- Dalam Januari-Februari 2023 ini banjir dan longsor masih melanda di berbagai daerah seperti di Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Papua, dan lain-lain. Sampai jelang penghujung Februari ini, bencana terus terjadi, seperti di Solo Raya.
- Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) meminta pemerintah daerah harus memahami dan memikirkan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang merupakan titik awal untuk mitigasi bencana serupa di masa depan.
- Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam rilis mengatakan, dalam menangani bencana dilakukan pembentukan penanganan darurat di tiap-tiap BPBD di masing-masing wilayah.
- Untuk meminimalisir bencana banjir di Sulawesi Utara, khusus Kota Manado, pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) membuat Bendungan Kuwil Kawangkoan, Minahasa Utara
Dalam Januari-Februari 2023 ini banjir dan longsor masih melanda di berbagai daerah seperti di Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Papua, dan lain-lain. Sampai jelang penghujung Februari ini, bencana terus terjadi, seperti di Solo Raya.
Hujan deras membuat Sungai Berngawan Solo meluap hingga menyebabkan lima kabupaten dan kota di Jawa Tengah, banjir bandang. Ia meliputi Kabupaten Wonogiri, Klaten, Sukoharjo, Kota Surakarta dan Karanganyar. Akhir Januari lalu, banjir bandang dan tanah longsor pun menerjang Kota Manado, Sulawesi Utara.
Abdul Muhari, Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dalam rilis mengatakan, dalam menangani bencana dilakukan pembentukan penanganan darurat di tiap-tiap BPBD di masing-masing wilayah. Yang dibantu unsur organisasi perangkat daerah memberikan dukungan logistik dan peralatan serta kebutuhan dasar lain kepada warga terdampak.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah mencatat, hujan deras di hulu dan lima wilayah Solo Raya membuat Sungai Bengawan Solo menguap dan banjir.
“Tim gabungan juga mengupayakan evakuasi warga serta keselamatan masyarakat menjadi prioritas utama.”
Di Kota Solo, pada Februari kembali kena terjang banjir dan Wali Kota Gibran menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari terhitung mulai 17 Februari 2023.
Dikutip dari Liputan6.com, Prabang Setyono, pakar lingkungan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 24 Februari lalu mengatakan, setidaknya ada tiga penyebab banjir Solo. Dia bilang, pintu air di Waduk Gajah Mungkur dibuka dan air di Bengawan Solo meluap.
Selain itu, katanya, sedimentasi di Bengawan Solo, sudah dalam klasifikasi sangat berat, hingga kapasitas air lebih sedikit. Dengan begitu, ketika air masuk dari hulu sungai pun meluap.
Intensitas hujan tinggi dengan durasi lama, katanya, juga memicu banjir. Dia bilang, resapan air di Solo belum optimal, karena ruang terbuka hijau tinggal sekitar 10%.
“Harusnya RTH 30%.”
Penyebab lain,. Kata Prabang, ada anak sungai yang mengalir dari Bengawan Solo, ada Kali Pepe dan Premulung. Hulunya, dari Boyolali dan saat itu juga turun hujan merata.
Mengenai bangunan di bantaran sungai, katanya, Solo merupakan kota tua hingga rencana tata ruang wilayah (RTRW) tidak sesuai seharusnya saat ini.
“Kalau RTRW yang sekarang itu kan bagaimana bantaran sungai 10 meter nggak boleh ada bangunan. Ini kalah, lebih dulu bangunannya,” katanya masih dari Liputan6.com.
Sementara di Manado, penghujung Januari puluhan kelurahan dan desa terendam. Air dengan ketinggian 80 centimeter merendam sekitar 400 rumah di 34 kelurahan atau desa di Sembilan kecamatan terdampak. Kesembilan kecamatan itu, yaitu, Kecamatan Singkil, Mapanget, Tikala, Tuminting, Wenang, Sario, Bunaken, Paal Dua dan Wanea.
Abdul mengatakan, banjir bandang karena guyuran hujan lebat hingga menyebabkan air Sungai Tondano meluap. Ada sekitar 3.013 keluarga atau 9.382 jiwa terdampak, serta satu meninggal dunia terbawa arus.
Tanah longsor pun terjadi di 22 kelurahan atau desa di tujuh kecamatan di Kota Manado, yakni, Kecamatan Tikala, Singkil, Wanea, Bunaken, Mapanget dan Wenang. Ada sekitar 63 keluarga terdampak tanah longsor dan empat orang meninggal dunia.
“Korban jiwa akibat banjir dan longsor lima. Rincian meninggal dunia akibat banjir satu orang dan longsor empat orang. Tanah longsor juga mengakibatkan warga luka-luka,” katanya melalui rilis BNPB.
