta harus ada penggantian bangunan rumah dengan bangunan dengan skema ganti untung yang harus sesuai dengan kesepakatan. Mereka juga meminta sediakan terlebih dahulu rumah sebelum melakukan pembangunan bendungan.

Gula aren sebagai identitas Bulango Ulu. Akankah hilang tenggelam karena bendungan? Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia
Gula aren sebagai identitas Bulango Ulu. Akankah hilang tenggelam karena bendungan? Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Berdasarkan dokumen Amdal, jumlah rumah yang terdampak pembangunan bendungan bolango ulu di Desa Owata ada 175 rumah, dan rumah yang masuk dalam genangan air ada 157 rumah. Sementara, jumlah rumah di Desa Mongiilo ada 335 rumah, dan yang terkena genangan ada 280 rumah. Namun, rumah terdampak di Desa Tuloa Kecamatan Bulango Utara, tidak dicatat dalam Amdal.

Sebelum melakukan proses ganti rugi dalam tahap pembebasan lahan, ada kesepakatan yang dibuat antara warga dan BWS Sulawesi II selaku pelaksana teknis. Hal tersebut tercatat dalam dokumen Amdal pembangunan Bendungan Bulango Ulu.

Kesepakatan tersebut, yaitu; rumah milik warga harus diganti dengan rumah atau diganti dengan harga yang lebih menguntungkan warga dengan mengikuti harga pasaran serta mempertimbangkan nilai ekonomis lahan tersebut. Rumah harus lebih dulu disediakan oleh pemerintah dan dibangun di kawasan yang menjadi tempat relokasi.

Selain itu, harus ada proses pembiayaan pemindahan kubur yang dilakukan secara adat dan keagamaan juga harus ada. Pohon enau yang menjadi sumber utama penghasilan warga sebagai bahan baku produksi gula aren juga wajib mendapatkan perhatian dengan memperhitungkan nilai ekonomis.

Pemberian ganti rugi itu juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dan Peraturan Presiden Nomor 148 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas perubahan peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.

Adapun kesimpulan dari kesepakatan itu, terbagi ada dua opsi, yaitu; jika warga memilih proses ganti rugi dalam bentuk uang, maka BWS Sulawesi II tidak menyediakan tempat relokasi; tapi jika warga terdampak memilih ganti rugi digantikan dengan bangunan dan lahan, maka pelaksana teknis akan menyediakan itu.

Namun, warga terdampak memilih ganti rugi menggunakan uang. Hal tersebut yang menjadi masalah saat ini. Warga bingung akan tinggal dimana setelah pembangunan Bendungan Bulango Ulu sudah beroperasi.

“Pasti rumah dan kebun saya tenggelam dengan bendungan ini. Masyarakat biasa pasti akan mengalami dampak sangat besar,” kata Alia Mahmud dalam tulisan Mongabay sebelumnya.

Namun, pemerintah pusat mengklaim, bahwa manfaat bendungan adalah, menyimpan cadangan air, mencegah banjir, menyediakan irigasi, menjadi tempat wisata, menyediakan, energi untuk pembangkit listrik, menyediakan tempat budidaya perikanan, menjadi tempat konservasi tumbuhan dan hewan, menyediakan arena olahraga air, memudahkan transportasi di pedalaman, dan menyediakan sumber daya hayati yang dapat dimanfaatkan.

Sayangnya, pemanfaatan pembangunan bendungan seperti diklaim pemerintah pusat itu, saat ini tengah dipertanyakan di dunia internasional. Ongkos pembangunan dan pemeliharan dinilai sangat mahal dan dapat merusakan lingkungan, serta memberikan dampak buruk terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan.

Misalnya, dalam sebuah penelitian dari Michigan State University yang dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), menyatakan ongkos atau dampak dari bendungan sering diremehkan, dan umur bendungan dinilai akan lebih pendek karena pengaruh perubahan iklim.

