- Hutan Bakiriang, sebelum ada suara margasatwa, merupakan hutan Adat Batui. Setelah negara ambil alih dan jadikan kawasan hutan bahkan dengan status konservasi, mulailah ada perkebunan sawit di sana. Kondisi hutan pun berubah.
- Pada 1936, Hutan Bakiriang ditetapkan sebagai hutan yang wajib dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Raja Banggai No. 4/1936 seluas 3.500 hektar, terletak di Komplek Hutan Pegunungan Batui. Ia memanjang ke selatan sampai ke pantai muara Sungai Bakiriang. Komplek hutan ini diapit dua kampung besar yaitu Moilong dan Sinorang, yang dahulu masuk Kecamatan Batui.
- Surat keputusan Raja Banggai jadikan Hutan Bakiriang wajib dilindungi untuk mendukung Masyarakat Adat Batui dalam menjaga kelestarian hutan Bakiriang dan adat istiadat serta identitas kebudayaan mereka.
- Eva Susanti Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan, kalau masyarakat ingin menguasai lahan di kawasan hutan bisa melalui jalur tanah obyek reforma agraria (Tora). Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Baharuddin Haji Saleh langsung terlihat sedih, kala ditanyakan kondisi Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa (SM) Bakiriang di Desa Sinorang, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang sudah tergerus perkebunan sawit. Matanya yang awalnya biasa saja, mulai memerah menggambarkan rasa sedihnya akan kondisi hutan bakiriang yang awalnya merupakan hutan adat mereka.
“Dahulu, hutan bakiriang tidak seperti itu, yang tergerus sawit,” kata Baharuddin kepada Mongabay awal April lalu. Ia merupakan Ketua Lembaga Adat Kecamatan Batui. Ia bilang, hutan bakiriang sebelumnya merupakan hutan adat masyarakat batui yang dijaga dengan sepenuh hati. Namun, setelah negara mengambil alih hutan ini menjadi kawasan konservasi, dan mulai ada perkebunan sawit, semuanya berubah.
Baharuddin bercerita, penguasaan hutan bakiriang oleh masyarakat adat batui bermula sejak tahun 1500-an, ketika salah satu lelaki dari kerajaan kediri di pulau jawa, yaitu Adi Cokro atau Adi Soko datang ke tanah Banggai untuk memperdalam Agama Islam. Pada saat itu Agama Islam sudah menyebar lebih dulu di Banggai yang dibawa oleh Syekh Djabar dari Hadramaut pada tahun 1200-an.
Tidak beberapa lama, sekitar abad ke-16 Masehi, Adi Soko mendirikan Kerajaan Banggai yang terdiri dari empat distrik yaitu Babolau, Singgolok, Kookini, dan Katapean. Pembentukan kerajaan itu, karena ada pengaruh dari kerajaan Ternate. Wilayah kerajaan Banggai saat itu, kini menjadi Kabupaten Banggai dan Kabupaten Banggai Kepulauan saat ini.
Namun, Adi Soko yang berstatus sebagai pendiri Kerajaan Banggai, tidak berani mengangkat diri menjadi Raja Banggai. Ia hanya menjalankan pemerintahan sementara di Banggai, sementara yang dijadikan dewan Raja adalah Raja-Raja kecil yang sebelumnya telah dibubarkan. Raja-raja itu diberikan kedudukan terhormat turut memerintah di wilayah Kerajaan Banggai saat itu.
Setelah berhasil mendirikan Kerajaan Banggai dan mengakomodir raja-raja kecil yang ada di Banggai, Adi Soko akhirnya dijodohkan dan menikah dengan Sitti Aminah, putri Raja Motindok di Batui. Lahirlah seorang putra yang diberi nama Abu Kasim dari pernikahannya itu. Raja Motindok merasa bahagia, dan memberikan hadia sepasang burung maleo kepada Abu Kasim.
Namun, setelah beberapa tahun memimpin Kerajaan Banggai, Adi Soko memutuskan kembali ke kampung halamannya di tanah Jawa. Burung maleo yang diberikan Raja Motindok ikut di bawahnya, sementara Sitti Aminah dan Abu Kasim menetap di Gunung Tatandak. Kepergiaan Adi Soko itu, membuat Kerajaan Banggai mengalami kekosongan kekuasaan.
Dengan adanya kekosongan kekuasaan di Kerajaan Banggai, Abu kasim yang merupakan anak dari Adi Soko diminta menggantikan ayahnya untuk memimpin kerajaan. Namun, Abu Kasim menolaknya, karena alasan usia, dan mengingat pesan ibunya yang jika ia menjadi raja, seumur hidup mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
“Saat Abu Kasim diminta menjadi raja, umurnya baru beranjak tujuh tahun. Sehingga Abu Kasim menolak menjadi raja,” kata Baharuddin Haji Saleh
Sebagai solusinya, Abu Kasim pergi ke tanah Jawa untuk mencari ayahnya. Tujuannya, mengajak ayahnya kembali ke Banggai untuk memimpin kembali kerajaan yang dirikannya itu. Namun, Adi Soko tetap menolak kembali untuk menjadi raja, dan Abu Kasim diminta menggantikan dirinya. Abu Kasim mengaku tetap belum bersedia menggantikan ayahnya.