Bukan kali pertama, pikirkan antisipasi
Banjir dan tanah longsor di Manado bukan kali ini saja. Bencana hidrometeorologi basah ini terus berulang, memakan korban dan menyebabkan kerugian besar. Pada 2014, Madano juga pernah alami bencana serupa menyebabkan kerusakan dan kerugian diperkirakan Rp.1,276 triliun, dan 18 orang kehilangan nyawa. Ada 76.382 orang mengungsi dan 11.818 rumah terendam banjir. Peristiwa itu merupakan bencana terbesar di Manado.
Saat di Sulut, Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendesak, seluruh perangkat Sulawesi Utara betul-betul memikirkan apa dan bagaimana upaya agar kejadian serupa tidak terulang lagi.
“Saya ingin mengingatkan kita semua, banjir di Manado bukan kali ini saja terjadi, hampir setiap tahun. Ini harus jadi pokok perhatian kita bersama, baik pemerintah daerah, kabupaten,kota agar betul-betul supaya pada 2024 tidak terjadi lagi. Kalau pun terjadi, kecil dampaknya,” katanya.
Dia meminta pemerintah daerah harus memahami dan memikirkan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang merupakan titik awal untuk mitigasi bencana serupa di masa depan.
“Yang perlu dipikirkan, saat rehabilitasi dan rekonstruksinya. Kenapa kejadian ini kok terulang lagi? Ini yang paling paham adalah pemerintah daerah. Kira-kira apa yang harus dibangun agar rehabilitasi dan rekonstruksi bisa menjadi awal untuk mitigasi bencana serupa di masa depan?”
Pemerintah daerah diminta tak ragu dan segera mengambil kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi , setelah masa pemulihan dari tanggap darurat berjalan dengan baik. BNPB, katanya, akan mendampingi dan memberikan rekomendasi lebih lanjut.
Selain membuat kebijakan, pemerintah daerah juga diharapkan menggunakan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Menurut dia, bencana hidrometeorologi basah itu bisa disiasati teknologi guna meminimalisir hujan dan mengurangi dampak risiko bencana.
Penyebab banjir?
Untuk meminimalisir bencana banjir di Sulawesi Utara, khusus Kota Manado, pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) membuat Bendungan Kuwil Kawangkoan, Minahasa Utara. Proyek strategis nasional (PSN) yang dibangun dengan biaya Rp1,9 triliun itu, diresmikan Presiden Joko Widodo 20 Januari lalu.
Saat peresmian, Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey optimis Bendungan Kuwil Kawangkoan jadi pengendalian banjir di Kota Manado. Bahkan, dia menyatakan, Wali Kota Manado Andrei Angouw bisa tidur nyenyak dan bisa berlibur ke luar negeri, karena menganggap Manado tak akan banjir lagi.
“Wali Kota Manado (Andrei Angouw) bisa tidur nyenyak, Manado tidak banjir lagi. Desember nanti Wali kota sudah bisa libur keluar negeri,” kata Olly Dondokambey pada acara seremoni pengisian air bendungan 27 Januari lalu seperti dikutip di Tribun Sulut.
Kenyataan berbeda. Baru satu pekan setelah bendungan diresmikan, Manado kembali banjir bandang hingga menelan korban jiwa. Warga terdampak bencana mempertanyakan pernyataan gubernur yang mengklaim Bendungan Kuwil Kawangkoan sebagai solusi banjir Manado.
Endra S. Atmawidjaja, Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Teknologi, Industri dan Lingkungan sekaligus Juru Bicara KPUPR menepis isu itu. Dia bilang, Bendungan Kuwil Kawangkoan tidak bisa ditafsirkan tidak memiliki dampak positif untuk mengendalikan banjir di Manado.
Dia mengklaim, pasca pengoperasian Bendungan Kuwil Kawangkoan, luapan air dari Sungai Tondano menurun signifikan.
Saat hujan deras, debit Sungai Tondano dapat dikendalikan dengan mengoperasikan Bendungan Kuwil Kawangkoan, seperti menutup pintu dan holocon. Karena intensitas curah hujan tinggi, menyebabkan air pada pertemuan Sungai Tondano dan Sungai Tikala meluap.
“Kedua Sungai itu berada di hilir Bendungan Kuwil Kawangkoan. Selain itu terjadi penyumbatan pada saluran drainase Kota Manado dan anak Sungai Tondano,” kata Endra melalui keterangn resmi di website KPUPR.
Kota Manado memang dilintasi enam sungai, yakni Sungai Tondano, Sungai Tikala, Sungai Mahawu, Sungai Bailang, Sungai Sario dan Sungai Malalayang.
Bendungan Kuwil Kawangkoan dibangun untuk mengurangi banjir Kota Manado dan sekitar sebesar 25% atau 146,6 m3 perdetik. Bendungan ini terkoneksi dan berada dalam satu sistem dengan sungai dan Danau Tondano. Bendungan itu, katanya, sudah mengurangi risiko banjir saat ini.
Liny Tambajong, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Manado menyebut, dampak banjir di Manado tereduksi dengan keberadaan Bendungan Kuwil. Fungsi Bendungan Kuwil adalah menahan air dari Airmadidi, Danau Tondano dan bagian hulu lain.
“Sedangkan yang terjadi di Kota Manado adalah intensitas curah hujan maksimum 300 milimeter, itu sangat besar. Bukit-bukit yang masuk Manado juga turut berkontribusi meningkatkan nilai run off-nya tertampung di Sungai Tondano yang terletak di hilir Bendungan Kuwil. Ini susah tidak bisa dikendalikan oleh Bendungan Kuwil,” kata Liny
Perubahan tata kota dan alih fungsi lahan menjadi pemukiman, perumahan, hingga perkantoran disinyalir menjadi penyebab utama banjir bandang terus terjadi di Manado yang memiliki 476.910 jiwa ini. Perubahan iklim juga turut menjadi penyebab.
Hal ini dijelaskan dalam karya ilmiah KPUPR yang tulis Aris Rinaldi, Dasniari Pohan, dan Idham Riyando Moe pada 2018 dengan judul “Evaluasi Permasalahan Banjir Kota Manado dengan Pemodelan Dua Dimensi”. Penelitian ini menyebutkan, Manado memiliki risiko cukup tinggi terhadap banjir.
Kapasitas tampung sungai di Manado makin kecil dan menyebabkan elevasi permukaan air meningkat serta memberikan peluang lebih besar untuk air meluap di Kota Manado. Kondisi ini, katanya, karena banyak warga Manado mendirikan bangunan tempat tinggal dan menetap di kawasan sempadan sungai.
Selain itu, perubahan tata guna lahan merupakan penyebab berubahnya aliran air permukaan akibat berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap aliran air. Perubahan tata guna lahan Kota Manado dan daerah sekitar, sebut penelitian itu karena kebutuhan masyarakat akan hunian tinggal meningkat hingga pembangunan perumahan meningkat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Utara juga menemukan hal serupa. Berdasarkan kajian mereka, pembangunan perumahan, perkantoran, dan pemukiman warga yang mengalami perkembangan signifikan menjadi penyebab Manado terus dilanda banjir. Daya tampung lingkungan hidup, sudah tidak memadai lagi.
Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Utara mengatakan, infrastrukturyang dibangun Pemerintah Kota Manado belum maksimal mengakomodir luapan air. Dia bilang, yang terjadi di Manado merupakan kesalahan-kesalahan lama terus terjadi, dan banjir pun berulang.
“Daerah resapan air di Kota Manado dan sekitar sudah jadi hunian masyarakat dan pembangunan jalan ring road Manado. Saat curah hujan meningkat, Manado banjir, karena daerah resapan air sudah berkurang. Sebenarnya, ini kesalahan-kesalahan lama yang terus dilakukan,” katanya kepada Mongabay.
Ironisnya, pengurangan daerah resapan air juga turut terjadi di daerah-daerah yang berdekatan dengan Kota Manado. Hingga, Manado yang berada di hilir, terdampak dengan air-air kiriman di daerah ketinggian. Apalagi, penanganan eceng gondok di Danau Tondano belum maksimal.
Banjir juga tidak lepas dari berkurangnya tutup hutan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Global Forest Watch, dari 2000-2020, Manado mengalami perubahan tutupan pohon bersih 827 hektar. Padahal, katanya, hutan berfungsi sebagai penyangga lingkungan sekitar.
Meski begitu, katanya, Pemerintah Kota Manado, sudah berusaha semaksimal mungkin memberikan solusi terhadap masalah banjir yang terjadi di Manado. Hanya saja, program-program penanganan banjir dan meminimalisir risiko bencana belum berjalan baik.
Dia berharap, Pemerintah Sulawesi Utara, dan Manado berkolaborasi membuat skema pembangunan berkelanjutan yang dapat memberikan daya dukung lingkungan kuat agar terhindar banjir.
Pola pembangunan perumahan dan pemukiman warga, katanya, harus diatur agar daerah resapan air bisa lebih besar.
Perusahaan properti seperti perumahan, katanya, juga harus menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) agar daerah resapan air lebih luas.
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments