- Dua puluh lima tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto yang sudah berkuasa 32 tahun mundur. Ribuan pemuda dan mahasiswa yang mendesak mundur presiden dan sudah menduduki kompleks parlemen, Jakarta bersorak gembira merayakan keruntuhan rezim Orde Baru. Bagaimana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup era reformasi?
- Saat Soeharto berkuasa selama 32 tahun, ada sekitar 78 juta hektar hutan dan lahan diberikan kepada korporasi, baik kehutanan, sawit, maupun tambang. Izin-izin rilis paling banyak setelah ada Undang-undang Penanaman Modal Asing pada 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968.
- Ada harapan era reformasi jadi angin segar bagi perbaikan tata kelola kekayaan alam dan perlindungan lingkungan hidup serta memperhatikan kepentingan rakyat. Sudah 25 tahun reformasi berlalu, kondisi pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia dinilai tak jauh berbeda dengan orde baru. Industri ekstraktif masih menguasai Bumi Pertiwi.
- Muhammad Taufik, Dinamisator Jatam Sulteng, mengatakan, praktik buruk industri nikel ini, menambah catatan merah pada pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang tidak berkelanjutan hingga menyebabkan kualitas lingkungan hidup buruk.
21 Mei 1998 Pukul 09.00 WIB Pagi, menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia. Saat itu, Soeharto yang telah menjadi Presiden Republik Indonesia selama 32 tahun akhirnya menyatakan mundur melalui pidatonya yang dibacakan di Istana Kepresidenan. Ribuan orang mahasiswa yang telah menduduki kompleks parlemen, Jakarta Pusat, langsung bersorak gembira merayakan runtuhnya rezim Orde Baru itu.
25 tahun lalu itulah, reformasi dimulai. Cengkraman rezim orde baru yang membelenggu selama tiga dekade itu akhirnya runtuh, dan saat itulah supremasi hukum ditegakkan. Sejumlah kelompok masyarakat sipil pemerhati lingkungan berharap, dengan runtuhnya rezim otoriter tersebut, pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia bisa lebih baik, dan mengedepankan pengelolaan yang berkelanjutan.
Pasalnya, saat Soeharto berkuasa selama 32 tahun, ada sekitar 78 juta hektare hutan dan lahan diberikan sepanjang rezimnya kepada korporasi, baik kehutanan, sawit, maupun tambang, terutama setelah diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968.
Olehnya, dengan runtuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998 lalu, diharapkan menjadi angin segar untuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia menjadi semakin baik dan mendapatkan kepentingan rakyatnya. Namun, 25 tahun reformasi berlalu, kondisi pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia dinilai tak jauh berbeda dengan orde baru. Korporasi industri ekstraktif masih menguasai Bumi Pertiwi.
Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, hingga kini nasib lingkungan hidup Indonesia tidak banyak perubahan kearah yang lebih baik dalam konteks perlindungan lingkungan hidup setelah reformasi. Bahkan, katanya, sejak awal tahun 2000, eksploitasi hutan dan sumber daya alam meningkat sampai hari ini, karena banyaknya lahan yang diberikan ke industri ekstraktif.
“Setelah reformasi, ada banyak eksploitasi kayu-kayu ilegal, dan hal itu diikuti dengan ekspansi perusahaan tambang, dan bahkan perusahaan sawit yang rakus lahan. Industri ekstraktif telah mengkonversi hutan Indonesia dalam skala yang luas,” kata Syahrul Fitra kepada Mongabay, 19 Mei lalu.
Apa yang dikatakan Syahrul Fitra, selaras dengan Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara yang berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi” (2022). Laporan itu menjelaskan, rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang selama 10 tahun berkuasa menjadi Presiden Indonesia yang paling banyak menyerahkan penguasaan lahan seluas 55 juta hektare kepada korporasi, pasca reformasi.