Dengan sikap Abu Kasim seperti itu, Adi Soko menyarankan untuk menjemput saudaranya, Frans Mandapar di Ternate untuk menggantikan dirinya. Frans Mandapar merupakan anak Adi Soko dari istrinya yang berdarah Portugis di Maluku Utara. Saran itu langsung diterima Abu Kasim, dan dirinya langsung pulang untuk menjemput Frans Mandapar.
Sebelum pulang, Adi Soko memberikan sepasang maleo kepada Abu Kasim yang dihadiahkan kakeknya dulu untuk dibawa ke Banggai. Pasalnya, burung tersebut tidak dapat berkembang di biak Jawa.
Setelah itu, berangkatlah Abu Kasim ke Ternate dan berhasil membujuk Frans Mandapar menjadi Raja Banggai. Kemudian, Frans Mandapar pun dinobatkan menjadi raja. Burung maleo yang dibawa Abu Kasim dari ayahnya ternyata tidak dapat berkembang biak juga di Banggai. Akhirnya, Frans Mandapar meminta Abu Kasim untuk mengembalikannya kepada kakeknya, Raja Motindok di Batui.
Abu Kasim langsung menyerahkan Burung Maleo tersebut kepada Raja Motindok di Pelabuhan Motindok Batui. Ia berpesan jika sepasang burung maleo itu telah bertelur, telur pertama (tumpe) minta diantarkan ke Kerajaan Banggai. Sepasang burung maleo tersebut kemudian dilepas oleh Raja Motindok di pantai Bakiriang, Kecamatan Batui. Sejak itulah hutan Bakiriang menjadi tempat yang disakralkan oleh Masyarakat Adat Batui.
Pada tahun 1936, Hutan Bakiriang ditetapkan sebagai hutan yang wajib dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Raja Banggai No. 4 Tahun 1936 dengan luas 3.500 hektar yang terletak di Komplek Hutan Pegunungan Batui, yang memanjang ke Selatan sampai ke pantai muara sungai Bakiriang. Komplek hutan ini diapit oleh dua kampung besar yaitu Moilong dan Sinorang yang dahulu masuk dalam Kecamatan Batui.
Surat Keputusan yang dibuat Raja Banggai itu untuk mendukung Masyarakat Adat Batui dalam menjaga kelestarian hutan bakiriang dan adat istiadat serta identitas kebudayaan mereka. Baharuddin bilang, sejak itulah hutan bakiriang menjadi hutan yang sakral dan dilindungi masyarakat adat batui, karena ada burung maleo di dalamnya yang menjadi identitas adat mereka.
Bahkan, masyarakat sekitar juga takut untuk merusakan hutan bakiriang, bahkan tidak ada yang berani dan bisa masuk dalam hutan tersebut tanpa seizin pengurus adat. Namun, semuanya berubah setelah Negara mengambil alih hutan itu dijadikan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa dan Perusahaan Perkebunan Sawit mulai ada.
“Saya sangat prihatin, Hutan Bakiriang sudah tidak seperti dulu. Hutan bakiriang menyimpan banyak memori untuk masyarakat adat batui, dan hutan itu bagian dari amanah leluhur kita dalam melakukan perayaan adat,” kata Baharuddin
Awal Negara Mengambil Alih
Hutan Bakiriang yang merupakan hutan adat masyarakat batui itu telah berubah setelah Negara mengambil alihnya. Pengambil alih hutan itu terjadi sejak Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah menjadikan Hutan Bakiriang seluar 3.900 hektar menjadi kawasan konservasi melalui Surat Keputusan Gubernur No. SK. 188.44/3932/DINHUT/89 yang dibuat pada tanggal 30 Agustus 1989.
Keputusan itu juga diakomodir di dalam Struktur Tata Ruang Provinsi (STRP) Sulawesi Tengah yang disahkan Gubernur berdasarkan Keputusan Nomor 522.1/1029/1996. Ditahun yang sama, PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP) mendapatkan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dengan luas 13.400 hektar, yang berdekatan dengan Kawasan Konservasi Bakiriang.
Izin itu yang diduga menjadi modus awal melakukan land clearing pada hutan alam yang berdekatan dengan kawasan konservasi itu. Ironisnya, izin yang diperuntukkan untuk pengolahan HTI, mala menjadi perkebunan sawit milik PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang merupakan perusahaan pemilik saham PT. BHP.
Pada tanggal 21 April 1998, Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengeluarkan Surat Keputusan dengan Nomor; 398/Kpts-II/1998 yang menjadi Kawasan Konservasi Hutan Bakiriang menjadi Suaka Margasatwa (SM) dengan luas 12.500 hektar. Alhasil, PT. KLS melakukan perambahan perkebunan sawit sampai ke dalam kawasan konservasi SM Bakiriang.
Padahal, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah pada tahun 2010 menyatakan Suaka Margasatwa Bakiriang memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang cukup tinggi seperti burung maleo dan anoa. Kawasan itu juga memiliki tipe ekosistem hujan hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan sekunder.
Catatan dari Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) menyebutkan, ada sebesar 3.532,46 hektar di Kawasan Konservasi Suaka Margasatwa ditanami sawit. Dampaknya, pada tahun 2014, Menteri Kehutanan Republik Indonesia menciutkan kawasan konservasi itu yang awalnya 12.500 hektar, menjadi 12.309,80 hektar. Penciutan kawasan itu diduga karena adanya ekspansi perkebunan sawit.
Tak hanya perkebunan kelapa sawit, masyarakat juga turut andil merusak kawasan SM Bangkiriang dengan membuka lahan untuk ditanami jagung, singkong, pohon coklat dan sebagainya. Masyarakat ikut merambah kawasan konservasi itu karena pemerintah juga melakukan pembiaran terhadap masuknya perkebunan kelapa sawit dalam kawasan Bakiriang.
Bukan hanya itu saja, ada juga sejumlah sarana dan prasarana lain seperti sekolah dasar, pemukiman, rumah ibadah dan sejumlah fasilitas publik lainnya juga ada di dalam kawasan SM Bangkiriang. Sehingga, saat ini Suaka Margasatwa Bangkiriang berubah wajah.
Dengan begitu, SM Bangkiriang yang merupakan hutan hujan tropis dataran rendah pada daerah pegunungan yang berfungsi strategis sebagai keseimbangan lingkungan, terancam akan kehilangan fungsinya. Apalagi, SM Bangkiriang memiliki ratusan flora fauna termasuk habitat satwa endemik Sulawesi yaitu Burung maleo (Macrocephalon maleo).
Thalib Agama, Ketua Adat Masyarakat Batui mengatakan pengambil alih hutan bakiriangan oleh nagara itu, tanpa sepengetahuan masyarakat adat. Ia bilang, tidak ada sedikitpun informasi dan komunikasi Pemerintah Daerah atau BKSDA Sulawesi Tengah untuk menjadikan hutan itu menjadi kawasan konservasi. Padahal, katanya, hutan itu merupakan identitas Masyarakat Adat Batui.
Dahulu, kata Thalib, hutan bakiriang itu sangat dijaga ketat oleh Masyarakat Adat Batui. Setiap minggu, pengurus adat harus bergantian menjaga hutan itu dari ancaman kerusakan apapun itu. Tidak ada yang berani masuk dalam hutan itu tanpa seizin pengurus adat. Masyarakat pun berpikir dua kali menginjakan kakinya di hutan itu karena takut mendapatkan hukuman dari pengurus adat. Penjagaan hutan itu merupakan amanah dan perintah dari leluhur mereka.
Namun, kata Thalib, semua itu tinggal kenangan setelah hutan itu diambil alih negara menjadi kawasan konservasi. Menurutnya, pengambil alih hutan itu menjadi salah satu masalah utama hutan tersebut berubah wajah. Ia bilang, negara tidak bisa menjaga amanah untuk menjaga hutan bakiriang. Negara juga dinilai tidak tegas untuk melakukan tindakan kepada perusahaan kelapa sawit yang sudah sejak lama merambat hutan bakiriang.
“Saat ini, hutan bakiriang sudah sangat berubah, dan tidak seperti dulu lagi. Dahulu hutan itu sangat rimbun dengan pepohonan yang sangat besar-besar. Tapi, semuanya sudah berubah setelah negara ambil lain dan sudah ada perusahaan sawit di dalamnya,” kata Thalib Agama kepada Mongabay awal April lalu.
Harapan Masyarakat Adat Batui
Baharuddin Haji Saleh dan Thalib Agama, sangat berharap negara bisa mengembalikan hutan bakiriang ke masyarakat batui. Harapan itu sebagai bentuk melestarikan budaya dan tradisi leluhur masyarakat ada batui, serta bentuk penyelamatan Kabupaten Banggai yang hutannya terus berkurang, akibat aktivitas berbagai perusahaan yang sudah masuk.
Global Forest Watch mencatat, dari 2002 sampai 2021, Banggai kehilangan 50.3 ribu hektar hutan primer basah, dan itu smenyumbang 46 persen dari hilanganya tutupan pohon dalam periode yang sama. Sementara, area total hutan primer basah di banggai berkurang 9.5 persen dalam periode waktu itu.
Tak hanya itu, sejak tahun 2001 hingga 2021, Banggai kehilangan 111 ribu hektar tutupan pohon, setara dengan penurunan 15 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan itu setara dengan 74.3 Mt emisi CO₂e.
Amran Tambaru, Direktur Eksekutif Yayasan Merah Putih mengatakan, masyarakat adat batui bisa merebut kembali hutan adatnya meski bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, karena hutan itu berada di kawasan konservasi.
Dalam peraturan Menteri tersebut, tepatnya pada Pasal 62 ayat (1) menjelaskan yang bisa dijadikan sebagai Hutan Adat yaitu hutan yang berasal dari hutan negara, tapi bukan hutan negara yang mempunyai fungsi pokok konservasi, lindung dan/atau produksi. Namun, kata Amran, perebutan hutan adat yang ada di kawasan konservasi bisa dilakukan asalkan tokoh-tokoh adatnya bisa komitmen memperjuangkan itu.
Hal itu pernah dibuktikannya saat dirinya mendampingi masyarakat adat Wana Posangke, di Kabupaten Morowali Utara yang memperjuangkan pengakuan atas hutan hak mereka yang sebagian besar hutan adat itu masuk dalam kawasan Cagar Alam Morowali. Alhasil, pengakuan atas hutan adat mereka terwujud pada pengujung 2016.
Amran bilang, apa yang diperjuangkan oleh masyarakat adat Wana Posangke, bisa dilakukan oleh masyarakat adat batui. Menurutnya, tokoh-tokoh masyarakat, akademisi, Lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta Pemerintah Kabupaten Banggai juga harus ikut membantu masyarakat adat batui untuk membantu pengakuan atas hutan adat mereka.
“Harus ada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banggai terlebih dahulu atas pengakuan masyarakat adat batui, dan harus membuat naskah akademik sebagai penguatan untuk pengajuan hutan adat batui, termasuk sejarah masyarakat adat dalam mengelola hutan adat mereka sebelum negara mengambil alih,” kata Amran Tambaru kepada Mongabay awal Mei lalu.
Kalau bicara soal sejarah, katanya, sebelum negara ada, sudah ada terlebih dahulu hutan adat itu. Menurutnya, skema pengakuan atas hutan adat sebenarnya bentuk merebut kembali hutan adat yang sudah diambil oleh negara. Masyarakat adat batui harus mampu meyakinkan kepada Pemerintah Pusat akan hutan adat mereka yang menjadi bagian dari identitas mereka.
Noval Apek Saputra, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Tengah mengatakan, masyarakat adat batui bisa mengelola hutan konservasi itu dengan konsep kemitraan konservasi. Konsep kemitraan konservasi merupakan bentuk kerja sama antara unit pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat setempat untuk pemberdayaan komunitas lokal dan dalam rangka pemulihan ekosistem.
Kemitraan konservasi itu diatur Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Konsep itu dimaknai sebagai kerja sama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat berdasarkan prinsip saling menghargai, saling percaya, dan saling menguntungkan.
Noval menjelaskan, dengan konsep kemitraan konservasi itu, masyarakat adat batui bisa menjaga tradisi dan leluhur mereka dengan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di kawasan konservasi SM Bakiriang. Ia bilang, masyarakat adat batui bisa menjaga kelestarian burung maleo yang semakin hari terancam keberadaannya di kawasan konservasi itu.
“Konsep kemitraan konservasi sebagai bentuk intervensi masyarakat adat batui terhadap pengelolaan konservasi SM Bakiriang. Tapi, untuk korporat khususnya perusahaan sawit yang sudah merambat di wilayah konservasi, sangat tidak dibenarkan, dan harus di tindak tagas,” tutur Noval
Eva Susanti Bande, Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah mengatakan, jika masyarakat ingin menguasai lahan di kawasan hutan, bisa melalui jalur Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Hal itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Eva bilang, dengan TORA, negara bisa memberikan izin kepada petani dan masyarakat sekitar untuk mengelola kawasan hutan dengan kepentingan bertani.
Eve menjelaskan, dengan program TORA, negara bisa penataan aset, penataan akses, dan penyelesaian sengketa tanah. Hal ini sejalan dengan Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria 2015-2019 yang antara lain meliputi: penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria; penataan penguasaan dan pemilikan TORA; kepastian hukum; legalisasi hak atas TORA; dan pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan TORA.
“Dengan program itu, negara bisa memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, dan bisa menyelesaikan konflik agraria atau sengketa lahan,” kata Eva
*Artikel ini diproduksi atas dukungan Dana Hibah Jurnalisme Hutan Hujan atau Rainforest Journalism Fund – Pulitzer Center.
Tulisan ini pertama kali terbit di situs Mongabay Indonesia dalam sudah versi sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments