Oleh: Faisal Husuna
MINGGU 7 November 2021; cuaca yang sangat gelap, langit ditutupi awan hitam. Malam itu, saya melihat di bahu jalan, yang tidak jauh dari menara keagungan Kota Limboto, terlihat beberapa pedagang kecil berjualan di sana, ada yang mulai siap-siap untuk berkemas, pun ada beberapa dari mereka yang pada saat itu, tidak berjualan, memilih tetap di rumah dengan keluarga tercinta. Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, angin mulai kencang, membuat saya harus mengurangi laju kendaraan, mengendarainya dengan pelan dan penuh hati-hati.
Belum sempat saya menepi untuk mengambil jas hujan di bagasi, hujan dengan sekejap membasahi, saya pun langsung tancap gas, bergegas untuk menepi. Tapi saat itu, sudah melewati menara Tower Pakaya. Akibat hujan deras akhirnya saya putar balik, ke arah menara lagi, untuk mencari perlindungan dari tetesan rahmat malam itu, tiba-tiba lampu merah di simpang empat Jalan Ahmad A.Wahab menyala menghalangi saya, sebagai pengendara yang baik saya mesti patuh atas protokol lalu lintas itu, tidak ada pilihan lain, meski harus rela menanggung basah.
Sembari menunggu lampu hijau menyala, saya melirik kiri kanan mencari tempat berteduh, pandangan saya tertuju pada bangunan tinggi yang megah itu lagi, sebuah menara raksasa setinggi 65 meter menjulang ke atas langit. Saya memutuskan untuk berteduh disana, barangkali bisa sedikit menyeruput kopi atau saraba milik pedagang di situ, akhirnya perjalanan saya terhenti pada jarak 14 km dari pusat Kota Gorontalo.
Saya tepat di bawah langit Menara Tower Pakaya, dan langsung pesan satu gelas saraba. Terlihat nampak sepi, hanya beberapa pedagang kecil saja yang bertahan di sini, padahal ini sudah larut malam, peluang untuk mendapatkan pelanggan pun hanya sedikit, belum lagi ditambah cuaca yang sedang tidak bersahabat. Saat itu saya ingin sekali bertanya alasannya, mengapa masih bertahan, dan sudah berapa pendapatan yang telah didapat.
Namun, sekujur tubuh telah meronta-meronta kedingin; butuh kehangatan. Saraba pesanan saya pun datang. Saya mengurungkan niat untuk bertanya, dan memilih menghangatkan tubuh dulu dengan segelas minuman hangat berjahe itu, sembari melihat kiri kanan; lampu-lampu di rumah warga di sekitaran situ tengah padam, membuat mata saya sayup-sayup ingin berlayar ke pulau kapuk, seketika juga tubuh saya terlelap. Motor mx New saya standar dua, dan lalu berbaring di atasnya.
Menara itu, sudah berusia 19 tahun menjadi primadona juga keagungan masyarakat Gorontalo, yang kokoh berdiri hingga kini. Sejak dibangun tahun 2002 silam pada masa pemerintahannya Bupati Ahmad Pakaya, dan lalu diresmikan pada tahun 2003, oleh Wakil Presiden Indonesia Dr. Hamzah Haz pada hari Sabtu 20 September 2003, seperti yang dilansir dari, laman parbudkominfo.wordpress.com. Nama menara ini ditetapkan berdasarkan SK Bupati Gorontalo Nomor 717 Tahun 2003 tanggal 18 September 2003 yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Gorontalo. Menara tersebut menelan biaya Rp 8,6 miliar, dikerjakan oleh PT. Gunung Garuda Indonesia dan PD. Pedago Kabupaten Gorontalo.
Saya langsung terperangah, bukan oleh biayanya, namun karena ada suara gemuruh seperti gempa terdengar dari menara. Beberapa orang yang berteduh di sini mulai pergi dengan panik. Pedagang-pedagang itu juga pergi, meninggalkan gerobaknya, tak lagi pedulikan hujan yang masih deras. Tiang-tiang baja menara nampak saling pukul satu sama lain. Dari jauh, rumah-rumah warga di situ terlihat mulai di porak-poranda, lalu perlahan berpindah semakin jauh pada tempatnya.
Apakah itu adalah proses likuifaksi yang diakibatkan oleh gempa, seperti yang terjadi di Palu tiga tahun yang lalu? Saya masih tetap terperangah, sangat takut. Jangan-jangan di bawah menara ini juga likuifaksi itu akan terjadi. Teriak minta tolong terdengar di sudut-sudut rumah warga, saya pun ikut teriak meminta pertolongan, walaupun tidak ada yang peduli, teriakan itu terus menggema memenuhi langit.
Banjir pun perlahan mulai datang, tapi pasti. Tidak ada lagi jalan keluar, ini bencana. Sungguh malang nasib saya. Akhirnya saya hanya bisa merapalkan doa-doa, menutup mata, memohon ampun atas dosa-dosa yang pernah saya lakukan; membuang sampah sembarangan, melakukan pembalakan hutan, saya tidak ingin mati dihantui oleh pohon-pohon yang telah saya tebas dulu.
Lalu salah satu pedagang menuju ke arah saya, semakin dekat, ia mendekati telinga saya, mengusap rambut saya, penuh kasih sayang. Hal itu membuka mata saya yang tertutup dalam rapalan doa-doa, tiba-tiba saya melihat orang ini adalah pedagang yang tadi, yang membuatkan pesanan saraba. Ternyata dia hendak membangunkan saya yang telah tertidur pulas di atas motor, dan ingin mengambil gelas yang menggantung di tangan kanan saya. Setan alas, rupanya saya tidur terlalu miring, ternyata semua tentang gempa dan likuifaksi itu hanyalah sebuah mimpi. Semoga saja bencana itu tidak menjadi kenyataan. Amin.
Rupanya hujan masih awet, belum ada aba-aba ingin berhenti. Mata saya masih saja menengadah ke atas, tertuju pada langit-langit menara itu, betapa sangat memukau bangunan ini, belum lagi ditambah dengan cahaya warna-warni lampunya. Pantesan menara dengan lima lantai itu, disebut-sebut seperti Menara Eiffel di Paris.
Menara tersebut mampu menampung masa sebanyak 390 orang, jika ditotalkan dengan kapasitas per lantainya. Seperti wisata pada umumnya, menara itu juga sering dikunjungi tidak hanya masyarakat lokal saja, pun ada yang datang dari jauh untuk melihat langsung pesona keindahan menara tersebut: khususnya saat malam.
Namun malam ini, yang ada hanyalah beberapa orang saja, yang hendak berhenti untuk berteduh, dan beberapa pedagang kecil. Jalan-jalan sangat basah, bahkan sebelumnya, sesekali saya melalui jalan yang masih digenangi air. Beberapa rumah pun masih ada yang tergenang air setinggi betis, akibat banjir yang baru-baru ini terjadi di kota yang bersimbol menara keagungan itu. Tercatat ada sedikitnya 13 ribu jiwa yang telah terdampak. 1.500 jiwa diantaranya adalah warga di Kecamatan Limboto dan Tabongo.
Bahkan dari data yang dilansir dari laman www.dulohupa.id, per 5 November 2021, sedimen lumpur akibat banjir itu, setebal 5 cm. menurut Wakil Bupati Gorontalo Hendra Hemeto, banjir kali itu adalah yang terparah. Tidak hanya itu, bahkan ada salah satu pemukiman di Kecamatan Telaga Jaya, per 10 November 2021 kemarin telah terendam sejak sebulan lamanya, akibat luapan Danau Limboto. Banjir yang baru-baru ini, menjadi tamparan keras bagi kita semua, tak terkecuali dengan para penguasa pemangku kebijakan, masyarakat dari yang muda hingga yang tua-tua. Bencana itu berkaitan erat dengan ekosistem; bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan mulai tidak serasi lagi.
Gorontalo Rawan Bencana
Bencana banjir di Gorontalo memang kerap terjadi, tidak hanya di Kabupaten Gorontalo saja, Bone Bolango, Boalemo, Pohuwato, Gorontalo Utara, hingga Kota Gorontalo pun pernah bercumbu dengan si jago coklat tersebut. Hal itu dibuktikan oleh beberapa deretan peristiwa yang dicatat oleh berbagai media massa, termasuk laman resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kota Gorontalo, tahun lalu dilanda banjir, tepatnya pada Kamis, 11 Juni 2020, di tiga kecamatan. Berdasarkan data yang dilansir dari www.mongabay.co.id, jumlah masyarakat terdampak sebanyak 15.083 orang. Selanjutnya di Kabupaten Gorontalo Utara, tahun ini, peristiwa tersebut telah terjadi sebanyak tiga kali: pertama pada Kamis malam 4 November 2021, di Kecamatan Anggrek. Dilansir dari www.antaranews.com BNPB setempat mengungkapkan 18 keluarga di Desa Tolongio, 12 keluarga di Desa Popalo, 20 keluarga di Desa Ilodulunga, dan lima keluarga di Desa Hiyalo Oyile.
Kedua, Hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi pada Sabtu 4 September 2021, pukul 15.25 WITA, memicu terjadinya banjir di Desa Milango, Desa Bubode, Desa Leyao, Desa Jembatan Merah, Desa Dambalo, Desa Huidu Melito dan Desa Bulango Raya. Seperti yang dilansir dari www.bnpb.go.id ada sedikitnya 154 KK atau 531 jiwa yang terdampak, dan 54 KK atau 200 jiwa yang mengungsi. Ketiga, terjadi pada Sabtu 30 Januari 2021, yang merendam Desa Milango, Dambalo dan Jembatan Merah, Kecamatan Tomilito, serta Desa Moluo, Kecamatan Kwandang.
Kabupaten Pohuwato, pada Kamis 15 Juli 2021, sebanyak 2.355 jiwa terdampak atau sebanyak 644 Kepala Keluarga, (www.bnpb.go.id). Kabupaten Boalemo di tahun ini dua kali, yakni pada Sabtu 9 September 2021 dua kecamatan, antara lain, Kecamatan Dulupi meliputi Desa Dulupi dan Kecamatan Paguyaman meliputi Desa Girisa. Sebanyak 130 KK atau 410 jiwa terdampak dari dua Desa tersebut, (www.bnpb.go.id). Kedua, Kamis 16 September 2021, ratusan rumah yang terdampak, (www.tvonenews.com).
Kabupaten Gorontalo sendiri khususnya, pada data BNPB selama periode 2015 – 2020, kejadian banjir di Kabupaten Gorontalo tercatat sebanyak 20 kali, (www.bnpb.go.id), ditambah lagi dengan banjir baru-baru ini yang menambah pilu wajah tanah Serambi Madinah.
Tidak hanya banjir yang kerap mewarnai Gorontalo, peristiwa seperti gempa bumi pun patut menjadi perhatian kita semua. Sebab, tanah Serambi Madinah ini, berada pada wilayah pertemuan dua lempeng besar, yakni lempeng Pasifik dan Eurasia serta lempeng-lempeng mikro. Terdapat tiga patahan aktif yang bisa mengakibatkan gempa, satu diantaranya membelah Kota Gorontalo jua melintasi Danau Limboto (Nurfitriani, et all 2014).
Sementara itu, hal yang senada juga pernah diungkapkan oleh Kepala Pusat Studi Kebencanaan LPPM Universitas Negeri Gorontalo Muh. Kasim, ST., MT., kata dia, di sekitar wilayah Provinsi Gorontalo terdapat beberapa sesar atau patahan yang aktif, yakni bagian utara sulawesi terdapat Sesar Tunjaman Laut Sulawesi, dan di bagian selatan ada Sesar Naik Balantak (www.ung.ac.id). Data-data mengenai gempa di Gorontalo sendiri, bisa kita temukan di pelbagai media massa, seperti pada laman www.antaranews.com misalnya: gempa bumi dengan magnitudo 6,2 mengguncang Gorontalo pada Sabtu malam pukul 22.37 WITA, dengan kedalaman 20 kilometer, walaupun tidak berpotensi tsunami.
Berdasarkan uraian di atas, seolah mempertegas bahwa Gorontalo merupakan wilayah siaga bencana, jika demikian, 1 juta lebih penduduk yang menempati daerah indah ini, patut waspada. Kita bakal kembali dijajah setelah merdeka 79 tahun yang lalu. Iya, dijajah oleh bayang-bayang pelbagai bencana-bencana itu, yang bisa terjadi kapan saja, jika kita hanya duduk diam dan berpangku tangan. Jika begitu kita mesti berjuang lagi di medan pertempuran. Toh apa yang diberikan bumi ini kepada kita, adalah buah dari apa yang kita berikan juga kepadanya. Kalau kita semakin serakah pada alam yang indah ini; menyakitinya dengan perilaku buruk, maka keburukan itu pun akan kembali menimpa kita sendiri.
Kita mesti berani membuka hati, mata, telinga, juga pikiran, bahwa fenomena bencana banjir dan gempa di Gorontalo yang kerap terjadi ini, bisa saja akan menimbulkan fenomena bencana baru, seperti peristiwa yang telah terjadi di dalam mimpi saya saat terlelap tadi, bencana itu ialah likuifaksi, seperti yang telah meluluhlantakkan Palu 2018 lalu.
Potensi Likuifaksi di Gorontalo
Likuifaksi merupakan sebuah bencana yang tidak kalah seksi dengan banjir dan gempa. Biasanya, bencana yang satu ini kerap bergandengan tangan dengan gempa. Jika getaran gempa itu tinggi, maka likuifaksi ini, bisa membuat tanah menjadi bubur. Apalagi jika getaran gempa yang tinggi itu menimpa tanah yang longgar, atau tak solid.
Ahli Geologi, Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjelaskan, fenomena likuifaksi secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan material yang padat (solid), dalam hal ini berupa endapan sedimen atau tanah sedimen, yang akibat kejadian gempa, material tersebut seakan berubah karakternya seperti cairan (liquid). Kata dia juga, likuifaksi umumnya terjadi pada gempa di atas 5 SR dengan kedalaman sumber gempanya termasuk dalam kategori dangkal. Material yang terlikuifaksi umumnya berada pada kedalaman sekitar 20 meteran, meskipun terkadang bisa lebih, tergantung penyebaran tanahnya (www.itb.ac.id.).
Senada dengan itu, pakar Penanggulangan Bencana, Dosen Universitas Jember Joko Mulyono menjelaskan, Kondisi tanah yang ada di Petubu dan Balaruwa, Palu, Sulawesi Tengah, sepertinya memang merupakan tanah sedimentasi, dimana tekstur tanah tersebut merupakan tumpukan tanah beberapa ratus tahun yang lalu, dimana tekstur tanah tersebut tidak padat, sehingga jika ada guncangan atau gempa, bisa dimungkinkan terjadi hal (likuifaksi) tersebut disebabkan endapan air di dalam tanah terlalu banyak (www.unej.ac.id).
Kedua tokoh tersebut menegaskan bahwa, salah satu potensi terjadinya likuifaksi adalah, adanya sebuah pengaruh tekstur tanah yang tidak padat, atau tidak solid, atau merupakan tanah dari sedimentasi (Proses pengendapan material yang ditranspor oleh media air, angin, es atau gletser di suatu cekungan, Wikipedia). Lalu pertanyaannya adalah, apakah di Gorontalo sendiri mempunya tekstur tanah tersebut atau tidak? Jika ada, bisa jadi likuifaksi juga bertamu di tanah yang sama-sama kita cintai dan kasihi ini, tanah Serambi Madinah.
Saya kembali teringat, dengan mimpi buruk tadi yang hampir membuat saya jatuh (saat berbaring) di motor. Tentu saja, kita semua berharap peristiwa itu hanya sebatas mimpi dan tidak menjadi nyata. Hujan belum juga usai, bisa-bisa saya akan dibuat menanti pagi di bawah menara megah ini. Semoga saja mereka yang sudah terlelap, bisa bermimpi dengan indah, dan kembali menjumpai pagi yang bahagia: bercumbu dengan keluarga, bercengkrama dengan kerabat, dan berbagi bahagia bersama orang-orang yang mereka kasihi juga sayangi, semoga juga mereka memberikan semua cinta kasih itu tidak hanya kepada manusia, tapi jua pada (rumah kita) lingkungan.
Malam semakin larut, namun mata saya tidak lagi mengantuk, berniat mau pesan satu gelas saraba lagi, hmm tapi, Mas pedagangnya sudah tertidur. Semoga mimpi indah ya Mas. Akhirnya, supaya tidak jenuh saya mengambil HP di saku belakang celana saya, menyalakan data-nya. Berbagai notifikasi lomba-lomba bermunculan, termasuk kabar waspada soal badai La Nina di Sulawesi. Namun, pikiran saya masih terus teringat dengan sebuah fenomena likuifaksi dalam mimpi saya tadi, apalagi di Gorontalo ini kan terdapat sebuah Danau Limboto, yang memungkinkan ada bangunan-bangunan berdiri di atas sedimennya. Saya pun mencoba menelusuri apakah Gorontalo ini berpotensi didatangi oleh bencana itu atau tidak.
Dalam penelusuran, saya menemukan sebuah penjelasan bahwa, Kota Gorontalo struktur tanahnya tersusun oleh endapan-endapan danau yang terdiri dari tanah liat dan pasir yang gampang berubah akibat getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi, hal itu diungkapkan oleh Kepala Pusat Studi Kebencanaan LPPM Universitas Negeri Gorontalo Muh. Kasim, ST., MT (www.ung.ac.id).
Kalaupun di Kota Gorontalo struktur tanahnya demikian, bisa saja potensi likuifaksi itu terjadi di sana. Aduh, ini bahaya, lalu bagaimana dengan struktur tanah yang ada di Kabupaten Gorontalo, sebab terdapat Danau Limboto di sana, mungkinkah struktur tanahnya sama dengan Kota Gorontalo? Jika benar sama, maka daerah dengan simbol menara keagungan Tower Pakaya ini juga, bisa berpotensi likuifaksi. Aduh, ini bahaya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurfaika, salah satu mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tahun 2020 mengenai “Potensi Air Tanah Dan Tata Guna Air Tanah Untuk Kebutuhan Domestik Di Dataran Aluvial Limboto-Gorontalo Provinsi Gorontalo,” bahwa, salah satu dari hasil disertasi itu menunjukan; Karakteristik litologi bawah permukaan lokasi penelitian umumnya menunjukkan silang siur antara material lempung (aquiklud), lempung pasiran dan pasir lempungan (aquitard), pasir dan kerikil (aquifer). Jenis litologi penyusun akuifer tidak tertekan terdiri pasir dengan nilai resistivitas 20-150 ohm-meter. Adapun lokasi penelitiannya tersebut meliputi; Kecamatan Limboto Barat, Kecamatan Limboto, Kecamatan Tabongo, Kecamatan Batudaa, Kecamatan Talaga Jaya, Tilango, dan Telaga Biru juga masuk sebagian.
Berdasarkan hasil penelitiannya itu juga memberitahukan kita bahwa, material pada lokasi penelitiannya tersebut terdiri atas perselingan material lempung, lempung pasiran, pasir lempungan dan pasir. Hal tersebut mempertegas bahwa material tanah yang ada di Kabupaten Gorontalo juga bisa berpotensi terjadinya likuifaksi.
Kita semua semua mesti waspada akan hal ini, sekali lagi kita mesti berani membuka hati, mata, telinga juga pikiran kita, terhadap ancaman bencana di tanah ini, mencari jalan solusi sedini mungkin untuk mencegahnya. Tidak peduli seberapa besar energi yang nantinya akan terkuras, berapa banyak anggaran yang dikeluarkan, asal untuk kepentingan masa depan tanah ini. Akhirnya hujan berhenti, memberi kesempatan saya melanjutkan perjalanan untuk kembali menyambung bahagia besok hari. Tabik.
Leave a Reply