Sementara, ketiga rezim Habibie, Gus Dur, dan Megawati yang berkuasa 2-3 tahun telah memberikan penguasaan lahan dengan total 6 juta hektare kepada korporasi. Namun, pada rezim Megawati, ada 13 korporasi diizinkan menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektar (dari total luas izin 6.257.640.49 hektar), setelah dirinya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2004 atas Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Berikutnya, rezim Joko Widodo yang berjalan kurang lebih 9 tahun sejak 2014, menyerahkan lahan ke korporasi masih terus terjadi. Padahal, dalam masa kampanyenya, dirinya akan mengalokasikan penguasaan lahan kepada rakyat berupa perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria seluas 5 juta hektar. Namun, sampai saat ini yang terealisasi baru sekitar 2 juta hektare atau 11% dari total janjinya, sementara alokasi lahan yang diberikan rezimnya ke korporasi telah mencapai 8 juta hektar.
Dari riset yang telah dilakukan oleh Walhi dan Auriga Nusantara (2022), pada tahun 2022 konsesi logging yang dimiliki 258 korporasi kehutanan seluruhnya mencakup area seluas 19 juta hektare. Ada sepuluh grup teratas korporasi logging yang menguasai 23% atau 4,3 juta hektar alokasi izin logging di Indonesia atau setara 65 kali luas DKI Jakarta.
Untuk korporasi kebun kayu, juga berada dalam kondisi yang sama. Penambahan luas alokasi kebun kayu, dari 30.000 ribu hektar pada 1990 menjadi 4,4 juta hektare pada 1999 dan bahkan pasca reformasi melonjak hampir tiga kali lipat menjadi 11,3 juta hektar pada 2021. Ada sepuluh grup teratas korporasi kebun kayu yang turut menguasai 50% alokasi izin kebun kayu di Indonesia.
Adapun dalam sektor perkebunan sawit juga kondisi tak jauh berbeda. Pasca reformasi atau pada 2000, luas tanaman sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar, pada 2021 meningkat tajam menjadi 16,5 juta hektar. Hingga juni 2022, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mencapai 8.514.921 hektar, dan 6 juta hektar atau 71% diantaranya dilepaskan untuk perkebunan sawit. 29% dari 6 juta hektar itu dinikmati oleh sepuluh grup usaha besar korporasi sawit.
Dalam sektor pertambangan juga mengalami hal serupa. Pada Juli 2022, tercatat 10 juta hektare konsesi tambang yang tercatat di sistem pemerintah, Minerba One Data Indonesia (MODI) dari 6,5 ribu izin. Seperlima izin tambang saat itu dimiliki/dikuasai oleh 10 grup usaha. Dua perusahaan milik BUMN, PT Timah dan PT Antam, menempati urutan teratas. Keduanya menguasai lahan tambang hampir sejuta hektare.
Tak hanya itu, pasca reformasi justru terjadi dua kali kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang begitu luas pada tahun 2015 dan 2019 atau bertepatan dengan rezim Joko Widodo. Karhutla 2015, ada sekitar 2,5 juta hektar lahan habis terbakar. Sementara Karhutla 2019, ada lebih dari 3,11 juta hektar lahan yang terbakar di seluruh Indonesia.
Penyerahan lahan kepada korporasi yang begitu besar daripada rakyat dan peristiwa Karhutla itulah yang menjadi hipotesis sejumlah kelompok masyarakat sipil peduli lingkungan beranggapan bahwa perlindungan lingkungan hidup Indonesia tak jauh berbeda dengan orde baru, atau tidak mengarah ke arah yang lebih baik.
Syahrul bilang, dengan kondisi krisis iklim yang saat ini terjadi, pemerintah justru tidak menunjukan niatan serius untuk melindungi kekayaan alam yang tersisa, khususnya dalam sektor kehutanan. Katanya pemerintah masih merencanakan deforestasi yang kurang lebih 300 ribu hektar per tahun, di tengah kekhawatiran di situasi krisis iklim dan kenaikan suhu bumi yang semakin memburuk.
“Padahal, sudah banyak riset-riset ilmiah yang mengatakan sudah saatnya semua negara menghentikan konversi hutan karena itu menjadi salah satu pemicu kenaikan suhu bumi atau ikut memperparah laju pemanasan global,” jelasnya
Dalam segi kebijakan, kata Syahrul, Pemerintah Indonesia masih membiarkan dan memberikan izin-izin untuk menebangi hutan alam yang tersisa yang sebenarnya sudah tidak banyak lagi. Misalnya, dengan adanya Omnibus, atau dikenal juga UU Cipta Kerja, kondisi perlindungan lingkungan dalam sisi regulasi justru memperlemah, bukan untuk memperkuat.
“Omnibus memperlemah keadaan kebijakan-kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang sudah ada. Pasca reformasi, pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja merupakan situasi yang terburuk untuk melemahkan perlindungan lingkungan hidup Indonesia,” jelasnya
Bagaimana Perlindungan Masyarakat Adat?
Pengakuan dan perlindungan negara terhadap masyarakat adat masih minim, bahkan mereka masih terus terancam, ada wilayahnya dirampas, ada mengalami kekerasan, hingga dikriminalisasi. Isu masyarakat adat pun kerap jadi komoditas dalam pemilihan umum, dan janji-janji pengakuan dan perlindungan berjalan lamban. RUU Masyarakat Adat, hingga saat ini tak ada kejelasan.
Rony Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara mengatakan, sebenarnya sejak reformasi bergulir, telah banyak peraturan perundang-undangan yang menegaskan pengakuan dan keberadaan masyarakat hukum adat. Bahkan, katanya, Amandemen kedua UUD 1945 secara tegas menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.
Kemudian, kata Rony, pengakuan itu ditindaklanjuti oleh banyak undang-undang (UU), sebut saja diantaranya UU Kehutanan, UU Tata Ruang, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), UU Desa, UU Pemerintah Daerah (Pemda), UU Perkebunan, dan UU Cipta Kerja. Bahkan, hal itu kemudian ditegaskan pula dalam beberapa putusan mahkamah konstitusi. Namun, pengakuan tersebut tidak secara utuh, melainkan bersyarat.
“Pengakuan yang disebut bermasyarakat yaitu; sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, dan walaupun kemudian sudah ada UU yang mengatur, namun disyaratkan pengaturan tersebut harus ada di tingkat daerah,” kata Rony Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara kepada Mongabay pada 19 Mei lalu.
Padahal, kata Rony, eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-haknya telah ada sebelum aturan-aturan tersebut disahkan. Ia bilang, tak salah jika disebut pengakuan ini sebagai pengakuan setengah hati. Hal itu juga dibuktikan dengan masih banyak masyarakat adat yang mempertahankan wilayah kelolanya kemudian digusur dan dikriminalisasi.
Misalnya, kasus Efendi Buhing di Kalimantan Barat, Kasus Bongku di Riau, kasus masyarakat adat di kawasan Toba yang bersinggungan dengan PT. TPL, dan kasus masyarakat adat Pubabu-Besipae di NTT. Katanya, rata-rata hampir di provinsi yang ditempati oleh masyarakat adat yang daerahnya terdampak pembangunan, ekspansi perkebunan dan tambang selalu menjadi korban, dan negara belum mampu benar-benar hadir sebagai pembela masyarakat adat.
Meski begitu, Syahrul menilai, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” menunjukan tren yang positif bahwa negara mengakui keberadaan hutan adat. Namun, katanya, dalam 10 tahun terakhir pengakuan-pengakuan terhadap hutan milik masyarakat adat itu tidak begitu cepat, walaupun ada.
Pada Maret lalu, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) merilis cakupan luasan registrasi wilayah adat dan status pengakuan oleh pemerintah. Ada 1.243 peta wilayah adat teregistrasi dengan luas 25,1 juta hektar yang tersebar di 32 provinsi dan 154 kabupaten/kota di Indonesia. Ada 3.206.703 hektar atau 198 wilayah adat sudah mendapatkan status penetapan pengakuan wilayah adat dari pemerintah daerah.
Sementara, ada sekitar 18.828.794 hektar atau 792 wilayah adat berada pada daerah yang telah menerbitkan Perda Pengakuan Masyarakat Adat tapi belum mendapatkan status penetapan. Sedangkan, ada sekitar 3.127.750 hektar atau 253 wilayah adat belum ada kebijakan dari Pemerintah Daerah soal pengakuan masyarakat adat.
Kasmita Widodo, Kepala BRWA mengatakan, pemerintah daerah masih punya pekerjaan rumah besar karena baru 12.7% wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya. Katanya, KLHK perlu meningkatkan target dan anggaran untuk verifikasi hutan adat, karena sejak tahun 2016 sampai 2023, baru ada 108 SK Hutan Adat dengan luas mencapai 153.322 hektar, atau rata-rata sekitar 21.903 hektar setiap tahun.
“Pemerintah juga sampai saat ini belum mengintegrasikan peta-peta wilayah adat yang sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dalam kebijakan satu peta dan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” kata Kasmita Widodo dalam rilisnya.
Lambanya pengakuan wilayah adat itu juga sejalan dengan hasil penelusuran Walhi dan Auriga Nusantara (2022), yang memperlihatkan begitu jomplangnya perlakuan untuk korporasi dengan masyarakat adat. Dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan saat ini, 19 juta hektar diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektar kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektar untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan untuk perkebunan sawit.
Artinya, yang diberikan kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektare. Di sisi lain, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektare. Dengan demikian, 92% alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8% kepada rakyat, itupun dibagi-bagi; Hutan Desa 1.845.648 hektar; Hutan Kemasyarakatan 708.823 hektar; Kemitraan Kehutanan 248.567 hektar; Hutan Tanaman Rakyat 150.032 hektar; Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial 35.929 hektar; dan Hutan Adat 75.798 hektar.
Kasmita bilang, ruang hidup masyarakat adat tidak terlindungi dari dampak buruk investasi dan proyek-proyek nasional seperti pembangunan IKN Nusantara. Katanya, pemerintah masih sangat lemah dalam melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan, dan sumber daya alam yang berada di wilayah adat.
Sepakat dengan Kasmita. Syahrul mengatakan, saat ini kondisi masyarakat adat semakin terhimpit dengan adanya izin perusahaan ekstraktif yang masuk di wilayah mereka. Misalnya, Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan yang terganggu hutan adatnya oleh korporasi PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta. Sebanyak 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat telah dibuka oleh pemegang kedua perusahaan tersebut.
Kondisi itu, kata Syahrul, menggambarkan pengakuan hutan milik masyarakat adat itu tidak sejalan dengan komitmen pemerintah pada awal-awal tahun 2014 lalu yang sangat agresif untuk mencapai target penetapan wilayah masyarakat berupa perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar dan reforma agraria seluas 5 juta hektar. Kini, hanya 11% atau 2 juta hektar dari total yang ditargetkan yang terealisasi.
Walaupun begitu, Syahru berharap dan menunggu adanya percepatan pengakuan wilayah adat di Papua dan seluruh wilayah Indonesia. Katanya, pemerintah masih ada waktu akhir tahun ini untuk mempercepat pengakuan wilayah masyarakat adat. Tetapi bukan untuk mengampuni perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan.
“Saat ini, pemerintah terkesan hanya mempercepat pengampunan terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan, ketimbang pengakuan wilayah-wilayah hukum adat. Hal ini perlu dikawal secara bersama-sama, apakah menjelang berakhirnya periode pemerintah tahun ini akan ada percepatan pengakuan wilayah adat tersebut atau tidak,” pungkasnya
Tulisan ini pertama kali diterbitkan di situs Mongabay Indonesia dalam versi sudah sunting. Untuk membacanya silahkan klik di sini.
Leave a Reply
View Comments