Dalam penelitian itu menerangkan, pembangunan, deforestasi, dan perubahan iklim, sangat mempengaruhi biaya, produktivitas, dan umur bendungan. Jika pembangunan dan deforestasi meningkat, jumlah sedimentasi akan lebih besar masuk ke dalam sungai, dan itu akan memperpendek dan usia bendungan atau

“Jika itu terjadi, akan membutuhkan tindakan intervensi yang lebih mahal seperti pengerukan. Hal tersebut hanya menimbulkan potensi korupsi dan hanya menguntungkan para kontraktor,” tulis dalam penelitian tersebut.

Tak hanya itu, dalam penelitian itu menjelaskan, di seluruh dunia, sekitar 472 juta orang terkena dampak negatif dari pembangunan bendungan selama satu abad terakhir. Di bagian hilir, masyarakat yang bergantung pada sungai dapat tergusur, kehilangan ketahanan pangan dan mata pencaharian, serta menderita kerugian budaya yang tak terukur.

Di Amerika Utara dan Eropa, lebih banyak bendungan yang diruntuhkan daripada yang dibangun. Misalnya, sejak tahun 2006, ada lebih dari 60 bendungan setiap tahun telah dibongkar di Amerika Serikat. Hal itu sangat bertolak belakang dengan Indonesia yang sedang merencanakan akan membangun bendungan sekitar 50-60 unit sampai pada tahun 2024, termasuk Bendungan Bolango Hulu.

Bendungan besar yang dibangun mempunyai dampak merugikan sangat besar, merugikan kelompok miskin dan gagal memberikan pasokan listrik dan irigasi seperti yang direncanakan. Kondisi itu disinyalir akan dirasakan oleh masyarakat Bulango Ulu, dan ratusan petani gula aren yang ada di lokasi tersebut, serta bisa jadi gula aren bolango ulu benar-benar akan tenggelam, bahkan hilang.

Pembangunan Bendungan Bolango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Pembangunan Bendungan Bolango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Akan Kehilangan Identitas

Imran Bagu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kabupaten Bone Bolango mengatakan, gula aren sudah menjadi identitas Bone Bolango karena memiliki potensi yang cukup besar. Tak hanya itu, katanya, Gula Aren Bolango Ulu sudah menjadi ikonik karena memiliki kualitas yang sangat baik.

Namun, katanya, jika gula aren hilang akibat bendungan, maka itu sama dengan akan kehilangan identitas Bone Bolango sebagai produksi gula aren terbesar di Gorontalo. Ia bilang, hal itu perlu dipikirkan bersama oleh semua pihak agar gula aren bolango ulu tidak benar-benar hilang atau tenggelam akibat adanya bendungan.

Imran berharap, BWS Sulawesi II sebagai pelaksana teknis pembangunan Bendungan Bulango Ulu juga bisa memikirkan kondisi gula aren bulango ulu yang terancam tenggelam. Ia menginginkan, ada program yang bisa dibuat BWS Sulawesi II agar bisa mempertahankan Gula Aren Bolango Ulu agar tetap ada.

“Minimal, BWS Sulawesi II bisa membuat penanam kembali pohon enau yang menjadi bahan baku untuk gula aren, atau memberikan pemberdayaan kepada petani gula aren agar mereka bisa tetap mempertahankan produk yang sudah menjadi ikonik Bone Bolango itu,” kata Imran Bagu kepada kepada Mongabay, Januari lalu.

Kekhawatiran akan hilangnya identitas dan potensi gula aren juga dirasakan oleh Arwan, salah satu petani gula aren di Bulango Ulu. Ia meyakini, keberadaan bendungan pasti akan mempengaruhi produksi gula aren di Bulango Ulu yang dikenal cukup besar di Gorontalo. Jika itu terjadi, katanya, para petani gula aren pasti harus beralih profesi lain untuk memenuhi kebutuhan sehari.

Sebenarnya, kata Arwan menjadi petani gula aren merupakan profesi kedua masyarakat Bolango Ulu setelah petani jagung. Hanya saja, butuh waktu 3-4 bulan hasil bertani jagung baru bisa dirasakan. Sehingga, katanya, menjadi petani gula aren merupakan pekerjaan sampingan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Saya sudah cukup lama menjadi petani gula aren, karena dengan menjual gula aren, kita bisa memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Jika profesi kedua ini hilang akibat adanya bendungan, pasti kita akan mengalami kesulitan,” kata Arwan kepada Mongabay 15 Maret lalu.

Bendungan Bolango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, mulai kontruksi pada 2021. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)
Bendungan Bolango Ulu di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, mulai kontruksi pada 2021. (Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia)

Harapan Arwan, senada dengan Imran Bagu. Ia meminta pemerintah bisa memikirkan solusi agar petani gula aren di Bulango Ulu bisa tetap bertahan dan bisa terus ada, walaupun bendungan sudah beroperasi. Ia berharap, ada program pemerintah yang bisa dibuat dalam melakukan budidaya pohon enau atau hal serupa yang bisa membuat gula aren bolango ulu tetap ada.

Warno Yasin, Ketua Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma) Hulu Perkasa Kecamatan Bulango Ulu mengatakan, sekitar 70 persen masyarakat Bulango Ulu merupakan pengrajin gula aren. Namun, katanya, saat ini hanya ada 338 kepala keluarga (KK) yang didampingi oleh BUMDesma dalam pengelolaan hingga proses pemasarannya.

Warno bilang, masyarakat Bolango Ulu bisa memproduksi gula aren minimal 5 ton setiap minggu, dan 20 ton dalam sebulan. Katanya, produksi gula aren itu bisa lebih besar lagi jika kondisi iklim dan cuaca bagus. Ia bilang, gula aren bulango ulu harus tetap dipertahankan agar tetap ada, walaupun ada pembangunan bendungan.

Warno juga berharap, pemerintah bisa membantu pihaknya dalam mengembangkan potensi gula aren bolango ulu. Pasalnya, pohon enau yang menjadi sumber bahan baku air nira untuk pembuatan gula aren menjadi salah satu tanaman yang bisa sangat potensial dikembangkan meski ada pembangunan bendungan.

“Pohon enau tidak menghasilkan sedimentasi ke bendungan, jika dibandingkan dengan tanaman jagung. Kedepan, kita akan mendorong petani gula aren ini menjadi profesi utama masyarakat bolango ulu,” kata Warno Yasin kepada Mongabay, 14 Maret lalu.

Pada 17 Maret lalu, Mongabay menghubungi BWS Sulawesi II sebagai pelaksana teknis proyek Pembangunan Bendungan Bulango Ulu (BBU) untuk dimintai keterangan soal potensi dampak dari PSN itu. Lagi-lagi, melalui humasnya, mereka tidak bisa memberikan keterangan dengan alasan lagi berada diluar daerah.

Beberapa tulisan yang dibuat Mongabay sebelumnya, pihak BWS Sulawesi II tidak pernah sama sekali memberikan penjelasannya soal hal yang serupa, meski mereka meminta dibuatkan pertanyaan-pertanyaan secara tertulis.

 


Tulisan ini pertama kali diterbitkan di Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.

Sarjan Lahay adalah jurnalis lepas di Pulau Sulawesi, tepatnya di Gorontalo. Ia sangat tertarik dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Ia juga sering menerima berbagai beasiswa liputan, baik dalam negeri maupun luar negeri untuk menceritakan berbagai macam isu dampak perubahan iklim, kerusakan lingkungan yang dilakukan industri ekstraktif, hingga cerita masyarakat adat yang terus terpinggirkan. Sejak 2019, Sarjan terjun ke dunia jurnalistik, dan pada Tahun 2021 hingga sekarang menjadi jurnalis lepas di Mongabay Indonesia.